July 24, 2008 · Print This Article
Oleh A. Jafar M. Sidik
Jakarta (ANTARA News) - Salah satu cara menafsirkan persoalan kebudayaan dan sosial supaya esensinya terpetakan ialah dengan meretas dan membedah tanda-tanda yang memaknai kehidupan, fenomena, dan aktivitas sosial budaya manusia.
Dalam ilmu filsafat, mengkaji gejala kebudayaan dengan memahami makna tanda-tanda kehidupan itu disebut “semiotik”.
Upaya kritis menjejak esensi aspek sosial budaya kehidupan manusia seperti itulah yang menjadi pokok bahasan buku “Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya” karangan Benny H. Hoed, Guru Besar Emeritus, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.Secara khusus, Benny Hoed mengajak masyarakat menelusuri gagasan para pemikir filsafat Prancis seperti Jacques Derrida, Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, dan Charles Sanders Peirce tentang semiotik, tempat perilaku sosial dan kebudayaan bisa mulai dipotret.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan dalam semiotik, yaitu jenis tanda (ikon dan lambang), jenis sistem tanda (bahasa, musik atau gerakan tubuh), jenis teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda (kondisi psikologis, sosial, historis dan kultural).
Kendati memasukkan banyak unsur pembahasan, Benny memberi penekanan bahwa makna bahasa dalam kebudayaanlah yang sebenarnya ingin dia kupas dalam buku setebal 171 halaman yang diterbitkan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, April 2008, itu.
Benny mengenalkan dikotomi semiotik strukturalis Ferdinad de Saussure dengan pandangan pragmatis prakarsa Charles Saunders Peirce.
Secara umum ia berusaha mengenalkan pemikiran Prancis yang memang besar perannya dalam pengembangan semiotik, termasuk dalam pemaknaan bahasa.
Ia memandang pemikiran filsafat Prancis tentang makna tanda kehidupan, terutama bahasa atau linguistik, tidak kurang kayanya dari filsafat bahasa Amerika Serikat yang menjadi kiblat linguistik Indonesia.
Dia memang berlatarbelakang sastra Prancis dan alumnus Universitas Sorbonne, Prancis.
Inti bukunya membawa pesan bahwa kebudayaan dan persoalan sosial tidak bisa dipahami atau ditafsirkan hanya oleh satu interpretasi karena kebudayaan adalah proses dinamis yang tak mungkin didominasi satu atau segelintir kelompok terkuat saja.
“Semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk berpikir kritis dan memahami bahwa tidak ada satu otoritas yang berwenang memberikan makna atau penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita,” kata Hoed dalam bagian Pengantar.
Bahasa
Kacamata semiotik memungkinkan orang mengidentifikasi lebih terang gejala budaya dan sosial lewat tanda-tanda kehidupan yang menyertainya.
Sementara “tanda” itu difahami sebagai bentuk yang tercitrakan dalam kognisi manusia dan makna yang dipahami manusia. Pemikiran cenderung “struktural berbangun” itu diajukan Ferdinand de Saussure.
Sebaliknya, Charles Sanders Peirce menawarkan batasan “tanda” sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Sederhananya, “tanda” bukanlah sebuah struktur seperti dipahami de Saussers, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari sesuatu yang ditangkap panca indera.
Karena cenderung lebih dinamis dan terbuka atau lebih lentur dalam mengartikan “tanda” kehidupan, pemikiran Sanders Peirce sering disebut semiotik pragmatis, sedangkan pemikiran Saussere disebut strukturalis.
Namun, kedua kubu sebenarnya berupaya mengatakan semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda -bentuk-, makna, dan sesuatu yang terkandung dalam “tanda” yang satu sama lain berkaitan dengan cara memahami makna dalam kebudayaan.
Benny Hoed sepertinya berhasrat memokuskan pada pemikiran strukturalisme sehingga ia memaksa diri untuk mengenalkan pemikiran filsuf kontroversial Jacques Derrida yang memang dianggap memiliki tempat spesial dalam semiotik dan pemikiran kritis.
Karena hendak menguliti esensi kebudayaan lewat teropong sistem makna dalam bahasa, Benny tidak hanya mengajukan Derrida sebagai pemikir filsafat, namun juga sebagai pakar linguistik yang adalah habitat awal si filsuf.
Yang diterkam Benny Hoed dari Derrida terutama peperangan sang filsuf penggagas dekonstruktivisme itu dengan strukturalisme de Saussure menyangkut posisi dan pemaknaan bahasa yang cenderung sosialistik, selain kritiknya terhadap filsafat bahasa Edmund Husserl yang humanistik.
De Saussure menilai bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya didasari konvensi dalam kehidupan sosial, sedangkan Derrida menyebut bahasa bisa memenuhi dirinya sendiri sehingga tak tergantung pada nilai yang dibentuk sistem sosial.
Buku ini selanjutnya mengupas kutub-kutub pemikiran berbeda mengenai semiotik yang berusaha disampaikan seterang mungkin dengan mengkontekstualkan pengertiannya dengan alam pikiran orang Indonesia dan disampaikan melalui pola yang cenderung dialektis.
Sebagaimana umumnya literatur kampus, buku Benny Hoed ini tidak berusaha mengajak pembacanya bersetuju dengan satu perspektif atau salah satu kubu pemikiran saja, sebaliknya ingin mengenalkan bahwa ada banyak perspektif yang bisa dipakai untuk membedah esensi kebudayaan dan sistem nilai sosial.
Buku ini diurai secara runut sejak bab pertama sampai bab empat, namun saat berpindah ke bab lima sampai bab delapan, pembahasan tampak meloncat tak terjembatani.
Pengarang sepertinya tidak sabar ingin mengungkapkan penjabaran teori-teori semiotik dalam persoalan sosial budaya aktual di masyarakat, namun lupa merangkainya menjadi hal yang utuh.
Lewat pemakluman pembacanya lah, bab-bab tersebut terasa terjembatani sehingga bagian-bagian karya Benny Hoed ini bisa dipandang sebagai sebuah kesatuan, bukan kumpulan tulisan yang dibukukan.
Barulah pada bab terakhir yaitu bab kesembilan, jembatan yang menghubungkan bahasan teoritik dengan deskripsi praktis terlihat jelas.
----------------------------------------------------------------------------------
Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes
July 24, 2008 · Print This Article
Oleh: Anang Hermawan[1]
Representasi Realitas
Mempertalikan semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media. Taruhlah dengan sebuah klaim sederhana para penganut semiotika, bahwa di balik bahasa media seringkali terkandung ‘sesuatu’ yang misterius. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut . Sekadar untuk keperluan pengantar, bagian berikut mencoba memaparkan secara singkat beberapa konsep yang relevan sebagai titik tolak pemahaman, yakni tentang representasi.
Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Peralihan studi kebudayaan dalam ilmu sosial dan humaniora cenderung menekankan pada pentingnya makna. Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.[2] Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.
Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya. Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media dapat dipahami sebagai produksi makna. Sebagai kesatuan organik, media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang dimereka hadirkan ke ruang publik. Mengapa representasi menjadi penting dalam kaitan ini? Dalam konteks ini terlihat menarik untuk mempersoalkan landasan filosofis yang menjadi basis penggunaan istilah tersebut. Mula-mula penting untuk membedakan term representasi dengan refleksi dalam memahami kembali produk media atau praktek bahasa yang mereka lakukan. Seringkali penggunaan kata representasi ini diperlawankan dengan kata refleksi, karena keduanya memang keduanya mengimplikasikan pandangan yang berbeda terhadap realitas yang ditampilkan media (realitas kedua) dengan realitas yang sebenarnya (realitas pertama). Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan ‘cermin’ realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Media berperan sebagai reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada berlangsung dalam masyarakat, tidak kurang dan tidak lebih.
Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.
Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda.[3] Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.
Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems.[4]
Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa.[5] Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).
Mungkin menjadi lebih menarik untuk menghubungkan persoalan representasi ini ke dalam fenomena bahasa media. Dalam relasi antara media dan ‘pembaca’-nya, pertama kali harus dipahami bahwa awak media adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya keniscayaan subyektif dari bahasa media tak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari media yang bersangkutan. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alis media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap bahasa media sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation pembacanya. Dengan demikian diskusi mengenai bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam awak media, yang kali ini dapat diklaim sebagai perwujudan media itu sendiri.
Semiotika dan Komunikasi
Sekadar untuk sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.
Terdapatnya banyak definisi komunikasi tidak mungkin untuk dibahas terlalu jauh dalam tulisan ini. Ringkasnya, cukuplah dikatakan bahwa pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik.[6] Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung. Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana memntingkan makna-makna yang bersifat subyektif.
Berbeda halnya dengan tradisi pertama, perpektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya.
Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.[7] Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.
Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.[8] Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.
‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain.
Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.[9] Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.[10] Pengertian lain dapat pula diambil dari pos-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.
Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam situasi heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat.[11] Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)
Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya.[12] Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlnagsung dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus (ISA) dan reppresive state apparatus (RSA). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural (semiotika maupun wacana) dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi.
Analisis Mitos: Sebuah Perangkat Kajian Semiotika
Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks/bahasa media dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos.
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos.[13] Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara.[14] Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.[15]
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif.[16] Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial.[17] Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna umum dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya.
Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language).[18] Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[19] Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan.[20] Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Artikulasi mendasar dari proses ideologis tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural. Maka ideologi bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri. Ideologi bekerja ibarat sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi.
Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi.[21] Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history”.[22] Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.
Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi.[23] Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis. Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita acapkali menjadi orang rabun itu.
*************
…….tepi selatan kaki Merapi, hari kedua 1427 H.
Daftar Pustaka
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.
Berger, Arthur Asa, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982.
Fiske, John, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.
Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991.
Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.
Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997.
Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
Tolson, Andrew, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996.
Christomy, T., & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004.
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.
Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995.
Storey, John (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994.
St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004.
*********
[1] Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.
[2] Alan O.Connor: “Culture and Communication”, dalam John Downing, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990, hal. 29.
[3] Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997, hal.5.
[4] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 16.
[5] Hall, op. cit., hal. 17.
[6] John Fiske, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990, hal 1.
[7] Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, hal.1.
[8] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 256.
[9] Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘how’dan ‘why’ dari teks.
[10] Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996, hal. 228.
[11] Ibid., hal. 29.
[12] Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
[13] Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997, hal 16.
[14] Roland Barthes, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, Harvester Wheatsheet, New York, 1994, hal. 107.
[15] Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996, hal. 7.
[16] Manneke Budiman: “Semiotika dalam Tafsir Satra: Antara Riffaterre dan Barthes” dalam T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004, hal 255.
[17] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.
[18] Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995, hal. 113.
[19] Budiman, op.cit., hal. 255.
[20] Ibid., hal. 112. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today” dalam John Storey (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994, hal. 107.
[21] Berger, op.cit., hal. 30.
[22] St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004, hal. 116.
[23] Ibid., hal. 126.
------------------------------------------------------------
Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media
Oleh : Anang Hermawan[1]
The political economy of information, as reference, for a communication scientific field, is widely used as a generic term for the political and economic investigation of media discourse. As media construction, an information, frequently represent political and economical interests. Critical Discourse Analysis (CDA) become one important model to analyse relationship between reality,, ideology and power relation in media. Interdiciplinary combination of linguistic theory, critical theory, and political economics thought used to analyse how political or economical interests play in media appearance.
Pendahuluan:
Kajian tentang ekonomi politik informasi boleh jadi merupakan kajian yang relatif baru dalam studi ilmu komunikasi. Istilah ’ekonomi politik informasi’ atau acapkali dipertukarkan dengan istilah ’ekonomi politik media’ merupakan istilah generik yang digunakan secara luas untuk mengkombinasikan kerangka teoritik komunikasi dengan kerangka teoritik politik dan ekonomi. Keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang yang rentan terhadap pengaruh keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi media, apa yang disebut sebagai ’informasi’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Oleh karenanya tulisan ini akan mencoba memulai dari perspektif mikro, yakni bagaimana kita terlebih dahulu memandang informasi untuk lantas manapaki level yang lebih makro yakni bagaimana perspektif ekonomi politik lazim digunakan dalam melihat media.
Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media tentu saja menjadi pertanyaan paling menarik. Berangkat dari apa yang kita konsumsi sehari-hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan, kita akan menengarai terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhananya, apapun yang kita terima dari media itulah yang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Informasi tersusun atas serangkaian bahasa yang terstruktur menurut aturan kelaziman pemakaian, sehingga antara iklan dan berita tentu mempunyai jenis, kadar dan muatan tersendiri. Sehingga dalam kajian mengenai ekonomi politik informasi, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahkan tulisan ini mencoba menengarai problem ekonomi dan politik media dengan berpijak pada analisis bahasa.
Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi informasi. Isi media notabene merupakan sekumpulan bahasa yang terangkai menjadi satuan-satuan struktural yang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Kendati demikian, bahasa itu sendiri pada dasarnya adalah realitas tersendiri. Bahasa bukan saja mampu mengkorup realitas sedemikian rupa sehingga ia tidak selalu sama persis dengan realitas yang sesungguhnya, melainkan juga mampu menciptakan citra yang berlebihan terhadap realitas yang sesungguhnya. Bahasa mampu mengkonstruksi realitas, demikian ungkapan yang layak digunakan untuk memperlihatkan bekerjanya bahasa di dalam mereproduksi realitas yang disampaikan pada khalayak melalui media. dalam ungkapan singkat, bahasa memproduksi wacana, yakni ketika suatu informasi direproduksi melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas yang diinformasikan dengan khalayak media.
Bahasa dan Representasi: Pergeseran Teoritik
Kemampuan bahasa untuk memproduksi wacana menjadi satu bahasan menarik untuk dikaji, bukan saja karena penampilan realitas yang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa, melainkan juga karena pengguna bahasa (media) tak jarang menjadi subyek yang patut dipertanyakan posisinya atas informasi yang direproduksi. Isi media bukan saja menampilkan citra realitas, melainkan sesungguhnya citra media itu sendiri. Oleh karenanya, kajian wacana bahasa menjadi tolok ukur untuk menguji sejauh mana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi sosial. Informasi yang tersaji dalam bentuk berita misalnya, pada tingkat tertentu dapat mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarnya. Sementara, jika dipahami secara mendetail, berita sendiri pada dasarnya merupakan serangkaian interpretasi yang telah terolah berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita adalah sebuah entitas obyektif tentu masih menyimpan sejumlah pertanyaan. Di sisi lain, untuk mengatakan bahwa sebuah berita disebut sebagai realitas subyektif murni tentu juga tak beralasan karena untuk menuangkan suatu peristiwa menjadi teks berita tentu menmbutuhkan persyaratan yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Terkait dengan kajian wacana bahasa itu sendiri, pertama kali harus dipahami bahwa model ini merupakan salah satu bagian dari pemikiran yang memandang berita sebagai konstruksi sosial yang bersifat subyektif. Pemikiran tentang wacana memperlihatkan wilayah teoritik tersendiri dalam mengkaji isi media. dalam catatan Eriyanto (2001: 4), setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai keterkitan antara bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama berasal dari kaum posistivisme empiris yang meyakini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan obyek. Bahasa dianggap sebagai sebuah realitas obyektif yang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenanya sisi subyektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa. Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan begitu saja realitas. Dalam kaitannya dengan informasi alias produk media, paradigma posistivisme-empiris meyakini bahwa apa yang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama (realitas sosial) ke realitas kedua (realitas media) tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.. Seolah-olah, media adalah cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya. Dalam kajian media, pandangan reflektif ini mendapat tempat melalui analisis isi kuantitatif yang notabene merupakan analisis struktural sederhana yang tak mau terlibat jauh dengan kontek di luar bahasa.
Pada sisi lain, isi media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas. Keyakinan ini muncul dalam paradigma konstruktivisme. Media tidak layak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan media sekadar ‘representasi’ apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa media tidak layak lagi diterapkan. Pikiran manusia membawa konstruksi nilai tertentu yang kemudian dalam mewujud sebagai produk media. Dalam perspektif konstruktivisme, produk media adalah man made; sehingga subyektivitas manusia pembuatnya adalah hal yang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas obyektif adalah tidak mungkin. Menurut Eriyanto (2001:5), pandangan ini berasal dari tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subyek dan obyek bahasa. Subyek atau pengguna bahasalah yang menjadi faktor sentral dalam kegiatan wacana, karena subyeklah yang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud tertentu.
Perbedaan klaim dalam memandang produk media boleh jadi memang tak akan berakhir karena berbedanya paradigma yang digunakan. Lantas bagaimana dengan “makna” akhir dari suatu informasi atau produk media? Jika dinaikkan ke tingkat epistemologis, paradigma posistivisme empirik dan paradigma konstruktivis berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan yang dapat dihasilkan praktik berbahasa media. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika menengarainya menggunakan paradigma yang berbeda dan sesungguhnya inilah yang menjadi salah satu basis perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.
Perbedaan cara pandang itu dapat kita tilik dengan menggunakan pola Lasswellian yang mengandaikan komunikasi sebagai who says what in which channel to whom with what effect (McQuail & Windahl, 1993:13-14). Oleh Harold D. Lasswell, komunikasi digambarkan sebagai proses transmisi pesan (isi media/produki media) dari komunikator (media) kepada komunikan (pembaca/khalayak) melalui media dengan efek tertentu. Muncul semenjak tahun 1948, rumusan komunikasi Laswellian bertahan selama puluhan tahun. Model tersebut memperkuat dirinya dengan beragam metodologi yang mengindikasikan sejauh mana pengaruh media terhadap khalayak. Model komunikasi tersebut memperlihatkan perlakuan awal dari perilaku komunikasi pada paruh pertama tahun 40-an yang kurang lebih melibatkan komunikasi sebagai kegiatan persuasif. Secara implisit, dapat dikatakan setiap pesan (isi media / informasi) memiliki efek sehingga dalam kaitannya dengan media massa, komunikasi mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalayak (McQuail & Windahl, 1993: 14). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa peran penguasaan makna ada pada komunikator. Jika terdapat kegagalan komunikasi, maka diperiksalah letak kegagalan itu pada salah satu unsur yang terdapat pada rumusan itu, entah pada komunikator atau isi pesannya. Maka metode analisis ini (content ananlysis) mendapat sandaran epistemologis dari paradigma ini.
Berbeda halnya dengan pendekatan posistivisme empirik, perspektif konstruktivis justru memperhatikan peran penguasaan makna dari yang semula condong pada komunikator, kini beralih pada komunikan atau receiver. Peran lebih untuk memaknai diberikan kepada penerima pesan yang dalam konteks ini istilahnya bukan lagi komunikan melainkan reader atau ’pembaca’. Setiap khalayak yang dikenai message adalah pembaca. Membalik model komunikasi Laswellian, peran yang aktif dari pembacalah yang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak layak lagi menduduki peran sebagai message, melainkan justru sebagai ”teks” yang maknanya akan sangat tergantung kepada kemampuan pembaca untuk menafsirkan. Oleh karenanya, dalam perspektif ini tidak ada lagi apa yang disebut sebagai kegagalan komunikasi, karena komunikator pada hakikatnya telah kehilangan kekuasaan untuk memaksa makna sesuai keinginan. Komunikator boleh saja mempunyai maksud tertentu atas teks yang ditransmisikan, tetapi persoalan pemahaman terhadap makna akhir dari teks akan sangat tergantung pada kemampuan pembaca yang punya kebebasan penuh menafsirkan. Isi dari media bukan lagi sebuah produk yang selalu lentur terhadap perubahan dan perbedaan makna, karena setiap ’reader’ secara bebas memaknai apa yang mereka baca.
Dari perspektif terakhir, pengertian komunikasi pun sewajarnya berubah. Dalam bahasa Fiske, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990: 1). Paralel dengan pengertian itu, sebuah produk media lantas tidak layak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan representasi. Konsep mengenai ’representasi’ itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi komunikasi dan kebudayaan budaya. Tumbuhnya kajian kebudayaan dalam studi ilmu sosial dan humaniora cenderung menempatkan pentingnya makna. Berkaitan dengan komunikasi, secara khusus Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus (O.Connor, 1990: 29). Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebudayaan (termasuk produk media) tergantung pada pemahaman subyektif di antara aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.
Realitas yang tampil dalam produk media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang diibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.
Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Pada saat pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda (Hall, 1997: 5). Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.
Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa (Hall, 1997:17). Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).
Pada akhirnya, persoalan membaca dan memaknai tanda itu tidaklah hadir dari ruang kosong. Hal ini mengingatkan kita pada pendekatan strukturalisme yang secara khusus memulai pemaknaan dari relasi antartanda. Dalam cakupan yang lebih luas, sebuah teks tidaklah berdiri sendiri. Selalu ada teks-teks lain yang mengiringi teks atau lazim disebut sebagai konteks. Apapun fenomena sosial sesungguhnya bisa disebut sebagai konteks, sepanjang memang masih secara struktural bertalian dengan wilayah tanda yang tengah dibaca. Dalam kaitan ini, kajian komunikasi mampu menembus dimensi lain yang tidak mungkin dijangkau dengan metode hubungan pengaruh yang bersifat positivistik. Terdapat terobosan penting di mana kajian komunikasi menerima linguistik sebagai satu model untuk membaca fenomena lain yang bukan terbatas pada bahasa. Sejumlah konsep yang berasal dari tradisi lingusitik dalam penerapannya ternyata mampu digunakan sebagai model untuk melihat fenomena lain yang fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai konteks. Pada ranah metodologis, tradisi konstruktivisme melahirkan apa yang disebut sebagai metode analisis wacana (discourse analysis).
Pada aras ini muncul paradigma ketiga yang disebut sebagai pandangan kritis / critical theory (Eriyanto, 2001: 6). Paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain yang mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna. Para penganut paradigma ini percaya bahwa produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan yang ada di balik teks. Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium yang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa sesungguhnya terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena mendapat pengaruh yang sangat kuat dari teori kritis, maka pendekatan wacana pada paradigma terakhir ini disebut sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis / CDA).
Dari sinilah sesungguhnya diskusi mengenai ekonomi dan politik media akan kita mulai. Pada saat seluruh fenomena sosial –termasuk fenomena ekonomi dan politik- berkelindan membentuk jalinan makna teks, maka samar-samar sisi ekonomi dan politik media mulai kelihatan di balik isi media. Sebagaimana halnya isi media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Persoalannya adalah bahwa metode struktural murni yang kerap diwakili oleh analisis semiotika dan analisis wacana konvensional belum tentu cukup untuk dijadikan sebagai penjalin analisis di dalam rangka menemukan keterikatan maupun kepentingan ekonomi politik dari media. Terdapat sejumlah keterbatasan pada saat analisis struktural konvensional hanya menyelami konteks ’bahasa’ semata tanpa terlalu jauh menyentuh aspek lain di luar bahasa.
Dalam perjalanannya, analisis semiotika mengalami perkembangan yakni di perluasannya yang mencakup konteks ’bahasa’. Kenyataannya praktik penggunaan bahasa dalam seringkali mengandung unsur politis, sehingga mengandaikan bahasa sebagai sebuah satuan struktural yang bebas dari kepentingan politik adalah sebuah pandangan yang bukan saja naif, melainkan justru menyingkirkan bahasa itu sendiri dari potensinya yang layak untuk dianalisis dari sudut pandang politik dan ekonomi. Maka perhatian analisis struktural yang memandang bahasa sebagai wilayah apolitis pelan-pelan tergantikan dengan gaya baru analisis struktural yang menandaikan bahasa sebagai sebuah alat politik sekaligus ekonomi. Pada aras ini, metode penelitian semiotika mulai ditinggalkan, dan muncullah metode analisis baru yang disebut sebagai analisis wacana media (discourse analysis).
Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan dirinya untuk memahami bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalayak ’pembaca’. Produk media adalah sebentuk konstruksi sosial yang melaluinya pembaca merumuskan pandangannya tentang dunia. Analisis ini memampukan pembaca melakukan rekonstruksi, bukan hanya peristiwa atau informasi yang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Dan ini adalah sebuah kerja yang sangat menarik, seorang pembaca beranjak dari perspektif mikro menuju makro, dari wilayah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Lazimnya, analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa bawah sadar (undermine) untuk menemukan posisi ideologis dari narasi, dan mempertautkannya dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian metode analisis wacana media merupakan salah satu model analisis kritis yang memperkaya pandangan pembaca bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertanyaan tentang ’bagaimana’ bahasa bekerja dalam konteks tertentu dan ’mengapa’ bahasa digunakan dalam konteks tertentu dan bukan untuk konteks yang lain.
Bahasa dan Ekonomi Politik Media: Dari Teks ke Ideologi?
Dengan analisis wacana media, maka pemikiran kritis dalam keilmuan sosial mendapatkan tempat untuk diadopsi. Selain sebagai semacam alat ukur, pemikiran kritis menyediakan beragam perspektif baru yang acapkali tak terduga, karena jalinan produksi, distribusi dan konsumsi teks nyatanya bukan saja melayani kepentingan ekonomi produsennya. Bahkan kepentingan politik dari ’sang pengarang’ pun lazim dijumpai. Pada akhirnya posisi ideologis ’sang pengarang’ (the author) lazimnya dapat ditilik dari analisis wacana. Sehingga posisi pembaca pada dasarnya adalah mengkritisi realitas lain yang tersembunyi dari teks. Realitas itu biasanya tetap tersembunyi, dan sepanjang kejelian untuk menemukannya akan menghadirkan jalinan ideologis yang hadir di balik representasi produk media.
Pada saat kita berupaya untuk memahami relasi antara sistem ekonomi dan politik yang berkelindan dalam proses produksi dan distribusi produk media (bahasa), maka sesungguhnya ’pembacaan’ atau ’pemaknaan’ yang kita lakukan itu telah masuk dalam wilayah ekonomi politik media. Berjalinnya semangat ekonomi dan politik dalam teks memungkinkan terintegrasinya bahasa ke dalam proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam masyarakat. Ekonomi politik media komunikasi / media berupaya untuk membuat media bukan hanya sebagai pusat perhatian pokok, melainkan sebagai bagian dari suatu struktur yang terkait dengan ekonomi dan politik. Oleh karenanya, memulai kajian ekonomi politik media dari kajian bahasa media merupakan sebentuk analisis kritis, karena dari analisis teks dimungkinkan munculnya perhatian pada kritisisme terhadap aspek ekonomi dan politik media. Maka bukan hal aneh jika Mohammadi dan Mohammadi menyatakan bahwa sudut pandang ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis Frankfurt School, teori resepsi pesan, dan semiotika. (Downing, 1990: 15). Ambillah satu contoh, bagaimana kajian dari penggunaan bahasa tertentu oleh media tertentu memunculkan pertanyaan: mengapa isu tertentu ditenggelamkan dengan penggunaan bahasa tertentu di media X, sementara yang lain kok tidak, atau oleh media lain justru dimunculkan secara terang-terangan? Mengapa pemberlakuan sensorship dilakukan dengan cara itu? Siapa pemiliknya? Bagaimana dinamika politis dari bahasa media X? Seribu satu pertanyaan dapat dimunculkan untuk sekadar mempertalikan wilayah bahasa dengan ekonomi dan politik media.
Dari struktur bahasa ke struktur eknomi dan politik. Demikian kira-kira alur pertanyaan yang layak dikedepankan dalam melihat teks sebagai sebuah infrastruktur kepentingan ekonomi dan politik. Dari sekadar pertanyaan sekitar bagiamana bekerjanya struktur bahasa dan struktur kognitif creator-nya, perhatian ekonomi politik media kemudian beralih kepada sejauh mana kepemilikan, kontrol dan kekuatan operasional pasar media. Dari sudut pandang ini, perhatian perspektif ekonomi olitik media mengarah pada sejauh mana produksi dan pertukaran isi media berlangsung di dalam situasi ekonomi dan politik tertentu. Menjadi satu rahasia umum, bahwa kekuatan pemilik modal dan pembuat kebijakan media mempunyai pengaruh langsung terhadap produksi dan distribusi bahasa media. Mengambil satu contoh, bagaimana wacana bahasa media pada masa Orde Baru dahulu cenderung dicirikan dengan eufemisme. Di satu sisi, eufemisme adalah gejala struktural teks, sementara tekanan politik dan kepentingan bisnis pemilik media adalah konteksnya. Kenyataannya, dengan membaca konteks itu, pembaca akan mafhum bahwa ternyata kepentingan politik penguasa dan kepentingan ekonomi pemilik modal mengambil peran utama dalam penciptaan eufemisme. Konon, dalam bahasa Ben Anderson, realitas eufemistik dalam bahasa Orde Baru sejatinya adalah penyembunyian terhadap realitas yang sesungguhnya begitu ‘keras’ (Latif dan Ibrahim, 1996: 36). Bahasa eufemistik sebenarnya bukan hanya menutupi realitas yang sesungguhnya, melainkan menciptakan realitas baru bagi penciptanya. Penyembunyian realitas itu sesungguhnya menampilkan ideologi dari pemakai bahasa alias produsen media.
Akan halnya dengan ideologi sendiri, terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik yang menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat (Littlejohn, 1996: 228). Pengertian lain dapat pula diambil dari post-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.
Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam suasana heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat (Littlejohn, 1996: 29). Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)
Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya (Takwin, 1999). Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus / ISA dan reppresive state apparatus / RSA (Althusser, 1994: 151). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi. Dalam paandangannya, media komunikasi merupakan communication ISA, di mana mereka bekerja pada wilayah privat atau tanpa menggunakan kekerasan fisikal. Kerja ideilogi pada wilayah ini berlangsung seperti halnya proses cuci otak yang menenggelamkan kesadaran masyarakat sehingga masyarakat dibawa pada ketidaksadaran yang begitu mendalam.
Teori Althusser memang dibangun dari tradisi Marxis tentang ideologi sebagai kesadaran palsu, yang mana penekanan pran ideologi dalam memelihara kekuatan politik maupuh ekonomi berkaitan dengan penggunannya yang non koersif. Seorang Marxis dari generasi kedua, Antonio Gramsci, kemudian memperkenalkan konsep ideologi ini dalam istilah yang berbeda: hegemoni. Singkatnya, hegemoni merupakan upaya pemenangan yang terus-menerus (winning and rewinning) konsensus secara tetap bagi mayoritas bagi sistem yang berada di bawahnya (Kleden, 1987: 176). Gramsci sendiri memandang bahwa masyarakat terdiri atas dua struktur utama, yakni kelas dominan dan kelas subordinat. Kelas dominan dinyatakannya sebagai kelas yang leading dan dominant. Yang pertama menunjuk pada kepemimpinan dari kelas berkuasa untuk menunjuk pada “musuh” bersama, sedangkan yang kedua adalah dengan mendominasi musuh bersama itu (Gramsci, 1994: 215). Konsep tentang musuh dan kawan di dalam hegemoni merupakan kerja ideologis, karena dia ditetapkan oleh kelas yang berkuasa melalui konsensus. Dalam kaitannya dengan kerja media, media merupakan alat untuk memperjuangkan konsensus agar sesuai benar dengan keinginan penguasa di dalam menentukan siapa kawan siapa lawan, apa yang baik dan apa yang buruk.
Dalam konteks politik media, Gramsci meletakkan pengertian hegomoni ini dalam dua arti yakni dalam tindak kekerasan dan penguasaan intelektual. Dalam arti yang terakhir, Gramsci menempatkan kerja ideologi sebagai alat untuk melumpuhkan kesaran kritis masyarakat. Dan media adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk memaksakan ideologinya. Dengan konsep hegemoni ini, Gramsci menolak ideologi sebagai hasil kreasi individu yang arbitrer dan psikologis. Publik alias ‘pembaca’ sesungguhnya tidak mempunyai kebebasan untuk memaknai apa yang mereka ‘baca’, karena makna telah dipaksakan ke benak melalui struktur bahasa. Dari sudut pandang politik media, hubungan media vis a vis negara ini sangat mungkin memperlihatkan bekerjanya media sebagai pelayan kepentingan ideologi negara selaku kelas paling dominan dalam struktur politik. Suatu saat media sangat mungkin memproduksi serangkaian ideologi yang terpadu, merangkai nilai dan norma yang masuk akal, kendati itu sebenarnya hanyalah untuk melegitimasi struktur sosial politik di mana kelas yang dikuasai pada akhirnya secara tidak sadar berpartisispasi dalam lingkungan kelas dominan. Dalam bahasa Gitlin, hegemoni berlangsung melalui “keahlian sistematik untuk menegakkan ‘aturan’ melalui persetujuan massa” (Shoemaker dan D. Reese: 1996: 237).
Wacana Media Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Bagaimana konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali merupakan pertanyaan terakhir yang harus dijawab pada saat seorang reader hendak mengakhiri pembacaan terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah “pembacaan” sebenarnya adalah sebuah gambaran tentang sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan (politik). Wilayah ini barangkali adalah abstraksi yang paling advanced. Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan relasi ini, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatinya yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration) (Mosco, 1996:139).
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Memang terasa aneh, karena produk media umumnya adalah berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen yang beragam. Boleh jadi konsumen itu adalah khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio, bahkan negara sekalipun yang mempunyai kepenyingan dengannya. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun sosial.
Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini diatur secara politis untuk menghindari terjadinya kepemilikan yang sangat besar dan menyebabkan terjadinya monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media televisi nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang berbasis di pusat politik.
Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).
Terdapat sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindannya media dengan dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter Golding dan Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurevitch, 1991: 15) membagi perspektif ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar yakni perspektif liberal dan perspektif kritis. Perspektif liberal akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan dan kapuasan yang dapat mereka capai berdasarkan penawaran yang ada. Semakin besar pasar memainkan peran, maka semakian luas pula pilihan yang dapat diakses oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebudayaan, media harsu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak kenal batas.
Golding dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari perspektif kedua, yakni perspektif kritis. Pertimbangannya adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Boleh jadi media kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka sesungguhnya perbincangan mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan lembaga media mengambil peran sebagai penyebar kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini, produksi teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja dalam lembaga media.
******
SENARAI PUSTAKA ACUAN
Currant, James and Michael Gurevitch, Mass Media and Society, Edward Arnold, London, 1991
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2001.
Fiske, John,Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987
Latif, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung, 1996.
McQuail, Denis & Sven Windahl, Communication Models For The Study of Mass Communications, Longman, London, 1993.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.
Mosco, Vincent The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, Sage, London, 1996
Storey, John (ed.), Cultural Theory and Popular Culture, Harvester Wheatsheaf, New York, 1994
Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, Longman, 1996
Takwin, Bagus: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
[1] Staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Komunikasi UII Volume 1 Nomor 1, Oktober 2006.
-------------------------------------------------------------
Tubuh dalam Perangkap Iklan Televisi*
Oleh: Anang Hermawan**
Bekerjanya iklan dalam ragam citra televisi ibarat mengalirnya darah dalam sebuah organisme hidup. Tanpa iklan, mustahil bagi sebuah stasiun televisi (swasta) dapat hidup dan mempertahankan eksistensinya. Di sisi lain, iklan merupakan sebuah instrumen mutualistik bagi berlangsungnya kerja industri. Bukan saja iklan menjadi sarana promosional semata, iklan sekaligus menjadi semacam alat yang ditanamkan ke dalam pikiran manusia agar manusia mempertahankan loyalitasnya terhadap penggunaan sebuah produk. Dalam konsep pemasaran telah dikenal bahwa iklan menjadi sarana ampuh untuk menanam citra, dan dari citra itulah sebuah produk mendapat tempat di hati pengguna maupun calon penggunanya.
Di ranah yang lain, katakanlah ranah komunikasi dan kebudayaan popular; penampilan iklan itu sendiri acapkali bukanlah sekadar modus penawaran produk. iklan juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Meminjam istilah Graeme Burton (2007: 40), barang-barang yang diiklankan akan memperoleh nilai kultural. Pesan-pesan yang tersaji di balik iklan acapkali merepresentasikan nilai, keyakinan, dan ideologi tertentu. Di sinilah menariknya, karena iklan pada akhirnya menjadi arena komodifikasi. Iklan menjadi lahan penanaman makna-makna simbolik dari produsen, pembuat iklan dan bahkan media yang menayangkannya. Pada aras ini, asas nilai guna yang melekat dalam sebuah produk yang diiklankan boleh jadi tidak penting lagi karena telah digantikan dengan nilai citra atau makna-makna simbolik yang dibawanya.
Salah satu wacana paling menarik dalam pentas komodifikasi tersebut adalah persoalan tubuh. Simaklah aneka iklan televisi kita, mulai dari iklan produk makanan minuman, suplemen kesehatan, alat-alat kebugaran, kosmetik dan beragam iklan sejenis. Lenggang-lenggok para pemerannya seringkali mensugestikan konsep ”tubuh ideal” untuk lagi-laki maupun perempuan. Tipe laki-laki ideal dalam iklan seringkali dipresentasikan melalui tayangan iklan yang mengkonotasikan kejantanan. Maka tidak aneh jika postur ideal untuk pemerannya sebagian besar dipertautkan dengan imajinasi umum bahwa seorang laki-laki mesti berotot, kekar, berbadan atletis dan sebagainya. Di sisi lain, postur perempuan ideal direpresentasikan dalam tayangan yang mengerucutkan makna bahwa perempuan mestilah langsing (meskipun telah melahirkan), berambut panjang, berkulit putih nan lembut dan sebagainya.
Betapapun, representasi makna di balik iklan yang demikian boleh jadi menyesatkan. Apalagi, secara genetis tidak semua orang bertakdir memiliki tubuh seideal itu. Bukankah tidak semua perempuan berbakat putih, berpostur langsing, berambut lurus dan sebagainya? Demikian juga dengan laki-laki, tidak semua orang berbakat tinggi tegap dan atletis. Celakanya, publik dengan kadar literasi yang rendah kemudian menjustifikasi makna-makna tersebut sebagai norma yang harus ditaati dalam kehidupan. Pengagungan terhadap performa tubuh ideal ini menjadikan publik gampang terbuai dengan aneka tawaran permak tubuh agar mereka dapat tampil seideal yang mereka kira di televisi. Maka bukan hal aneh jika sekarang ini mudah ditemui aneka pusat kebugaran maupun salon-salon yang menjajakan janji akan tubuh ideal.
Dalam catatan Idi Subandi Ibrahim (2007: 45-70), konstruksi tubuh ideal sekarang ini dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua wilayah yakni apa yang disebutnya sebagai aura ”cewek kece” dan ”cowok macho”. Kedua istilah tersebut seakan menjadi standar baru tentang performa tubuh. Kaidah-kaidah ”kekecean” dan ”kemachoan” dengan mudah berubah seiring dengan pesan-pesan yang datang sislih berganti di layar kaca kita. Dalam konteks ini, televisi sebagai media mainstream secara tidak langsung bertanggung jawab sebagai arena mediasi budaya pemujaan tubuh (fetishism of body). Wanita-wanita masa kini mesti tampil seksi dan wangi; sementara laki-lakinya pun mesti tampil macho, bahkan juga wangi. Maka muncul sekarang ini istilah baru: laki-laki metroseksual. Seolah manusia masa kini hanya akan dihargai jika mereka mampu berpenampilan semenarik mungkin sesuai dengan citra yang tengah populer di televisi.
Praktik Pertandaan
Pada dasarnya, iklan televisi merupakan sebentuk propaganda yang menyenangkan. Selain informatif, tampilan iklan televisi juga memiliki nilai hiburan. Bertemunya kepentingan produsen dan media (televisi) menjadikan iklan menjadi bagian mediasi yang lazim. Melalui iklan, keduanya bersekutu membentuk jalinan mutualistik. Televisi memerlukan sumber dana demi menjaga eksistensinya, sementara produsen memerlukan televisi untuk mempromosikan produknya.
Secara teknis, kelebihan iklan televisi dibandingkan iklan media lain (cetak, radio) terletak pada menyatunya tiga kekuatan pembangkit makna sekaligus, yakni narasi, suara dan visual. Sistem pertandaan yang bekerja dari tiga kekuatan tersebut mempunyai kemampuan lebih untuk mempengaruhi penontonnya karena pesan-pesannya dapat tersaji secara verbal maupun nonverbal. Masalahnya adalah, tayangan iklan seringkali bukan hanya menyampaikan kemanfaatan produk semata, namun juga menjadi representasi gagasan maupun ideologi tertentu. Pada aras ini, sebuah iklan sesungguhnya menjadi ajang bagi konstruksi sebuah makna sosiokultural. Perilaku penggunaan tanda-tanda tertentu dalam iklan (semiosis) muncul berkat ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh penggunanya. Kesadaran maupun ketidaksadaran tersebut dapat bersifat manipulatif, manakala penghargaan yang semestinya proporsional terhadap sebuah nilai tertentu kemudian beri tekanan lebih atau sebaliknya ditenggelamkan sama sekali.
Pemujaan tubuh dalam iklan setidaknya menyiratkan pemikiran semacam itu. Dahulu orang tidak pernah mempersoalkan tentang tipe tubuh ideal, bahkan penghargaan terhadap manusia kerapkali diukur dengan kadar intelektualitas atau spiritualitasnya. Sekarang, pemujaan terhadap tubuh ideal sebagaimana dipertontonkan di ruang tonton kita sehari hari lambat laun menggusur citra lama bahwa seorang perempuan atau laki-laki ideal mestilah memiliki kadar intelektual dan spiritual tinggi. Dalam konteks ini, adalah wajar jika dinyatakan bahwa iklan televisi tidak ubahnya menjadi agen hegemoni yang mengusung gagasan terselubung tentang penghargaan manusia yang sekadar berkutat di wilayah permukaan.
Skema ideologis dari iklan bermain pada wilayah konotasi, dimana makna yang terselubung dibaliknya menganjurkan sebuah sistem kepercayaan yang baru atau dibuat-buat. Hal ini bisa berarti bahwa tayangan iklan menyajikan sebuah kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ajakan tersebut.
Pada akhirnya, ditengah banalitas citraan yang berkelindan membentuk makna-makna ideologis; dibutuhkan sebuah kearifan untuk menilai bahwa tidak semua citraan tersebut mesti ditelan mentah-mentah dan diikuti. Dibutuhkan kecakapan tertentu agar kita tidak gampang terjebak ke dalam aneka citra. Sudah seharusnya jika pembelajaran mengenai kecakapan media (media literacy) mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat demi membuat masyarakat kedepan lebih cerdas. Wallahua’lam bishshowab.
* Artikel ini dimuat di Harian BERNAS Jogja edisi Sabtu, 19 Juli 2008
** Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.
-----------------------------------------------------
Televisi dan Budaya Instan*
Oleh: Anang Hermawan**
Anda ingin menjadi selebritis? Segeralah mengikuti aneka audisi yang diselenggarakan oleh stasiun-stasiun televisi swasta nasional kita di sejumlah kota. Mulai dari audisi penyanyi pop, rock, dangdut, bahkan jika dahulu Anda ingin menjadi pembantu rumah tangga pun pernah diselenggarakan audisi pembantu oleh seorang artis terkenal dari Jakarta. Tak perlu sekolah tinggi dan syarat rumit; cukup dengan sedikit modal nekat, kualitas vokal yang lumayan, syukur-syukur punya wajah fotogenik atau kameragenik, Anda tinggal mendaftar dan ikut antre. Bagi yang wajahnya penuh jerawat pun tak perlu khawatir, karena telah terbuka pula peluang audisi bagi mereka yang berjerawat untuk bukan sekadar untuk unjuk jerawat, namun juga unjuk gigi bertanding memperebutkan gelar juara audisi. Tak ketinggalan, bagi yang ingin menjadi da’i kondang pun disediakan audisi da’i untuk para peminat dunia dakwah baik untuk yang masih cilik maupun yang sudah tidak cilik lagi.
Jika lolos babak prakualifikasi, Anda akan segera dipanggil ke “pusat” untuk dikarantina, digembleng dengan sejumlah keterampilan dan etiket “keartisan”. Pada saatnya Anda tampil di layar kaca, bawalah para pendukung Anda ke studio untuk sekadar memberi sorak dukungan. Di situ Anda akan disanjung-sanjung plus diberi sedikit motivasi dari dewan juri yang jenaka. Syarat terakhir: untuk memenangkan pertandingan dengan para pesaing, Anda harus paling dielu-elukan penonton. Oleh karena itu kumpulkanlah sms sebanyak-banyaknya. Makin banyak sms yang menunjuk nama Anda, makin besar peluang Anda segera menjadi orang top. Nantinya Anda bukan hanya akan menjadi penyanyi terkenal, tetapi Anda juga dapat mengembangkan diri menjadi bintang film atau sinetron. Tak perlu belajar akting di kelompok-kelompok teater ternama atau belajar ke perguruan tinggi jurusan seni. Tak lama lagi gemerincing uang dan ketenaran akan menyertai Anda, tawaran-tawaran manggung akan berdatangan, lagu-lagu baru akan diciptakan untuk Anda nyanyikan, dan skenario film dan sinetron baru akan menanti untuk Anda perankan. Alamak!
Alangkah mengherankan dunia dunia hiburan televisi kita sekarang ini. Pelbagai auidisi yang digelar di beberapa kota sejak beberapa tahun lalu barat jalan tol yang mempercepat impian seseorang untuk menjadi primadona masyarakat. Ribuan muda-muda mudi menjejali penyelenggara audisi dengan satu harapan yang sama: menjadi artis terkenal. Selebritis, sebuah istilah yang populer selama dekade terakhir, menjadi satu daya tarik yang luar biasa sehingga ribuan orang rela antri mendaftarkan diri demi menjadi tokoh terkenal. Jika sudah terkenal, pastilah seseorang akan menjadi public figure alias ikon masyarakat. Pada akhirnya mereka adalah kelas tersendiri dari struktur masyarakat pada umumnya.
Jika kita mencoba merenung sejenak, pelbagai acara audisi yang biasa hadir di layar di layar kaca kita itu tak lebih dari peristiwa hiper-realitas kebudayaan. Acara-acara tersebut menyirtakan suatu nostalgia kontestasi yang dahulu pernah diselenggarakan melalui lomba bintang radio dan televisi yang sebagian pemenangnya memang kini telah benar-benar menjadi artis ternama. Tetapi ada yang berubah di sana. Dahulu, dewan juri bukanlah tokoh yang tak menguasai teknik bernyanyi dan bermain musik, mereka benar-benar orang yang ahli di bidang itu. Dahulu para kontestan memang betul-betul mempunyai skill yang baik dalam dunia tarik suara. Sekarang ini jauh berbeda, karena penanda ”kualitas vokal” berupa kemerduan dan berapa oktav kapasitas pita suara nyaris tak diperlukan lagi. Yang diperlukan sekarang adalah pemujaan khalayak yang didukung oleh teknologi selular.
Dalam ritual perlombaan, seorang juri memegang peran vital dalam penilaian dan massa tidak mempunyai peran penting. Ritual seperti itu nampaknya terbalik sama sekali, sekarang massa justru merupakan bagian paling penting. Oleh karenanya jangan heran jika satu-satunya referensi dari penciptaan ikon tersebut adalah berapa jumlah massa yang berhasil dikumpulkan. Massa tak lagi diam. Bagaimana bisa diam, karena mereka pun turut dirangsang untuk masuk dalam kontestasi itu. Hadiah-hadiah ditawarkan para sponsor untuk menggelitik massa agar terlibat dalam audisi, cukup dengan mengirim dukungan dan beradu keberuntungan melalui undian. Dalam ketidaksadaran yang begitu mendalam, massa digiring menuju sebuah ruang simulacrum, sebuah tempat dimana para pemimpi ”ikonis” saling berebut kepentingan meski sebagian saja dari mereka yang akan berhasil. Orang-orang yang lolos fase final tak lama lagi akan menjadi bahan berita dan gosip dan direproduksi oleh televisi dengan nama baru: ”selebritis”.
Tentu tak ada yang salah dengan istilah itu. Hanya saja terdapat persoalan filosofis yang patut kita renungkan. Nampaknya tidak terlalu tepat juga penggunaan istilah selebritis kepada mereka yang baru saja menapaki dunia artis atau seni pada umumnya. Dari kata celebrate, istilah selebritis kurang lebih diasosiakan dengan kehidupan orang-orang besar dan terkenal terutama dari dunia seni dengan gaya hidup jet set. Tetapi ada makna tambahan di situ, yakni bahwa selebritis selayaknya digunakan kepada mereka yang telah mengalami suatu fase sosial yang panjang melalui pengalaman karier dan prestasi yang diakui masyarakat. Dalam konteks ini alangkah tidak nyamannya menerakan istilah selebritis kepada artis-artis yang baru membuat satu dua album, atau menjadi bintang film baru. Barangkali istilah yang tepat bagi mereka adalah bintang atau star. Alih-alih menghormati mereka yang mempunyai debut panjang di dunia seni, istilah itu nampaknya lebih pas untuk digunakan. Seorang bintang baru seperti laiknya bintang sungguhan adalah mereka yang secara sosial masih rentan. Jika mereka terus berkarya dan disukai masyarakat maka sinarnya akan cemerlang, namun jika mereka jarang berkarya maka sinarnya akan redup atau minimal kelab-kelib. Bahkan jika seorang bintang tak punya karya maka ia akan segera anjlog dan habis ibarat bintang jatuh atau bahkan mati seperti bintang yang kehilangan energi dan meledak seketika.
Media pada akhirnya merupakan agen utama yang menggiring nilai-nilai keterpesonaan massa yang cenderung berubah-ubah. Maka jangan heran jika para bintang baru yang nota bene adalah produk dari keterpesonaan massa terhadap kontestan yang paling digemari (via sms) itu segera tenggelam ibarat bintang jatuh karena memang secara alamiah kurang mempunyai bakat yang memadai untuk memasuki dunia seni. Dalam konteks ini, sesungguhnya khalayak secara tidak sadar tengah dibawa dalam penciptaan budaya instan. Di tengah kebudayaan populer yang lahir dari perut media, budaya instan senantiasa melahirkan tokoh-tokoh baru yang akan diekspos demi keuntungan finansial dari sebuah program siaran. Salah seorang penyelenggara audisi dari stasiun televisi swasta nasional pernah mengatakan kepada penulis bahwa setelah berbagi dengan operator telepon selular, uang yang diperoleh dari sms pemilih saja cukup untuk membiayai biaya produksi acaranya. Jika hal itu benar, kita bisa membayangkan berapa keuntungan yang diperoleh oleh stasiun televisi dari pelbagai audisi yang mereka selenggarakan karena masih terdapat beragam iklan yang turut mensponsori acara mereka. Wallaahu a’lam bishowab.
* Tulisan ini dimuat di Harian BERNAS Jogja edisi Kamis, 9 Agustus 2007
** Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII.
---------------------------------
Pembunuhan Munir
Jaksa Bantah Ada Intervensi dalam Kasus Munir
Jumat, 5 September 2008 | 00:17 WIB
Jakarta, Kompas - Jaksa membantah ada intervensi atau tekanan dari pihak nasional maupun internasional dalam penanganan perkara pembunuhan berencana terhadap aktivis hak asasi manusia, Munir. Tidak ditemukan juga alat bukti yang relevan, yang menunjukkan tekanan dari Kongres Amerika Serikat maupun Parlemen Eropa.
Demikian pendapat tim jaksa yang diketuai Cirus Sinaga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (4/9), menanggapi nota keberatan tim penasihat hukum Muchdi Purwopranjono.
Sidang yang mendudukkan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwopranjono di kursi terdakwa itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Suharto, dengan anggota Ahmad Yusak dan Haswandi. Menjelang dan selama sidang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijaga puluhan polisi. Pengunjung menyesaki ruang sidang.
”Penyidik maupun jaksa peneliti dan penuntut umum sependapat dengan penasihat hukum, penyelesaian perkara ini berlangsung demi tegaknya peradilan yang jujur, kredibel, independen, dan profesional,” kata jaksa.
Dalam sidang sebelumnya, nota keberatan yang dibacakan penasihat hukum Muchdi menyebutkan, surat dari Kongres AS kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk tekanan politik internasional. Surat tertanggal 27 Oktober 2005 dan 3 November 2006 itu dinilai campur tangan terhadap independensi peradilan di Indonesia.
Pendapat jaksa terbatas menyoroti masalah formil. Hal-hal yang berkaitan dengan hukum materiil tidak disebut-sebut dalam pendapat jaksa, termasuk soal motif Muchdi membunuh Munir.
Jaksa mendakwa, Muchdi dendam terhadap Munir yang mengungkap penculikan aktivis pada tahun 1997-1998, yang berbuntut pemecatan Muchdi sebagai Komandan Jenderal Kopassus.
Namun, eksepsi penasihat hukum Muchdi justru menyatakan hal itu sebagai kesalahan fatal karena saat penculikan aktivis terjadi, Muchdi masih menjabat Panglima Kodam VI Tanjungpura, Kalimantan. Penggantian Muchdi tak ada hubungannya dengan penculikan aktivis.
Seusai sidang, penasihat hukum Muchdi, yakni Luthfie Hakim, mengatakan, jaksa justru tidak menyinggung motif tindakan Muchdi. Padahal, tambah Luthfie, hal terpenting dalam pembunuhan berencana adalah motif.
Cirus Sinaga menegaskan, jaksa tidak menyinggung soal motif karena hal itu sudah merupakan bahasan pokok perkara. Eksepsi, kata Cirus, mestinya tidak menyentuh pokok perkara.
Istri Munir, Suciwati, justru mengapresiasi pendapat jaksa yang dibacakan di sidang. ”Bagus, karena jaksa tak terbawa ke arah yang diinginkan penasihat hukum, antara lain soal intervensi politik,” katanya.
Choirul Anam dari Komite Aksi Solidaritas untuk Munir berpendapat, tidak adanya perdebatan soal locus delicti atau tempat kejadian perkara menunjukkan bahwa secara diam-diam semua pihak membenarkan bahwa kejadian perkara di kantor Badan Intelijen Negara. (idr)
---------------------------------------
Tradisi Besar yang Dilupakan
Jumat, 5 September 2008 | 00:15 WIB
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.
Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.
Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.
”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.
Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.
Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.
Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Masyarakat bahari
Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.
Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.
Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.
Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.
Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.
Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa.... (KEN)
----------------------------------------------