September 11, 2008

Tafsir Filosofis

Bagaimana terjadinya relasi antara Tafsir dan Filsafat

Dalam khazanah Islam banyak ditemukan buku-buku terjemahan dari bahasa non-Arab. Gerakan penterjemahan ini tampak besar tatkala pemerintahan Daulat Abbasiyah, tepatnya pada pemerintahan Al Manshur. Gerakan ini diteruskan oleh khalifah Al Mamun sehingga kota Baghdad menjadi tempat tujuan setiap orang dari mana-mana untuk menimba ilmu.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Daulat Abbasiyah menjadi barometer Persia, Yahudi, Romawi dan Masehina, yang kesemuanya menyambungkan dan merujuk keilmuan di atas. Maka disadurlah ke dalam bahasa arab beberapa buku-buku filsafat Yunani, Hindu, Persia, dan lainnya. Kemudian disebarluaskan ke berbagai penjuru umat Islam yang menjadi bahan bacaan di antara ilmu-ilmu lain sebelumnya.

Dalam mempelajari buku-buku filsafat ini mereka jarang menemukan pertentangan dalam pandangan dan pembahasannya dengan agama karena pada dasarnya sangat terkait dengan agama meskipun terkadang terdapat ketidaksesuaian dalam suatu permasalahan tertentu. Misalnya, suatu permasalahan yang pernah dialami oleh Al Ghazali dan Fakhrurozi yang memaparkan dalam tafsirnya dengan mengkritisi filsafat untuk memberikan penjelasan masalah agama, khususnya al Quran.

Sebagian umat Islam mempelajari buku-buku tersebut dengan maksud untuk memberikan penjelasan perspektif yang lebih luas atas syariah dan untuk menjelaskan sesuatu yang masih diragukan serta masih samar-samar. Oleh karenanya, mereka menemukan adanya kesesuaian antara hikmah dengan aqidah, antara filsafat dengan agama dan bahwa antara wahyu dan aqal tidak terjadi perselisihan dalam segala hal. Aqidah tatkala dijelaskan dengan ilmu hikmah yang digali dari pemahaman falsafah maka akan semakin menambah kadar keimanan seseorang. Maka dapat disebut agama falsafah atau filsafat agama.

Adapun ksesuaian antara agama dan filsafat dapat dilihat dari dua metodologi berikut ini. Pertama, Metodologi tawil atas nash-nash agama dan hakikat syariah. Kedua, metodologi syarah nash-nash agama dan hakikat syariah dengan pandangan dan perpekstif filsafat.

Argumen Filsafat dalam Tafsir Al Quran

Para ulama tidak seluruhnya sepakat dengan penjelasan filsafat, bahkan di antara mereka terjadi perbedaan dalam penerimaannya. Adapun yang diperdebatkan dalam pemakaian filsafat adalah nilai kebenaran dan cara penesuruannya. Penjelasan secara filosofy sangat dibutuhkan manakala berhadapan dengan umat lain atau paham lain yang memerlukan penjelasan rasional lebih terperinci. Misalnya, orang Persia ataupun orang Yunani yang sebelumnya memiliki tradisi pemikiran dengan filsafatnya yang kuat, tentu saja pendekatan filsofofy dalam menyampaikan pesan al Quran sangatlah relevan. Oleh karenanya, bagi mereka agama dan filsafat merupakan proses dialektika yang saling menjelaskan dan saling mendukung untuk menemukan sebuah kebenaran dan makna bagi manusia.

Tafsir Al Farabi

Al Farabi adalah roh pengerak tradisi filsafat. Ia wafat pada tahun 339 H sebagaimana dalam kitabnya Fushush al Hikam dari sebagian ayat dan hakikat dalam al Quran. Tafsirnya termasuk dalam kategori tafsir falsafy. Seperti ketika ia menafsirkan al awaliyah dan al Akhirah dalam surat Al Hadid: 3 هو الول والأخرة dengan penafsiran bahwa al awal adalah wujud terdahulu yang tanpa ada yang mendahuluiinya.. Awal di sini baik dari segi zaman yaitu tiada zaman yang melingkupi maupun sesuatu besertanya. Sedangkan Al Akhirah adalah suatu ketika bersebab karena-Nya dan bersandar kepada-Nya. Ia lah yang menjadi tujuan akhir yang hakiki dalam setiap pencarian, seperti tujuan kebahagiaan dalam perkataan: Kenapa engkau minum air? Maka jawabannya adalah untuk menghilangkan dahaga. Mengapa menghilangkan dahaga? Agar sehat. Kenapa harus sehat? Agar bahagian dan baik, kemudian tak ada pertanyaan yang layak mendapat jawaban daripadanya karena kebahagiaan dan kebaikan dicari karena keadaannya tidak karena yang lain Oleh karena itu Al Akhir adalah akhir dari segala tujuan, awal dalam fikiran dan akhir dalam tujuan. Dialah akhir dari arah segala zaman yang tiada yang mengakhir lagi, dan tiada wujud zaman akhir yang lebih akhri dari yang Haq.

Tafsir Ikhwan As Shafa

Penjelasan terhadap al Quran seperti di atas dapat kita temukan dalam ikhwan al Shafa yang meskipun tidak diketahui secara tepat kapan penulisannya, akan tetapi dapat dilacak dari hubunganya dengan sekte batiniyah Ismailiyah. Sebagian dari penjelasannya yang terkenal adalah permasalahan surga dan neraka. Bahwa sesunguhnya Surga adalah alam aflak, sedangkan neraka adalah alam di bawah falak bulan, yaitu alam dunia.

Penjelasan tersebut merujuk pada surat Al Araf ayat 50

ونادى اصحاب النار اصحاب الجنة ان افيضوا علينا من الما او مما رزقكم الله، قالوا إن الله حرمهما على الكافرين

Dan dijelaskan dalam sebuah hadis

الجنة فى السما والنار فى اللأرض

Dengan demikian para mufassir menyatakan bahwa para malaikat berada pada bintang-bintang aflak dan berkata: Sesunguhnya bintang-bintang falak adalah malaikat Allah dan raja langit.. Allah menciptakan untuk menjaga alam semesta, dan mendampingi mangkulknya, dan membantu kepemimpinannya, dan meraka adalah pengeleloa Allah di aflak-Nya, seperti makhluk Bumi yang ditugaskan Allah di bumi.

Atas dasar pemikiran ini Ikhwanu Shafa berpendapat: Jiwa orang mukmin seteleh terpisah dari jasadnya akan menuju ke alam malakut langit dan memasuki alam malaikat, hidup dengan roh suci, suci di alam aflak. Dalam tingkatan langit: farhah, masrurah, munimah, mutaldzdadh, mukaramah, mughtabithoh. Dan mereka menyaakan bahwa demikian itu adalah makna Allah azza wajalla dalam Surat Fathir ayat 10 :

إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه

Terjemahan Ibnu Sina

Ibnu Sina adalah ar Rais Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ayahnya adalah ahli balakh. Ia hidup pada tahun 370-428 H. Dalam bayak hal unik sedang diantara para filosof Muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hinga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat Muslim selama berabad abad, meskipun ada serangan-serangan dari al Ghazali dan Fakhr al Din Al Razi dan sebagainya. Pengaruh ini trwujud, bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keaslian, yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.

Ia hafal al Quran sejak umur 10 tahun, hafal beberapa kitab Ushuluddin, ilmu hisab dan al Jabar. Kemudian ia mempelajari ilmu mantiq kepada Abi Abdullah An Natily. Ia juta mempelajaari ilmu thabiyah dan ilahiyah, sampai ilmu kedokteran. Ilmu-ilmu tersebut dikuasai hanya sampai umur 16 tahun. Dan pada umur 18 tahun ia mengelobarasi pengetahuannya sedemikian rupa sampai ia mencetuskan beberapa karya besar yaitu kitab As Syifa fil Hikmah, An Najah, AL Isyarah, AL Qanun, dan lainya yang sangat bermanfaat bagi manusia. Ia banyak merantau ke berbagai tempat hingga sampa ke wilayah hamdan dan akirnya ia wafat di tempat ini pada tahun 428 H.

Besar sekali pengaruh pemikiran Ibnu Sina. Di Timur, sesungguhnya sistem Ibnu Sina telah mendominasi tradisi falsafah Muslim sampai zaman modern ketika ia disejajarkan dengan beberapa orang pemikir Barat oleh mereka yang terdidik di universitas-universitas modern. Di madarasah-masdarasah yang dikeleloa secara tradisional, Ibnu Sina masih dipelajari sebagai filosof Islam terbesar. Ini Karena tak adanya filosof penggantinya dengan orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang menghasilkan sistem yang mengkuti jejaknya.

Metodologi Ibnu Sina Dalam Tafsir

Ibnu Sina digambarkan seperti seseorang muslim yang di tangan kanannya terdapat Al Quran dan di tangan yang lain terdapat ilmu filsafat, sehinga ia sanggup memadukan dengan jernih antara agama dan filsafat. Ia mengsikronkan antara nash-nash AL Quran dengan pandangan-pandangan filsafat yang keduanya berada saling berdialektika.

Pandangan Ibnu Sina terhdap al Quran dan Filsafat adalah memagari pendangan filsafat dalam Al Quran dan menjelaskan AL Quran dengan filsasat. Adapun metodologi yang digunakan Ibnu Sina yaitu menjelaskan makna hakikat agama dengan pemikiran filsafat. Hal ini didasarkan bahwa sesunggunya AL Quran adlah tak terkecuali dengan beberapa ketentuan yang ketentuan itu oleh Nabi Muhammad saw terpancang pada manka hakikat yang terkandungnya.

Atas dasar pemikiran ini, menurut Ibnu Sina bahwa nash-nash AL Quran tidak diketahui hakikatnya kecuali dengan kekhususan yang terkandungnya, maka tigas para mufassir untuk menjelaskan beberapa hukum yang terkandung di dalamya dengan perspektif filsafat serta tidak menyimpang dari ruh al Quranul karim.

Mislanya, Ibnu Sina dalam meberikan penjelasan pada surat al haqah ayat 17:

ويحمل عرش ربك فوقهم يومئذ ثمانية

Ia menafsirkan arasy dengan al falak ke sembilan yang meruakan falaknya aflak. Dan menafsirakan malaikat kedelapan yang mencakup arasy sebab aflak kedepanan terdapat di bawah aflak kesembilan.

Pendapat kami dalam Tafsir Falasifah

Apa yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam menjelaskan sebagai nash-nash Al quran dan seperti beberapa pendapat ulama yang lain yang mengarah pada penjelasan lebih dalam dengan metode pentawilan terhadap ayat-ayat lQ uran tidak dapat dielakkaan dari kebutuhan masyarkat yang memang menuntut penjelasan-penjelasan rasional yang dapat diterima akal. Oleh karenanya, tafsir falsafy dalam hal ini sangat penitng terutama untuk mereka yang sudah mengenal bebrapa pengetahuan atau agama lain yang mengitarinya.

Hal ini, semoga malah menjadikan kekayaan pemahaman bagi Islam yang pada akhiranya akan menjadikan kemudahan bagi umat Islam untuk memahami ajarannya. Baik mereka seroang pelajar, seroang faqih, seorang filosof, sufi dan lainnya memiiliki suatu jenis pemahaman atau penafsiran yang sesuai dengan kadar keilmuan dan pengetahuan keimanannya. Dengandemikian ajaran Islam akan dapat merembes ke berbagai tingkat kemampuan umat Islam dan harapannya tidak malah menyesatkan pandangan muslim itu sendiri.

KARAKTERISTIK TAFSIR KONTEMPORER

Dalam perkembangan keilmuan pada zaman klasik Islam nampaknya dapat disimak dengan berkembangnya tradisi silang pendapat atas berbagai persoalan terlebih persoalan substansial dalam Islam. Perbedaan pendapat tersebut justru menciptakan beberapa corak pemahaman keagamaan yang memperkaya keislaman itu sendiri. Di era modern kondisi ini berlanjut sangat bagus terutama dalam tradisi penafsiran terhadap nash-nash al Qur'an. Metodologi ta'wil makin digeluti hingga persinggungan dengan berbagai paham lain bahkan agama lain menuntut para ulama untuk makin memperbaiki metodologi penafsiran.

Akan tetapi, di lain pihak persoalan akal dan wahyu muncul ke permukaan. Persoalan ini sempat memicu perdebatan sengit antar berbagai ulama. Hal ini ditambah lagi dengan maraknya filsafat menjadi salah satu alat untuk memahami nash-nash al Qur'an. Maka, muncul berbagai ragam corak penafsiran al Qur'an, dan salah satunya seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

Munculnya Beragam Corak dalam Tafsir

Ada baiknya kita sebutkan beberapa Tafsir terhadap Al Qur'an: Ada yang menggunakan pendekatan Atsariyyin atau disebut juga dengan tafsir bil ma'tsur. Kajian semacam ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, kitab tafsir yang mashur itu. Metode ini pernah digunakan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari. Tetapi metode ini perlu mendapat kritik kaena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadis-hadis dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir Al Qur'an dengan pemikiran Qur'ani, tampaknya belum begitu terlihat. Sayyid Quthb dalam sebuah karyanya Fi Zhilalil Quran, hanya mengutip nash-nash saja dari tafsir Ibnu Katsir, sedangkan hadis-hadis tidak dikutip selengkap ia mengutip nash-nash yang ada. Hal ini dimakudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran baru yang orisinal.

Ada juga tafsir yang mengambil spesialisasi fiqhiyah yang membahasn ayat-ayat hukum untuk menyimpulkan metode-metode pengambilan hukum. Dengan kata lain, hanya menitikberatkan pada masalah-masalah hukum syar'I saja.

Ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan ar Razi dalam tafsirnya At Tafsir al Kabir. Tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al Qur'an.

Az Zamakhsari bersama Abu Saud dan Al Badhawi, memiliki corak penafsiran tersendiri yang bersifat penjelasan.Terkadang juga banyak terlihat para penafsir dengan metode yang berbeda, sehingga membuat satu keancuan yang berakibat polemis, meskipun mereka cukup berkhidmat dalam menyumbang dan membahas sastra Arab serta ilmu bayan dalam tafsir al Qur'an. Mereka juga banyak memuat kisah-kisah khurafat dalam tafsir mereka yang bertentangan dengan pemikiran Qurani.

Banyak lagi kajian lainnya yang masing-masing mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri, sekaligus pula kelemahan-kelemahannya. Lebih dari itu, yang kita inginkan pada saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri di atas argumen yang memiliki hubungan dengan Al Qur'an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat. Sebaliknya, kita harus menolak setiap riwayat atau kisah yang jauh dari kebenaran.

Rasanya kita sulit untuk membenarkan kajian-kajian yang tidak rasional seprti itu. Kita memang menghormati hadis-hadis mutawatir dan hdis-hadis masyhur, tetapi dengan hadis yang terputus sanadnya, para ulama ahli fiqh dan ahli hadis sendiri menolak untuk dapat dijadikan dasar hukum. Jadi, wajib bagi kita mengoreksi dan menghilangkan cerita-cerita khurafat dan hadis-hadis yang mempunyai sanad yang lemah dari buku-buku tafsir. Sudah saatnya usaha untuk membangun kebudayaan atau kajian Qurani baru.

Para mufassir memberikan berbagai penjelasan untuk memahami aqidah dan ayat-ayat al Qur'an yang membutuhkan keterangan lebih luas. Seperti terhadap ayat-ayat Israiliyat, kita harus mencarikan keterangan yang tertuang dalam teks-teks laiinya seperti dalam kitab Injil. Kisah-kisah yang terkandung dalam al Qur'an memang termaktub tidak secara kronologis, akan tetapi bagaimana kisah tersebut menjadi pelajaran yang dapat diambil hikmahnya di kemudian hari. Kemudian kisah tersebut menjadi kontekstual dengan kondisi tertentu yang dalam hal ini dapat menjadi ukuran seseorang membaca sebuah keadaan. Misalnya firman Allah dalam surat Shad ayat 41-44. Ayat tersebut dapat dijelaskan dengan penjelasan yang berbeda setiap mufasir. Mereka menyadari bahwa ayat al Qur'an sarat dengan balaghah yang tinggi terutama ayat-ayat kisah. Maka sebagian ulama berpendapat : Untuk memahami suatu ayat haruslah melihat ayat yang lain.