September 03, 2010

Melawan Arogansi Malaysia

Tiga petugas patroli di DPK yang ditangkap polisi Malaysia diperlakukan semena-mena: diintimidasi dan dipukuli. Bahkan, petugas DKP yang menjalakan ibadah puasa di kamar tahanan Malaysia itu tidak diberi makan sahur.

Tindakan arogan polisi Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Provinsi Kepulauan Riau, memicu kemarahan sejumlah elemen masyarakat. Demo anti-Malaysia pun berkobar di pelbagai kota di Indonesia. Senin pekan lalu, puluhan aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) berunjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.

Demo yang tidak berlangsung damai ini berakhir dengan penangkapan tiga demonstran oleh polisi. Tiga pengunjuk rasa, masing-masing bernama Trisson, Kesie, dan Thamrin, diciduk polisi saat melempari gedung Kedutaan Besar Malaysia dengan kotoran manusia. Ketiganya kemudian diamankan ke Mapolres Jakarta Selatan.

Sepanjang pekan lalu sejumlah unjuk rasa dengan tema serupa banyak terjadi di Jakarta dan Batam. Di Batam, para pemrotes membakar 70 bendera Malaysia dan foto para pejabat negeri jiran tersebut. Aksi ini dilakukan di tengah keramaian Terminal Feri Internasional Batam Center.

Banyaknya aksi-aksi seperti ini akhirnya membuat gerah Pemerintah Malaysia. Senin lalu kerajaan itu secara resmi mengirim "nota bantahan" kepada Kementerian Luar Negeri dan Polisi Republik Indonesia. Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Syed Munshe Afzaruddin Syed Hassan, mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap aksi di depan Kedubes Malaysia yang anarkis.

Syed Munshe menyayangkan aparat keamanan Indonesia yang gagal melindungi harta benda Kedubes Malaysia di Jakarta. Padahal, sesuai dengan konvensi Wina, properti perwakilan asing wajib dijaga sepenuhnya. "Jika mereka ingin mengadakan demonstrasi di luar kedutaan itu, silakanlah kerana mereka mempunyai hak. Namun mereka tidak harus merosakkan harta benda kedutaan," katanya seperti dikutip kantor berita Bernama.

Pada demo yang berlangsung kira-kira satu jam tersebut, pengunjuk rasa memanjat pagar kedutaan dan mengibarkan bendera Merah Putih. Mereka juga bertindak agresif dengan melumuri dinding depan Kedubes dengan lumpur dan menggoyang-goyangkan pintu pagar kedutaan. Demonstran yang marah juga mencungkil papan Kedutaan Besar Malaysia yang terpasang pada dinding marmer bangunan itu.

Protes Malaysia ini berselang kurang dari sepekan dari nota diplomatik yang dikirim Indonesia ke perwakilan negara itu. Rabu pekan lalu, Kementerian Luar Negeri, Hamzah Thayeb, mengirim nota protes melalui Duta Besar Malaysia di Jakarta. Selain memprotes pelanggaran wilayah, Indonesia juga menyampaikan keberatan terhadap penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan Perikanan (DKP) oleh polisi Malaysia di wilayah perairan Indonesia, kawasan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau.

"Kita menyampaikan sikap kita yang tidak dapat menerima apa yang dialami oleh pejabat DKP itu," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Menurutnya, seluruh kejadian, baik penangkapan tujuh nelayan Malaysia maupun penangkapan tiga petugas DKP terjadi di perairan Indonesia. Pernyataan ini sekaligus membantah klaim Malaysia bahwa kapal DKP menggiring nelayan dari perairan Malaysia ke perairan Indonesia.

***

Gangguan hubungan kedua negara dipicu gesekan antara kapal patroli Departemen Kelautan dan Kapal Patroli Malaysia. Seperti diketahui, tiga petugas DKP ditangkap oleh polisi laut Malaysia, 13 Agustus lalu. Tiga petugas DKP itu bernama Asriadi, 40 tahun, Erwan, 37 tahun, dan Seivo Grevo Wewengkang, 26 tahun.

Insiden itu terjadi setelah Kapal Patroli DKP, KP Dolphin, menangkap lima kapal nelayan Malaysia yang memasuki perairan Bintan pada koordinat antara 01-22-3906 LU, 104-28-8681 BT dan 01-16-8937 LU, 104-27-8178 BT. Tiga petugas menggiring kapal-kapal berbobot sekitar 10 gross ton itu dari atas KP Dolphin dan tiga petugas lainnya menguasai kapal tangkapan.

Saat hendak menggiring lima kapal tersebut ke Batam, datanglah kapal Marin Malaysia. Mereka mengklaim bahwa nelayan tersebut melaut di kawasan Malaysia dan memaksa patroli DKP membebaskannya. Tak banyak pembicaraan yang terjadi sebelum kapal Malaysia melepaskan tembakan ke udara dan mengambil paksa lima kapal tersebut beserta tiga petugas DKP di atasnya.

Sementara itu tujuh nelayan Malaysia yang sebelumnya dinaikkan ke KP Dolphin tetap dibawa ke Pos Laut Batam. Sebelumnya, informasi yang dipasok oleh otoritas keamanan Malaysia kepada Konsulat Jendral RI Johor mengatakan bahwa tiga petugas DKP tersebut diperlakukan secara halus dan keadannya baik-baik saja, namun faktanya tidak demikian. Ketiga petugas tersebut dipulangkan dengan luka hati dan fisik.

Saat utusan Konjen RI Johor Bahru menjemput ketiganya ke sel Balai Polis Daerah Ibu Pejabat Kota Tinggi, Johor Bahru, hanya ada dua petugas yang diserahkan. Satu orang lagi, yaitu Asriadi, harus dijemput di Rumah Sakit Kota Tinggi, Johor, karena luka-luka di kepala oleh kekerasan Polisi Malaysia saat proses interogasi.

Dari penuturan Asriadi diketahui, setelah di-keler dalam keadaan tangan diborgol, ketiganya dijebloskan ke sel dan disatukan dengan para kriminal. Polis Diraja Malaysia lalu melakukan intimidasi agar mereka mengaku telah melakukan penculikan terhadap tujuh nelayan. Mereka sempat dipaksa menandatangani dokumen-dokumen yang menyatakan bahwa mereka melanggar batas wilayah Malaysia dan merusak kapal nelayan Malaysia.

Tentu saja, tiga petugas patroli DPD itu melawan tindakan arogan polisi Malaysia. Tiga aparat Indonesia itu menolak menandatangani dokumen yang disodorkan polisi Malaysia. Ternyata, kelakuan arogan polisi Malaysia tidak hanya berhenti di situ. Tiga petugas DKP yang sedang menjalankan ibadah puasa di kamar tahanan Malaysia itu tidak diberi makan untuk sahur.

"Kami bertiga setiap harinya hanya diberi makan sekali, saat buka puasa. Untuk sahur tidak ada jatah," kata Asriadi yang kini telah dipulangkan. Namun dilepasnya tiga petugas DKP itu tidak gratis. Malaysia meminta pembebasan tujuh nelayan Malaysia yang diduga melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.

Maka tujuh nelayan asal Malaysia yakni Roszaidi, Bho Keen Soo, Razali, Faizal bin Muhamad, Muslimin Bin Mahmud, Lim Kho Huan, dan Cheng A Chai dibebaskan. Aneh! Tiga petugas patroli di DPK yang ditangkap polisi Malaysia ditukar dengan tujuh tersangka maling ikan. Padahal sederat aksi Malaysia itu menyinggung perasaan Indonesia.

Apalagi pelanggaran wilayah oleh kapal Malaysia bukan pertama kali terjadi. Selama tahun 2010 saja sudah delapan kali Indonesia mengajukan nota protes karena pelanggaran tapal batas. Namun kejadiannya selalu berulang. Dan untuk kesekian kalinya masalah ini bisa diselesaikan sebagaimana teman baik.

Senin pekan lalu, perwakilan kedua pemerintah mengadakan pertemuan. Di antaranya ada Duta Besar Malaysia Syed Munshe Afzaruddin, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pihak Kementerian Luar Negeri. Selain itu Menteri Luar Malaysia Datuk Seri Anifah Aman juga telah bertemu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Pemerintah Indonesia mengatakan, penyelesaian atas masalah ini masih berada dalam kerangka penyelesaian diplomatik dua negara yang bersahabat.

***

Persoalan perbatasan dengan Malaysia bak penyakit menahun yang bisa kambuh kapan saja. Itu karena kedua negara mempunyai versi masing-masing yang berbeda dan tak kunjung menemukan kata sepakat sampai sekarang. Dan salah satu titik sumir itu ada di perairan Tanjung Berakit, di mana gesekan aparat kedua negara terjadi.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. "Ada klaim Malaysia ada klaim Indonesia itu wajar dan bukan wujud dari tidak adanya persahabatan, tapi nanti di perundingan kita akan bicarakan hal ini," kata Marty.

Pihak Indonesia pernah menyatakan kesediaan berunding dengan Kerajaan Malaysia mengenai hal itu. Namun Malaysia masih belum siap, sebelum negeri itu menyelesaikan pembicaraan perbatasan dengan Singapura yang juga bermasalah. Untuk sementara, pemerintah kedua negara sudah sepakat menyusun standard operation procedures (SOP) untuk menghindari provokasi aparat kedua pihak di perbatasan.

Namun rencana itu tidak pernah dibuktikan kedua negara sampai kini. Saat pertemuan dengan para diplomat Malaysia, Menlu Marty Natalegawa kembali menjanjikan akan mempersiapkan prosedur standar bagi aparat perbatasan agar jangan sampai ada kesalahpahaman lagi.

Bila para demonstran dan pers Indonesia menanggapi persoalan ini dengan panas, di Malaysia tidak seperti itu. Kantor berita Bernama dan koran-koran negeri jiran itu masih memberitakan kejadian ini secara proporsional dan dingin. Koran Utusan Malaysia menulis bahwa insiden itu terjadi karena pihak Malaysia mendakwa nelayan yang ditangkap itu masih di perairan dalam negeri, manakala pihak berkuasa Indonesia pula mendakwa kejadian itu berlaku di perairan mereka.

Namun karena hal ini terjadi ketika Indonesia akan menyambut ulang tahun kemerdekaannya yang ke-65, maka itu menjadi terlalu sensitif dan panas. Koran itu menilai, sejak kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia bersikap sensitif soal batas sempadan.

Koran terbesar di Malaysia itu bahkan terkesan membela Indonesia dalam kasus ini dengan menilai tindakan Kapal Marin Malaysia berlebihan. "Tindakan Polis Diraja Malaysia menangkap petugas patroli Indonesia merupakan satu tindakan provokasi yang keterlaluan. Jika bukan kerana Malaysia dan Indonesia mempunyai hubungan yang cukup akrab, tidak dapat dibayangkan apakah yang akan berlaku," tulis koran milik partai pemerintah, UMNO, itu.

Mujib Rahman




Aksi Boikot ala Yesmil

Bila para demonstran meluapkan kekesalan dengan melakukan aksi-aksi jalanan, tidak demikian yang dilakukan dosen Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar, 56 tahun. Bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus lalu, pakar kriminologi itu seharusnya menerima penghargaan Satya Lencana Karya Satrya dari Pemerintah RI.

Ini adalah sebuah penghargaan bergengsi atas dedikasi Yesmil selama 26 tahun sebagai dosen yang mengabdi pada bidangnya. Namun, pada saat yang sama, ia justru memilih menghadiri upacara bersama seniman dan budayawan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

Ketidakhadiran Yesmil di acara penganugerahan Satya Lencana Karya Satrya adalah bentuk kekecewaannya terhadap Pemerintah RI di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai warga negara, Yesmil mengaku ingin Presiden SBY tahu bahwa masyarakat kecewa dengan sikap lunak pemerintah terhadap Malaysia.

"Di saat kita merayakan kemerdekaan sebagai bangsa berdaulat, sikap Presiden malah bertolak belakang. Kita dilecehkan Malaysia, tapi tidak berani berbuat apa-apa," katanya. Yesmil menganggap presiden terlalu lemah membiarkan negara-negara tetangga menodai kedaulatan negara.

Dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-65 RI, lanjut Yesmil, Presiden SBY sama sekali tidak menyinggung mengenai komitmen pemerintah menjaga kedaulatan negara. Isi pidato SBY, menurut Yesmil hanya normatif dan cenderung menonjolkan keberhasilan pemerintahannya. Mengecewakan.

Mujib Rahman