Fenomena yang marak terjadi akhir-akhir ini dan sudah menjadi 'trend' memperlihatkan kecenderungan masyarakat perkotaan khususnya kalangan menengah atas yang kesufi-sufian dan mendekat kepada agama. Banyak artis, birokrat, pengusaha, maupun pejabat yang melimpah uang antre umrah dan naik haji atau mengikuti pelatihan-pelatihan keagamaan yang bersifat 'instan' hanya untuk melengkapi kesalehan belaka.
Kecenderungan ini menunjukkan kenyataan hidup seolah-olah 'simulacra' mendongkrak popularitas dan bahwa pelampiasan hasrat dengan materi ternyata tidak membahagiakan. Ungkapan bahwa "usaha yang instan pasti akan menghasilkan hasil yang instan" menjadi ada benarnya. Pada saat umrah dan naik haji atau mengikuti acara pelatihan keagaamaan ataupun pengajian seolah-olah sudah merasa bertaubat dari dosa-dosa karena suasana mendukung demikian tetapi setelah itu akan berbuat dosa kembali seperti sediakala.
Memahami Tasawuf
Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, dzikir, iklhas, zuhud, sabar, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.
Pendapat di atas tidaklah salah, tapi mungkin kurang tepat atau kurang komprehensif. Ada aspek lain yang sangat penting dari tasawuf, yang menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.
Aspek penting itu adalah tasawuf sebagai salah satu pilar utama epistemology dalam Islam. Aspek epistemology Islam ini sangatlah penting dikaji sebagai sebuah modus alternatif di zaman moderen ini, di mana kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.
Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang zuhud yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).
Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang maknanya sama yaitu 'Irfan (gnosis). Istilah Irfan "sebagaimana istilah ma'rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab" secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah.
Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (thariqah) juga syair wa suluk maka yang terakhir ini disebut Irfan 'Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf).
Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah 'Irfan adalah untuk Irfan teoritis. Sisi aspek tasawuf sebagai sarana mencapai ma?rifah (ilmu pengetahuan sejati tentang segala hakikat kebenaran dan kesempurnaan: Allah SWT.
Perlunya Epistemologi Islami
Berdasarkan pembahasan di atas, di sinilah kita menemukan masalah akut, ketika filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).
Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila 'lensa' dan 'cermin' akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur'an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar. Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).
Dari sisi ontology, manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam 'Samudra Ilahiyah'. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi) sebagaimana faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta'aliyah fi Asyfar al Ar'baah al Aqliyah, atau 'manungaling kawula-Gusti' dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan Panembahan Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa).
Dalam sudut pandang Filsafat Islam kajian ontology tidak dapat terpisah dan selalu berjalin kelindan dengan epistemology dan aksiology secara intergratif-komprehensif-holistik. Epistemology Islam terbangun dari basis ontologis Tauhidi dan memandu atau mewarnai aksiologinya (ilmu terapan/practical sciences).
Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang diserapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology 'alam', ilmu, dan al-'Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf 'alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya ("Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq")
Tasawuf atau Irfan sebagai sarana penyucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas fikir dan dzikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan misi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil 'Alamin. Wallahu 'Alam bishawaf.
Tamzirien, dari berbagai sumber