
Selain Mutiara, di ruang kelas yang disebut resource center itu ada lima kelompok siswa yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang tampak serius di depan komputer. Sebagian lagi berdiskusi di teras. Tampak pula sekelompok siswa yang serius memperhatikan instruksi rekannya yang seolah berperan bak sutradara yang melakukan casting untuk pembuatan film.
Kendati sedang mengikuti proses belajar, para siswa itu tidak menggunakan seragam sekolah sebagaimana di sekolah formal. Mereka berpakaian bebas asalkan sopan. "Cara belajar kami memang seperti ini," kata Mutiara kepada Gatra.
Begitulah suasana sehari-hari di sekolah alternatif Qoryah Thayyibah atau Q-Tha, sebuah sekolah berbasis komunitas yang terletak di lereng Gunung Merbabu, Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Hingga saat ini, tercatat 150 siswa yang menimba ilmu di sekolah Q-Tha. Biaya pendidikannya lumayan ringan, hanya Rp 10.000 per bulan.
Keunikan sekolah ini dibandingkan dengan sekolah formal (SMP dan SMU), antara lain, jenjang pendidikannya terdiri dari enam tingkat. Mulai tingkat I, yang setara dengan SMP kelas VII, hingga tingkat VI, yang setara dengan SMU kelas XII. Selain itu, terdapat belasan kelompok kajian ilmu, yang di sekolah formal disebut jurusan.
Penentuan jurusan itu ditentukan para siswa sendiri. Misalnya kelompok kajian agama, bahasa Inggris, biologi, musik, teater, jurnalistik, dan multimedia. "Setiap siswa bebas memilih. Kalau berminat, ya, tinggal gabung," kata Mutiara, yang kini duduk di tingkat IV atau setara dengan SMU kelas X.
Para siswa boleh memperdalam pelajaran sesuai dengan pilihan dan kebutuhan masing-masing. Pendalaman ini bisa diperoleh dari sesama siswa lewat diskusi, berkonsultasi dengan pembimbing (sebutan untuk guru), atau informasi yang diperoleh dari internet. Andalan mereka adalah "Pm Google" --istilah umum untuk merujuk pada situs www.google.com. "Mudah, kalau butuh informasi apa saja, tinggal masukkan kata kunci ke Om Google, terus di-enter," katanya.
Soal alasannya memilih bersekolah di Q-Tha, Mutiara mengaku atas inisiatif sendiri. Setelah lulus SMP, ia enggan melanjutkan ke sekolah formal. Warga Perumahan Klipang, Semarang, ini lebih memilih belajar di sekolah Q-Tha. "Di Q-Tha, siswa bebas menentukan apa yang ingin dipelajari," tuturnya. "Kalau di sekolah formal, harus belajar banyak pelajaran, meski itu tak disukai atau dibutuhkan," ia menambahkan.
Di sekolah alternatif itu, Mutiara memilih mendalami jurnalistik. Hasilnya, belasan tulisannya dimuat di sejumlah koran lokal Semarang. Selain jurnalistik, ia juga bergabung dalam kelompok multimedia yang mendalami fotografi dan film. Mutiara memang bercita-cita menjadi sutradara film. "Setelah satu-dua tahun, aku mau kursus bahasa Inggris saja untuk sekolah film di luar negeri," katanya. Di Q-Tha, pengetahuan soal perfilman diperolehnya dari pembimbing, sesama siswa, ditambah informasi dari internet.
Siswa Q-Tha kreatif dan produktif dalam berkarya. Ini tampak dari tumpukan karya siswa di resource center. Terdapat puluhan novel pop dan kumpulan puisi karya siswa yang dibukukan penerbit sekolah ataupun penerbit buku komersial. Banyak pula VCD musik dan film hasil karya siswa. Atas prestasi itu, sekolah ini memperoleh penghargaan Sanata Dharma Award 2005 dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Soal kemampuan akademik, siswa Q-Tha boleh dibanggakan. Nilai akademik mereka tak kalah dibandingkan dengan murid sekolah unggulan di kota Salatiga. Nilai rata-rata ulangan siswa Q-Tha jauh lebih baik daripada nilai rata-rata siswa SMP dan SMU di Salatiga. Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat antar-siswa di Salatiga.
Bahkan siswa Q-Tha mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri tingkat Provinsi Jawa Tengah dan menjadi duta untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas I, nilai rata-rata mata pelajaran bahasa Inggris siswa mencapai 8,86. Bahkan, dalam ujian akhir nasional (UAN) di SMP 1 Salatiga, Mei 2006, Fina Af'idatussofa, salah satu siswa Q-Tha, meraih peringkat kedua dari seluruh siswa SMP se-kota Salatiga.
Sekolah Q-Tha adalah sekolah terbuka. Karena itu, dalam perkembangannya, sekolah ini menerapkan KBK. Tapi KBK yang diadopsi Q-Tha bukan singkatan dari kurikulum berbasis kompetensi, yakni kurikulum yang jadi panduan wajib bagi sekolah-sekolah formal. KBK versi Q-Tha adalah kurikulum berbasis kebutuhan. Artinya, siswa belajar apa yang mereka butuhkan. Ada forum teater, jurnalistik, film, fotografi, dan masih banyak lagi. Tak ada ijazah di sekolah ini.
Menurut pendiri sekolah Q-Tha, Ahmad Bahruddin, ijazah tidaklah penting. Ijazah malah mengurangi motivasi seseorang untuk dapat melesatkan potensinya secara maksimal. Siswa terikat dalam sebuah kenyamanan yang ditandai dengan selembar kertas yang bernilai magis bagi sebagian orang. "Ijazah sarjana saya sampai sekarang belum saya ambil," katanya.
Ia berprinsip, ijazah hanya legalitas kelulusan yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam mencari ilmu pengetahuan. "Legalitas itu tahap berikutnya. Yang penting, pengajaran ini berorientasi pada kehidupan, bukan ilmu pengetahuan," ujarnya. Ketika anak-anak sudah bisa menjawab pertanyaan dan bermanfaat bagi kehidupan, menurut dia, legalitas tak lagi diperlukan.
Kesuksesan model pembelajaran sekolah Q-Tha kini menjalar ke berbagai daerah. Terdapat belasan komunitas belajar serupa. Misalnya, di Kabupaten Boyolali ada SMP Terbuka Otek Makmur dan di Desa Tebubatang, Kecamatan Selo, ada SMP Alternatif Setyo Tunggal. "Sekolah-sekolah itu didirikan oleh cabang Serikat Petani Qoryah Thayyibah. Namun pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat," kata Bahruddin.
Bagaimana dengan orangtua siswa? Apakah mereka tidak khawatir memasukkan anaknya ke sekolah Q-Tha? "Awalnya saya memang ragu," ujar Budi Maryono, orangtua Mutiara.
Ia mengaku sempat khawatir, jika lulus nanti, anaknya tidak akan diakui legalitas kelulusannya karena bukan berasal dari sekolah formal. Apalagi, sekolah itu tidak mewajibkan siswanya mengikuti UAN. "Kalau mau kerja, biasanya kan ijazah menjadi persyaratan utama," kata Budi Maryono. Namun, karena anaknya terus mendesak ingin bersekolah di Q-Tha, Budi pun mengikhlaskan Mutiara menjadi siswa sekolah alternatif itu.
Dalam pandangan pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi, konsep belajar yang diterapkan sekolah Q-Tha merupakan konsep pembelajaran yang ramah anak. Soalnya, anak diberi pilihan belajar sesuai dengan keinginan anak tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak mana pun, termasuk orangtua. "Saya justru ingin sekali sekolah-sekolah menerapkan konsep belajar seperti itu," kata pria yang akrab disapa Kak Seto itu.
Soal tidak adanya kewajiban siswa mengikuti UAN, menurut Kak Seto, orangtualah yang bertanggung jawab memberikan penjelasan tentang kegunaan ijazah bagi masa depan anak. Jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, seperti perguruan tinggi, atau bekerja di tempat yang membutuhkan legalitas berupa ijazah, misalnya menjadi pengawai pegeri sipil, sang anak sebaiknya dianjurkan mengikuti UAN atau ujian kesetaraan untuk mendapatkan ijazah.
Tapi, kalau si anak ingin berkarya di sektor informal yang tidak membutuhkan ijazah, adalah hak anak untuk memilih tidak mengikuti UAN. "Memang mendidik anak menjadi tanggung jawab orangtua, tapi kewajiban orangtua pula mendengarkan keinginan anak," katanya.
Syamsul Hidayat dan Sujud Dwi Pratisto