Sebuah Sajak Sederhana yang Barangkali Lebih Baik Jika Aku Sebut Saja Sebagai Surat Kemudian Merelakannya Pergi Agar Suatu Petang Kau Menemukannya di Depan Pintu Sedang Menunggu Kau Pulang Kerja, Saat Kau Sangat Membutuhkan Sesuatu untuk Dibaca Sesaat Sebelum Cepat Istirahat untuk Segera Segar Bangun Pagi Lagi dan Kembali ke Kantor yang Dipenuhi Orang-Orang yang Tak Mau Memahami Kau, Orang-Orang yang Cuma Mampu Membuat Kau Semakin Tersiksa Merindukan Aku
—kepada nurhady sirimorok
sebelum jam membangunkan azan yang tidur di kubah masjid kau dengan sangat hati-hati
kau pikir itulah saat paling tepat buat berangkat, saat pagi belum bisa melihat siapa yang
lewat apalagi melihat apa itu yang tiba-tiba jatuh dari mata kau, sesuatu yang hangat yang
segera menjadi embun di ujung-ujung daun rumput di halaman
jika harus aku menuliskan semua jejak-jejak kegelisahan kau yang tak rela meninggalkan
aku, tentu saja sajak ini akan sangat panjang, barangkali lebih panjang dari perjalanan yang
kau tempuh sebelum tiba di sana, di tempat sekarang kau dikepung kegelisahan lain yang tak mampu kau tampung, kegelisahan yang melahirkan kegelisahan baru yang lebih banyak dan
lebih kuat
maka aku tuliskan saja dua perihal sederhana yang barangkali paling segera akan aku dan kau lupakan:
—piyama yang kau kenakan malam itu yang kau biarkan teronggok lesu di kaki tempat tidur. ketahuilah, piyama yang belum aku bawa ke tempat cuci dan masih berada di tempat itu,
selalu bicara tentang kau yang amat berat menanggalkan tubuh kau dari pelukannya yang berpeluh malam itu
—lampu tidur yang tetap bangun tetapi bermata rabun, yang cahayanya kau biarkan separuh hidup separuh redup. ketahuilah, mata lampu yang hingga kini masih bertahan hidup itu,
melulu bicara kepada aku tentang alangkah baik kau tak mau meninggalkan bayangan tubuh
lebih jelas di dingin tubuh dinding kamar
sementara perihal-perihal lain, aku yakin akan ada dan tak ingin mati, tambah tumbuh, di
kepala aku atau di dada kau atau sebaliknya bahkan setelah kau pulang lalu pergi lagi berkali-
(sebenarnya aku tak suka menggunakan kata ‘kegelisahan’ dalam sajak ini sebab kau
terdengar sangat tersiksa oleh kata itu sementara aku tak menghendaki kau tersiksa sedikit
pun. namun entah kenapa aku hanya mampu menemukan kata itu buat menggambarkan
pikiran aku tentang perasaan kau saat hendak melepaskan diri dari kamar dan saat kau
dipenjara kamar lain di sana dan merindukan kamar ini di mana kau dan aku biasa berbincang sebelum tidur saling memunggungi)
Makassar, 2009
Mustafa Ismail
Kunang- kunang
maafkan aku bila pada satu sore aku
menemukanmu dalam gelas kopi dan meminumnya
stasiun tugu dan kali code memang telah jauh
tapi aku takut kau makin dekat,
masuk dalam darah dan menjadi kunang-kunang
di tengah padang
aku tidak ingin menjadi bocah-bocah malam
yang mengejar-ngejarmu dan mengajakmu
masuk dalam tidurku
sebab mimpiku makin aneh
bahkan aku tidak berani lagi bermimpi
malam makin menyakitkan
menyeret kita ke rumah jagal.
Semarang-Jakarta, 1 April 2009
Sepasang Kereta
—indrian koto-mutia sukma
mengapa code begitu penting diingat?
gardu itu memercik api.
“menyambutmu,” katamu dini hari itu
lampu memang tiba-tiba mati
kita tetap menghabiskan minuman dan
makan malam yang tertunda
rasanya aku telah mengenalmu begitu
lama: di manakah?
aku jarang ke stasiun
atau mungkin kau telah membentangkan rel
di depan rumah
setiap pagi menyamar menjadi sepasang tetangga
tapi aku tidak pernah melihatmu
selelah dini hari itu
tertidur saling berbagi mimpi: atau kau
sedang merancang sebuah pentas untuk esoknya?
wow, aku pun terlempar ke dalam sajakmu
sepasang peri kecil mengalungkan bunga
dan tersenyum tak henti-henti
“aku terharu mengenalmu,” katamu
mengapa kita menjadi begitu sentimentil?
baiklah, aku ingin menghadap jendela
di dalam gerbongmu yang sunyi
tanpa kau tanya ke mana tujuanku.
mengapa code begitu penting diingat?
kau telah tahu: dialah yang pertama kali
menyambutku, setelah dirimu,
bersama percik api di sebuah gardu.
Semarang-Jakarta, 1 April 2009
Mata Biru
selamat sore
aku harus pergi
apakah di sana hujan?
kupikir kau telah punya payung
aku hanya ingin mencatat:
matamu begitu biru
menyimpan pulau-pulau
dengan laut tak lagi asin
sore menjadi begitu ngilu
mulutku gagu
tapi harus kukatakan kini
aku menitip puisi di matamu
yang bakal jadi bibit hujan
dan sumber cahaya
selamat sore
aku harus pergi
tapi kereta telah lewat.
Yogyakarta, 30 Maret 2009
M Aan Mansyur
Mustafa Ismail