Tak banyak antusiasme tersirat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 yang disampaikan pekan lalu. Target pertumbuhan ekonomi 5,0 persen tergolong moderat, sementara defisit anggaran sebesar 1,6 persen terhadap produk domestik bruto masih akan mengandalkan lelang obligasi pemerintah.
Di lain pihak, ada rencana ambisius. Angka pengangguran ditargetkan turun menjadi 8,0 persen dan kemiskinan 13 persen. Kontradiksinya, dengan tingkat pertumbuhan yang ”konservatif”, targetnya cenderung ”ambisius”. Mampukah RAPBN menyelesaikan kontradiksi itu? Ada dua hal pokok yang harus dijawab.
Pertama, seberapa besar sektor keuangan mampu menyediakan pendanaan guna mencapai pertumbuhan maksimal.
Kedua, seberapa besar pemerintah mampu membelanjakan anggaran itu secara efektif.
Keduanya membutuhkan reformasi birokrasi besar-besaran agar pembangunan bisa mencapai dua target utamanya sekaligus, tumbuh secara maksimal dengan tetap memerhatikan dimensi pemerataan (inclusive growth).
Kontradiksi sektor keuangan
Meski suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sudah turun menjadi 6,5 persen, mengapa bunga kredit masih bertengger 12-15 persen? Tentu bukan karena alasan tunggal yang deterministik. Paling tidak ada empat faktor utama.
Pertama, struktur perbankan masih dikuasai segelintir bank besar. Empat bank (Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI) menguasai sekitar 45 persen aset perbankan. Tiga di antaranya bank pemerintah (BUMN). Pasar perbankan ditandai dengan inefisiensi karena strukturnya oligopolistik.
Kedua, perbankan amat bergantung kepada debitor besar dalam pengumpulan dana pihak ketiga. Pada Mei 2009, jumlah total debitor perbankan mencapai 38,5 juta atau naik sekitar 25 persen dari bulan yang sama tahun sebelumnya. Meski demikian, segelintir debitor menempatkan dana besar sehingga perbankan amat bergantung kepada mereka.
Dengan kata lain, dunia perbankan yang oligopolis dihuni oleh debitor yang juga oligopolis. Keengganan perbankan menurunkan suku bunga kredit terkait mahalnya biaya untuk mempertahankan modal (cost of fund) dari segelintir debitor kakap ini.
Ketiga, terkait struktur debitor yang oligopolis, perbankan harus bersaing dengan suku bunga obligasi. Manakala yield obligasi masih pada 9-10 persen, bisa ditebak bunga deposito tak bisa terpaut terlalu jauh. Jika tidak, mereka akan kehilangan debitor besarnya yang bermigrasi ke pasar obligasi. Singkatnya, transmisi kebijakan moneter terhambat oleh tidak efisiennya struktur perbankan kita ditambah jenuhnya persaingan dengan pasar obligasi (crowding-out effect).
Kontradiksi sektor keuangan terlalu rumit dipecahkan karena terkait kebijakan rekapitalisasi perbankan pada masa lampau. Ketika pemerintah mengeluarkan obligasi untuk pertama kali pada tahun 2002, tujuan utamanya menutup biaya rekap perbankan. Kini, obligasi yang bersifat tidak diperdagangkan (non-tradable) dalam jumlah besar, dinikmati dunia perbankan. Mereka mendapat penghasilan cukup besar dari kepemilikan obligasi yang sebenarnya adalah kemasan baru dari (semula) racun (toxic) yang ada di tubuhnya. Obligasi pemerintah adalah ”madu” sekaligus ”racun” bagi dunia perbankan.
Keempat, masih tingginya risiko usaha di sektor riil sering dianggap penghalang penurunan suku bunga kredit. Perbankan memilih tidak menyalurkan dananya. Rasio pendanaan terhadap penyaluran kredit (loan to deposit ratio/LDR) tak lebih dari 70 persen. Artinya, modal masih lebih suka mangkal di perbankan daripada bergerak di sektor riil.
Kontradiksi sektor riil
Keengganan perbankan menyalurkan kredit tak bisa disalahkan sepenuhnya. Wajah sektor riil juga kian karut-marut. Survei Bank Dunia, Doing Business 2009, menurunkan posisi Indonesia dari 127 pada 2009 menjadi 129. Sementara Global Competitiveness Report menempatkan Indonesia pada posisi 55 dari 54 (2008).
Becermin pada dua survei ini, dua hal menjadi kendala pokok pada perekonomian kita. Pertama, minimnya infrastruktur, termasuk di dalamnya ketersediaan energi.
Kedua, buruknya institusi/kelembagaan dalam lingkungan bisnis kita, termasuk mengenai peraturan pemerintah, kepastian hukum, dan korupsi. Hanya dengan perbaikan infrastruktur dan dukungan institusi memadai, investasi (terutama asing langsung/FDI) akan datang ke Indonesia.
Infrastruktur
Jika infrastruktur adalah tulang punggung pemulihan ekonomi, mengapa anggaran untuk pos itu justru turun pada RAPBN 2010? Alasannya klasik, anggaran infrastruktur tak pernah digunakan maksimal sehingga secara realistis tak perlu ditingkatkan. Setiap tahun selalu ada sisa anggaran terkait infrastruktur. Tentu sebuah keputusan pragmatis yang realistis.
Reformasi birokrasi akhirnya menjadi salah satu tahapan krusial yang harus dilalui agar berbagai potensi perekonomian bisa diaktualisasikan. Tanpa dukungan sektor keuangan yang efisien, mustahil pembangunan berjalan lancar. Tanpa penggunaan anggaran secara maksimal, tak mungkin perekonomian akan mengalami pertumbuhan berarti. Antara tuntutan normatif peran birokrasi dan kondisi aktual, akhirnya menjadi sebuah kontradiksi yang sekian lama sulit dipecahkan.
Kontradiksi sebenarnya sesuatu yang bersifat alami, apalagi bagi perekonomian sedang berkembang seperti kita. Justru dalam kontradiksi-kontradiksi itu tersimpan potensi perkembangan yang menjanjikan. Persoalannya, tak banyak negara yang mampu keluar dari kontradiksi tersebut serta ”memenangi”-nya.
Akhirnya, para pemimpin terpilih negeri ini menghadapi dua pilihan penting; akankah mereka sekadar menjadi penjaga status quo sebagai ”Mr Business as Usual” atau melakukan banyak perubahan sebagai ”Mr Breakthrough”.
Jangan-jangan target-target konservatif menjadi pertanda, kita tak bisa sepenuhnya keluar dari kontradiksi-kontradiksi tersebut.
Oleh A Prasetyantoko Dosen Unika Atma Jaya Jakarta dan Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM