Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat kecewa dengan pernyataan anggota Senat Amerika Serikat (AS) yang terkesan mendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebab, menurut Presiden, tak selayaknya anggota Senat negara lain mendukung kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masalah Papua adalah masalah dalam negeri Indonesia.
Pernyataan itu dikeluarkan SBY menyusul adanya bahan tertulis yang mempertanyakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969, beberapa waktu lalu. Presiden menilai AS atau pihak mana pun tak berhak mengomentari urusan tersebut. ”Sulit bagi kita untuk menerima campur tangan yang terlalu jauh,” demikian salah satu pernyataan yang diungkapkan Presiden.
Reaksi negatif Presiden SBY tersebut tampaknya tidak menyurutkan beberapa kalangan di AS untuk berhenti bersikap arogan. Hal itu terbukti dengan munculnya kembali surat permintaan penangguhan penahanan 2 narapidana OPM yang dikirimkan 40 anggota kongres AS. Jelas itu juga dapat dinilai sebagai bentuk nyata intervensi AS pada Indonesia.
Papua secara yuridis formal merupakan bagian dari NKRI. Artinya, pihak lain atau negara asing yang mempersoalkan masalah Papua harus dilawan dengan berbagai cara, termasuk cara diplomasi atau politik.
Maka wajar jika reaksi kemudian muncul dari berbagai kalangan. Wakil Pesiden Jusuf Kalla yang juga sebagai Ketua Umum Golkar bahkan sempat mengancam untuk melakukan hal serupa terhadap permasalahan dalam negeri AS.
Intervensi AS dan sekutunya ternyata bukan hanya terhadap masalah Papua. Dalam sidang kasus kematian Munir, kuasa hukum Muchdi Pr, Luthfie menilai bahwa proses hukum terhadap kliennya sarat tekanan internasional.
Menurut Luthfie, tekanan yang dimaksud adalah datangnya surat dari Kongres AS ke Presiden SBY, serta Deklarasi Parlemen Eropa (European Parliament, Written Declaration on February 26th, 2008).
Surat Kongres AS meminta Presiden RI mengaitkan pengusutan perkara Munir tersebut dengan penguatan demokrasi di Indonesia.
Sedangkan dalam Deklarasi Parlemen Eropa, Pemerintah Indonesia diminta jangan hanya menyeret Pollycarpus ke pengadilan, karena diduga ada tersangka lain selain Pollycarpus.
Realitas yang ada memang membuktikan bahwa AS dan negara-negara sekutunya di Eropa selalu berusaha mendikte negara yang dinilainya lemah. Karena itu, kita berharap pihak-pihak yang berwenang di dalam negeri tidak mudah didekte pihak asing agar Indonesia bisa tetap tegak sebagai negara berdaulat.
Martinus, SH
Perum Citra Indah Blok A-10
Jonggol-Bogor