Koalisi yang dibangun menjelang pemilu presiden bermuara pada power sharing. Terpilihnya Boediono sebagai cawapres pendamping SBY mengerek posisi tawar partai politik pengusung koalisi Cikeas. Mereka menyodorkan proposal berisi pos-pos menteri yang diincar.
Perundingan panjang nan alot, menjelang tenggat pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden, agaknya membuat Prabowo Subianto kena flu. Suaranya serak, mukanya lelah. Tapi Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang digadang-gadang partainya untuk maju sebagai calon presiden itu terlihat cukup happy.
Keriangan ditampakkan Prabowo usai perundingan dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Istana Batutulis, Bogor, Jumat malam 15 Mei lalu. Dengan senyum lebar, ia mengatakan bahwa perundingan berjalan lancar, dan hasilnya akan diumumkan malam itu juga di kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
''Ya, nanti saya ke Teuku Umar,'' ujarnya kepada puluhan wartawan yang menunggu di luar pagar istana sejak sore. Yang diumumkan menjelang tengah malam di Teuku Umar tak lain mengenai koalisi yang akhirnya terjalin antara PDI Perjuangan dan Gerindra. Kedua kubu sepakat mengusung Megawati-Prabowo --dipopulerkan dengan sebutan Mega-Pro-- sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Saat pengumuman berlangsung, pasangan kandidat ini diapit sejumlah elite kedua partai. Ketua Partai Buruh Mochtar Pakpahan tampak bediri di belakang mereka. Rencananya, deklarasi resmi pasangan ini digelar di kawasan Bantargebang, Bekasi, Ahad pekan ini.
Tempat kumuh ini dipilih sebagai cermin pasangan itu yang memosisikan diri dekat dengan masyarakat kecil. ''Kami akan deklarasikan bukan di hotel berbintang, bukan di gedung universitas, bukan di mal,'' kata Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani, kepada Gandhi Achmad dari Gatra.
Ucapan ini seakan menyindir deklarasi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, yang berlangsung meriah di gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Insitut Teknologi Bandung. Dinamika politik begitu cepat berubah dan seringkali sulit ditebak. Siapa yang mengira bahwa Megawati dengan Prabowo dapat bergandengan, dan Prabowo yang selama ini berambisi menjadi capres akhirnya bersedia menurunkan ''call''-nya dan cukup puas menjadi cawapres?
Merunut riwayat komunikasi politik kedua partai yang seringkali berakhir dengan kebuntuan --utamanya karena masing-masing ngotot menjadi capres-- rasanya pertautan kedua kubu itu masih sulit dipercaya. Apalagi, kubu PDI Perjuangan sebetulnya sudah patah arang dan menyatakan tak mungkin bertaut dengan Gerindra. Lebih dari itu, PDI Perjuangan di saat yang sama tengah dipinang Partai Demokrat untuk diajak berkoalisi.
Elite "banteng" oke-oke saja. Maklum, jika rencana koalisi itu berjalan mulus, imbalan berupa sejumlah kursi menteri sudah dalam genggaman. Suatu hal yang jauh lebih menarik jika dibandingkan tetap menjadi partai oposisi yang praktis tak punya kursi empuk di pemerintahan.
Namun Megawati agaknya belum bisa melupakan ''perseteruan menahunnya'' dengan SBY, capres incumbent yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Mega pun menampik tawaran itu dan memilih merangkul Prabowo. Kabarnya, Taufiq Kiemas, sang suami yang juga Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan, sempat tak habis pikir atas keputusan sang istri itu.
Mungkin karena pegal hati atau lelah fisik, Taufiq sampai masuk Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta Selatan, dua hari sebelum perundingan di Batutulis. Apa yang menjadi perekat PDI Perjuangan dengan Gerindra sekaligus pemersatu Megawati-Prabowo? Pasangan ini, dalam bingkai basa-basi politik, boleh saja menyebut kesamaan visi dan misi partai, antara lain keberpihakan kepada wong cilik, sebagai alasan utama.
Namun alasan itu tak cukup kuat. Bukankah kalau memang berdasarkan kesamaan visi dan misi, kedua kubu bisa bertaut sejak jauh-jauh hari sebelumnya? Kalangan pengamat politik lebih cenderung melihat ''kesamaan nasib'' dan kesepakatan dalam hal perundingan bagi-bagi kekuasaan yang menjadi perekat utama persekutuan Mega-Prabowo.
Analis politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Kacung Marijan, misalnya, menilai pasangan Mega-Prabowo muncul lebih karena keterpaksaan lantaran keduanya senasib, tidak bisa memenuhi syarat untuk maju ke pertarungan pemilu presiden (pilpres) jika tidak bergabung. Sementara itu, waktu pendaftaran capres-cawapres di KPU kian mepet: terakhir 16 Mei 2009.
Kedua partai ini masing-masing mengantongi 95 kursi (16,96%) dan 26 kursi (4,64%), sehingga jika tidak bergabung, masing-masing masih harus menggandeng mitra lain untuk mencapai syarat 20% kursi legislatif atau 25% suara sah nasional. Tapi partai yang hendak diajak bergabung, khususnya yang lolos parliamentary threshold, sudah berjalan sendiri-sendiri.
Partai papan tengah, PPP, PKB, PKS, dan PAN, jauh-jauh hari telah merapat ke Demokrat, membentuk koalisi Cikeas. Golkar telah pula bertaut secara mulus dengan Partai Hanura, mengusung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto --yang dipopulerkan dengan sebutan JK-Win. Pertautan JK-Win malah terkesan tidak direcoki hiruk-pikuk tarik ulur pembagian kekuasaan.
Nah, di saat-saat terakhir itulah Prabowo mengalah, bersedia menjadi cawapres Megawati. Tarik ulur pun reda. ''Prabowo ingin Ibu Mega tidak terjebak koalisi dengan SBY agar citra Ibu Mega tidak jatuh,'' begitu kata Permadi, anggota Dewan Penasihat Gerindra, kepada Jefira Valianti dari Gatra. Sebagai imbalannya, Gerindra akan mendapat sejumlah besar kursi kementerian. ''Sekitar 10 kursi, tapi belum pasti. Mungkin bisa bertambah,'' bekas politikus PDI Perjuangan itu menambahkan.
Jatah yang diminta Gerindra ini cukup besar. Apalagi, jatah itu meliputi pos-pos menteri strategis, khususnya di bidang perekonomian, dari tingkat menteri koordinator hingga turunannya. Tapi ini sebetulnya belum seberapa dibandingkan dengan opsi yang sempat ditawarkan kubu Prabowo.
Kabarnya, kubu Prabowo siap membiayai seluruh kampanye asalkan diberi wewenang sebagai wapres plus, yang antara lain berkuasa menentukan pembagian kursi menteri. Permintaan terlalu tinggi inilah yang membuat perundingan kedua kubu menjadi alot.
Meski kubu PDI Perjuangan belum terbuka soal power sharing dengan mitra koalisinya, pernyataan kubu Gerindra jelas mengisyaratkan telah terjadi kesepakatan mengenai pembagian kekuasaan. Dalam pandangan pengamat politik Ray Rangkuti, hal itu sangat lumrah. ''Koalisi akan selalu membicarakan pemenangan dan pembagian kekuasaan,'' kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia itu.
Power sharing, kata Ray, memang perlu dibicarakan dan disepakati unsur mitra koalisi dalam rangka pembagian tugas pemenangan dan tugas di pemerintahan kelak. Pembagian kekuasaan yang berjalan mulus, meski baru sebatas janji, akan sangat berperan mengokohkan setiap koalisi yang mengusung pasangan capres-cawapres.
***
Janji-janji menyangkut pembagian kekuasaan itu pula yang agaknya mengokohkan kembali koalisi Partai Demokrat. Koalisi ini sempat terancam retak menyusul keputusan sepihak SBY menggandeng Gubernur Bank Indonesia, Boediono, sebagai cawapres. Partai Demokrat berkoalisi dengan empat partai papan tengah berasaskan keislaman: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Koalisi ini juga ditopang 18 partai kecil yang tak lolos parliamentary threshold.
Kubu partai papan tengah tadi, terutama PKS dan PAN, sempat kecewa berat lantaran merasa tidak dilibatkan SBY dalam menentukan cawapres. Apalagi, Boediono dinilai bukan pasangan ideal bagi SBY karena tidak punya basis massa dan tidak merepresentasikan figur Islam seperti diharapkan massa pendukung partai papan tengah. Sosok Boediono yang Jawa juga dianggap tidak sesuai dengan ''pakem'' koalisi kini: Jawa-non-Jawa serta nasionalis-Islam. Selain itu, ada kekhawatiran, Boediono penganut neoliberalisme.
''Kami merasa sebagai unsur koalisi kurang diapresiasi,'' kata Ketua DPP PKS, Mahfudz Siddiq. Sedangkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN, Amien Rais, menyatakan ketersinggungannya. Mereka sempat mengancam akan mencabut dukungan dan membuat poros alternatif, termasuk kemungkinan berkoalisi dengan JK-Win, serta Prabowo, yang pada waktu itu belum berpasangan dengan Megawati.
Baik PKS maupun PAN, juga PKB, telah menyodorkan nama cawapres dari partai masing-masing, tapi nama-nama itu hanya disimpan SBY. Pilihan SBY terhadap Beodiono, yang kabarnya juga diperoleh melalui salat istikharah, saat itu sudah final. Di lain pihak, kubu SBY tentu tak menginginkan koalisi Demokrat yang telah terbangun menjadi retak, dan muntahan koalisi bisa saja menguntungkan pihak lawan.
Malam itu juga, Selasa pekan lalu, kubu Demokrat mengundang pimpinan partai mitra koalisinya ke Wisma Negara, Jakarta, guna memberikan penjelasan seputar dipilihnya Boediono. Dari kubu Demokrat hadir Ketua Umum Demokrat Hadi Utomo, Sekretars Kabinet Sudi Silalahi, dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang juga tokoh PAN. Dari pihak tamu, yang tidak hadir hanya wakil dari PKS.
Pasca-pertemuan itu, PPP melunak dan menyatakan sikap mendukung SBY-Boediono. Kubu PKB, yang sejak awal merapat menyatakan dukungannya kepada SBY, siapa pun cawapresnya, semakin mantap berlabuh ke SBY. ''PKB tidak ikut protes karena PKB merasa tidak perlu protes,'' kata Ketua DPP PKB, Ahmad Ni'am Salim, kepada Sandika Prihatnala dari Gatra. Kabarnya, sejak awal PKB merasa aman karena telah dijanjikan beberapa kursi menteri.
Kubu PAN, yang mengalami riak di internal, juga melunak setelah keesokan harinya, Rabu pekan lalu, Amien Rais bertemu empat mata dengan SBY di Wisma Negara dan mendapat penjelasan dari SBY. Kubu PKS ikut-ikutan mengendur pula setelah petinggi PKS --Hilmi Aminuddin, Tifatul Sembiring, dan Anis Matta-- mengadakan pertemuan dengan SBY dan Hatta Rajasa di Hotel Sheraton Bandung, Jumat pekan lalu. Pertemuan ini berlangsung hanya beberapa saat menjelang deklarasi pasangan SBY-Boediono di gedung Sabuga.
Menurut Anis Matta, SBY berbicara empat mata dengan Hilmi. Kemudian pembicaraan --kali ini melibatkan pula Tifatul dan Anis Matta-- dilanjutkan dengan Hatta Rajasa karena SBY harus bersiap untuk acara deklarasi SBY-Boediono. Hasil pertemuan itu, PKS mendapat kesepakatan tentang platform politik, terutama bidang ekonomi. PKS akan tetap mendukung SBY selama pola kebijakan, terutama bidang ekonomi, masih mengedepankan ekonomi kerakyatan, kedaulatan ekonomi, dan kemandirian ekonomi rakyat.
Di balik kesepakatan tadi, ternyata ada power sharing yang diperkirakan menjadi faktor penting melunaknya PKS. Memang Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa power sharing itu baru akan dibicarakan setelah pasangan yang mereka dukung memenangkan pilpres. Namun ia tidak membantah mengenai delapan nama yang diajukan PKS kepada SBY untuk menduduki posisi menteri yang berbasis pelayanan. Misalnya Menteri Sosial, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, serta Menteri Usaha Kecil dan Menengah.
Beberapa nama yang disodorkan itu adalah Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring, Anis Matta, Salim Segaff Al-Jufri, dan Irwan Prayitno. Menurut Mahfudz Abdurrahman, anggota Majelis Syura PKS, PKS hanya minta empat hingga lima kursi menteri. Optimistis terpenuhi? ''Kalau soal janji-janji, kami sudah biasa (diingkari), karena kontrak politik nggak punya kekuatan hukum,'' kata Mahfudz Abdurrahman kepada Lufti Avianto dari Gatra. Pada Kabinet Indonesia Bersatu, PKS hanya mendapat tiga jatah kursi menteri dari empat kursi yang dijanjikan.
Karena itulah, analis politik Kacung Marijan menilai, manuver ''ngambek-nya'' PKS tidak lebih dari upaya menaikkan posisi tawarnya di mata SBY. Tapi kubu PKS sejak awal menyatakan, sikap ''ngambek'' PKS itu semata-mata sebagai bentuk protes atas sikap SBY yang secara sepihak memutuskan memilih Boediono.
Kubu Demokrat tak hendak membahas hal ini panjang lebar. Wakil Ketua Demokrat, Ahmad Mubarok, hanya mengatakan bahwa pertemuan Sheraton itu sama sekali tidak membicarakan jatah kursi menteri. ''Sharing ada, tapi tetap hak prerogatif presiden (dengan asumsi SBY terpilih kelak). Jadi, sudah dikunci,'' kata Ahmad Mubarok.
Hayono Isman, anggota Tim Sembilan Demokrat, beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Partai Demokrat sudah merancang kursi menteri di kabinet mendatang. Jumlahnya 33 kursi. Sebanyak 17 kursi akan diarahkan untuk partai koalisi, termasuk Partai Demokrat. Sedangkan sisanya diarahkan untuk kalangan profesional. Hayono pun mengatakan, semua itu merupakan hak prerogatif presiden.
Siapa saja yang bakal kecipratan kursi empuk tersebut, itulah yang masih menjadi tarik ulur di internal koalisi Demokrat hingga pilpres mendatang. Jika SBY-Boediono memenangkan pemilihan, tarik ulur itu mungkin akan makin kencang atau bisa pula mengendur, tergantung ketegasan SBY. Bila SBY kalah, tarik ulur soal jabatan itu akan pupus dengan sendirinya. Hal yang sama tentu berlaku bagi kubu pasangan Mega-Pro dan JK-Win.
Taufik Alwie, Hatim Ilwan, Sukmono Fajar Turido, dan M. Nur Cholish Zaein