Mei 20, 2009

Di Tengah Kota Mencari Ketenangan Jiwa

Spiritualisme memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena ia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini. Tapi, ia ternyata justru muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Ya, seraya tidak kehilangan appeal-nya di ekonomi subsistem pedesaan, ia justru secara tak terduga me­nyembul di sana-sini di tengah-tengah materialisme modern perkotaan.

Meski gejalanya sudah tampak sejak tahun 1960-an bersama dengan berkembangnya counter culture di Ero­pa dan AS—yakni wilayah-wilayah pusat budaya baru ini—adalah Alvin Toffler yang mencatat di bukunya yang amat terkenal, Future Shock (1974), betapa di AS saja pada waktu itu telah bermunculan tak kurang dari 4.000 paguyuban spiritualisme. Pada saat hampir bersamaan, di negeri yang sama muncul suatu gagasan kontroversial yang dikenal dengan nama Aquarian frontier, suatu nama yang juga menjadi judul karya kontroversial Marylin Ferguson (1980). Di sekitar tahun yang sama, lahir gerakan re-enchantment of the universe, yang antara lain diartikulasikan dalam sebuah buku terkenal karya Morris Berman, lagi-lagi berjudul sama.

Gerakan-gerakan ini menandai kelahiran sebuah ge­rakan yang ingin mengembalikan kecenderungan parsia­listik rasionalisme Cartesian dan sains Newtonian kepada paradigma holisme yang irasional (intuitif) dan kontrasains. Selain itu, sejalan dengan kecenderungan New Age yang juga menerpa wilayah-wilayah yang sama, gerakan Aquarian ini memperkenalkan kembali kepada masyarakat modern berbagai tradisi dan budaya pramo­dern seperti penyembuhan holistik, biofeedback, meditasi, dan yoga.

Kalau dilacak lebih jauh, ketiga gerakan ini sedikit banyak bersumber dari suatu gerakan yang lebih dini, yakni Teosofi, yang diprakarsai oleh seorang Madame Blavatsky pada 1830. Gerakan ini berkembang ke seluruh dunia dan melahirkan kecenderungan kepada spiritualisme, perenialisme—yakni kepercayaan kepada sumber-tunggal semua agama dan kebenaran—bahkan kesatuan agama-agama, serta kepercayaan dan praktek-praktek esoteristik (kebatinan).

Di sisi lain, peradaban manusia, khususnya di perkotaan, bergerak ke arah kehidupan modern dengan segala konsekuensinya—baik dan buruk. Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, tapi juga kompetisi makin ketat yang melahirkan pressure yang terkadang tidak terta­hankan, gaya hidup instant dan serba cepat—termasuk hal konsumsi makanan—yang tidak sehat dan menimbulkan stres, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dalam keluarga dan bersosialisasi, kerusakan ekologis, dan sebagainya.

Pada gilirannya, semua ekses itu menggoyahkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Se­bagaimana dicatat oleh Tim American Psychological Association (APA), ketika mengajukan proposal mengenai perlunya dikembangkan psikologi perkotaan (urban psychology), kemajuan di perkotaan ternyata telah membawa juga bersamanya alienasi manusia modern dari dirinya sendiri. Pada puncaknya, hal ini meningkatkan anxiety, depresi, dan problem-problem mental-psikologis lainnya.

Lepas dari itu, kekosongan yang dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material, seolah mengajarkan betapa kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak di sana, melainkan di bagian yang lebih bersifat rohani (spiritual).

Memang, di samping maraknya berbagai respons yang bersifat deviatif—termasuk penyalahgunaan obat bius dan bunuh diri—manusia modern mengembangkan apa yang oleh Naisbitt disebut sebagai gejala high tech-high touch. Dalam konteks ini, arus balik itu mengambil bentuk menjamurnya paguyuban spiritual seperti tersebut di atas. Dan di antara berbagai orientasi spiritualisme, tak urung sufisme juga mendapatkan pengikutnya sendiri di kota-kota besar, bukan hanya di negara bermayoritas muslim, melainkan juga di negara Barat. Termasuk juga kelompok yang dipimpin Javad Nurbaksh, Idries Shah (dan saudaranya, Omar Shah), Bawa Muhaiyiddin, Syekh Nizham Kabbani, Syekh Fadhlullah Ha’iri, Hazrat Inayat, Khan, Syekh Abdl Kadir al-Sufi, Syekh Kabir Helminski, Fritjof Schuon, dan masih banyak lagi lainnya.

Pertumbuhan kota dan urbanisasi di negara berkembang kiranya hanya mengikuti apa yang terjadi di negara yang lebih dahulu maju. Indonesia tidak terkecuali. Barangkali menguatnya gejala kecenderungan kepada spiri­­tualisme perkotaan—dalam hal ini, sufisme perkotaan—di Indonesia hanya ketinggalan paling lama dua dekade dibanding gejala yang sama di negara-negara maju. Pertama tentu akibat perkembangan komunikasi dan globa­lisasi di antara berbagai bagian dunia, yang menjadikan apa yang terjadi di suatu bagian dunia selalu memberikan pengaruh kepada bagian dunia lainnya.

Selain itu, di Indonesia sendiri muncul penyebab-penyebab yang sama, yang telah menghasilkan kecende­rungan kepada spiritualisme seperti yang telah lebih dulu berkembang di negara maju. Itulah menguatnya kelas menengah kota sebagai hasil peningkatan secara pesat kemakmuran masyarakat berkat keberhasilan pemba­ngunan ekonomi Orde Baru. Maka berkembangnya apa yang kemudian disebut urban sufism (sufisme perkotaan) adalah hampir-hampir bersifat alami. Kita ingat betapa sejak awal 1980-an buku tasawuf amat digandrungi oleh pembaca muslim perkotaan. Kegandrungan ini terbukti tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat kelas menengah yang memang berasal dari kalangan yang biasa disebut santri, melainkan—meminjam Geertz—juga dari sebagian kalangan priayi dan abangan yang me­ngalami gejala born-again muslims.

Akhirnya, ada satu hal penting yang—untuk keperluan akademis maupun praktis—perlu dijernihkan. Ba­nyak orang, termasuk peneliti lokal dan asing, cenderung menggunakan (baca: merancukan) istilah sufisme (tasawuf) untuk beberapa hal yang sebetulnya tak sama persis. Mereka kadang memahami dan menggunakan istilah sufisme untuk menyatakan aspek teoretis dan filosofis dari esoterisme Islam, yang sesungguhnya paling tepat disebut sebagai ’irfan (gnostisime). Terkadang mereka mengidentikkannya dengan aspek lebih praktis dari tasawuf, yakni suluk (disiplin spiritual)—yang bisa diselenggarakan baik secara individual maupun berkelompok. Yang belakangan lebih berhubungan dengan manifestasi sosiologis dalam bentuk orde tasawuf (tarekat). Bahkan terkadang hanya dengan akhlak ataupun kesalehan (pietisme) yang bisa dilakukan oleh setiap muslim yang baik, tak peduli apakah mereka memiliki kecenderungan kepada sufisme ataupun tidak (termasuk kelompok ini bahkan kaum Wahhabi yang amat antitasawuf, ataupun Jamaah Tabligh yang menekankan pada kesalehan semata).

Memang, terkadang orang—dalam hal ini orang kota­—bertasawuf dengan bergabung bersama kelompok­ menekankan pada ’irfan sebagaimana dipromosikan oleh kelompok seperti Paramadina, IIMaN, Tazkiya Sejati (dulu), atau Ibn Arabi Society di mancanegara. Terkadang juga mereka lebih tertarik pada tarekat yang lebih tradisional, baik yang berkembang di perkotaan maupun di wilayah yang lebih tradisional, seperti Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Suryalaya (Abah Anom). Ada juga yang merupakan kombinasi antara ’irfan dan tarekat, seperti Padepokan Thaha, ataupun yang dianggap sebagai lebih superfisial seperti Tarekat Kadirun Yahya. Ada juga yang cenderung kepada kelompok—baik lokal maupun impor—yang lebih dekat kepada New Age (perenialistik), semacam kelompok Beshara. Bahkan ada yang memasukkan kelompok yang mungkin lebih tepat disebut sempal­an—bagi sementara orang, aliran sesat—seperti aliran Salamullah Lia Eden.

Penjernihan ini kiranya perlu demi menghindarkan pemahaman yang tidak fair kepada sufisme, yang hanya dapat memperpanjang berabad-abad sikap permusuhan dan penyesatan sebagian kelompok muslim kepada ge­rakan atau aliran tasawuf, yang sempat menghalangi tasawuf dari mendapatkan pengakuan kembali oleh mainstream muslim.
--------------------------


Berzikir Memecah Batu
Pondok Pesantren Suryalaya penganut tarekat ortodoks Qadiriyah Naqsabandiyah. Tasawuf konservatif yang tak lekang oleh zaman.

Selasa pekan lalu, pagi baru tiba di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Kokok ayam jantan masih bersahut-sahutan, tapi Pondok Pesantren Abah Anom, Suryalaya, sudah sejak tiga jam lalu penuh dengan aktivitas. Salah satunya yang dilakukan para santri di Masjid Nurul Asror itu.

Kiai Sandisi adalah salah seorang mursyid, artinya yang mencerdaskan, istilah untuk guru sufi. Apa yang tengah dilakukan para santri itu, kata Sandisi, disebut sebagai talqin, yang berarti belajar. Talqin diumpamakan menanam tunas baru yang harus dirawat. Tunas itu, kata Sandisi, dipagari oleh zikir berupa kalimat la ilaha ilallah yang diucapkan setiap usai salat lima waktu. ”Kemudian harus disiram dengan khataman dua kali seminggu setiap Senin-Kamis, lalu dipupuk dengan manaqib atau pengajian bulanan,” katanya. Khataman sendiri berarti penu­tup atau kumpulan dari semua doa.

Inilah sebagian dari tradisi tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang menjadi ”nyawa” pesantren yang berdiri sejak 1905 ini. Berasal dari Abdul Qadir Jaelani, guru sufi Iran pada abad ke-12, pengikutnya diperkirakan berjumlah sekitar 10 juta orang. Cabang-cabangnya antara lain ada di Jakarta, Bandung, Pontianak, Medan, hingga ke Sarawak, Terengganu, Kedah, dan Singapura. Masing-masing cabang memiliki wakil talqin, alias sang guru yang punya kuasa mengajar sekaligus membaiat—memberikan inisiasi kepada anak murid.

Dijelaskan Kiai Zaenal Abidin Anwar, salah seorang wakil talqin yang ada, tasawuf di situ diartikan sebagai upaya menggapai Allah sebagai S ang Pencipta; mencapai mardhatilah (keridaan Allah), makrifat (siapa Allah), dan mahabah (cinta Allah). ”Kalau kita belum berhasil mencapai tujuan itu, berarti masih ada kendala dalam hati yang harus dibersihkan, seperti musyrik, akhlak jelek, atau penyakit hati lainnya,” ujar Zaenal.

Pondok ini menjadi bagian dari 45 kelompok di sekitar Nahdlatul Ulama yang disebut muktabaroh, yakni kelompok-kelompok yang ajarannya tidak menyimpang dari syariah dan gurunya mendapat turunan langsung dari Nabi Muhammad. Landasannya Al-Quran, hadis Nabi, dan qiyas. ”Pelaksanaannya sahih, menggunakan Islam, iman, dan ihsan,” katanya.

Metode ini intinya bertumpu pada dua macam zikir: Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Untuk mengamalkan zikir yang pertama, setiap santri harus mengucapkan la ilaha illalah paling sedikit 165 seusai salat lima waktu. Kalau tidak sempat, boleh diucapkan tiga kali saja, meski tetap harus di-qodho, diganti, pada waktu senggang. Pun bisa ditu­naikan pada salat sunat. Yang jelas, jumlahnya tak boleh kurang dari 165 kali, lebih banyak lebih baik.

Sebelum melantunkan zikir la ilaha ilallah ini, kata dia, ada tiga syarat yang harus dipenuhi para ikhwan. Pertama, tak boleh batal berwudu. Kedua, kata Sandisi, suara harus jelas dan kuat serta tidak boleh ditambah atau dikurangi. Dia mencontohkan, ada zikir mengucapkan la ilaha illalah yang dientakkan pada saat kata la pertama. ”Seolah menambah hu­ruf alif atau hamzah,” katanya.

Yang benar, kata dia, pelafalan kata la itu harus lurus atau datar. Entakan baru dilakukan saat mengucapkan ilallah. Alasannya, kata dia, karena hati, seperti digambarkan oleh Nabi, keras seperti batu. ”Karena itu, berzikir dengan menekankan kata ilallah bagaikan memecah batu dengan martil,” katanya.

Yang ketiga, tak cukup diucapkan dengan lisan, tapi juga ditanamkan ke dalam roh secara fisik. Untuk mencapai­nya, ada tiga tahap. Pertama, saat meng­ucapkan kata la, ikhwan harus merasakannya hingga terbentang di tengah dada. ”Tarik dari bawah pusar, melin­tang melalui dada, hingga ke tengah otak,” ujarnya.

Saat mengucapkan kata ini, kepala ditarik dari posisi yang semula menunduk menjadi menengadah. Kedua, ­mengucapkan ilaha seraya menundukkan kepala ke arah rusuk kanan. Setelah itu, tahap ketiga, mengentakkan kata ilallah seraya memalingkan kepala ke arah rusuk kiri.

Ini semua bukan khayalan pesantren saja, kata dia, tapi murni berdasarkan Al-Quran, surat Al-Araf ayat 16 dan 17. Ayat itu menyebutkan ihwal iblis yang bersumpah akan menghalangi manusia yang akan beribadah kepada Allah. ”Jika tidak bisa, iblis akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pintu depan, belakang, kanan, dan kiri,” katanya.

Karena itulah metode zikir ini akan menjadi benteng di empat pintu tubuh manusia. Manfaatnya, hati menjadi lembut. ”Kalau ada yang menghina, kita tidak akan sakit hati. Tapi kita harus membalasnya dengan kasih sayang,” katanya.

KS, Rana Akbar Fitriawan (Suryalaya)