Dua hari ini rakyat menunggu pidato Presiden mengenai hubungan Indonesia Malaysia pasca insiden penangkapan petugas DKP oleh petugas Malaysia di wilayah laut RI. Orang menyangka, karena pidato itu akan diucapkan di Markas Besar TNI di Cilangkap, pidato itu akan menggelegar untuk menunjukkan kekuatan dan harga diri bangsa. Namun yang terdengar bukanlah pidato menggelegar, melainkan hanyalah seperti pengajian bulan Ramadhan, yang lebih banyak bernuansa tausiyah dan harapan, sambil mengungkapkan berbagai hal yang sudah diketahui umum.
Dalam sepekan ini timbul suara-suara keras di kalangan rakyat atas penghinaan yang diterima bangsa dan negara, saya yakin tak ada di antara kita yang sungguh-sungguh menginginkan perang antara kita dengan Malaysia. Walapun ada yang berteriak “Ganyang Malaysia”, tapi saya yakin kita takkan mengulang konfrontrasi di awal tahun 1960an. Kita hanya ingin bersikap tegas, jangan ada perbuatan sewenang-wenang dilakukan negara tetangga terhadap kedaulatan dan harga diri sebagai sebuah bangsa.
Presiden ingin menyelesaikan ketegangan Indonesia-Malaysia dengan mempercepat perundingan masalah perbatasan dan “mendorong Malaysia” untuk segera menyelesaikannya. Ini bukan masalah baru. Perundingan perbatasan, darat maupun laut dengan Malaysia selama ini tak membawa kemajuan berarti. Malaysia datang dengan sikap arogan, tak sedikitpun ingin kompromi sebagaimana layaknya sebuah perundingan. Mereka menyadari bahwa mereka hadir ke meja perundingan dengan posisi yang lebih kuat. Secara ekonomi dan militer, kekuatan Malaysia sudah berada di atas kita. Lebih dua juta warga Indonesia yang bekerja, legal maupun illegal di Malaysia, dan mayoritas menjadi kuli, telah mengubah cara pandang orang Malaysia terhadap orang Indonesia. Bangsa kita dilihat sebagai bangsa melarat. Kita sendiri merasa rendah diri berhadapan dengan Malaysia, karena banyaknya rakyat kita yang mencari makan di negara itu. Malaysia melihat kita lemah. Pemimpinnya juga tak bernyali jika berunding dengan pihak manapun. Jangankah dengan Malaysia, dengan Singapura saja kita sering bersikap lemah. Negara sekecil itu seringkali mau mendiktekan kemauannya.
Presiden sebagai pemimpin bangsa, harusnya mampu menegaskan bahwa kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Malaysia. Keberadaan dua juta pekerja Indonesia di Malaysia, bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk mendesakkan keinginan kita dengan Malaysia, bukannya membuat kita ragu-ragu dan malah merasa rendah diri. Tanpa keberadaan warga Indonesia di sana, UMNO akan mengalami banyak tekanan dari kelompok etnik pendukung partai lain dalam setiap pemilu Malaysia. Negara multi etnik dengan komposisi yang tajam seperti Malaysia selalu dihadapkan dengan kegalauan pertarungan antar kelompok.
Tanpa kehadiran orang Indonesia, etnik Melayu di Malaysia suatu ketika, bukan mustahil akan tergilas oleh kekuatan-kekuatan etnik lain. Malaysia suatu ketika mungkin saja tak berkaitan dengan “Malay” lagi. Bisa saja Pemerintah Malaysia mengancam akan mengganti TKI dengan pekerja dari Myanmar, China, Bangladesh atau bahkan Timor Leste. Kita lihat saja apa yang akan terjadi dalam beberapa dekade ke depan: Malaysia akan kehilangan “Malay”nya sebagai asal muasal sejarah negara itu. Saya berani bertaruh, kalau itu terjadi, dasar-dasar falsafah yang membentuk Konstitusi Feredasi Malaysia seperti hak ketuanan (artinya keistimewaan) orang Melayu, Islam sebagai agama resmi negara dan kedudukan raja-raja Melayu, juga akan runtuh dengan seketika. Bukan mustahil Malaysia akan berubah menjadi sebuah republik sekular dan multi etnik, menggantikan monarki konstitusional dengan sistem parlementer sekarang ini.
Indonesia tentu harus mempercepat pembangunan ekonomi, sehingga tidak melarat terus-menerus, yang membuat kita tak bernyali berhadapan dengan bangsa lain. Inilah yang harus dikerjakan pemerintahan SBY. Di masa sekarang, ekonomilah panglimanya untuk mendesakkan diplomasi. Kalau kita bangsa kaya, kita punya sikap percaya diri yang lebih besar. Sebaliknya kalau kita miskin dan melarat, kita dilanda perasaan rendah diri. Pemerintah jangan lagi terlalu banyak berteori dan berwacana dalam membangun ekonomi. Kerja nyatalah yang harus dikedepankan, dengan kebijakan yang kongkrit. Hukum kita juga harus dibenahi. Hukum kini, justru telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi, karena dikerjakan dengan cara amatiran, seperti UU Minerba yang sangat ganjil itu. Penegakan hukum juga harus jelas sasarannya. Kalau segalanya membuat orang ketakutan, maka pejabat dan birorkat tidak berani ambil keputusan. Akhirnya semua terbengkalai. Dana APBN dan APBD menganggur, lantas beli SBI di bank sentral. BI terpaksa harus cetak uang bayar bunga SBI. Investor juga mikir seribu kali masuk ke sektor ril. Mereka hanya bermain di bursa saham saja.
Kekuatan militer juga menjadi pendukung utama dalam diplomasi kita. Memang dari sudut persenjataan kita sudah jauh tertinggal. Selama era Presiden SBY, kemajuan pembangunan persenjataan TNI kita tidak banyak mengalami kemajuan. Namun moril TNI dan rakyat kita tetap tinggi, dan masih mempunyai kekuatan untuk melawan. Tokh kita punya pengalaman perang di masa lalu, dengan senjata seadanya, namun tetap mampu untuk melawan untuk menopang diplomasi. Presiden harus berani mengatakan, karena telah berulangkali petugas dan militer Malaysia memasuki wilayah kedaulatan RI, sekali lagi dilakukan, kami akan lawan dan enyahkan! Ketegasan seperti itu yang ditunggu-tunggu rakyat, bukan menulis surat kepada PM Malaysia yang jangankan dijawab, malah dilecehkan karena ulah segelintir orang yang mendemo Kedubes Malaysia di Jakarta dengan cara-cara yang melampaui batas kepatutan.
Suatu hal yang dilupakan Presiden dalam pidatonya ialah mengungkapkan bahwa kita adalah bangsa serumpun, yang seharusnya kompak menghadapi tantangan dunia masa depan. Presiden harus mengingatkan orang Melayu Malaysia bahwa kemajuan dan ketertinggalan sebuah bangsa hanyalah masalah waktu.
Dulu Indonesia kuat, Malaysia lemah. Sekarang Malaysia kuat, Indonesia lemah. Namun jangan dilupakan, suatu ketika keadaan bisa menjadi terbalik. Presiden tegaskan keinginan Pemerintahnya untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Harus ada tekad yang dikemukakan Presiden bahwa suatu ketika Indonesia akan mampu mengalahkan kemajuan Malaysia hari ini, dan akan membuat Malaysia sangat banyak tergantung kepada Indonesia. Apalagi kegalauan etnik selalu saja menghantui setiap orang yang ada di negara tetangga itu. Kalau pembangunan ekonomi Indonesia berjalan lambat seperti sekarang, kita tak dapat menggertak untuk memanggil pulang tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Tenaga kerja Indonesia takkan mudah bisa digantikan oleh pekerja dari negara-negara lain. Pekerja dari negara-negara lain itu suatu ketika akan membawa masalah baru dalam komposisi etnik di Malaysia dan bukan mustahil akan semakin menggoyahkan hak ketuanan orang Melayu di sana.
Menyimak pidato Presiden SBY malam ini, membuat kita rindu memiliki Presiden yang cerdas dan bernyali untuk membangun harga diri bangsanya. Kita rindu Presiden yang punya keberanian bersikap, bukan Presiden yang lemah yang membuat harga diri bangsa menjadi porak poranda dan kita dengan mudah dipermainkan oleh bangsa-bangsa lain.*****