Agustus 28, 2008

Harapan Rakyat terhadap Wakilnya

Kalau kita membaca media cetak atau melihat media tayangan di berbagai stasiun TV pada akhir-akhir ini tentang para anggota DPR maupun DPRD tersangkut dugaan korupsi, timbul pertanyaan apakah mereka yang duduk sebagai wakil rakyat dalam berbagai lembaga legislatif baik di pusat maupun di daerah masih merasa 'terhormat'? Kalau mereka merasa tetap terhormat, terhormat karena apa?

Barangkali karena mereka merasa telah mampu mewujudkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat? Atau barangkali mereka sekarang telah mampu membeli mobil dan membangun rumah mewah, karena mereka telah berhasil mengumpulkan dana melalui studi banding ke mancanegara, melalui fasilitas-fasilitas yang mereka tentukan sendiri, bahkan mereka merasa telah mampu mengisi rekening-rekeningnya di bank lebih dari cukup.

Akan tetapi, barangkali sudah saatnya sekarang bagi para anggota DPR dan DPRD selama hampir lima tahun untuk mawas diri. Hal itu disebabkan karena rakyat sering menyaksikan dan melihat ruang sidang yang setengah kosong. Bahkan rakyat sering mendengar dan membaca di media cetak bahwa sebuah komisi baik di DPR maupun DPRD hanya berkenan membahas rancangan undang-undang atau perda asal dibayar. Dan rakyat juga sering mendengar rapat-rapat komisi tersebut diadakan di hotel-hotel berbintang, padahal tempat-tempat untuk keperluan pertemuan-pertemuan tersebut telah disediakan baik di pusat maupun di daerah-daerah lengkap beserta perlengkapannya.

Sampai saat ini tampak sekali para anggota DPR maupun DPRD belum dapat menunjukkan prestasi walaupun kita ketahui bahwa mereka telah dibayar secukupnya. Kelihatannya mereka masih terlalu asyik melayani dirinya dengan fasilitas-fasilitas mewah. Malahan katanya di beberapa daerah pembiayaan dewan menghabiskan sebagian besar anggaran yang sebetulnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi mereka tampak tidak peduli.

Di dalam masyarakat kini banyak beredar cerita yang sangat menarik untuk disimak tentang komersialisasi jabatan politik. Katanya, kalau mau menjadi calon anggota badan legislatif untuk DPR harus membayar sekian ratus juta bahkan miliaran rupiah, dan untuk calon anggota DPRD I dan II puluhan juta rupiah untuk tempat jadi. Di sini, menjadi wakil rakyat dipandang sebagai pilihan business investment dan merupakan kalkulasi penanaman modal.

Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan berdampak terhadap kepercayaan rakyat. Dengan kata lain para anggota DPR dan DPRD akan kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya rakyat akan tidak percaya lagi terhadap demokrasi. Oleh karena itu, tatanan seperti sekarang membuat rakyat tidak tahan lagi menderita, kemudian rakyat akan mencari the strong leader.

Keputusasaan rakyat serta kekecewaannya berakibat mereka kemudian akan mencoba menawarkan slogan-slogan yang berbau radikal ideologis. Kata orang bijak, seorang wakil rakyat adalah ia secara naluri sadar bahwa dengan seluruh dirinya bertanggung jawab atas kemajuan dan keselamatan bangsanya. Mirip seperti seorang ibu yang bertanggung jawab atas anaknya. Oleh karena itu, tanggung jawab wakil rakyat secara prinsipiil tidak ada waktu kerja keras terbatas, tidak punya waktu luang, tidak dapat cuti, dan tidak bisa disogok.

Di sini, para wakil rakyat yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan selama lima tahun diharapkan secara sadar, jujur, dan berani membenahi diri dan mampu mengembalikan moralitas berpolitik. Dengan kata lain, sadar melayani rakyat, ditempatkan di tempat tertinggi, dan itu harus merupakan kebanggaan dan sekaligus kebahagiaan tersendiri, dan hal ini, menuntut komitmen atas dirinya seratus persen. Lebih dari itu mereka juga harus mampu membawa rakyat keluar dari kemelut krisis dan membawa mereka untuk dapat membangun kembali kehidupan masa depannya jauh lebih baik.

Bukan rakyat tidak setuju para wakil tersebut memperoleh fasilitas yang baik. Yang diharapkan oleh rakyat bahwa para wakilnya yang duduk di lembaga DPR ataupun DPRD dapat memberikan contoh hidup yang bermoral, rajin melakukan tugas mereka, mengisi waktu luang dengan membaca semua informasi dan mempelajari semua keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan tugasnya.

Pengalaman selama 32 tahun Soeharto berkuasa memang KKN menjadi acuannya. Hal itu pasti tidak mudah untuk dikikis habis. Walaupun demikian, kini sudah tiba saatnya negara kita dipelopori DPR dan DPRD secara bersama-sama bertekad mengikis habis KKN dan keluar dari kabut tebal korupsi, komersialisasi, inkompetensi, kemalasan, dan ketidakjujuran.

Tugas utama wakil rakyat tidak lain dan tidak bukan besarnya seperti raksasa. Hal itu disebabkan semuanya adalah masalah bangsa, yang pada saat ini masih belum dapat diatasi. Semua masalah tersebut di atas hanya mungkin ditanggulangi apabila lembaga-lembaga perwakilan rakyat baik di pusat dan di daerah-daerah bertekad memelopori pembaruan moral publik, yaitu memberantas korupsi, gurita yang selama ini menjerat bangsa ini harus segera dihabisi.

Pada saat sekarang bangsa Indonesia sedang memerlukan wakil-wakil rakyat yang berani memelopori moral, dengan rendah hati, dan bangga dengan kemampuannya memajukan bangsa. Ketika kata kemanusiaan pada saat ini hampir-hampir sirna, dengan adanya gejolak di berbagai daerah di Indonesia, saat orang-orang saling bertikai. Alasan kemanusiaan hanya dipakai untuk menyelamatkan kasus-kasus korupsi kelas kakap, sebaliknya kemanusiaan untuk wong cilik yang jumlahnya ratusan juta akibat perbuatan korupsi, malah mereka dilupakan.

Padahal pemeo hukum mengatakan mercy to the criminal, cruelty to the people (mengampuni penjahat merupakan kekejaman terhadap rakyat), atau pardoning to the bad is injuring the good (mengampuni yang jahat adalah mencelakakan yang baik). Khilgaard dalam bukunya A Political Guide to Cure and Prevention menyatakan, Many anti-corruption effort fail because they take an exclusively legalistic approach (banyak upaya pemberantasan korupsi gagal karena menggunakan pendekatan legalistik semata-mata).

Tampaknya di negara kita seratus persen masih menggunakan pendekatan legalistik baik itu kejaksaan, pengadilan, maupun para pengacara. Akibatnya, banyak sekali kasus korupsi kelas kakap dibebaskan. Kalaupun dihukum, dituntut sangat ringan, dengan alasan tidak cukup bukti.

Andai kata kita mau belajar dari Hong Kong, maka negara kita akan bersih dari korupsi. Kalau kita telusuri kembali, sebetulnya Hong Kong pada kurun waktu 1970-an termasuk salah satu negeri yang paling korup di dunia. Akan tetapi pada saat ini Hong Kong adalah salah satu negeri yang paling bersih dari KKN.

Padahal, saking korupnya Hong Kong pada tahun 1970-an ada lelucon bahwa orang Hong Kong hanya dapat memilih salah satu dari tiga opsi. Pertama, get on the bus, i.e if you wish to accept corruption, join us (bergabunglah bersama kami para koruptor di dalam bus jika Anda mau menerima korupsi).

Kedua, never stand in front of the bus, i.e. if you try to report corruption, the bus will knock you down, and you will be injured or even killed or your business will be ruined, we will get you some how (Jangan pernah berdiri di depan bus jika Anda mencoba melapor tentang korupsi, bus akan menabrak Anda dan Anda akan terluka bahkan tewas atau bisnis Anda akan runtuh, dan kami akan menemukan Anda bagaimanapun).

Ketiga, run alongside the bus (Jika Anda menolak menerima korupsi, itu tidak apa-apa asal tidak turut campur).

Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana caranya Hong Kong mampu memberantas korupsi yang sudah menggurita itu? Pertama-tama, para elite politik baik yang ada di lembaga legislatif maupun eksekutif bersama-sama dengan lembaga yudikatif sepakat dan mufakat untuk mengejar para koruptor dengan mempergunakan modus operandi pembuktian terbalik selain melalui pendekatan legalistik. Kedua, melakukan pemberantasan korupsi dengan frying big fish (menggoreng ikan kakap) lebih dahulu. Dengan kata lain, para koruptor kelas kakap yang digarap lebih dahulu, bukannya dengan alasan kemanusiaan dan dicarikan berbagai cara meringankan bahkan mengampuni mereka. Ketiga, menciptakan suatu lembaga baru yang independen dalam pemberantasan korupsi yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang berbobot serta memiliki kepemimpinan yang nekat dan berani seperti KPK sekarang ini.

Oleh karena itu, apabila para anggota DPR yang terhormat bertekad menyelesaikan korupsi demi nusa bangsa, sudah saatnya sekarang secara serius menyelesaikan rancangan UU Tipikor.



Oleh Dr Hadi Soebadio SH, MA, Rektor Universitas Pramita Indonesia