Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang)
Terasakah ada kecenderungan masyarakat kita ke arah sufistik? Ada gejala sufi merembet ke kalangan orang sukses. Suifisme masuk ke kalangan mereka yang telah meraih posisi penting baik dalam kekuasaan formal seperti kekuasaan birokrasi dan kekuasaan ekonomi. Itu yang mengejutkan. Tapi, ini cocok dilihat dari sisi psikologinya bukan dari sisi kesufiannya. Dari sisi psikologi, sesungguhnya orang itu ingin kepuasan. Tatkala sudah puas satu bidang kan ingin puas pada bidang lain. Ternyata dengan raihan-raihan selama ini kan kepuasan tidak selesai karena itulah lalu kemudian mereka ingin kepuasan di bidang lain. Tatkala dia ingin kaya sudah kaya dan ingin berkuasa sudah berkuasa. Kemudian mereka ingin mendekat ke agama. Lalu kemudian ada yang nampani seperti ESQ, kegiatan kegiatan masjid, sehingga persoalannya adalah tambahnya ukuran-ukuran elite baru. Kalau dulu orang itu di anggap hebat kalau punya jabatan dan ekonomi yang cukup, sekarang ternyata ada variabel baru lagi ialah spiritual. Orang kalau di tanya dari mana dan jawabnya dari umrah, itu kan sepertinya terasa elite.
Ada yang menganggap ini adalah gejala budaya yang cenderung konsumerisme agama?
Makanya itu kan tadi sudah bilang jika hal itu menjadi simbol baru. Sebab, kalau orang itu belum sukses di bidang kekuasaan atau dalam ekonomi kan tidak ikut. Karena itu, menurut saya lebih cenderung pada variabel psikologis.
Bukan sekedar pelarian?
Agama itu sesungguhnya ukurannya bukan dari manusia. Agama itu kan punyanya hanya ikhlas. Orang kan bisa aja berbuat apa pun tetapi kan yang dinilai hanya dari sisi keikhlasannya atau dari sisi hatinya. Sebab, adakah agama diuntungkan? Kita harus membedakan antara agama dan organisasi agama. Kalau di katakan pada tataran agama dalam pengertian agama yang murni, ya puncaknya ikhlas. Berbeda dengan organisasi keagamaan yang cenderung ideologis. Jika ideologis pasti di dalam itu ada menang kalah, subjektifiitas, irasional, dan lain sebagainya. Apalagi kalau dimaknai agama dengan keberpihakan dalam bidang politik, maka akan lebih parah lagi. Kalau misalnya ada kekerasan mengatas namakan agama itu sebenarnya bukan membela agama tapi membela organisasi agama. Mereka tidak bisa membedakan antara agama dan organisasi agama dan agama sudah masuk pada wilayah politik
Tapi, orang yang belum mapan syari’ahnya kemudian terjun ke tasawuf kan bisa tersesat?
Menurut saya agama itu pintunya jangan hanya tauhid dan fikih saja. Kalau kita berbicara tentang tauhid, coba ujung-ujungnya tauhid itu apa? Orang kan pasti memasukkan pada bab syirik, munafik, mukmin, muslimin, kafir, zindiq dan lain sebagainya. Tatkala kita bicara tentang tauhid ini ujung-ujungnya memposisikan orang pada kelompok kafir, munafik muttaqin. Tatkala orang lalu dimasukkan pada kelompok tertentu, orang marah. Bicara fikih juga ujung-ujungnya begitu, halal, haram, makruh, mubah, sunnah lalu ada bid’ah. Itukan persoalan fikih saja. Karena itulah menurut saya, setelah saya renungkan, perlu ada pintu alternatif untuk masuk Islam. Tatkala bicara Islam tidak dimulai dari tauhid, fikih, tasawuf, akhlaq, tarikh tapi dimulai dari cinta kasih, dimulai dari ikhlas, tanggung jawab, dimulai dengan amal shaleh lalu memohon kepada Allah.