Agustus 03, 2010

AKU MATA HARI (87)

Kini, demi egoku ini aku menolak kata ’gila’ dalam permainan keindahan ini, sebab ’gila’ berhubungan dengan penyakit mental, ditandai dengan dissosiasi dalam proses kecendekiaan yang tidak tertata, sedangkan permainan seks harus dilakukan oleh tubuh yang sehat, tidak sakit, sehingga keindahan yang hendak dicapai sebagai tujuan, akan benar-benar sejati dalam citarasa, dan dapat dituturkan pula sebagai pengetahuan.

Aku sadar betul apa yang aku maui dalam perbuatan keindahan itu. Yang aku maui, dan sudah aku dapatkan, adalah dalam keindahan itu aku menemukan kebebasan jiwa yang sesungguhnya.

Dulu aku tidak bebas seperti sekarang. Sekarang aku tahu, ketidakbebasan adalah kejahatan yang diternak. Makanya kejahatan itu harus dilawan. Aku melawannya.

Betapa dulu aku bebal, mau- maunya memercayai isyarat moral dengan kalimat hafalan untuk setia pada perkawinan cara Barat yang terikat pada sejarah gereja, bahwa hanya maut satu-satunya alasan yang membolehkan seseorang mengganti pasangan seksnya. Lebih jauh, aku diingatkan untuk percaya dengan cadangan ketulusan hati dan kelurusan akal, bahwa pasangan seks yang telah disatukan dalam sakramen perkawinan adalah benteng yang harus dipertahankan sampai maut memisahkannya.
Kedengarannya itu memang elok di telinga.

Perkaranya—yang membuat aku melawan dengan hati yang    kokoh sekaligus pikiran yang keukeuh—adalah ternyata hal itu berjalan sepihak, yaitu pada pihakku sendiri, sementara pada pihak Ruud terus-menerus terjadi pelanggaran. Maka, ketika aku melawan, aku melakukan itu dalam dua alasan teruk: pertama karena tenahak, kedua karena marah.

Kini aku bebas dari siksaan batin yang begitu lama menghantui pikiran untuk setia pada ajaran gereja dalam menguduskan perkawinan. Setelah bermain seks dengan lelaki bukan suamiku, dimulai dengan Cremer dan berlanjut dengan Brousson, aku merasa telah berhasil melawan ajaran gereja.

Dan, kini, setelah Brousson, aku siap bermain seks dengan lelaki lain lagi yang bisa memberiku untung.
Ya, aku sedang berbicara tentang suatu permainan yang mesti menjadi profesi.
Kalau sampai tiba di Belanda nanti untuk mengurus surat cerai dengan Ruud, aku sudah bertetap pendirian, untuk berprofesi ganda, sambil memperagakan seni-pertunjukan tari dengan memanfaatkan tubuhku, aku pun mesti mendapat bayaran dari lelaki-lelaki yang berniat memberdayakan alat kemaluanku.
Saat ini, setelah beberapa kali bercinta dengan Brousson, aku beralih dengan Wiggers.
Wiggers tidak seganteng Brousson, tapi ajaib, aku mulai pandai pula melihat lelaki bukan lagi dari penampilan sosoknya, melainkan keberadaan sisiknya. Yang aku maksudkan, lelaki yang bermanfaat adalah hartanya, bukan harkatnya.

Dalam permainan untuk memilah harkat dan memilih harta, aku tahu betul cara-caranya. Yang pertama, tidak boleh ada rasa cinta dalam permainan itu. Yang kedua, jangan sampai permainan itu mencapai orgasme. Biar saja yang lelaki mengalami sendiri ejakulasinya.

Aku makin pandai melaksanakan pengetahuan ini setelah bermain dengan beberapa lelaki. Setelah Wiggers, aku bermain dengan De Bruyn, dan selanjutnya dengan Zuuderhoff, dengan Vinck, dengan Bijleveld, dengan Hoos. Aku hitung-hitung, sampai dengan lelaki terakhir, Van den Bers, sudah ada sepuluh lelaki yang bercinta denganku.

Sembarang lelaki dari kedudukan tertentu bisa aku jumpai di Harmonie. Dan, ada banyak hotel mewah di Batavia yang bisa aku minta untuk tempat bercinta. Di utara gedung Harmonie, seberang jembatan di Molenvliet West kelihatan Hotel des Indes dan di timur gedung Harmonie, di Rijswijk kelihatan Hotel der Nederlander.
Aku biasa bermain seks dengan tuan-tuan pejabat Belanda dari berbagai kedudukan di hotel-hotel itu.

147) sekarang menjadi gedung Bina Marga

oleh Remy Sylado