Analis valas Tony Mariano mengatakan, rupiah hari ini akan bergerak dalam tren melemah. Menurutnya, setelah menembus ambang 10 ribu per dolar AS, yang merupakan level psikologisnya, rupiah akan sulit menguat kembali ke level sebelumnya, yaitu 9.000-an per dolar.
“Butuh dorongan yang sangat kuat agar dapat kembali ke level aman,” ujarnya. Selain itu, imbuh Tony, salah sat sentimen negatif yang menekan rupiah berasal dari sisi makro, yaitu adanya perlambatan ekonomi.
Menurutnya, mata uang emerging market sangat berat kembali menguat karena sudah mulai terimbas pelemahan ekonomi global. Misalkan saja negara Hungaria dan Rusia di kawasan Eropa timur, kemudian Amerika Latin, yaitu Argentina yang sudah terancam default. “Ada indikasi awal bahwa negara-negara itu harus melakukan bailout terhadap sektor perbankannya,” katanya.
Adapun di kawasan Asia, negara Pakistan sudah meminta bantuan lembaga keuangan dunia IMF. Tony menuturkan bahwa Indonesia dikhawatirkan mengalami kesulitan pembiayaan utang untuk membiayai kebutuhan fiskal di 2009 mendatang. “Apalagi ada sentimen Indover yang harus dijawab oleh BI,” ucapnya.
Sementara terkait perkembangan likuiditas, investor terus melakukan deleveraging (mengurangi tingkat leverage yang tinggi) dengan meminimalisir resiko. Ini menjelaskan mengapa saat ini investor menjual euro, poundsterling, dolar Australia dan kembali ke mata uang dolar .
Di sisi lain, yen menguat karena adanya repatriasi (pemulangan kembali) dana-dana carry trade. “Hal ini tidak menguntungkan rupiah, apalagi saham terus jatuh,” tuturnya.
Rupiah akhir pekan lalu ditutup anjlok tajam ke level 10.005 per dolar AS, seiring memburuknya kinerja bursa saham lokal dan pasar regional Asia yang pekan lalu ditutup melemah lebih dari 5%. Menurut Tony, jatuhnya indeks saham menekan rupiah. “Kalau pasar saham tidak jatuh, rupiah masih relatif stabil,” katanya.
Rupiah, lanjutnya, justru tertekan oleh aksi investor bermodal besar, yang menyimpan dana-dana mereka pada deposito berdenominasi dolar di perbankan luar negeri, seperti Singapura. “Ini berarti ada konversi mata uang ke dolar. Sehingga, rupiah pun akan tertekan,” ujarnya.
Menurut Tony, sebenarnya mereka menyimpan dana di bank luar negeri bukan dipicu oleh kebutuhan akan dolar ataupun untuk kepentingan bisnis. Namun untuk mengamankan deposito mereka. Pasalnya, seperti diketahui, rata-rata perbankan di Asia sudah mendapat jaminan 100% untuk seluruh dana nasabah yang didepositokan. Sementara Indonesia sendiri baru menaikkan dana penjaminan menjadi Rp 2 miliar dari sebelumnya hanya Rp 100 juta.
Selain itu, perburuan dolar di pasar domestik juga disebabkan aksi importir yang melakukan aksi beli mata uang AS lebih cepat untuk mengantisipasi rupiah melemah lebih jauh. “Karena kalau rupiah bertengger di kisaran 10 ribu, para improtir tidak bisa melakukan transaksi perdagangan lagi,” katanya.
Intervensi yang dilakukan BI belum mampu mencegah kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. BI sebelumnya merevisi aturan untuk melonggarkan likuiditas dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) utama sebesar 5% dari dana pihak ketiga.
Sementara GWM sekunder sebesar 2,5% bisa berupa sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau surat utang negara (SUN), dimana perbankan diberi waktu selama 1 tahun untuk melakukan penyesuaian tanpa dikenakan sanksi. Hal ini diperkirakan menambah likuiditas di pasar sebesar Rp 35 triliun.
Adapun rupiah akhir pekan lalu diperdagangkan di level 6.616,31 atas dolar Singapura, di 12.548,59. Atas mata uang gabungan negara eropa dan di level 6.101,04 atas dolar Australia. [E1]