September 26, 2008

tempo

Wawancara

KH Sahal Mahfudh:
Kita Majemuk, Kaya Budaya dan Tradisi

DIA ulama yang punya otoritas tertinggi di negeri ini. Dua jabatan penting sekaligus diembannya: Rais Aam Syuriah Nahdlatul Ulama dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Kiai Haji Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh menguasai berbagai kitab fikih klasik. Dia bahkan telah menelurkan beberapa buku fikih dan dikenal sebagai orang yang mempopulerkan fikih sosial.

”Romo Kiai”—begitu santrinya biasa memanggil—adalah orang yang konsisten memandu Nahdlatul Ulama sesuai dengan Khittah 1926. Itu sebabnya ia masygul ketika sebagian besar pengurus Nahdlatul Ulama terjun ke politik praktis. ”Praktek khittah di NU sekarang sedang macet,” kata pengasuh Pondok Maslakul Huda di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, itu.

Kiai Sahal menyentil tindakan oknum pengurus itu lewat mekanisme organisasi. ”Semua orang NU sebenarnya sudah paham gaya saya,” kata penerima gelar doktor honoris causa bidang fikih dari Universitas Islam Negeri Jakarta pada 2003 itu. ”Saya bukan orang yang suka umbar omong,” kata suami Nafisah—atau dikenal dengan Nyai Sahal—anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Tengah, itu.

Pada usia 70 tahun, KH Sahal Mahfudh harus tetap bolak-balik Jakarta-Pati. Namun, selama Ramadan, ia memilih tinggal di pondok untuk mengaji bersama santri, dan menolak bepergian. ”Masak, setahun enggak bisa khatam Al-Quran sekali pun,” katanya.

Ketika Arif Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemuinya, Sabtu pekan lalu, sejumlah santrinya mengatakan sang kiai sedang sakit. Bibir Kiai Sahal memang terlihat mengering dan pecah-pecah. Namun ia mengaku masih fit dan bugar. ”Saya tidak pernah berolahraga. Resepnya mungkin karena makan saya tidak neko-neko,” ujarnya.

Kiai Sahal menerima Tempo di ruang tamu rumahnya yang berisi sofa sederhana dan kipas angin sumbangan santri. Bersarung batik dengan kemeja lengan panjang, pria yang sejak kanak-kanak ditinggalkan ayahnya—KH Mahfudh, wafat dalam tahanan Jepang—ini tidak banyak bergerak selama dua jam wawancara.

Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, bagaimana Anda menyikapi perseteruan antara Front Pembela Islam dan kelompok pembela Ahmadiyah, yang konon sama-sama berasal dari Nahdlatul Ulama?

Front Pembela Islam itu bukan Nahdlatul Ulama. FPI itu didirikan oleh habaib. Jadi, FPI bukan NU, dan amaliahnya berbeda. Wong FPI itu Wahabi kok, sementara NU itu Ahlussunnah Wal Jamaah.

Bukannya Nahdlatul Ulama juga mengakui habaib?

Wahabi itu tidak cocok dengan Indonesia, karena Wahabi hanya mengenal Al-Quran dan sunah. Yang tidak ada dalam Al-Quran dan sunah dianggap sesat. Kalau ini diterapkan di Indonesia, tidak cocok. Kita majemuk, kaya budaya dan tradisi. Sepanjang tidak bertentangan, meski tidak disebut di dalam Al-Quran atau sunah, tidak apa-apa.

Bagaimana dengan sebagian kalangan muda Nahdlatul Ulama yang membela Ahmadiyah?

Mereka membela atas nama hak asasi manusia. Tapi mereka lupa, Ahmadiyah itu mempunyai akidah yang berbeda. Mereka menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ini yang tidak benar. Silakan Ahmadiyah mendirikan agama sendiri, jangan mengaku menjadi bagian dari Islam, karena telah mengangkat pemimpinnya sendiri sebagai nabi. Di negara-negara lain, Ahmadiyah juga dilarang.

Bukankah berkembangnya Ahmadiyah merupakan bentuk kegagalan dakwah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?

Ini bukan kegagalan dakwah NU dan Muhammadiyah, karena keduanya mempunyai target dakwah masing-masing. Mereka sudah ada dari dulu, tapi belum sebesar sekarang. Dari dulu kita memang tidak berdakwah kepada mereka.

Sebagai kiai sepuh, bagaimana Anda melihat sosok Abdurrahman Wahid?

Saya kasihan kepada Durrahman. Saat ini hampir tidak ada ucapan dia yang bersih dari kepentingan orang lain. Ada orang-orang di sekelilingnya yang memanfaatkan dia. Durrahman sudah tidak bisa lagi menjadi dirinya sendiri. Tapi biarkan saja, Durrahman memang susah diingatkan. Kalau diingatkan, malah nantang. Kecuali dipancing diskusi. Jadi, cara mengingatkannya harus dengan berdebat. Kalau kita bisa mematahkan argumentasinya, baru dia akan percaya. Saya pernah melakukannya beberapa kali. Tapi dulu.

Kenapa tidak dilakukan lagi?

Sudah susah. Orang di sekitarnya punya banyak kepentingan (Kiai Sahal menyebut sejumlah nama secara off the record). Itu yang saya tahu.

Bukankah jika Partai Kebangkitan Bangsa terus bergolak, imbasnya akan menyeret Nahdlatul Ulama?

Memang tidak bisa melarang warga NU berpolitik praktis. Makanya, bagi yang ingin bersinggungan dengan politik praktis, harus mundur dari pengurus. Saya sudah berpengalaman karena pernah menjadi pengurus di Pati saat NU jadi partai. Jadi, NU tetap harus bersih dari politik praktis, karena sudah menyatakan kembali ke Khittah NU 1926, yakni NU harus berkhidmat kepada kepentingan rakyat. Meski itu juga susah sekali, bahkan saat ini jadi macet.

Mengapa macet? Karena Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah menjadi calon wakil presiden?

Hasyim itu kan Ketua PNU, Partai Nahdlatul Ulama. Karena hasrat politiknya begitu tinggi, saya sendiri enggak cocok dan enggak sanggup lagi kalau harus bersama dia. Berkali-kali sudah saya ingatkan, tapi tidak digubris. Syuriah memang tak bisa memecat Tanfidziyah. Tidak ada mekanismenya. Akibatnya, sekarang malah banyak pengurus NU di daerah menjadi calon bupati atau wakil bupati. Kalau nanti masa jabatan saya habis, saya enggak mau dipilih lagi. Kalau masih diminta organisasi, saya tidak mau bareng Hasyim lagi.

Mengapa Anda tidak menegur Hasyim?

Waktu dia mau maju sebagai calon wakil presiden, dia kan minta pendapat saya. Saya sudah ingatkan dia untuk mundur kalau mau maju. Tapi dia tidak mau mundur. Dia mau menggunakan massa NU. Waktu kemarin pemilihan Gubernur Jawa Timur, dia juga menemani Khofifah (Khofifah Indar Parawansa, calon Gubernur Jawa Timur yang lolos putaran kedua) membagi-bagi duit ke pengurus NU. Begitu tahu, saya langsung menegur dia lewat Sekretaris Jenderal PBNU. Money politics kok ditunggoni (ditunggui—Red.) Ketua NU. Ini kan sudah kebablasan.

Anda mengaku antipolitik praktis. Tapi istri Anda sendiri kini duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah….

Saya sebenarnya melarang, tapi orang-orang itu terus mendesak. Saya kan tidak bisa melarang orang mencalonkan. Yang mendorong itu banyak sekali, masak tidak ditanggapi? Itu kan amanah juga? Tapi saya sudah bilang kepada istri saya, cukup sekali masa jabatan saja. Saya sendiri cukup repot tidak ada istri di pondok. Banyak soal tidak terurus. Bukannya pondok jadi telantar, tapi kan lain kalau ada istri di pondok.

Bagaimana Anda melihat tragedi pembagian zakat di Pasuruan, yang menyebabkan korban tewas 21 orang?

Sebenarnya tidak harus seperti itu. Zakat yang paling baik itu diantarkan, bukan penerimanya dipanggil. Jadi, si muzaki (wajib zakat) sudah tahu mustahik (penerima zakat) siapa saja yang akan diberi.

Apakah model pembagian zakat seperti di Pasuruan itu dibenarkan?

Boleh sih boleh, tapi tidak utama. Anjuran syariat adalah zakat itu diantarkan. Dengan diantar, akan terseleksi siapa yang benar-benar berhak menerima zakat, dan kejadian berdesak-desakan bisa dihindari. Pembagiannya juga bisa dengan membentuk panitia.

Bukankah pembagian zakat dengan mengundang orang bisa menimbulkan kesan ria bagi si pemberi zakat?

Ya. Dan menimbulkan kesan bahwa umat Islam itu sangat melarat. Masya Allah…. Kalau zakat diantar, hal itu bisa menjaga perasaan si penerima zakat. Sekalipun mereka miskin, tidak harus dipaksa meminta-minta. Sekalipun mereka miskin, mereka juga manusia yang harus dihormati.

Bagaimana dengan sedekah? Sedekah sekarang jadi populer sebagai jalan melipatgandakan rezeki karena janji balasan berlipat dari Allah?

Ada hadis mengatakan bersedekah itu akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipat. Kalau sedekah sepuluh, akan mendapatkan seratus, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Tapi ingat, pahala itu jangan semata-mata dimaknai sebagai uang. Saya selalu mempraktekkannya juga. Misalnya saya bersedekah, selalu saja akan mendapatkan ganti, meski bukan dalam bentuk uang. Misalnya, saya bersedekah, eh... tiba-tiba ada orang memberikan kain kepada saya. Tidak ada ketentuan siapa penerima sedekah. Orang kaya disedekahi juga enggak apa-apa. Menggunakan uang sedekah untuk pelatihan atau pembelian sarana sosial itu boleh. Penggunaan uang zakat dan sedekah harus dipisahkan, karena peruntukannya lain.

Bukankah sudah ada amil zakat? Kenapa masyarakat masih menyalurkan zakatnya sendiri?

Mohon maaf, ya…. Amil yang dibentuk oleh Departemen Agama itu tidak ada yang benar. Mereka tidak mampu dan tidak menguasai persoalan zakat. Mereka itu tidak tahu yang sebenarnya miskin itu apa, fakir itu apa, serta pengertian delapan kelompok penerima zakat. Mereka juga tidak bisa mengelola. Jadi, sukar masyarakat percaya kepada amil zakat. Jangan-jangan zakat itu tidak diberikan kepada yang berhak. Jangan-jangan amilnya lebih banyak menerima bagiannya. Itu keraguan yang muncul.

Bukankah banyak lembaga zakat swasta? Pilihannya tidak hanya satu amil saja?

Amil itu banyak syarat dan ketentuannya. Dan harus diangkat oleh pemerintah. Di mana-mana, amil itu yang membentuk pemerintah. Orang tahunya amil adalah orang yang membagi-bagikan zakat. Padahal amil itu mengelola zakat. Jadi, harus tahu zakat itu bagaimana, siapa yang berhak menerima, bagaimana penyalurannya.

Adakah contoh amil yang bagus di luar negeri?

Banyak. Misalnya di Malaysia dan Arab Saudi. Mereka benar-benar mengetahui siapa yang berhak menerima zakat. Mereka menggunakan data kependudukan untuk mengetahui siapa saja yang paling berhak menerima zakat.

Beberapa lembaga amil mengambil uang zakat untuk pengkaderan para petugas amil. Seberapa bagian amil dari zakat?

Zakat itu bisa dibagikan kepada amil juga. Tapi uang zakat tidak bisa digunakan untuk pelatihan. Bahwa setelah menerima bagian zakat, si amil akan menggunakannya untuk pelatihan, itu tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu, sebelum dibagikan kepada yang berhak, zakat dipotong untuk menyelenggarakan pelatihan. Mustahik itu cuma delapan. Tidak ada ketentuan untuk pelatihan.

Bagaimana kalau zakat digunakan untuk pemberian beasiswa atau ambulans gratis atau modal usaha?

Saya tanya, itu (mobil ambulans) masuk asnaf (kelompok penerima zakat) yang mana? Asnaf itu cuma delapan. Jangan ditambah-tambah. Zakat boleh dikelola untuk hal-hal lain, asalkan sebelumnya diterimakan dulu kepada yang berhak.

Salah satu tujuan zakat adalah mengubah mustahik menjadi muzaki. Itu sebabnya zakat harus dikelola profesional untuk mengentaskan si miskin?

Tidak ada tujuan zakat semacam itu. Itu kan pikiran orang sekarang saja? Di kitab fikih tidak ada.

Jadi, zakat tidak berfungsi memperbaiki kesejahteraan umat?

Zakat itu kewajiban orang yang punya duit untuk diberikan kepada yang berhak. Apakah penerima perlu tahu bahwa yang diterimanya adalah uang zakat? Tidak perlu. Setelah dibagikan, penggunaannya terserah si penerima.

Bukankah kalau zakat diberikan dalam bentuk uang masing-masing Rp 30 ribu hanya akan habis dimakan? Lain halnya kalau dikelola untuk modal kerja?

Diterimakan dulu kepada yang wajib menerima. Bahwa setelah itu akan dikelola dalam bentuk lain, silakan. Kalau yang dibagikan itu bisa untuk modal usaha, itu lebih baik, tapi kalau masing-masing menerima hanya Rp 30 ribu, bisa untuk modal apa?

Kenapa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi ulama, yang tentu banyak ahli fikihnya, tidak membentuk amil agar pengelolaan zakat bisa optimal?

Nahdlatul Ulama tidak mendirikan amil. NU hanya mengupayakan bagaimana cara berzakat yang benar.

Penelitian Universitas Islam Negeri Jakarta menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia per tahun mencapai Rp 20 triliun. Tapi hanya tujuh persen yang masuk ke lembaga amil. Kalau banyak lembaga amil, tentu potensi zakat bisa optimal….

Amil itu lembaga resmi yang harus dibentuk oleh pemerintah. Jadi tidak mudah menamakan diri sebagai amil. Bayangkan, kalau tidak dibentuk resmi oleh pemerintah, bisa-bisa satu kampung terdapat puluhan amil. Inilah salah kaprahnya. Orang yang membagikan zakat dikira amil, padahal dia cuma panitia zakat.

Lantas apa makna sosial diwajibkannya zakat ?

Makna sosialnya bermacam-macam. Bisa menimbulkan kepedulian sosial, bisa menjadikan orang yang sebelumnya sebagai penerima zakat kemudian menjadi wajib zakat. Yang jelas, jangan sok punya pikiran zakat itu untuk membuat orang menjadi kaya. Sebab, menjadi kaya itu urusan Allah.

Sejauh mana aturan fikih zakat itu harus berdampak pada kehidupan sosial?

Sebetulnya, fikih itu tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat. Misalnya menemui tamu itu fikih. Jika tamu mau pulang, kita mengantarkannya sampai ke pintu, atau ke kendaraan, itu juga diajarkan fikih. Itu bukan sekadar adab, tapi juga diatur dalam fikih, dan ada pahalanya. Cuma, orang tidak tahu bahwa itu ibadah. Jadi, fikih itu tidak hanya mengatur salat, puasa, zakat, dan haji….

Apa sebetulnya makna fikih?

Fikih adalah ilmu tentang segala amaliah perbuatan manusia. Jadi, semua bisa menjadi urusan fikih. Karena itu, menurut saya, fikih itu jangan dijadikan lembaga legalitas formal yang hanya berbicara soal halal-haram. Fikih harus dijadikan etika sosial. Setiap kali kita melakukan sesuatu, harus dilandasi niat fikih, sehingga akan berpahala.

Bukankah selama ini ada pelembagaan fikih secara formal, misalnya ada lembaga fatwa di Majelis Ulama Indonesia?

Maksud saya, di samping dijadikan lembaga formal yang menentukan halal-haram, juga sebagai etika sosial. Sebagai legalitas formal dalam arti halal-haram tetap perlu, misalnya tentang salat dan zakat.

Sebagai pengasuh pesantren, Anda menginginkan santri seperti apa?

Cita-cita saya hanya satu, mempunyai santri yang saleh. Saya tidak pernah menginginkan santri yang pandai. Buat apa pandai kalau tidak saleh? Sebaliknya, lebih baik bodoh tapi saleh.

KH MOHAMMAD AHMAD SAHAL BIN MAHFUDH

Tempat dan tanggal lahir; Kajen, Pati, 17 Desember 1937

Pendidikan:

* Ibtidaiyah Mathaliul Falah, Kajen, 1949
* Tsanawiyah Mathaliul Falah, Kajen, 1953
* Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri, 1957
* Pondok Pesantren Sarang, Rembang, 1960
* Belajar di Mekah di bawah bimbingan Syekh Yasin al-Fadani, 1960

Karier:

* Guru Pesantren Sarang, Rembang, 1958-1963
* Guru Pesantren dan Pengasuh Pondok Maslakul Huda, Kajen, 1963-sekarang
* Dosen Syariah di Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 1982-1985
* Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara, 1989-sekarang
* Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 1999-sekarang
* Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2000-sekarang

----------------------------


pinggir catatan:
Ulysses

ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya Margaret Anderson.

Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru.

Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sendiri.

Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….”

Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….”

Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya.

Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor pertama majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan psikoanalisis—hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid.

Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, diusir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalahnya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat, dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif dalam gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi. Kedua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan The Little Review dengan memindahkannya ke New York. Seraya membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tempat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat sejarah.

The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudian jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein…. Sejak awal, Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di London, dan dari Eropa AndrĂ© Breton dan Jean Cocteau mengirimkan tulisan mereka.

Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya.

Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang ”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial.

Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya sendiri di tepi Danau Michigan, sampai dengan ketika ia berani menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918.

Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732 halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan dengan epos Yunani kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah tentang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen Daedalus dan Leopold Bloom.

Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf seakan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—mungkin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga para profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang saya maksud”.

Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan kearifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat,” kata Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor.

Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”. Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppression of Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan, dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu.

Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihukum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100. The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa depan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”moralitas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—dan melanjutkan The Little Review di Eropa.Ulysses juga telantar. Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris, seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, diam-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di tepi Sungai Seine, ”Shakespeare and Co”.

Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan. Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu beredar. Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit syahwatnya karena Ulysses.

Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang dibawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”moralitas” itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan libido diri sendiri.

Goenawan Mohamad
-------------------------------------

Laput:
Merindukan Rumi di Iskandarsyah
Tasawuf masuk kota. Dan mereka mengingatkan kita pada kursus-kursus body language, bahasa Inggris tiga bulan lancar, dan sejenisnya. Ada pelatihan salat khusyuk, lokakarya tiga jam untuk mengalami hakikat syahadat tanpa tarekat, dan masih banyak lagi. Instan dan penuh perhitungan bisnis, memang. Namun ada pula yang bergeser menikmati tasawuf lebih mendalam, tak cuma ”kulit luar”-nya, tapi lewat tarekat.

NAMANYA Rumi Cafe. Berlokasi di Jalan Iskandarsyah yang mengarah ke Kemang, kawasan elite di Jakarta Selatan, ia diharapkan menjadi tempat hangout terbaru untuk kaum belia Ibu Kota. ”Saya berniat menjerat anak muda masuk surga,” kata Arief Hamdani, Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia, sembari tertawa.

Rumi Cafe memang bukan seperti kafe biasa. Tempat ini tidak menyediakan minuman beralkohol. Namun nuansa tenang dan damai langsung menyapa siapa saja yang datang. Hot spot ini digadang-gadang Arief sebagai tempat bertemu, berdiskusi, sekaligus menikmati sema atau whirling dervishes, tarian sufi yang berputar-putar itu, yang diperkenalkan Jalaluddin Rumi, sufi agung abad ke-13.

Kafe kaum spiritualis ini menempati sebuah rumah toko berlantai dua. Dinding interiornya dicat abu-abu tua. Sejumlah buku dan foto tokoh sufi, termasuk Rumi, dipajang berjajar di etalase. Begitu hendak menaiki tangga, ups, ada manekin pria berbusana whirling dengan topi khas, sorban, dan jubah hitam. Setiap akhir pekan, di sini dipera­gakan tari whirling. ”Siapa pun yang terjebak macet pasti ingin tahu sajian kami,” kata Arief.

Rumi, whirling, tasawuf? Inilah gejala sosial yang pada Ramadan ini kian marak: sufi perkotaan. Tak usah berburu jauh-jauh ke Bagdad atau Istanbul untuk asyik-masyuk dengan dunia kaum sufi yang menjanjikan kedamaian dan cinta ini. Cukuplah nikmati cara baru berzikir dan ”mencari Tuhan” di Jakarta. Ini tentu saja tak lepas dari gaya hidup para eksekutif, konsumen utama gejala urban ini.

Coba lihat di Padepokan Thaha atau Majelis Taklim Misykatul Anwar di Jalan Senopati, Jakarta. Di situ, pekan lalu, Anand Krishna menyampaikan pikirannya tentang sufisme dewasa ini. Di dalam ruangan 10 x 10 meter persegi yang penuh pendengar serius, penulis puluhan buku spiritual itu ber­ujar, ”Sufi harus berani hadir ke pasar, ke market place.” Malam itu, Anand didaulat sebagai pembicara tamu di Padepokan Thaha.

Ia membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang memancing: mengapa kaum sufi gagal membuat dunia semakin damai? Ya, Anand tidak lagi berbicara tentang tasawuf sebagai jalan pembebasan individual, melainkan pembebasan pada tingkat sosial politik. Ia berbicara tentang gerakan-gerakan yang kehilangan toleransinya terhadap perbedaan pandangan di kota-kota besar, tentang langkah mereka yang agresif, dan pentingnya kaum sufi bangkit dengan pesan damai.

Anand seolah berbicara kepada para penghuni kota besar yang bosan dengan dugem, yang tidak sanggup melepaskan diri dari belitan masalahnya. Pengajian itu tertuju pada para seeker yang tak kunjung menjumpai kebenar­an di jalan-jalan dan bangunan kota yang riuh rendah, atau yang sekadar menunggu redanya lalu lintas macet. Semua digiring dan dihimpun pada malam-malam tertentu ke sejumlah titik di Ibu Kota.

Mereka para profesional, para eksekutif, yang senantiasa ada di sekitar kita dan tak mencolok mata. Berpakai­an laiknya orang kantoran, dengan kemeja lengan panjang dan pantalon gelap, seperti biasa, penampilan fisik mereka tak hendak mewakili identitas kelompok pengajian—yang biasanya berpakaian serba putih, baju koko, plus songkok putih pula.

Lihatlah Ahmad Rizal Tarigan, 39 tahun. Presiden Direktur PT Penta Manunggal Mandiri ini rajin mengunjungi zawiyah (padepokan) tarekat Naqsabandiyah Haqqani setiap Kamis malam. ”Dengan berzikir, kita mengendalikan ego,” katanya. Rizal hanya berbaju batik, tidak berjanggut, dan tak ada simbol-simbol tarekat, tulisan Allah ataupun Muhammad, pada mobil Nissan X-Trailnya.

Identitasnya sebagai pengikut tarekat Naqsabandiyah Haqqani baru ”terbongkar” bila kita mengunjungi kantornya yang terletak di daerah elite Jalan Sudirman, Jakarta, atau rumahnya di kawasan Kayu Putih, Pulomas. Foto yang sama terpajang apik di dua tempat itu: foto ketika ia bersama Syekh Nazim Kabbani, tokoh spiritual gerakan tarekat ini. Rizal memilih tarekat ”tradisional” di puncak karier.

Tapi ada pula Saraswati Sastrosatomo, 36 tahun, Senior Council Chevron Indonesia Company, yang masuk tarekat Qadiriyah di kawasan Ciawi, Bogor. Alkisah, Saraswati, yang begitu mudah memperoleh segala yang diinginkannya dari dunia profesional dan akademis, akhirnya suatu kali jatuh terduduk. ”Saya pernah bekerja di lembaga bantuan hukum, law firm, hingga corporate. Sekolah ke Amerika dan Belanda pun sudah saya jalani. Pokoknya, dunia bagi saya sudah cukup. Lantas apa lagi?” tuturnya.

Perempuan yang menamatkan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan pascasarjana di Universitas Leiden ini pun sudah jenuh dengan jalan keluar selepas kerja: clubbing di klub malam Ebony, Dragonfly, dan banyak lagi.

Enam tahun silam, ia mencoba sesuatu yang baru: bergabung dengan klub kajian Paramadina dan kajian tasawuf Tazkiya. Dan rupanya itulah mukadimah dari sesuatu yang hingga kini tak pernah lepas dari hidupnya. Ia melebur dalam tarekat. Tiap akhir pekan kita bisa mendapati Saraswati bertafakur di padepokan syekhnya. ”Saya butuh charge setelah Senin hingga Jumat berurusan dengan dunia,” katanya. Di dinding apartemennya di Puri Casablanca, Kuningan, Jakarta, terpampang sembilan potret idolanya, Wali Songo. Di samping mereka, terdapat foto Syekh Abdul Qadir Jaelani dan Sunan Kalijaga.

Tarekat Naqsabandiyah Haqqani dan Qadiriyah sama-sama ”tradisional”. Keduanya ditopang lima komponen dasar tarekat: mursyid (guru), murid, wirid, tata tertib, dan tempat. Dua dasawarsa silam, masyarakat kota lebih bisa menerima tasawuf kontemporer seperti yang ditawarkan Paramadina dan Tazkiya ketimbang pola-pola peng­ajaran tradisional di pesantren, di desa-desa.

Baiat atau komitmen spiritual yang mengikat dan kemudian mengukuhkan hubungan hierarkis mursyid-murid mungkin tak menarik bagi orang kota yang demokratis. Uzlah alias mengundurkan diri dari dunia orang banyak justru menumbuhkan waswas bahwa tasawuf sama saja dengan mengasingkan diri. Dan zuhud atau asketisisme, pantangan terhadap kesenangan duniawi, tentu saja terlalu jauh dari gaya hidup hedonis orang kota.

Kini dunia kita seakan berubah. Ungkapan tasawuf yes, tarekat no yang demikian tepat mewakili periode itu seakan sudah berlalu. Dan mungkin tasawuf yes, tarekat yes cukup mengena di hati orang kota.

Di Padepokan Thaha, setiap usai tausiyah, para murid langsung menyerbu sang mursyid, Syekh Sayid Hidayat Muhammad Tasdiq, yang biasa dipanggil Kiai Rahmat. Dalam suasana yang cair, masing-masing murid mengungkapkan rasa takzim dengan mencium tangan guru yang karismatis dan berilmu itu. ”Beliau mudah tune-nya,” kata Pardamean Harahap, salah seorang pengurus padepokan itu, menjelaskan karakter sang guru yang komunikatif. Kamis malam itu, di padepokan, Kiai Rahmat mengenakan baju hem putih tanpa dasi dengan balutan jas biru dan celana biru. Ia memakai peci hitam dengan renda air emas di sekeliling; suaranya ringan seperti beraksen Sunda, kulitnya agak gelap.

Bayang-bayang suram hubungan mursyid-murid yang menuntut kepa­tuhan total sang murid sesungguhnya belum juga terbang jauh. Menurut Jalaluddin Rakhmat, dosen komunikasi Universitas Padjadjaran yang ikut melahirkan pengajian Tazkiya, kelompok pemujaan atau cult sering kali membungkus niat buruknya dengan aksesori tasawuf. Lalu murid yang silau dengan penampilan luar itu pun kerap menjadi korban penipuan. Memakai istilah sufi seperti hakikat dan makrifat, sang guru menawarkan paket-paket instan yang tak masuk akal. seperti ”bertemu Tuhan dalam seminggu”.

Namun coba bedakan dengan tarekat Akmaliyah. Tarekat yang berada di Kota Malang ini mengambil jalan pintas: memangkas pendek hubungan mursyid-murid yang sangat berat sebelah. Gerakan sufi yang meneruskan ajaran Syekh Siti Jenar dan kemudian dipopulerkan oleh Sultan Hadiwijoyo (alias Joko Tingkir, Raja Pajang) ini berangkat dari pemikiran tunggal: setiap manusia berhak bertemu dengan Tuhannya.

Akmaliyah tak mengenal mursyid (guru) sebagaimana aliran tarekat lain, melainkan sekadar sosok koordinator belaka. Lelakunya ringan, jumlah zikirnya tak dibatasi bilangan, cukup disesuaikan dengan kemampuan. Tarekat ini juga tidak mengenal tradisi pemondokan dan baiat. Setelah berdiskusi dengan koordinator untuk meluruskan persepsi, jemaah bisa membaca wirid sendiri di rumah.

Tasawuf perkotaan kontemporer selama dua dekade telah menyodorkan jalan lebih ”aman”, tapi dengan pendekatan yang mengingatkan kita pada kursus body language, bahasa Inggris tiga bulan lancar, dan ­sejenisnya. Ada pelatihan salat khusyuk, lokakarya tiga jam untuk mengalami hakikat syahadat tanpa tarekat, dan masih banyak lagi.

Instan memang. Bahkan, menurut Bambang Pranggono, dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung, gejala ini memperlihatkan ”indikasi betapa materialisme merasuk ke dalam semua sendi keislaman, ketika semua harus dinilai dengan uang, dari syahadat, salat, hingga haji”—seperti tertulis dalam makalahnya, ”Sufisme Perkotaan”, yang dibacakannya pekan lalu di Bandung.

l l l

DI sebuah hotel di Jalan Pelajar Pejuang, Bandung, anak-anak muda pengikut pengajian tasawuf berkumpul untuk menyambut sesuatu yang besar: lailatul qadar. Ritual yang berawal pada pukul 21.00 itu ditutup dengan doa Kumail (doa khusus Nabi Khaidir), lalu Jausyan Kabir pada pukul 02.00, hanya beberapa saat menjelang sahur.

Tasawuf, yang selama beratus tahun divonis sebagai sumber keterbelakangan, kini memiliki citra yang baru—ia wisdom dari desa yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan selera kota. Tiga tahun mengikuti Paramadina, Rara Rengganis Dewi, 45 tahun, yang menyukai musik Scorpion, Queen, Hadad Alwi, dan Opick, membuat kesimpulan menarik. ”Saya lebih mampu berbahagia dan menikmati kehidupan,” katanya. Rara, yang tinggal di Jakarta dan gandrung tasawuf, mengambil magister Islamic Mysticism ICAS (Islamic College for Advanced Studies).

Melalui kajian yang sama, Arief Aziz, 25 tahun, kemudian memahami perbedaan antara Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi. Anak muda ini mengenal sejumlah nama besar dengan gagasan besar: Rabiah al-Adawiyah, Rumi, Arabi, juga martir yang kontroversial seperti Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Arief juga mengaku menerapkan zuhud dalam kehidupan kesehariannya. Memakai telepon seluler tua, ia berpegang pada asas manfaat dan menolak ikut latah.

Sufisme perkotaan merupakan anak modernisme. Kehadirannya ­ber­­dam­ping­­an dan berinteraksi ­dengan produk-produk modernisme lain: ­liberalisme, ateisme, feminisme, konsu­merisme, materialisme, dan sebagainya. Ada yang berdiri dalam tarekat tradisional, ada pula yang tanpa tarekat. ”Semua bisa kita pahami dengan penuh empati sebagai kegelisahan setetes air yang rindu akan kebahagiaan, bersatu lagi dengan lautan,” demikian Bambang Pranggono mengakhiri makalahnya.

Idrus F. Shahab, Sita Planasari, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom, Alwan Ridha Ramdani
----------------------

Untuk Sang Kekasih atau Kesehatan
Whirling dervishes atau sema, tarian sufi yang diperkenalkan Rumi, semakin populer sekarang. Tarian orang yang telah berhasil menanggalkan egonya.

Malam semakin tua. Pada satu hari Minggu dua pekan lalu, di salah satu zawiyah, padepokan tarekat Naqsabandiyah Haqqani yang terletak di jalan dari Prapanca menuju Kemang, Jakarta, dua kelompok orang duduk melingkar dalam ruangan temaram. Dari keheningan itu kemudian terdengar tahlil: la ilaha ilallah. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Apalagi tepukan marawis ikut ambil bagian.

Seorang pria masuk ke lingkaran para pria. Ia berputar seperti gasing. Roknya putih berkibar, mengembang bak cendawan. Berputar ke kiri seperti orang tawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran; tangan kanannya terbuka, menengadah ke langit, mengharap hidayah dari Yang Kudus. Tangan kirinya menelungkup—seakan-akan menebarkan hidayah yang diperoleh tangan lainnya ke semua orang di bumi.

Puncak ekstase terjadi tatkala zikir khas tarekat Naqsabandiyah Haqqani terdengar bersambutan: Huu, Haqq, Hayy, Allah Hu, Allah Haq, Allah Hay. Musik semakin cepat—begitu juga putaran lelaki itu—sampai akhirnya semua berhenti. Dalam takzim, lelaki kurus itu membungkuk kepada sang syekh, dan keluar dari lingkaran.

The whirling dervishes atau sema mulai populer. Pada Ramadan ini, stasiun-stasiun televisi berebut menayangkan tarian yang diperkenalkan sufi besar abad ke-13 Jalaluddin Rumi itu. ”Banyak orang datang karena ingin tahu lebih lanjut tentang whirling dervishes,” kata Arief Hamdani, Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia.

Whirling, di samping hadrah, merupakan bagian penting dari tarekat Naqsabandiyah Haqqani. Sepekan sekali diadakan zikir dengan tarian khusus itu. Seorang yang ingin berputar diwajibkan berwudu. Setelah itu, ia harus melakukan salat sunah dua rakaat syukur wudu, lantas dilanjutkan dengan salat sunat dua rakaat tawasul. Lalu duduk berzikir Allahu Akbar.

Semua serba terukur, begitu pula pakaiannya. Mula-mula sang penari menggunakan setelan koko putih. Kemudian gaun putih panjang—tennure—diletakkan dengan posisi terbalik, bagian dalam di luar. Sebelum memakai, sang penari mencium bagian kerah. Kemudian, tennure yang panjangnya lebih dari tinggi sang penari pun dipakai. Setelah dipakai, ditarik setinggi telinga dan pinggang diikat dengan tali putih. Tali pinggang kemudian ditutup sabuk hitam. Penari lantas mengenakan jubah hitam tanpa lengan. Terakhir adalah topi panjang—sikke—yang dibalut dengan sorban.

Seluruh elemen pakaian ini merupakan simbol. Sikke, yang aslinya berwarna abu-abu, menurut Arief, merupakan simbol batu nisan. Li­litan sorban pertanda orang-orang siddiq. Tennure putih merupakan simbol kain ka­fan. Sedangkan ikat pinggang dan jubah hitam menandakan kelamnya alam kubur. ”Pakaian ini bermakna kita mengalami kematian di kala hidup. Makna ini penting untuk menemukan diri kita. Karena, dengan menemukan diri kita, barulah kita bertemu dengan Sang Pencipta,” tutur Arif.

Belajar whirling membutuhkan waktu cukup lama. Awalnya belajar berputar dengan kedua tangan disilang di depan dada. Gerakan ini dilakukan 20 menit selama 40 hari. Kemudian pelajaran meningkat, kedua tangan dikembangkan ke atas. Waktunya pun sama, 20 menit selama 40 hari. Gerakan terakhir adalah tangan kanan tetap menghadap ke atas sementara tangan kiri turun sejajar bahu. Putarannya kembali dilakukan 20 menit selama 40 hari.

Whirling tak semudah yang terlihat. Dalam kelas tarian Rumi khusus wa­nita di zawiyah itu, peserta rata-rata langsung terjatuh hanya dalam kisaran 1-2 menit setelah berputar. ”Ego-ego kita masih menahan tubuh sehingga ­tu­buh te­rasa berat untuk berputar,” kata ­Arief.

Untuk melepas ego memang tak hanya butuh latihan lama dan kontinu. Zikir yang keras sembari berdiri pun diyakini Arief mampu menghancurkan ego. ”Maulana (Rumi) pernah berkata bahwa zikir dengan whirling dan dengan suara keras akan memberikan energi yang lebih besar untuk membersihkan hati ketimbang zikir dengan duduk dan dengan suara pelan,” ujar Arief.

Tengoklah pengalaman Neng Sri Widia Amri, 24 tahun. Pegawai Lagoon Lounge Hotel Sultan, Jakarta, ini telah setahun menekuni tarian Rumi. Tak hanya untuk zikir, Widia pun turut manggung bersama Haqqani Rabbani Whirling Dervishes & Big Band di berbagai tempat.

Aura berbeda ia rasakan tatkala me­nari kala berzikir dan untuk manggung. ”Kala zikir, tarian ini terasa nikmat sekali. Saya tak pernah merasa pening karena aura positif yang ditebar sesama jemaah memberikan energi tersendiri,” tutur satu-satunya penari pe­rempuan dalam kelompok tersebut. Namun situasi berbeda terjadi ketika Wi­dia menari di atas panggung. ”Saat menari di panggung, kami tentu ditonton banyak orang, tak hanya aura positif yang menerpa, biasanya lebih banyak yang negatif. Aura negatif ini pula yang membuat tubuh terasa berat ketika berputar,” tuturnya.

Meski terasa rumit, tarian Rumi pada tarekat Haqqani terbuka bagi siapa pun. Hal berbeda justru terjadi di padepokan Anand Ashram. Untuk belajar tarian Rumi, tak semua orang dapat melakukannya. ”Biasanya kami melakukan evaluasi awal, apakah orang tersebut berminat dan cukup mampu untuk menerima pelatihan sufi,” ujar Anand Krishna, pendiri Anand Ashram.

Proteksi ini terpaksa ­dilakukan Anand. Maklum, ia mensinyalir tingginya minat mempelajari tasawuf, baik meditasi maupun whirling, sekadar upaya pelarian dari masalah sehari-hari. Anand mengingatkan bahwa Kemal Attaturk, bapak pendiri Repub­lik Turki, pernah selama puluhan tahun melarang praktek sufi di negaranya. ”Enggak boleh orang whirling,” kata Anand.

Pasalnya, dalam whirling, kata Anand, manusia dapat mencapai eks­tase. Efek sampingnya, menurut Anand, ada dua. ”Dia bisa menjadi sangat egois, merasa dirinya yang paling benar, karena sudah merasa mencapai tingkat yang luar biasa. Yang kedua, dia melari­kan diri, escape. Dia merasa dunia ini kacau, tentu karena dia juga merasa dirinya yang paling benar,” Anand menambahkan.

Tentu saja ekses ini tak ­diharapkan. Untuk itu, sebelum mengikuti kelas sufi, peserta diharuskan mengikuti program dasar stress management. Biasanya hanya 30 persen dari lulusan program ini yang diterima untuk meng­ikuti program lanjutan meditasi sufi.

Setelah mengikuti program manajemen stres, zikir dalam program sufi akan menjadi lembut. Bila emosi belum seluruhnya tersalurkan dalam program dasar, zikir dan whirling yang dilakukan peserta pasti akan bernuansa ta­ngis dan ledakan emosi. ”Banyak orang bilang, kalau dengan berteriak keras dan menangis, zikir baru afdal. Buat saya tidak,” katanya.

Tahap meditasi sufi di Anand Ashram terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah zikir dan whirling. Sama dengan metode tarekat sufi, zikirnya pun dengan la ilaha ilallah. Selesai whirling, peserta mulai tafakur. ”Untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,” kata Anand. Total kegiatan berlangsung satu jam.

Selain seleksi khusus, berbeda dengan di zawiyah Naqsabandiyah Haqqani, kursus whirling di Anand Ashram tak gratis. Empat kali program ditebus dengan Rp 400 ribu. Meski cukup mahal, toh program ini tak sepi peminat. Manfaat ganda menjadi daya tariknya. Selain mendekatkan diri pada Sang Pencipta, kesehatan peserta pun mening­kat. ”Bila dilakukan dengan benar, whirling dapat memberikan energi ekstra hingga dua pekan lamanya,” ujar Anand.

Pilihan terserah pada Anda. Ingin berzikir menuju Sang Kekasih. Ataupun sekadar menikmati manfaat kesehatan dan nikmatnya menari Rumi.

Sita Planasari Aquadini
-------------------------------


Dari Sebuah Pasar yang Ramai
Sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragaman. Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan perkotaan.

Sufisme di perkotaan merupakan fe­nomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia, termasuk Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Julia Day Howell mencatat kebangkitan gerakan spiritual warga perkotaan ini mulai 1990-an ketika aktivitas sufi mulai terlembagakan. Saat itu muncul Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholish Madjid.

Paramadina

Awalnya kajian ini dirintis tokoh cendekiawan muslim Nurcholish Madjid pada 1986, yang saat itu dinama­kan Klub Kajian Agama. Ketika itu kajian-kajian dilaksanakan dari hotel ke hotel sebulan sekali dengan segmentasi para pengusaha atau profesional yang juga butuh belajar tentang agama di sela kesibukannya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Banyak yang tertarik. Tapi sayang, karena hanya sebulan sekali, kajian dianggap menjadi semacam seminar dan tidak mengulas lebih dalam. Lalu muncullah permintaan dibukanya kelas-kelas khusus tentang studi keislaman. ”Biasanya untuk level dasar dan untuk tahap-tahap tertentu,” ujar Rahmat Hidayat, Koordinator Pelaksana Kajian Paramadina.

Peminat kajian Paramadina tidak terbatas kaum profesional atau pengusaha saja, tapi juga mahasiswa dan masyarakat umum lainnya dari usia 20 hingga 50 tahun. Kelas per paket seharga Rp 600 ribu plus buku. Adapun per kedatangan biayanya Rp 60 ribu.

Saat ini kelas di Paramadina yang paling populer adalah tasawuf. Pengajar, Muhammad Bagir, mengatakan mereka yang datang meng­ikuti kelasnya adalah orang-orang yang sebagian besar kecewa terhadap penafsiran agama. ”Agama yang terlalu kaku, terlalu ritual, menilai salat, dan tidak dengan cinta. Cinta itu kepada Tuhan saja,” ujar pria lulusan Iran yang tidak suka dipanggil ustad ini.

Menurut Bagir, tasawuf yang ada di Indonesia ini jarang sekali berangkat dari intelektualitasnya. Inilah yang berusaha ia tawarkan, yaitu tasawuf yang lebih pada intelektualitas, realitas, manifestasi.

Majelis Taklim Misykatul Anwar Padepokan Thaha

Padepokan Thaha bermula dari majelis-majelis taklim di rumah-rumah. Dipimpin oleh Kiai Rahmat Hidayat, kajian ini mencari pengertian Islam dengan lebih terbuka. ”Kami meng­undang pembicara, seperti Anand Krishna dan Gede Prama,” kata salah seorang peserta, Pardamean Harahap.

Padepokan Thaha yang berdiri pada 2001 merupakan bagian dari pengajian majelis Misykatul Anwar. Mereka sudah memiliki cabang di Bintaro, Yogyakarta, hingga Batam.

Setiap Jumat awal bulan, padepokan yang bermarkas di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, ini membaca ­wirid dan zikir yang dipandu Kiai Rahmat. Dalam wi­rid Agung, jemaah dianjurkan mengenakan pakaian putih. Padepokan Thaha menerima peserta dari berbagai latar belakang tanpa dipungut bayaran.

Beshara

Beshara berasal dari rumpun bahasa Semit, yang artinya kabar bahagia. Ia adalah kegiatan spiritual yang digagas pada 1975 oleh guru asal Turki, Bulent Rauf, di Inggris.

Kegiatan ini mulai masuk Indonesia pada 2000 da­ri pencarian seorang ibu rumah tangga, Rayanti Bina­wan. ”Saya haus akan sesua­tu yang menenangkan di tengah masyarakat yang serba materialistis,” kata Rayanti.

Beshara tidak mempersoalkan agama apa pun, tapi menelaah pemikiran karya besar pemikir-pemikir dari berbagai agama yang melewati batasan agama, warna kulit, ataupun kewarga­negaraan seseorang.

Beshara mengapresiasi pemikiran Muhyiddin Ibn ’Arabi, seorang tokoh besar pemikir Islam, dan tokoh besar agama lainnya, seperti Tao Tzu, dengan karyanya, Tao Te Ching; Ismail Hakki Bursevi, yang menulis The Kernel of the Kernel; atau Jala­luddin Rumi, dengan puisi cinta Ilahi-nya; dan bahkan Bhagavad Gita.

Beshara memiliki kegiat­an rutin sebulan sekali selama akhir pekan. Mereka juga membuka kursus sembilan hari. Peserta biasanya terdiri atas kelompok kecil 6-12 orang plus fasilitator dari Inggris. Diskusi di Beshara tidak menempatkan kedudukan guru, melainkan semua peserta belajar me­ngenali dirinya sendiri yang paling dalam, yaitu aspek spiritualitasnya.

Kursus spiritual di Beshara berjalan seperti diskusi biasa dengan pengantar bahasa Inggris. Dalam kursus sembilan hari, ada juga meditasi serta kegiatan luar ruang lainnya. Oktober nanti, Beshara akan mengadakan kursus di Bandung. Biasanya peserta akan kena biaya Rp 3 juta selama sembilan hari. Tapi Beshara juga bisa menggratiskan biaya itu kalau memang ada peserta yang tidak mampu.

Setelah itu, peserta bisa mengikuti pelatihan intensif selama enam bulan, yang biasanya berlangsung di Skotlandia. Tahun ini pelatihan intensif mulai Oktober 2008 sampai Maret tahun depan. Pendaftaran kursus ini bisa melalui situs beshara.org.

Haqqani Sufi Institute of Indonesia & Meditation Center

Haqqani Sufi Institute of Indonesia & Meditation Center merupakan bagian dari tarekat Naqsabandiyah Haqqani di Indonesia. Lembaga ini berfungsi sebagai penyebar ajaran cinta guru mereka, Mawlana Syekh Hisham Kabbani ar-Rabbani. Menggunakan bendera Rumi Cafe, institut ini menawarkan kesadaran mistikal melalui meditasi sufi.

Rumi Cafe memang tidak seperti kafe biasa. Tempat ini tak menyediakan mi­numan beralkohol yang bisa menjadi ekstase bagi sebagian orang. Ekstase di kafe ini dinikmati lewat tarian khas Jalaluddin Rumi, whirling dervishes atau bermeditasi ala sufi.

Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia Arief Hamdani mengatakan kegiatan institut ini baru berlangsung awal September lalu. Paket perdana adalah lokakarya meditasi sufi. Pada paket ini, peserta berlatih hal dasar, seperti adab pakaian hingga teknik tarian serta zikir.

Satu paket terdiri atas 10 kali pertemuan; peserta akan mempelajari pelbagai teknik meditasi sufi. Seluruh paket rata-rata dipatok Rp 60 ribu setiap kali datang.

Brahma Kumaris

Brahma Kumaris lembaga pelatihan meditasi dan spiritual yang didirikan Brahma Baba di Karachi, India, pada 1936. Di Indonesia, Brahma Kumaris Center terdapat di Jakarta, Bali, dan Surabaya.

Setiap peserta harus mengikuti kelas dasar tentang meditasi Raja Yoga. ­Se­­te­lah itu, peserta baru mengikuti kelas Meditasi Perdamaian Dunia.

Meditasi dilakukan pada pukul 06.00-07.30. Pengajar Brahma Kumaris Cibulan, Jakarta, Melinda Hewitt, mengatakan meditasi dilakukan dengan bebas, tidak perlu bersila sambil memejamkan mata. ”Ini membiasakan kita untuk meditasi dalam keseharian. Dalam bekerja pun kita bermeditasi,” ujar Melinda.

Selain itu, Brahma menawarkan kelas seni relaksasi, manajemen kemarahan, kekuatan untuk berubah, hingga seminar vegetarian. Melinda mengatakan semua kegiatan di Brahma itu gratis. ”Tapi ya sekadar untuk ganti makalahlah,” katanya.

Anand Ashram

Anand Ashram, pusat kesehatan holistik dan meditasi, didirikan oleh Anand Krishna pada 14 Januari 1991. Padepokan ini mengenalkan meditasi sebagai fondasi kesehatan secara holistik, terutama bagi warga urban yang selalu sibuk. Awalnya dibuka di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Karena peminat membeludak, padepokan ini kemudian dibangun di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Kuta, dan Singaraja serta Ciawi, Bogor.

Bagi pemula, Anand Ashram menawarkan paket stress management seba­­-nyak lima kali pertemuan dengan biaya Rp 500 ribu. ”Namun kami memberikan subsidi silang kepada para pelajar dan mahasiswa,” kata Anand Krishna kepada Tempo.

Salah satu program yang cukup diminati adalah meditasi sufi dan kelas whirling dervishes atau tarian Rumi. Meditasi itu dipakai sebagai alat pemersatu. Maklum, yang datang ke pade­pokan berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, dan profesi.

Kelas meditasi sufi dan whirling dervishes yang diselenggarakan empat kali dalam sebulan ini mampu menggaet 30 orang pada setiap kelas. Selain itu, dua pekan sekali para peserta dapat mengikuti pesta perayaan sufi di Ciawi, Bogor. Untuk ikut paket sufi, peserta mesti merogoh kocek Rp 400 ribu.

Anand mengatakan sufi dan meditasi semestinya menjadi energi baru bagi setiap orang, bukan melarikan diri dari kejenuhan hidup. Untuk itu, setiap peserta harus lolos kelas stress mana­gement. ”Program ini untuk para pencinta yang mencari Kekasih. Jadi sudah harus dapat mengelola emosinya dengan baik,” kata Anand.

Metafisika Study Club

Metafisika Study Club adalah bentuk olah spiritual yang digagas Sabdono Surohadikusumo. Dengan meta­fisika, ”Kita menemukan jati diri, Tuhan, dan bagaimana misi hidup di dunia ini,” kata laki-laki kelahiran Bandung, 26 Agustus 1934, ini.

Sabdono mengatakan ajar­an metafisika bersifat terbuka. Ceramah dan meditasi ini biayanya Rp 100 ribu. Kelompok ini lebih banyak mengambil acuan dari Al-Quran. Namun mereka juga mencampurnya dengan fil­safat Jawa. ”Ini juga kejawen. Kita banyak melakukan prediksi masa depan,” ujarnya.

Tujuan kelompok ini adalah mencapai tingkatan tertinggi manusia, yakni makrifat. Menurut dia, manusia biasanya melalui tahapan, yakni sembah raga (syareat), sembah cipta (tarekat), sembah jiwa (hakikat), serta sembah sukma (makrifat). Sabdono mengatakan ilmu makrifat sudah disebarkan Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Untuk mempelajari makrifat, peserta setidaknya sudah harus membaca buku Jalan Menuju Ma’rifat yang ditulis Sabdono. ”Meditasinya dengan duduk bersila dan menutup sembilan lubang di tubuh yang bisa menimbulkan nafsu,” katanya.

Yandi, Sita, Iqbal Muhtarom, Munawwaroh
----------------------------


Menakar yang Hak dan Batil
Tasawuf terentang dari yang ortodoks berbasis tarekat hingga yang paling universal. Hati-hati terjerumus pada kelompok-kelompok pemujaan.

Dua kata itu bersipunggung: sufi urban. Sufi, sebagai sebuah tarekat (jalan) menuju keilahian, merupakan tradisi Islam tradisional. Ia tak tumbuh di wilayah urban—sebuah istilah yang mengacu pada sisi kehidupan manusia kota yang hidup dalam modernitas. ”Ini contradictio in terminis,” kata cendekiawan muslim Azyumardi Azra tentang istilah sufi urban yang bertentangan dalam satu rangkaian kata.

Tapi inilah yang terjadi di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sejak akhir 1980-an, kelas mene­ngah muslim di Tanah Air tergerak untuk melongok akar keislaman mereka. Mapan ekonomi dan matang dalam usia, mereka mencari pengisi jiwa yang melompong.

Saat itu, aktivitas sufi digolongkan pada dua kelompok: antara yang berbasis tarekat dan yang tidak. Yang berbasis tarekat umumnya berada di wilayah suburban atau nonkota, meski sesungguhnya keberadaan mereka tak terkait dengan tumbuhnya minat belajar tasawuf yang sedang bertunas di kota-kota. ”Sufi urban tak muncul dari tradisi seperti itu,” kata dosen pengajar Universitas Paramadina, Budi Munawar Rahman.

Mereka inilah yang menegakkan ritual sufi yang baku dan berpegang erat pada tradisi yang konservatif demi mendekati Sang Khalik. Berpijak pada tradisi tarekat yang kuat, karakter tasawuf, seperti zikir, puasa, khalwat (menyepi), dan zuhud (hidup sederhana), dipegang kukuh dan diwariskan turun-temurun melalui serangkaian guru yang silsilahnya bisa ditarik langsung dari Nabi Muhammad. Pondok pesantren Abah Anom di Suryalaya termasuk dalam golongan ini.

Adapun aktivitas sufi yang berbasis nontarekat, menurut Azyumardi, awalnya diperkenalkan oleh Buya Hamka. Mendiang intelektual muslim yang merupakan salah satu tokoh Muhamma­diyah ini menolak paham taklid—kepa­tuhan mutlak yang menjadi ciri tarekat tradisional. Ia mengenalkan metode tasawuf modern yang berlandaskan perbaikan etika dan moral. Jadi, meng­asah kesabaran, pasrah, ikhlas, dan pendekatan nonmaterial terhadap kebahagiaan dunia.

Tengoklah Nabi Muhammad, kata Buya Hamka. Beliau sudah menjadi seorang sufi yang menyepi jauh di atas bukit batu, jauh sebelum menjadi orang suci. Dalam penyepiannya di Gua Hira itulah sang Rasul mendapat jalan Tuhan. ”Dan datanglah keyakinan, dapatlah dipersisihkan di antara yang hak (benar) dan yang batil (salah),” ia me­nulis pada 1952.

Kegiatan ”memisahkan yang hak dan batil” itu kemudian menjadi semakin variatif pada dua dekade setelah itu. Ada kreativitas yang bangkit ketika spiritualitas ataupun fundamentalis­me menjadi jawaban dari nestapa hidup. ”Ini yang tak bisa dijawab oleh agama formal,” kata Budi.

Kini setidaknya ada dua hal yang bisa ditambah ke dalam dua golongan di awal tersebut. Yang satu, tele-based sufism, yakni kegiatan berdoa massal yang kemudian dipertontonkan melalui televisi dan disiarkan langsung atau berulang-ulang. Ritualnya tak berbeda jauh dengan praktek sufi, seperti zikir, meski adabnya berbeda. ”Zikir adalah kegiatan sunyi. Aneh rasanya dilakukan di depan umum,” kata Azyumardi.

Tambahan berikutnya adalah hadir­nya cabang-cabang metode spiritual yang datang dari luar negeri, baik berlandaskan sufi maupun bukan. Ia menamainya new-age sufism, yakni kelompok-kelompok pembelajaran spiritual yang prakteknya mengkombinasikan ajaran sufi dan ajaran spiritual lain dengan landasan universalitas nilai. ”Mereka mendapat pasar bagi orang yang ingin diselamatkan, orang perkotaan yang miskin spiritual,” kata Budi.

Sayangnya, menurut Budi, gerakan-gerakan sufi masih berorientasi pada peningkatan spiritualitas pribadi, belum pada kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengisinya, kata cendekiawan muslim Jalaluddin Rakhmat, ada satu esensi tasawuf yang sering kali dilupakan, yakni khidmat, yang berarti melakukan pelayanan terhadap manusia lain. Ingat, laku yang ini bukan sekadar memberi uang yang diartikan sebagai sedekah. Tapi, dalam hal ini, apa yang disebut sebagai dakwah bil hal, yakni dakwah dengan perbuatan.

Melakukan pelayanan sosial ini juga disebutkan dalam buku Indah­nya Menjadi Sufi, yang diterjemahkan dari karya Essential Sufism, karang­an James Fadiman dan Robert Frager al-Jerrahi (1999). Dikatakan, melayani orang lain dalam pengertian riilnya adalah melayani Tuhan. Dan pelayanan ini dinilai orang-orang suci sebagai bentuk ibadah tertinggi. Dengan kata lain, tak cukup seseorang mencintai atau mengetahui Tuhannya.

Perilaku seperti menjaga kebersihan, memasak di dapur umum, dan menggendong anak di panti asuhan adalah bagian dari cinta itu. ”Kita harus berbuat berdasarkan cinta dan pengetahuan kita kepada-Nya,” tulis buku itu.

l l l

Segala yang berlebih-lebihan pun bisa berbahaya. Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tendensi seram dari kelompok-kelompok yang berani ”menjual” pertemuan dengan Tuhan sebagai komoditas utama.

Mereka inilah yang ia sebut sebagai pseudo-sufism; sufisme semu yang mengaku berbasis sufi, tapi hanya menggunakan istilah tasawuf dan sufi, seperti hakikat, makrifat, ilmu batin, untuk kepentingan sendiri. Yang tak diketahui, banyak ritus yang menggunakan teori hipnotisme dan mempermainkan gejolak emosi sehingga menimbulkan rasa bersalah yang mendera individu.

Menurut dia, kelompok-kelompok ini sudah separuh pemujaan (cult), karena tak bisa dipertanggungjawabkan akarnya dalam Islam. Biasanya, hanya satu-dua poin utama dari tasawuf yang diaplikasi, itu pun dengan perilaku yang tak wajar. Misalnya mandi air kembang atau puasa tanpa berbuka sehari semalam. ”Mungkin hanya baiatnya yang diambil,” kata Jalaluddin.

Ia mengingatkan, aktivitas spiritual yang tak lazim seperti itu justru ”laku” karena banyak urban yang ingin memperoleh spiritualitas secara instan. Mereka ingin memperoleh pengalaman keilahian secepat-cepatnya, seolah-olah proses pemaknaan diri dan Tuhan itu bisa diperoleh dengan instan. ”Misalnya ada yang menawarkan bertemu Tuhan dalam satu minggu,” ucapnya.

Ini diperparah oleh unsur taklid, kepatuhan itu, yang mereka akui bagian dari identitas kelompok. Dalam ketidakwajarannya, sang pemimpin sering kali mengaku punya ilmu rahasia—bahkan sebagai pendiri ajaran—dan bisa memecahkan semua persoalan. Yang terburuk, meminjam istilah Jalaluddin, adalah yang bila ujung-ujungnya duit, atau... yang ujung-ujungnya seks! ”Maka lengkap sudah unsur perampokan atas nama Tuhan itu,” katanya.

Jalaluddin mengaku pernah kedatangan korban-korban penipuan kelompok tasawuf sesat ini. Menurut dia, ada yang menderita delusi atau hilang pikiran, ada lagi yang masih susah payah keluar dari kelompok itu karena terus-terusan diancam dan dianiaya psikologisnya. ”Kebanyakan perempuan. Ada yang sangat berpendidikan, kelas menengah, tapi toh tetap teperdaya juga,” katanya.

Ia memberi rambu-rambu untuk mengenalinya, misalnya bila ajarannya tak berdasarkan syariah, Al-Quran, dan hadis, ritus-ritusnya tak standar, menuntut kepatuhan mutlak, serta perilaku gurunya mengontrol pikiran dan kehidupan pribadi murid. ”Jangan sampai semangat belajar sufi ini justru dikalahkan oleh sufisme semu yang justru disukai orang kota,” ujarnya.

Kurie Suditomo
-------------------------


Di Tengah Kota Mencari Ketenangan Jiwa

Spiritualisme memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena ia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini. Tapi, ia ternyata justru muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Ya, seraya tidak kehilangan appeal-nya di ekonomi subsistem pedesaan, ia justru secara tak terduga me­nyembul di sana-sini di tengah-tengah materialisme modern perkotaan.

Meski gejalanya sudah tampak sejak tahun 1960-an bersama dengan berkembangnya counter culture di Ero­pa dan AS—yakni wilayah-wilayah pusat budaya baru ini—adalah Alvin Toffler yang mencatat di bukunya yang amat terkenal, Future Shock (1974), betapa di AS saja pada waktu itu telah bermunculan tak kurang dari 4.000 paguyuban spiritualisme. Pada saat hampir bersamaan, di negeri yang sama muncul suatu gagasan kontroversial yang dikenal dengan nama Aquarian frontier, suatu nama yang juga menjadi judul karya kontroversial Marylin Ferguson (1980). Di sekitar tahun yang sama, lahir gerakan re-enchantment of the universe, yang antara lain diartikulasikan dalam sebuah buku terkenal karya Morris Berman, lagi-lagi berjudul sama.

Gerakan-gerakan ini menandai kelahiran sebuah ge­rakan yang ingin mengembalikan kecenderungan parsia­listik rasionalisme Cartesian dan sains Newtonian kepada paradigma holisme yang irasional (intuitif) dan kontrasains. Selain itu, sejalan dengan kecenderungan New Age yang juga menerpa wilayah-wilayah yang sama, gerakan Aquarian ini memperkenalkan kembali kepada masyarakat modern berbagai tradisi dan budaya pramo­dern seperti penyembuhan holistik, biofeedback, meditasi, dan yoga.

Kalau dilacak lebih jauh, ketiga gerakan ini sedikit banyak bersumber dari suatu gerakan yang lebih dini, yakni Teosofi, yang diprakarsai oleh seorang Madame Blavatsky pada 1830. Gerakan ini berkembang ke seluruh dunia dan melahirkan kecenderungan kepada spiritualisme, perenialisme—yakni kepercayaan kepada sumber-tunggal semua agama dan kebenaran—bahkan kesatuan agama-agama, serta kepercayaan dan praktek-praktek esoteristik (kebatinan).

Di sisi lain, peradaban manusia, khususnya di perkotaan, bergerak ke arah kehidupan modern dengan segala konsekuensinya—baik dan buruk. Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, tapi juga kompetisi makin ketat yang melahirkan pressure yang terkadang tidak terta­hankan, gaya hidup instant dan serba cepat—termasuk hal konsumsi makanan—yang tidak sehat dan menimbulkan stres, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dalam keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya.

Pada gilirannya, semua ekses itu menggoyahkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Se­bagaimana dicatat oleh Tim American Psychological Association (APA), ketika mengajukan proposal mengenai perlunya dikembangkan psikologi perkotaan (urban psychology), kemajuan di perkotaan ternyata telah membawa juga bersamanya alienasi manusia modern dari dirinya sendiri. Pada puncaknya, hal ini meningkatkan anxiety, depresi, dan problem-problem mental-psikologis lainnya.

Lepas dari itu, kekosongan yang dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material, seolah mengajarkan betapa kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak di sana, melainkan di bagian yang lebih bersifat rohani (spiritual).

Memang, di samping maraknya berbagai respons yang bersifat deviatif—termasuk penyalahgunaan obat bius dan bunuh diri—manusia modern mengembangkan apa yang oleh Naisbitt disebut sebagai gejala high tech-high touch. Dalam konteks ini, arus balik itu mengambil bentuk menjamurnya paguyuban spiritual seperti tersebut di atas. Dan di antara berbagai orientasi spiritualisme, tak urung sufisme juga mendapatkan pengikutnya sendiri di kota-kota besar, bukan hanya di negara bermayoritas muslim, melainkan juga di negara Barat. Termasuk juga kelompok yang dipimpin Javad Nurbaksh, Idries Shah (dan saudaranya, Omar Shah), Bawa Muhaiyiddin, Syekh Nizham Kabbani, Syekh Fadhlullah Ha’iri, Hazrat Inayat, Khan, Syekh Abdl Kadir al-Sufi, Syekh Kabir Helminski, Fritjof Schuon, dan masih banyak lagi lainnya.

Pertumbuhan kota dan urbanisasi di negara berkembang kiranya hanya mengikuti apa yang terjadi di negara yang lebih dahulu maju. Indonesia tidak terkecuali. Barangkali menguatnya gejala kecenderungan kepada spiri­­tualisme perkotaan—dalam hal ini, sufisme perkotaan—di Indonesia hanya ketinggalan paling lama dua dekade dibanding gejala yang sama di negara-negara maju. Pertama tentu akibat perkembangan komunikasi dan globa­lisasi di antara berbagai bagian dunia, yang menjadikan apa yang terjadi di suatu bagian dunia selalu memberikan pengaruh kepada bagian dunia lainnya.

Selain itu, di Indonesia sendiri muncul penyebab-penyebab yang sama, yang telah menghasilkan kecende­rungan kepada spiritualisme seperti yang telah lebih dulu berkembang di negara maju. Itulah menguatnya kelas menengah kota sebagai hasil peningkatan secara pesat kemakmuran masyarakat berkat keberhasilan pemba­ngunan ekonomi Orde Baru. Maka berkembangnya apa yang kemudian disebut urban sufism (sufisme perkotaan) adalah hampir-hampir bersifat alami. Kita ingat betapa sejak awal 1980-an buku tasawuf amat digandrungi oleh pembaca muslim perkotaan. Kegandrungan ini terbukti tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat kelas menengah yang memang berasal dari kalangan yang biasa disebut santri, melainkan—meminjam Geertz—juga dari sebagian kalangan priayi dan abangan yang me­ngalami gejala born-again muslims.

Akhirnya, ada satu hal penting yang—untuk keperluan akademis maupun praktis—perlu dijernihkan. Ba­nyak orang, termasuk peneliti lokal dan asing, cenderung menggunakan (baca: merancukan) istilah sufisme (tasawuf) untuk beberapa hal yang sebetulnya tak sama persis. Mereka kadang memahami dan menggunakan istilah sufisme untuk menyatakan aspek teoretis dan filosofis dari esoterisme Islam, yang sesungguhnya paling tepat disebut sebagai ’irfan (gnostisime). Terkadang mereka mengidentikkannya dengan aspek lebih praktis dari tasawuf, yakni suluk (disiplin spiritual)—yang bisa diselenggarakan baik secara individual maupun berkelompok. Yang belakangan lebih berhubungan dengan manifestasi sosiologis dalam bentuk orde tasawuf (tarekat). Bahkan terkadang hanya dengan akhlak ataupun kesalehan (pietisme) yang bisa dilakukan oleh setiap muslim yang baik, tak peduli apakah mereka memiliki kecenderungan kepada sufisme ataupun tidak (termasuk kelompok ini bahkan kaum Wahhabi yang amat antitasawuf, ataupun Jamaah Tabligh yang menekankan pada kesalehan semata).

Memang, terkadang orang—dalam hal ini orang kota­—bertasawuf dengan bergabung bersama kelompok­ menekankan pada ’irfan sebagaimana dipromosikan oleh kelompok seperti Paramadina, IIMaN, Tazkiya Sejati (dulu), atau Ibn Arabi Society di mancanegara. Terkadang juga mereka lebih tertarik pada tarekat yang lebih tradisional, baik yang berkembang di perkotaan maupun di wilayah yang lebih tradisional, seperti Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Suryalaya (Abah Anom). Ada juga yang merupakan kombinasi antara ’irfan dan tarekat, seperti Padepokan Thaha, ataupun yang dianggap sebagai lebih superfisial seperti Tarekat Kadirun Yahya. Ada juga yang cenderung kepada kelompok—baik lokal maupun impor—yang lebih dekat kepada New Age (perenialistik), semacam kelompok Beshara. Bahkan ada yang memasukkan kelompok yang mungkin lebih tepat disebut sempal­an—bagi sementara orang, aliran sesat—seperti aliran Salamullah Lia Eden.

Penjernihan ini kiranya perlu demi menghindarkan pemahaman yang tidak fair kepada sufisme, yang hanya dapat memperpanjang berabad-abad sikap permusuhan dan penyesatan sebagian kelompok muslim kepada ge­rakan atau aliran tasawuf, yang sempat menghalangi tasawuf dari mendapatkan pengakuan kembali oleh mainstream muslim.
--------------------------


Berzikir Memecah Batu
Pondok Pesantren Suryalaya penganut tarekat ortodoks Qadiriyah Naqsabandiyah. Tasawuf konservatif yang tak lekang oleh zaman.

Selasa pekan lalu, pagi baru tiba di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Kokok ayam jantan masih bersahut-sahutan, tapi Pondok Pesantren Abah Anom, Suryalaya, sudah sejak tiga jam lalu penuh dengan aktivitas. Salah satunya yang dilakukan para santri di Masjid Nurul Asror itu.

Kiai Sandisi adalah salah seorang mursyid, artinya yang mencerdaskan, istilah untuk guru sufi. Apa yang tengah dilakukan para santri itu, kata Sandisi, disebut sebagai talqin, yang berarti belajar. Talqin diumpamakan menanam tunas baru yang harus dirawat. Tunas itu, kata Sandisi, dipagari oleh zikir berupa kalimat la ilaha ilallah yang diucapkan setiap usai salat lima waktu. ”Kemudian harus disiram dengan khataman dua kali seminggu setiap Senin-Kamis, lalu dipupuk dengan manaqib atau pengajian bulanan,” katanya. Khataman sendiri berarti penu­tup atau kumpulan dari semua doa.

Inilah sebagian dari tradisi tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang menjadi ”nyawa” pesantren yang berdiri sejak 1905 ini. Berasal dari Abdul Qadir Jaelani, guru sufi Iran pada abad ke-12, pengikutnya diperkirakan berjumlah sekitar 10 juta orang. Cabang-cabangnya antara lain ada di Jakarta, Bandung, Pontianak, Medan, hingga ke Sarawak, Terengganu, Kedah, dan Singapura. Masing-masing cabang memiliki wakil talqin, alias sang guru yang punya kuasa mengajar sekaligus membaiat—memberikan inisiasi kepada anak murid.

Dijelaskan Kiai Zaenal Abidin Anwar, salah seorang wakil talqin yang ada, tasawuf di situ diartikan sebagai upaya menggapai Allah sebagai S ang Pencipta; mencapai mardhatilah (keridaan Allah), makrifat (siapa Allah), dan mahabah (cinta Allah). ”Kalau kita belum berhasil mencapai tujuan itu, berarti masih ada kendala dalam hati yang harus dibersihkan, seperti musyrik, akhlak jelek, atau penyakit hati lainnya,” ujar Zaenal.

Pondok ini menjadi bagian dari 45 kelompok di sekitar Nahdlatul Ulama yang disebut muktabaroh, yakni kelompok-kelompok yang ajarannya tidak menyimpang dari syariah dan gurunya mendapat turunan langsung dari Nabi Muhammad. Landasannya Al-Quran, hadis Nabi, dan qiyas. ”Pelaksanaannya sahih, menggunakan Islam, iman, dan ihsan,” katanya.

Metode ini intinya bertumpu pada dua macam zikir: Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Untuk mengamalkan zikir yang pertama, setiap santri harus mengucapkan la ilaha illalah paling sedikit 165 seusai salat lima waktu. Kalau tidak sempat, boleh diucapkan tiga kali saja, meski tetap harus di-qodho, diganti, pada waktu senggang. Pun bisa ditu­naikan pada salat sunat. Yang jelas, jumlahnya tak boleh kurang dari 165 kali, lebih banyak lebih baik.

Sebelum melantunkan zikir la ilaha ilallah ini, kata dia, ada tiga syarat yang harus dipenuhi para ikhwan. Pertama, tak boleh batal berwudu. Kedua, kata Sandisi, suara harus jelas dan kuat serta tidak boleh ditambah atau dikurangi. Dia mencontohkan, ada zikir mengucapkan la ilaha illalah yang dientakkan pada saat kata la pertama. ”Seolah menambah hu­ruf alif atau hamzah,” katanya.

Yang benar, kata dia, pelafalan kata la itu harus lurus atau datar. Entakan baru dilakukan saat mengucapkan ilallah. Alasannya, kata dia, karena hati, seperti digambarkan oleh Nabi, keras seperti batu. ”Karena itu, berzikir dengan menekankan kata ilallah bagaikan memecah batu dengan martil,” katanya.

Yang ketiga, tak cukup diucapkan dengan lisan, tapi juga ditanamkan ke dalam roh secara fisik. Untuk mencapai­nya, ada tiga tahap. Pertama, saat meng­ucapkan kata la, ikhwan harus merasakannya hingga terbentang di tengah dada. ”Tarik dari bawah pusar, melin­tang melalui dada, hingga ke tengah otak,” ujarnya.

Saat mengucapkan kata ini, kepala ditarik dari posisi yang semula menunduk menjadi menengadah. Kedua, ­mengucapkan ilaha seraya menundukkan kepala ke arah rusuk kanan. Setelah itu, tahap ketiga, mengentakkan kata ilallah seraya memalingkan kepala ke arah rusuk kiri.

Ini semua bukan khayalan pesantren saja, kata dia, tapi murni berdasarkan Al-Quran, surat Al-Araf ayat 16 dan 17. Ayat itu menyebutkan ihwal iblis yang bersumpah akan menghalangi manusia yang akan beribadah kepada Allah. ”Jika tidak bisa, iblis akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pintu depan, belakang, kanan, dan kiri,” katanya.

Karena itulah metode zikir ini akan menjadi benteng di empat pintu tubuh manusia. Manfaatnya, hati menjadi lembut. ”Kalau ada yang menghina, kita tidak akan sakit hati. Tapi kita harus membalasnya dengan kasih sayang,” katanya.

KS, Rana Akbar Fitriawan (Suryalaya)
--------------------------------------