Syariat Islam sesungguhnya telah mengatur berbagai sendi kehidupan manusia untuk menggapai kesejahteraan. Jika saja Syariat Islam ini dijalankan dengan benar maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan dengan sangat baik. Prof Bambang Setiaji, Rektor Universitas Muhamamdiyah Surakarta memiliki pandangan bahwa Syariat Islam itu bisa menjamin kesejahteraan rakyat. Berikut wawancara wartawan Republika, Indra Wisnu Wardhana dengan Prof Bambang Setiaji:
Syariat Islam sering dipertontonkan dengan tindakan menghukum seperti kalau berjudi atau mencuri dihukum cambuk. Menurut Anda apakah gambarannya seperti itu?
Itulah kesalahan kita sebagai umat Muslim. Karena, intinya syariat Islam adalah memberi bukan menghukum. Yang diperlihatkan sekarang ini sanksi-sanksi kepada masyarakat. Tentu saja ini tidak mengena, bahkan akan membuat rakyat menjadi takut. Ini memang harus segera direvitalisasi dan jangan dibawa ke simbol-simbol dulu.
Jadi gambaran syariat Islam itu sebenarnya seperti apa?
Syariah Islam maksudnya, uang negara sebanyak mungkin jatuh ke tangan rakyat. Mengapa demikian? Supaya rakyat tidak kriminal. Jika rakyat telah sejahtera semua, hukuman yang keras bagi yang melanggar baru diterapkan.
Kemudian, agar lebih religius lantas diterapkan pemakaian kerudung dan normal-norma yang diatur dalam Islam lainnya. Intinya syariat Islam itu yang memberi, bukan syariat Islam yang menghukum. Namun, kalau koruptor salah langsung dicambuk atau potong tangannya. Karena, memberi hukuman yang keras seperti pada koruptor juga ada dalam syariat Islam. Untuk hukuman yang keras dimulai dari atas tapi soal kesejahteraan dimulai dari bawah.
Apa yang bisa diterjemahkan dari konsep tersebut? Tokoh proklamator Bung Hatta dikenal dengan ajaran sosialisme religius dan itu nuansanya Islam. Apa maknanya?
Saya kira Islam itu tidak dibawa kepada simbol-simbol. Misalnya, daerah kalau mau mengusung syariat Islam jangan langsung wajib pakai kerudung, potong tangan, dan cambuk. Itu belakangan. Tapi, yang perlu dikedepankan pertama kali adalah sosialisme seperti masalah-masalah kemiskinan yang harus diperhatikan. Karena, sepertiga dari isi kandungan Alquran adalah membebaskan dari kemiskinan, perbudakan yang bisa diartikan sekarang sebagai perburuhan, perhatian pada anak-anak yatim, manula yang harus dihormati, maksudnya diberikan tunjangan oleh daerah.
Implementasinya dalam peraturan seperti apa?
Sebetulnya saya setuju kalau semua anggaran untuk rakyat ditentukan besarannya seperti pendidikan 20 persen, kesehatan, sumbangan pangan, kontribusi rakyat ditentukan sekian persen dari total dana APBN. Ini tak ubahnya seperti zakat yang sudah ditentukan besarannya, misalnya untuk fakir miskin sekian dan sebagainya. Zakat itu sebetulnya pajak yang dipungut oleh pemerintah. Tapi, pemerintah tidak bisa mengubahnya karena sudah ada ketentuan siapa saja yang menerima dan cara pembagiannya. Nah, model zakat itu kita tiru dalam membuat struktur anggaran. Ini harus dipatuhi dalam penentuan anggarannya dimulai dari pusat sampai daerah.
Bisa dijelaskan konkretnya dari implementasi tersebut?
Syariat Islam jika diterapkan di daerah-daerah maka dalam struktur anggaran keuangannya akan mencantumkan besaran uang yang akan diterima oleh orang miskin. Kemudian, tiap orang tua akan diberikan tunjangan berapa. Lantas, anak yatim juga diberi tunjangan oleh daerah. Misalnya, Aceh yang sekarang menerapkan syariat Islam, dalam struktur APBD nya harus ada santunan untuk anak yatim, orang miskin, orang tua (manula) dan kalau perlu ada santunan pendidikan. Ini bukan berarti pendidikan gratis tapi pendidikan harus mahal dan yang bayar pemerintah. Sekolah-sekolah membuat anggaran tinggi itu supaya berkualitas.
Kelihatannya konsep seperti itu sangat menarik?
Memang demikian Islam mengajarkan. Jadi, saya yakin tidak ada yang tidak setuju dengan syariat Islam kalau caranya seperti itu. Kalau divoting atau referendum, mengenai syariat Islam seperti itu saya yakin rakyat Indonesia baik Muslim maupun non-Muslim akan mendukung semua. Yang terpenting semua anggaran untuk golongan seperti yang disebutkan dalam Alquran. Baru setelah rakyat mapan diterapkan seperti kerudung, judi dilarang, kalau ditemukan dihukum cambuk. Tapi, semua sanksi ini diberikan setelah rakyat sejahtera dan tertata dulu.
Kenapa konsep yang begitu bagus selalu menimbulkan resistensi di masyarakat?
Karena umat Islam menurut saya salah, tidak menjelaskan content nya dulu tapi langsung syariat Islam yang menghukum. Karena, kata-kata itu menjadi bias. Tapi, kalau dijelaskan maksudnya, orang non-Muslim pun suka.
Sebagai contoh, warga non-Muslim akan suka rela membayar pajak kalau dijamin jatuh kepada rakyat yang miskin. Kalau ke jatuh ke rakyat miskin tentu mereka tidak akan berbuat kriminal. Usaha mereka jadi aman. Jadi orang non-Muslim pun senang dengan syariat Islam kalau dijelaskan maksud syariat Islam itu apa.
Dengan demikian perlu ada revitalisasi gerakan Syariat Islam?
Ya itu tadi, perlu ada revitalisasi pada content-nya saja. Dan, ini perlu dipraktikan dulu. Sebagai contoh, Muhammadiyah atau NU itu harus meminta masjid di lingkungannya memberikan zakat kepada yang miskin dengan memberikan beras lima kg/bulan. Ini sangat luar biasa kalau kemudian semua masjid mengikutinya. Kalau sekarang tidak terjadi seperti itu (maksudnya masjid tidak memberikan zakat), saya heran juga. Kalau setiap masjid yang ada menyantuni yang miskin 5 kg beras per bulan, rakyat akan melihat ini sebagai hal yang positif. Dan, kalau konsep negara kesejahteraan (wellfarstate) dijalankan, maka pemimpin pasti akan dipilih.
Untuk mengubah semua itu, siapa yang harus memulai?
Partai Islam, organisasi masyarakat Islam harus mulai menggunakan teologi sosialisme religius dari Bung Hatta. Mari diintepretasi lagi misalnya merevitalisasi zakat. Zakat itu sekarang dipungut oleh lembaga-lembaga tingkat nasional. Kemudian, kita atur yang nasional itu untuk perusahaan-perusahaan. Misalnya, untuk PPh badan itu oleh nasional. Kemudian, yang perorangan itu harus dari mereka kembali pada mereka. Artinya harus berbasis semua masjid. Alangkah indahnya karena perintah shalat dan zakat bersama-sama maka setiap masjid akan menjadi pusat zakat.
Bukankah dalam pemerintahan sekarang konsep memberi sudah dilaksanakan?
Memang sudah tapi masih sebatas seremonial misalnya saat puasa, lebaran atau pembagian daging saat Idul Adha. Mereka harus antre, nanti disuruh tepuk tangan. Saya paling sedih melihatnya. Kemudian ada bantuan langsung tunai (BLT) yang sebetulnya merupakan bentuk penghinaan pada rakyat. Itu dilarang dalam Alquran, ada ayatnya yang berbunyi: ''Janganlah memberi sambil memberikan kata-kata atau tindakan yang menghina.''
Apakah konsep memberi seperti dalam syariat Islam juga dipraktikkan di negara maju?
Sesungguhnya syariat Islam tidak bertentang dengan kehidupan modern dan bahkan negara barat menjalankan semua yang saya ceritakan. Memberikan santunan untuk anak yatim, orang miskin, manula, buruh dan sebagainya. Saya baru pulang dari Jerman dan Austria. Di Austria, semua santunan diberikan mulai dari skema untuk anak yatim sekian. Saya tidak tahu apakah negara-negara tersebut menerapkan konsep tersebut setelah melalui proses perenungan dan pencarian logika atau dari moralitas Kristen.
Bentuk perhatian negara barat seperti apa?
Di Austria, janda di sana disantuni 800 euro (Rp 12 juta/bulan), anak yatim 650 euro, pendidikan, perumahan untuk orang miskin dan sebagainya ditanggung pemerintah. Kalau begitu rakyat mana yang akan menolak. Kemudian di Australia, kalau orang tua potong rambut mendapat keringanan sampai 70 persen. Jika ada pengusaha yang lalai memberikan potongan maka usahanya bisa ditutup. Kemudian kalau kita naik kereta api terus ada orang tua didekat kita berdiri, maka kita yang duduk bisa didenda 50 dolar. Makanya kalau ada orang tua lewat, anak-anak muda di Austalia langsung berdiri dan memberikan tempat karena takut didenda. Jadi kalau peraturannya seperti itu pasti semangat. Karena, hal-hal seperti itu ada dalam syariat Islam dan negara-negara modern sudah menjalankannya.
Jika demikian apakah konsep syariat Islam sudah mendesak untuk dilakukan?
Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya sudah menerapkan syariat Islam. Kalau sampai sekarang belum ini merupakan persoalan politik. Karena, kalau negara mengakui secara eksplisit syariat Islam akan membawa konsekuensi poltik. Kalau idiologi itu yang dipakai, yang tampil kan ulama. Jadi mengapa banyak yang menolak itu karena sudah politik. Tapi, sesungguhnya kalau rakyat ditawari dengan kita tidak menyebut syariat Islam tapi hal-hal yang baik seperti memberi santunan pada janda, anak yatim, orang miskin, dan sebagainya, saya yakin rakyat setuju. Membawa syariat Islam ke arah seperti ini kita belum ada visinya.
Pemilihan presiden sebentar lagi akan digelar. Sebetulnya kita ini butuh pemimpin seperti apa dengan kondisi bangsa sekarang ini?
Pemimpin yang kita butuhkan sekarang ini adalah yang memiliki kejujuran, keteladanan, religius, dan sangat penting dari semua itu adalah kesederhanaan. Kenapa begitu? Karena, rakyat kita masih banyak beban dan miskin. Jika pemimpin kita tidak memiliki jiwa seperti itu, rakyat kita mau di bawa ke mana. Terus terang saya sebetulnya kurang setuju dengan pola penggajian kita yang gap-nya terlalu besar. Saya kasihan dengan rakyat yang miskin itu.
Bisa diberikan contohnya?
Kita lihat saja pola penggajian di Departemen Keuangan (Depkeu) yang menyatakan keluar sistim pengajian di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS). Saya tahu masalah ini karena kebetulan jadi pembimbing mahasiswa yang kebetulan orang Depkeu. Gaji pegawai Depkeu paling bawah dengan jabatan kepala sub seksi itu minimal Rp 15 juta. Ini sangat tidak tepat. Walaupun kalau dilihat secara internal gajinya tidak akan cukup tapi gap, jangan terlalu jauh.
Coba saja bandingkan dengan gaji guru besar (profesor) yang hanya Rp 2.850.000, hampir lima kali lipat bedanya. Padahal seorang guru besar itu berpikir, mengabdikan kepada perbaikan bangsa dan top karier. Jadi profesor butuh waktu lama sampai belasan tahun, tapi kalau jadi kasub sie cukup beberapa tahun saja. Ini kan tidak tidak benar.
Bagaimana kalau dibandingkan dengan gaji pekerja industri?
Nah itu masalahnya. Kalau kita bandingkan dengan pekerja di industri, gap akan kelihatan makin besar sekali. Seorang buruh atau pekerja industri yang gajinya minta naik Rp 10 ribu saja harus diperjuangkan dengan demo, mogok makan, sampai menginap. Kalau kita lihat gaji mereka cuma Rp 600 ribu per bulan, bandingkan dengan yang Rp 15 juta itu. Di sinilah pentingnya bagaimana supaya pemerintah tidak berorientasi keluar.
Memang jika dibandingkan dengan kehidupan negara maju, manajer bank atau selebritis di Jakarta gaji penyelenggara negara kita sangat kecil. Tapi, mestinya lihat kondisi rakyat yang dicerminkan dari gaji para pekerja industri itu. Ini harus disadari, bahwa para penyelenggara negara itu memimpin sebuah bangsa yang masih miskin. Jadi kesederhanaan itu sangat penting. Jangan berorientasi pada dirinya tapi rakyat.
Dengan kebebasan yang kita miliki apakah kesederhanaan itu masih relevan?
Betul, kita memang menikmati kebebasan berbicara, pers yang longgar dan sebagainya. Semuanya itu dulu dikekang. Tapi pada saat yang sama, ratu-ratuan muncul lagi, selebriti lepas kendali, homoseks yang sudah berani tampil.
Bayangkan saja nasib seorang yang miskin, homoseks, dididik konsumtif, hedonis lagi. Orang miskin hedonis kan tidak pas. Orang miskin mestinya prihatin. Zaman dulu orang miskin itu prihatin, sekarang orang miskin mengejar hedonis, kesenangan. Akhrinya terjadi ketidakpuasan yang meluas dan merata. Masing-masing orang menjadi tidak puas. Untuk mengatasinya, konsumtifisme harus dikendorkan dari sejak pimpinan sampai ke level bawah. Kalau konsumtifisme diturunkan akan memperbaiki neraca perdagangan luar negeri. Akan memperbaiki investasi, defisit perdagangan luar negeri dapat ditekan.
Kalau begitu pantas saja banyak pejabat kita yang korup?
Dalam pandangan saya reformasi yang sedang berjalan sekarang ini ada efek negatif yang membuat orang jadi berlomba-lomba melakukan korupsi. Lihat saja, para pejabat kita itu banyak yang korupsi karena ingin tampil kaya. Karena bergaulnya dengan selebritis, bankir, dan sebagainya lalu muncul keinginan punya kehidupan yang sama. Akhirnya Korupsi menjadi pilihannya.
Saran anda bagaimana?
Yang penting, gap penghasilan antara rakyat dengan penyelenggara negara jangan terlalu jauh. Kalau gaji rakyat Rp 700 ribu ya gaji pegawai jangan terlalu jauh dari angka itu. Upah rakyat itu hendaknya jadi patokan.
Kalau gap nya terlalu jauh itu tidak baik. Nanti seorang penyelenggara negara tidak bisa mengintepretasi, tidak bisa merasakan kehidupan rakyat miskin. Karena orang kalau menjadi kaya itu cenderung terbungkus, ibarat baru kaya sebulan, tiga bulan kemudian sudah lupa segalanya. Kesimpulannya harus ada empati kepada yang lain. Kalau pimpinan negara punya empati kepada rakyat itu akan mendorong alokasi APBN atau APBD jatuh kepada rakyat.
Kalau diukur sekarang ini yang jatuh ke rakyat kurang dari 20 persen. Nuansanya masing mementingkan birokrasi dan proyek-proyek yang mereka bisa dapat. wab