September 07, 2009

KESADARAN LINGKUNGAN; Riwayat Sedih Tangkubanparahu

Gunung Tangkubanparahu beserta keindahan alamnya tidak hanya menyimpan legenda Sangkuriang yang gagal menyunting ibunya, Dayang Sumbi. Gunung dengan ketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut ini juga menyimpan riwayat luka panjang akibat pengelolaan kawasan yang berpindah-pindah dan tidak profesional.

Saat ini, kawasan wisata itu dikelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Secara administratif, Gunung Tangkubanparahu berada di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Dari pusat Kota Bandung, obyek wisata andalan Jawa Barat ini berjarak sekitar 30 kilometer.

Ada tiga obyek wisata utama di Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanparahu, yakni Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas. Dari ketiga kawah yang menjadi pusat obyek wisata Tangkubanparahu, hanya Kawah Domas yang bisa dijangkau hingga ke bagian dasar. Di Kawah Domas, wisatawan bisa menikmati sumber air panas untuk berendam atau merebus telur.

Sebelum menikmati keindahan TWA, wisatawan harus berjibaku melintasi jalan masuk sepanjang 5 kilometer. Sekitar 80 persen aspal di jalan masuk telah mengelupas. Yang tersisa adalah kerikil dan pasir bebatuan. Di banyak segmen, jalan itu berlubang dan bergelombang. Kendaraan wisatawan sering kali terperosok ke kubangan air di jalan selepas hujan mengguyur.

Seusai menghadapi medan berat saat memasuki lokasi wisata, wisatawan harus puas dengan melihat kondisi TWA yang dipenuhi pedagang kaki lima. Mereka membuka kios berderet di bibir Kawah Ratu. Sejumlah pedagang kaki lima memaksakan wisatawan untuk membeli barang dagangan mereka. Hal itu membuat wisatawan kesal.

Informasi mengenai obyek wisata Tangkubanparahu pun sukar diperoleh wisatawan. Di kantor pusat informasi TWA yang berada sekitar 150 meter dari bibir Kawah Ratu tidak ditemukan satu pun brosur yang menjelaskan sejarah atau fasilitas wisata yang disediakan TWA Tangkubanparahu.

Sejumlah petugas keamanan tampak asyik bermain catur. Mereka baru masuk ke kantor ketika mulai ada wisatawan yang bertanya-tanya. Wisatawan hanya bisa melihat replika Gunung Tangkubanparahu dan sejarah singkat obyek wisata yang ditempelkan di dinding.

”Brosurnya sedang habis,” kata Enu Rohman, salah satu petugas TWA Tangkubanparahu. Enu mengaku bukan pegawai tetap di lokasi itu. Ia bekerja sejak tahun 1990-an di TWA Tangkubanparahu. Enu bertugas menjelaskan kepada wisatawan tentang sejarah dan keunggulan obyek wisata itu. Enu juga merangkap sebagai petugas keamanan.

”Namun, saya belum diangkat jadi pegawai tetap. Saya juga tidak digaji. Paling-paling saya diberi uang rokok Rp 150.000 per bulan,” katanya.

Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Wawan Irawan mengatakan, buruknya kondisi TWA Tangkubanparahu disebabkan pengelolaan yang tidak terfokus. ”Pengelola Tangkubanparahu sering berganti-ganti sehingga pengelolaan tidak maksimal,” katanya.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar berupaya mengangkat kembali citra Tangkubanparahu di mata wisatawan. Citra yang buruk sempat membuat Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Jabar mengalihkan lokasi wisata itu dari target kunjungan wisatawan asing. Pengalihan itu sudah berjalan lebih dari dua tahun.

Target kunjungan wisatawan asing kini dialihkan ke obyek wisata Gunung Patuha dan Kawah Putih di Bandung Selatan. Ketua Asita Jabar Herman Rukmanandi mengatakan, pengalihan itu akan dihentikan bila kondisi Tangkubanparahu lebih tertib dan nyaman bagi wisatawan.

Konsorsium

Bulan Juni lalu ditargetkan telah terbentuk Konsorsium Peduli Tangkubanparahu untuk mengembalikan citra positif wisata alam tersebut. Sejumlah pihak dilibatkan dalam konsorsium itu, yakni BBKSDA, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, Pemkab Subang, dan Asita.

Riwayat panjang pengelolaan Tangkubanparahu dimulai dari pembentukan kawasan wisata itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/UM-IX tertanggal 3 September 1979. Luas kawasan wisata yang terletak di lokasi hutan konservasi ini mencapai 370 hektar.

Pada tahun 1990, hak pengusahaan TWA Tangkubanparahu diberikan kepada Perum Perhutani. Pada Februari 2002, pengelolaan TWA Tangkubanparahu berpindah tangan. Saat itu muncul gagasan untuk mendirikan anak perusahaan Perhutani yang secara khusus mengurusi pariwisata kehutanan.

Pada Juli 2002, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menyetujui pendirian anak perusahaan Perum Perhutani, yakni PT Palawi (Perhutani Alam Wisata). Pendirian anak perusahaan itu diharapkan bisa membuat pengelolaan usaha pariwisata Perhutani lebih baik dan terfokus. Perhutani saat itu juga disibukkan dengan pengelolaan hutan produksi.

Selain Tangkubanparahu, PT Palawi juga mengelola dua obyek wisata alam lainnya, yakni Wana Wisata Baturaden di Jawa Tengah dan Wana Wisata Cobanrondo di Jawa Timur.

Pada Mei 2007, Menteri Kehutanan MS Kaban mencabut izin pengusahaan TWA Tangkubanparahu dari PT Palawi. Sebelum adanya pengelola baru, kawasan itu dikelola bersama antara BBKSDA dan Perum Perhutani Unit III wilayah Jabar-Banten hingga November 2007. Pihak-pihak yang terkait menolak menjelaskan alasan pengambilalihan pengelolaan tersebut. Kepala Bidang Humas Perhutani Unit III Jabar-Banten Ronald Suitela mengatakan, Perhutani hanyalah mengemban tugas pengelolaan obyek wisata itu.

”Sewaktu-waktu izin pengusahaan TWA Tangkubanparahu dicabut, maka kami tak berkeberatan mengembalikannya kepada pemerintah,” katanya.

oleh Oleh RINI KUSTAISIH