13/12/2007 15:45
Harga Beras Alami Kenaikan 1,53%
Inilah.com, Jakarta - Harga beras pada awal Desember 2007 mengalami kenaikan sekitar 1,53% dibanding periode yang sama bulan November 2007.
"Memang terlihat pergerakan kenaikan harga beras," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan, untuk memantau perkembangan harga beras, pemerintah melakukan pengamatan intensif secara harian.
Hingga Rabu (12/12), memang terlihat pergerakan kenaikan harga beras. Rata-rata harga beras nasional di 32 kota di Indonesia mencapai Rp5.143/kg untuk seluruh jenis.
"Sementara rata-rata November 2007 adalah Rp5.061/kg. Ini berarti harga pada Desember 1,53% lebih tinggi dibanding November 2007," katanya.
Kalau dilihat lebih dalam di Pasar Induk Cipinang Jakarta, misalnya untuk IR-3 (beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat miskin) rata-rata pada Rabu (12/12) adalah Rp4.600/kg.
"Itu berarti naik agak tinggi sekitar Rp400 per kg dibandingkan tanggal 1/12. Jadi dibanding awal bulan ke 12/12 naik Rp400/kg," katanya.
Menurut Bayu, berdasar pengamatan dan koordinasi dengan instansi lain, faktor pnyebab kenaikan antara lain adalah masalah transportasi karena gangguan cuaca, gelombang tinggi di laut, dan sebagainya.
Juga karena berkurangnya pasokan beras impor pada pada beberapa bulan ini.
"Secara khusus saya melihat ada beberapa daerah yang mengalami kenaikan yang cukup tinggi seperti Pekanbaru (kenaikannya sekitar 8%), Medan (4,8%), dan Banjarmasin (5,7%). Itu rata-rata per Desember dibanding November, untuk seluruh jenis beras," katanya.
Menurut Bayu, pemerintah sudah menyiapkan langkah mengatasi kenaikan harga beras agar tidak berlanjut.
"Pemerintah tetap menganggap stabilitas harga pangan pokok, khususnya beras adalah prioritas. Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah yang akan menstabilkan harga," katanya.
Langkah itu adalah melaukan operasi pasar khusus (OPK) menggantikan atau mengikuti Raskin. APBNP 2007 tidak lagi menyediakan anggaran tambahan subsidi sehingga program di sejumlah daerah hanya untuk 11 bulan saja.
"Pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan OPK, pendekatan operasi pasar dari cadangan beras pemerintah dengan sasaran rumah tangga miskin penerima raskin," katanya.
Hingga saat ini tercatat 18 propinsi yang akan dan sedang melaksanakan OPK dengan target RT miskin. Total beras yang akan disalurkan 150.000 ton.
Langkah lainnya adalah pelaksanaan operasi stabilisasi harga, utamanya difokuskan di Jakarta dan Medan, tetapi akan diperluas juga ke daerah lain, terutama menjelang Natal dan Tahun baru.
"Angkanya tidak dibatasi tergantung kondisi stabilisasi harganya," katanya.
Menurut dia, pemerintah juga meminta Perum Bulog untuk melaksanakan tugas stabilisasi harga.
"Stok Bulog sekarang masih sangat banyak sekitar 1,6 juta ton," katanya. [Ant/L1]
----------------------------------------------
12/12/2007 00:34
Impor Beras Berarti Belum Swasembada
Inilah.com, Jakarta - Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah hingga saat ini masih diartikan bahwa Indonesia belum swasembada.
Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Ali Muso mengatakan hal itu. "Impor beras diartikan Indonesia belum swasembada," katanya. Dia berbicara dalam "Dialog Kebangsaan: Mampukah Indonesia Swasembada Beras 2008" yang diselenggarakan Agriculture Policy Institute di Unversitas Paramadina, di Jakarta, Selasa malam.
Ia mengatakan, produksi beras sejak dua tahun lalu sudah lebih dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi.
Pada kesempatan itu ia tidak merinci produksi beras selama dua tahun terakhir itu.
Tetapi, katanya, kelebihan produksi itu masih belum mampu memenuhi kebutuhan cadangan pangan secara aman sehingga masih harus impor beras. Cadangan beras yang aman sekitar dua juta ton.
Produksi beras tahun 2007 sekitar 57 juta ton gabah kering giling (GKG) yang artinya lebih satu juta ton.
"Ada kelebihan satu juta ton maka `distop` dulu impor untuk cadangan, tahun 2007 ini kita mengejar dua juta, sampai sekarang baru mendekati dua juta ton," katanya.
Dirut Perum Bulog, Mustafa Abu Bakar mengatakan, rencananya selama tahun 2007 pihaknya mengimpor sekitar 1,5 juta ton, tetapi hingga saat ini baru terlaksana sekitar 1,2 juta ton.
"Yang tiga ratus ton masih diparkir di luar," katanya.
Pihaknya, kata Mustafa, mengutamakan pengadaan beras dari dalam negeri. Impor beras hanya dilakukan sebagai pelengkap kekurangan cadangan agar aman. [Ant/I2]
----------------------------------------------------------------
03/09/2008 07:03
Mentan Bantah Belenggu Pangan Impor
Anton Apriyantono
(inilah.com/pandie)
INILAH.COM, Jakarta - Pemerintah membantah pernyataan sejumlah kalangan terkait ketergantungan nasional terhadap komoditas pangan impor.
Menteri Pertanian, Anton Apriyantono menyatakan pendapat para pakar tentang ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat besar tidak tepat. Pasalnya, produksi komoditas pangan sudah bisa dipenuhi dari dalam negeri. "Impor hanya dilakukan untuk produk yang tidak bisa diproduksi di Indonesia seperti komoditas yang hanya ada di negara-negara sub-tropis. Tak mungkin semua produk dihasilkan di dalam negeri," tandasnya.
Sebelumnya, sejumlah pengamat mengatakan Indonesia sudah terjebak dalam perangkap pangan negara-negara maju. Hal itu terbukti dari ketergantungan tujuh komoditas pangan utama non-beras terhadap produk impor. Dari tujuh komoditas tersebut, empat di antaranya, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, dinyatakan sudah masuk kategori kritis.
Mentan mengakui, masih ada sejumlah komoditas pangan yang masih tergantung impor. Di antaranya gandum, kedelai, dan daging sapi. Namun, jumlahnya tidak terlalu tinggi.
Mentan menegaskan, hampir semua negara tergantung pada perusahaan multinasional (Multinational Corporations/MNC). Sebut saja, Thailand yang sudah dinobatkan sebagai negara dengan sektor pertanian yang maju, masih tergantung pada MNC. Benih jagung yang diproduksi secara massal di Thailand juga merupakan 'warisan' dari perusahaan multinasional.
Mentan mengungkapkan, sejumlah sektor pertanian nasional tidak lebih buruk dibandingkan negara lain. Bahkan, Indonesia termasuk kategori unggulan dunia untuk sejumlah komoditas pertanian seperti sawit, kakao, dan karet.[L5]
-----------------------------------------------------
02/09/2008 21:13
Pemerintah Tak Tegas Soal Gula
(inilah.com/Bayu Suta)
INILAH.COM, Jakarta - Pemerintah harus menegakkan hukum sebagai kunci penanganan masalah merembesnya gula rafinasi di pasar eceran.
"Persoalan gula nasional saat ini bukan sepenuhnya masalah ekonomi tetapi lebih pada masalah buruknya penegakan hukum," ucap Direktur Institute for Development Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, Selasa (2/9), di Jakarta.
Selama ini pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam kebijakan sektor pergulaan. Hal itu tercermin dari celah pelanggaran dari peraturan yang diterbitkan.
Persoalan rembesan gula rafinasi belakangan mengemuka menyusul protes Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) karena gula impor yang seharusnya untuk keperluan industri beredar di pasar eceran.
APTRI menilai merembesnya gula rafinasi mengakibatkan petani gula dan perusahaan perkebunan tebu mengalami kerugian.
APTRI menggugat Surat Keputusan Mendag Nomor 527 tahun 2004 tentang tata niaga gula yang menetapkan gula kristal putih untuk konsumen dan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman.
Menurut Fadhil, kalau sesuai ketentuan gula rafinasi tidak dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga mengapa komoditas tersebut masuk hingga ke pasar tradisional maupun pasar modern. "Pemerintah tahu pihak atau perusahaan yang menjadi importir. Penegakan hukum harus diarahkan ke sana (importir). Itu sudah cukup," tandasnya.
Sesuai data APTRI, kini terdapat 1,9 juta ton gula rafinasi yang diimpor oleh pabrik gula rafinasi, dan 685.000 ton gula rafinasi diimpor oleh industri makanan dan minuman.
Sementara produksi petani mencapai sekitar 2,9 juta ton ditambah sisa 2007 sebanyak sekitar 1,3 juta ton. Adapun kebutuhan nasional mencapai 4,1 juta ton.[L5]
----------------------------------------------------------
02/09/2008 15:57
BUMN Genjot Produksi Pupuk NPK
INILAH.COM, Jakarta - BUMN sektor industri pupuk mesti didorong untuk menggenjot produksi pupuk majemuk NPK (nitrogen-phospat-kalium). Peningkatan produktivitas pupuk itu untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.
"Jika pemerintah meminta BUMN Pupuk meningkatkan produksi NPK, itu siap saja karena selama ini sejumlah BUMN sudah memproduksinya," kata Sekretaris Menneg BUMN, Muhammad Said Didu, Selasa (2/9), di Jakarta.
Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla menginstruksikan, perusahaan pupuk membangun sedikitnya satu unit pabrik NPK yang diharapkan beroperasi serentak pada 2011.
Lima BUMN pupuk yang diwajibkan membangun pabrik pupuk NPK yaitu Pupuk Sriwidjaja, Pupuk Kalimantan Timur, Petrokimia Gresik, Pupuk Iskandar Muda, dan Pupuk Kujang Cikampek.
Menurut Said Didu, saat ini dari lima BUMN Pupuk, baru dua yang sudah memproduksi NPK yakni Pupuk Kalimantan Timur dan Petrokimia Gresik. Sedangkan selebihnya hanya memproduksi urea. Total investasi untuk membangun sedikitnya lima pabrik NPK diperkirakan US$ 125 juta-150 juta.
Sesuai data Departemen Pertanian, pada 2008 pemerintah akan menyalurkan pupuk urea bersubsidi sekitar 4,30 juta ton. Sementara hingga Juli 2008 telah disalurkan 2,54 juta ton.
Sedangkan penyaluran pupuk NPK ditargetkan mencapai 900.000 ton, dengan realisasi penyaluran hingga Juli sebesar 522.024 ton. Adapun penyaluran pupuk ZA, sudah terealisasi 452.803 ton dari target 700.000 ton.[L5]
------------------------------------------------------------