BERBAGAI proses demokrasi yang digelar akhir-akhir ini menyisakan fenomena golput yang cukup 'memprihatinkan'. Disebut memprihatinkan karena keyakinan bahwa apatisme tersebut terjadi sebagai bentuk keengganan publik yang seolah merasa tidak memercayai dan membutuhkan figur kepemimpinan yang ada, misalnya dalam perhelatan pilkada akhir-akhir ini.
Kegagalan pemimpin
Ketidakpercayaan itu tumbuh dan selalu memiliki alasan yang bisa dimengerti. Publik menilai pemimpin yang ada bukan saja telah gagal memberikan kebaikan dan peningkatan kehidupan kepada masyarakat, melainkan juga keberadaan para calon pemimpin sudah terlebih dahulu terendus bau busuknya. Pencalonan para pemimpin sering kali menggunakan 'politik atas nama'. Mereka menebar jaring dan janji serupa seperti masa-masa sebelumnya.
Akibat kondisi seperti itu, kesadaran rakyat tumbuh bahwa mereka tak mau ditipu kembali. Golput sedikit banyak merepresentasikan mereka yang sudah jengah dengan politik dan janji-janji busuk para calon pemimpin.
Contoh, besarnya angka golput pada pilkada Jawa Timur pada putaran pertama, dan diprediksikan akan naik tajam pada putaran kedua, bisa jadi merupakan salah satu fenomena yang mencerminkan hal tersebut. Para calon pemimpin yang ada dianggap kurang merepresentasikan dan kurang memiliki kepekaan terhadap kebutuhan rakyat. Publik juga sudah bisa menilai apa saja yang terjadi pada saat proses penjaringan calon pemimpin yang lebih banyak didominasi elite politik partai daripada merupakan kehendak publik.
Begitu jelas kenyataan yang menunjukkan partai politik nyaris sudah tidak memiliki 'taring' dalam pergulatan proses demokrasi, namun elite politik masih memaksakan kehendak bahwa dirinya seolah paling tahu kebutuhan rakyat. Partai merasa bahwa apa yang dilakukannya merupakan suara hati rakyat. Mereka memilih calon pemimpin yang bisa 'menyenangkan' partai dan tidak selalu harus mereka yang benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Ini menyesakkan dada sebab di antara calon yang ada pun tidak pernah tegas sikapnya terhadap para korban lumpur, misalnya.
Umumnya partai mengklaim diri dilahirkan dan dibesarkan dari kekuatan wong cilik. Faktanya, sepanjang periode pascareformasi partai-partai justru ditinggalkan konstituennya dan sering dihujat karena justru menjadi biang persoalan bangsa. Kekuasaan yang dicita-citakan sering hanya diperuntukkan kaum elitenya dan rakyat selalu ditinggalkan.
Baik partai lama dan baru, belum ada yang membuktikan diri mau berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat. Mereka yang berkuasa sering kali kehilangan arah ketika ia berkuasa. Mereka tak mampu menjalankan hal baik bagi perkembangan politik bangsa. Kini menjelang hajat pemilu digelar, mereka mencoba merangkul rakyat untuk mendukung upaya meraih kekuasaan.
Rakyat, komoditas politik partai
Mereka menjadikan rakyat sebagai komoditas untuk 'diperjualbelikan' dalam politik dagang sapi di tingkat elite. Rakyat tak pernah diperhatikan nasib dan masa depannya. Elite politik buta terhadap realitas sesungguhnya yang dialami rakyat.
Berangkat dari fakta di lapangan bahwa sebagian besar masyarakat kita terbangun apatisme dan melihat bahwa ideologi yang dibangun partai politik hanya lipstik, bukan roh. Ideologi yang ada belum membawa idealisme untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan bersama. Partai politik sering kali hanya menjual ideologi rakyat kecil, tetapi dalam kenyataannya rakyat kecil kerap kali dijadikan kendaraan semata.
Kenyataan inilah sumber 'malapetaka' ketidakpercayaan rakyat terhadap figur kepemimpinan yang diajukan partai. Citra partai terpuruk karena kegagalan partai mengoptimalkan fungsi-fungsinya secara konsisten dan konsekuen. Dominasi elite-elitenya yang cenderung manipulatif atas pendukungnya merupakan penyebab utama mengapa partai sulit mengubah kenyataan ini. Dampaknya adalah konflik internal partai yang menjadi bahaya laten setiap saat ketika terjadi proses perebutan kekuasaan.
Apa yang kita lihat dari perjuangan partai untuk mengangkat derajat kaum kecil dan tertindas? Mereka sering kali tidak serius mengambil posisi tegas ketika harga gabah petani rendah; harga beras dan bahan pokok lainnya naik; nelayan tidak bisa melaut; angka pengangguran yang hampir mencapai 40 juta; ketika para tenaga kerja kita nasibnya terkatung-katung di negeri jiran; ketika rakyat menjerit karena penaikan harga BBM dan seterusnya. Tidak ada perubahan dalam diri partai, tidak ada sebuah habitus dan cara pandang baru.
Kritik paling tajam, partai politik tak jarang hanya menjadikan dirinya seolah-olah sebagai media politik dagang sapi. Partai politik tak ubahnya sekadar alat perantara para pemilik kapital. Seolah tak berdaya menghadapi para mafia, mereka bungkam terhadap penderitaan rakyat.
Kegagalan politik partai
Partai politik sejauh ini belum memberikan makna dalam mengawal demokrasi. Demokrasi hanya dimaknai sebagai sekadar cara untuk membeli dukungan belaka. Dan demokrasi pun tak lagi memberikan harapan ketika partai politik dan elite politik terjebak pada permainan politik tingkat tinggi (high politics).
Kegagalan partai politik menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal mengakibatkan citra partai politik yang semakin memburuk di era reformasi ini. Fungsi sosialisasi, rekrutmen, dan artikulasi politik tidak lebih menonjol jika dibandingkan dengan fungsi meraih kekuasaan.
Ciri elitisme yang diperankan partai politik membuat apatisme rakyat terhadapnya semakin meningkat. Ketidakpercayaan itu semakin menguat dalam banyak hal, bahkan terhadap hal-hal baik yang dilakukannya. Antipati itu bukan tanpa sebab. Partai politik dinilai lebih banyak peduli kepada kepentingan kekuasaan daripada untuk memediasi kepentingan rakyat.
Banyak hal yang membuat masyarakat menjadi gusar akan sepak terjang partai politik yang dalam hal ini sering sekadar menjadi pedagang perantara. Partai menjual diri sebagai alat legalitas kepentingan para pemilik uang. Partai politik terpenjarakan oleh kekuatan modal.
Rakyat mulai menyadari strategi 'politik atas nama'. Dan mereka tak sadar bahwa 'politik atas nama' yang selama ini dijadikan legalitas dukungan kini menjadi semakin kabur. Rakyat tidak mau lagi dijadikan sebagai stempel kekuasaan. Rakyat mulai sadar dan yakin bahwa elite politik tidak lagi memiliki mata hati terhadap kebutuhan mereka.
Oleh Benny Susetyo, Pendiri Setara Insititute