PERANG melawan korupsi di negeri ini bakal menjadi pertarungan yang panjang. Di satu sisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergerak maju melawan korupsi. Di sisi lain, ada yang terus menyusun siasat untuk mengerdilkan KPK.
Satu per satu kewenangan KPK hendak digergaji. Di antaranya, berupaya menghapus kewenangan KPK untuk menyadap telepon. Paling mutakhir, anggota DPR mempersoalkan kewenangan KPK untuk mengumumkan laporan harta kekayaan pejabat negara kepada publik.
Pengumuman kekayaan kepada publik diidentikkan dengan penelanjangan. Pengumuman itu dinilai bisa menjurus kepada pembunuhan karakter. Itulah logika feodal yang masih terus dipertahankan, yakni pejabat memiliki hak istimewa untuk 'dilindungi'.
Jangan lupakan sejarah, bahwa DPR pernah berhasil membunuh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang gencar mengumumkan kekayaan pejabat negara melalui media massa.
Padahal, sebuah jabatan publik, termasuk wakil rakyat, adalah jabatan yang dapat disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri. Karena itu, harus ada keterbukaan dan akuntabilitas. Salah satu bentuknya ialah kewajiban membuka harta kekayaan yang dimilikinya. Bukan hanya jumlahnya, tetapi juga dari mana asalnya, serta wajar tidaknya hartanya itu jika dibandingkan dengan pendapatan resmi yang diperolehnya.
Apa yang menimpa Perdana Menteri Thailand Samak Sundaravej, yakni dicopot dari jabatannya karena menerima honor dari acara masak-memasak di televisi mestinya bisa menjadi pelajaran. Pelajaran bahwa asal-usul kekayaan pejabat publik harus terang benderang sebab rawan bagi persembunyian harta korupsi.
Oleh karena itu, harta kekayaan pejabat publik harus dilaporkan dan diketahui publik. Itulah transparansi, yang sedikitnya harus memiliki dua hal. Yakni, pertama memenuhi hak publik untuk tahu, dan kedua, ada kemudahan untuk mengakses informasi itu.
Namun, justru di situlah masalahnya. Dari waktu ke waktu, selalu muncul upaya untuk mengikis transparansi laporan harta kekayaan pejabat. Harta kekayaan memang dilaporkan, namun pengumumannya hanya boleh dilakukan melalui Tambahan Berita Negara. Tidak boleh disebarluaskan langsung lewat media massa.
Jika sebelumnya KPK memperbolehkan publik mendapatkan data kekayaan penyelenggara negara dengan mudah, saat ini masyarakat harus ke Percetakan Negara Republik Indonesia untuk mendapatkannya.
Ironis, sebuah negara yang tengah membangun kredibilitasnya melalui transparansi, wakil rakyatnya malah menghalang-halangi hak publik untuk memperoleh akses semudah-mudahnya bagi terwujudnya transparansi itu.
Di tengah banyak negara kian mempermudah akses transparansi untuk publik melalui media online, wakil rakyat kita malah memaksa publik menempuh jalan berliku untuk memperolehnya. Inilah upaya para kleptomania memukul balik upaya pemberantasan korupsi.
KPK tidak boleh mundur sejengkal pun oleh berbagai siasat untuk melucutinya. Kelompok penekan juga harus berbaris rapat di belakang KPK untuk memberikan dukungan moral. Negara bahkan harus didesak untuk membuat undang-undang yang menjamin kemudahan bagi publik mengakses informasi kekayaan pejabat.
Satu per satu kewenangan KPK hendak digergaji. Di antaranya, berupaya menghapus kewenangan KPK untuk menyadap telepon. Paling mutakhir, anggota DPR mempersoalkan kewenangan KPK untuk mengumumkan laporan harta kekayaan pejabat negara kepada publik.
Pengumuman kekayaan kepada publik diidentikkan dengan penelanjangan. Pengumuman itu dinilai bisa menjurus kepada pembunuhan karakter. Itulah logika feodal yang masih terus dipertahankan, yakni pejabat memiliki hak istimewa untuk 'dilindungi'.
Jangan lupakan sejarah, bahwa DPR pernah berhasil membunuh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang gencar mengumumkan kekayaan pejabat negara melalui media massa.
Padahal, sebuah jabatan publik, termasuk wakil rakyat, adalah jabatan yang dapat disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri. Karena itu, harus ada keterbukaan dan akuntabilitas. Salah satu bentuknya ialah kewajiban membuka harta kekayaan yang dimilikinya. Bukan hanya jumlahnya, tetapi juga dari mana asalnya, serta wajar tidaknya hartanya itu jika dibandingkan dengan pendapatan resmi yang diperolehnya.
Apa yang menimpa Perdana Menteri Thailand Samak Sundaravej, yakni dicopot dari jabatannya karena menerima honor dari acara masak-memasak di televisi mestinya bisa menjadi pelajaran. Pelajaran bahwa asal-usul kekayaan pejabat publik harus terang benderang sebab rawan bagi persembunyian harta korupsi.
Oleh karena itu, harta kekayaan pejabat publik harus dilaporkan dan diketahui publik. Itulah transparansi, yang sedikitnya harus memiliki dua hal. Yakni, pertama memenuhi hak publik untuk tahu, dan kedua, ada kemudahan untuk mengakses informasi itu.
Namun, justru di situlah masalahnya. Dari waktu ke waktu, selalu muncul upaya untuk mengikis transparansi laporan harta kekayaan pejabat. Harta kekayaan memang dilaporkan, namun pengumumannya hanya boleh dilakukan melalui Tambahan Berita Negara. Tidak boleh disebarluaskan langsung lewat media massa.
Jika sebelumnya KPK memperbolehkan publik mendapatkan data kekayaan penyelenggara negara dengan mudah, saat ini masyarakat harus ke Percetakan Negara Republik Indonesia untuk mendapatkannya.
Ironis, sebuah negara yang tengah membangun kredibilitasnya melalui transparansi, wakil rakyatnya malah menghalang-halangi hak publik untuk memperoleh akses semudah-mudahnya bagi terwujudnya transparansi itu.
Di tengah banyak negara kian mempermudah akses transparansi untuk publik melalui media online, wakil rakyat kita malah memaksa publik menempuh jalan berliku untuk memperolehnya. Inilah upaya para kleptomania memukul balik upaya pemberantasan korupsi.
KPK tidak boleh mundur sejengkal pun oleh berbagai siasat untuk melucutinya. Kelompok penekan juga harus berbaris rapat di belakang KPK untuk memberikan dukungan moral. Negara bahkan harus didesak untuk membuat undang-undang yang menjamin kemudahan bagi publik mengakses informasi kekayaan pejabat.