September 16, 2008

Selasa 09 September 2008

Cultuur Stelsel ( Tanam Paksa )

Penderitaan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya untuk merdeka memang luar biasa, selain harus mengorbankan nyawa, secara ekonomi-pun rakyat Indonesia harus menanggungnya. Penindasan kaum penjajah Belanda seolah tidak pernah berakhir, berbagai cara diterapkan kaum penjajah untuk mengisi kas pemerintahannya yang telah kosong akibat sering terjadinya perang melawan kaum pribumi, diantaranya adalah sistem Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa yang diterapkan kepada seluruh kaum pribumi yang memiliki tanah perkebunan.

Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.

Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa ( Kopi, Tebu dan Nila ). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.

Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831 - 1871Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.

Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.

Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.

Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.

Akibat berbagai kelaparan yang menimpa hampir seluruh penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul Multatuli atau Dr. Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Pada tahun 1870, kaum liberal di Belanda berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

Dampaknya bagi kaum pribumi adalah semakin meluasnya kemiskinan, sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Dr. Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860, dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

sumber dari wikipedia indonesia

Selasa 02 September 2008

Perang Paderi

Perlawanan bangsa Indonesia pada saat zaman penjajahan memang tidak pernah berhenti, dan terjadi di seluruh bagian negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Salah satunya adalah Perang Paderi yang meletus di Minangkabau, Sumatera Barat.

Pada awalnya, Perang Paderi hanya melibatkan kaum Paderi melawan Belanda, namun akhirnya melibatkan seluruh masyarakat Miangkabau.

Perang Paderi dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, yang bernama asli Muhammad Shahab yang dilahirkan di Bonjol, Pasaman pada tahun 1772. Beliau wafat dan dimakamkan di Lotak, Minahasa sewaktu dalam pengasingannya. Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837, yang berbarengan dengan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Gerakan Paderi adalah gerakan untuk menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.

Perang Paderi ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.

Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.

Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

Pada awal perang, Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van der Capellen di Batusangkar.

Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Haji Be Di Bonjol dengan pertahanan enam meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit.

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.

Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang ( 1833 ) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.

Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.

Residen Belanda mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tapi perundingan tidak terlaksana. Tuanku Imam Bonjol yang datang menemui panglima Belanda untuk berunding, malah ditangkap dan langsung dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan ke berbagai daerah hingga meninggal dunia di Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.

Perang Paderi yang dipimpin Imam Bonjol jelas menyisakan berbagai masalah bagi Belanda, karena pada saat itu Belanda juga sedang terlibat perang dengan pengikut Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa antara tahun 1825 sampai dengan 1830. Hanya dengan usaha yang licik, akhirnya Belanda mampu menghentikan Perang Diponegoro dan Perang Paderi.

sumber dari wikipedia indonesia

Selasa 19 Agustus 2008

Senjata Tradisional Indonesia

Selain sejarahnya, Indonesia juga terkenal kaya dengan beragam jenis potensi alam dan juga budayanya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mungkin beribu jenis budaya masih tetap hidup di seluruh daerah, mulai dari tarian akan alam, tarian perang sampai kepada tarian seni budaya biasa, begitu juga dengan berbagai macam jenis senjatanya.

Nah, yang saya catat ini hanya beberapa saja dari berbagai jenis senjata tradisional Indonesia diantaranya adalah :

Kujang
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke 8 atau ke 9 yang terbuat dari besu, baja dan bahan pamor dengan panjang sekitar 20 sampai dengan 30 centimeter dan beratnya kurang lebih sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para Raja, Prabu Anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot ( orang yang dituakan )

Keris
Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut.

Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Jawa, Madura, Bali/Lombok, Sumatra, Kalimantan serta Sulawesi, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao). Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meskipun juga merupakan senjata tikam.

Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda.

Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti Keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.

Mandau
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Berbeda dengan arang mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.

Menurut literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikai, Samba, Kotawaringin Timur.

Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan.

Rencong
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong termasuk dalam kategori Belati (bukan pisau ataupun pedang).

Rencong memiliki tingkatan; untuk Raja atau Sultan biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya.

Selain yang diatas, kita juga mengenal berbagai jenis senjata lainnya seperti Clurit ( Madura ), Parang, Bedog ( Jawa Barat ), Badik Jawa, Badik Sumatera, Badik Bugis, Beladau (Sumatera Utara), Siwah ( Aceh ), Sundu ( NTT ), Pasatimpo ( Sulteng ), Kalawai ( Maluku )dll.

Senin 11 Agustus 2008

Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI )


Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia memang sangatlah panjang, perjuangan para pendahulu negeri ini seolah tak mengenal lelah dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa serta kehormatan ibu pertiwi dari cerngkeraman para penjajah, mereka bagaikan patah tumbuh hilang berganti, seperti yang terjadi saat terjadi aksi Agresi Militer Belanda yang ke II, dimana pada saat itu Belanda melancarkan serangannya secara mendadak ke ibukota Republik Indonesia saat itu di Yogyakarta, dan berhasil menahan para pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta dan Syahrir.

Saat itulah, Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang menjabat Menteri Kemakmuran dan saat itu sedang berada di Bukittinggi, mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Selatan pada 22 Desember 1948, dan berusia hanya beberapa bulan saja, tepatnya sampai dengan 13 Juli 1949.

Ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.

Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.TM. Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Daubroto, Direktur BNI Mr. A Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
  • Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
  • Mr. St. Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
  • Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
  • Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.

Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948, Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
  • Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
  • Mr. AA Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
  • dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
  • Kyai H. Maskur, Menteri Agama.
  • Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
  • Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
  • Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
  • Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Sementara para Pejabat di bidang militer:

  • Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
  • Kolonel AH. Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
  • Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
  • Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
  • Komodor Udara Humbertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
  • Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Kemudian pada 16 Mai 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

  • Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
  • R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain itu dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan LN. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.

Walaupun usia Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) hanya berusia pendek, namun hal itu sangatlah besar artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia, karena disaat pemerintahan resmi tidak berjalan karena Agresi Militer Belanda, Indonesia tetap mempunyai pemerintahan yang siap dalam memperjuangkan haknya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Jadi tidak ada ke-vakum-an dalam pemerintahan.