Mei 15, 2008

China gelembung ekonomi akan meletus

Tatkala kita di Indonesia berupaya menaikkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, di China justru sedang diupayakan untuk menurunkan laju pertumbuhan ekonomi melalui penurunan tingkat investasi. Ada kekhawatiran bahwa ekonomi China sedang atau akan mengalami kepanasan yang berlebihan (overheating).
Kekhawatiran yang lebih besar adalah bahwa pemerintah tidak mampu mendinginkan ekonomi itu. Keadaan ini bisa mengakibatkan suatu hard landing, yaitu suatu proses sulit untuk mengakhiri permintaan berlebihan dan menurunkan inflasi. Proses ini berisiko tinggi dan bisa mengakibatkan resesi ekonomi. Dalam proses ini banyak hal bisa terjadi apabila kepercayaan pasar menjadi sangat goyah. Barangkali, gelembung ekonomi China akan meletus. Apabila ini terjadi, ekonomi dunia dan kawasan Asia akan sangat terpengaruh.

Ada anggapan bahwa masalah yang dialami China dewasa ini bukan overheating. Inflasi tahunan saat ini mencapai 3 persen, naik dari 0,9 persen setahun sebelumnya. Sebenarnya inflasi belum mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Masalah China, menurut sementara analis, adalah overinvestment dan underconsumption. Tahun lalu tingkat investasi mencapai 45 persen dari produk domestik bruto.
Masalah China ini telah menjadi perhatian banyak pihak. Beberapa pemerintah merasa perlu untuk memberikan peringatan kepada China, termasuk Amerika dan sejumlah kalangan di Jepang, agar mata uang renminbi direvaluasi. Revaluasi mata uang hanya satu dari berbagai opsi kebijakan.
Sejak bulan lalu Pemerintah China telah menaikkan reserve requirements-nya untuk memperlambat pemberian pinjaman oleh perbankan. Pinjaman perbankan telah meningkat sebesar 21 persen per tahun hingga Maret lalu. Pemberian pinjaman yang berlebihan diperkirakan telah meningkatkan nonperforming loans (kredit bermasalah/NPL) menjadi 40-50 persen.
Pemerintah China juga telah menerapkan selective tightening dengan mengeluarkan perintah untuk menghentikan pemberian pinjaman kepada sejumlah industri, misalnya, industri besi dan baja, aluminium, mobil, petrokimia, bahan bangunan, dan sektor properti. Sejak akhir Maret bank sentral, The People’s Bank of China, juga telah mulai meningkatkan suku bunga.
Masing-masing opsi itu mempunyai permasalahannya. Revaluasi mata uang dikhawatirkan bisa menimbulkan gejolak spekulasi. Sementara itu, menaikkan suku bunga barangkali tidak banyak berarti sebab pemberian pinjaman oleh perbankan lebih banyak ditentukan secara politik atau karena kolusi. Bahkan, peningkatan suku bunga bisa menyebabkan peningkatan arus modal masuk, yang akan semakin memanaskan ekonomi.
Pemerintah China tampaknya tidak mempunyai instrumen moneter yang cukup untuk mengelola suatu soft landing. Otoritas moneter tidak mungkin mengendalikan nilai tukar dan suku bunga sekaligus. Selama renminbi masih dipatok (pegged) terhadap dollar AS, bank sentral tidak bisa banyak memengaruhi keadaan moneter. Selama arus modal yang masuk tetap tinggi, tekanan revaluasi terhadap mata uang juga besar. Untuk mengatasinya, bank sentral perlu membeli devisa, dan dengan itu akan menyuntikkan likuiditas ke sektor perbankan. Dengan demikian, bank akan kelebihan cadangan. Akibatnya, peningkatan reserve requirements menjadi tidak berarti.


Tambahan lagi, dalam sistem desentralisasi, pemerintah pusat tidak dapat menertibkan upaya pemerintah-pemerintah lokal untuk menggerakkan ekonomi di daerah mereka masing- masing. Dalam kongres nasional bulan Maret lalu, Perdana Menteri Wen Jiabao telah menggariskan agenda baru pemerintah. Di situ disepakati untuk menurunkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi 7-8 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi bukan lagi menjadi fokus, dan upaya nasional akan dialihkan ke pembangunan sosial dengan meningkatkan investasi dalam prasarana sosial.
Pergeseran kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kesenjangan di dalam negeri yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidakstabilan politik. Persoalan lain yang juga akan ditangani adalah restrukturisasi perbankan. Sejak lama sektor perbankan China merupakan titik rawan ekonomi China. Berulang kali pemerintah terpaksa menyelamatkan bank- bank negara yang mengalami kesulitan dengan menyuntikkan dana. Untungnya, cadangan internasional China sangat besar, lebih dari 400 miliar dollar AS. Akan tetapi, dana itu tidak dapat terus-menerus dihamburkan untuk menopang sistem perbankan yang sangat tidak efisien.
Selama triwulan pertama tahun 2004, ekonomi China masih tumbuh sebesar 9,7 persen. Apabila upaya mendinginkan ekonomi berhasil dilakukan, ekonomi China masih akan tumbuh sebesar 7-8 persen. China sudah menjadi mesin penggerak ekonomi yang penting bagi kawasan Asia.
Dampak penurunan laju pertumbuhannya tentu ada. Barangkali dampaknya terhadap Indonesia akan lebih kecil daripada terhadap beberapa negara lain di kawasan. Ekspor Indonesia ke China mengalami peningkatan berarti, sebesar 26 persen tahun lalu. Tetapi, peningkatan itu lebih rendah daripada yang dialami beberapa negara ASEAN lainnya.
Meningkatnya impor China dari ASEAN dan negara-negara Asia Timur lainnya untuk sebagian besar digunakan dalam proses menghasilkan ekspor ke negara ketiga. Pola ini semakin jelas dan terlihat dari terus-menerus membesarnya surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat di satu pihak, dan meningkatnya defisit perdagangan China dengan negara-negara ASEAN di pihak lain.
Apabila China dapat mulai mengalihkan sumber pertumbuhannya dari investasi ke konsumsi, sangat mungkin impor dari negara-negara ASEAN akan tetap meningkat. Kiranya penyesuaian ekonomi oleh China secara keseluruhan akan lebih menguntungkan bagi negara-negara Asia Timur. Jika penurunan laju pertumbuhan dilakukan melalui revaluasi renminbi, suatu simulasi menunjukkan bahwa pertumbuhan di negara-negara Asia Timur akan mengalami peningkatan, dan peningkatan terbesar akan dialami oleh Indonesia.
Akan tetapi, yang tidak segera dapat diketahui adalah sejauh mana hal ini disebabkan oleh pengalihan investasi. Pada tahun 2003, penanaman modal asing (PMA) ke China mencapai 57 miliar dollar AS, lebih dari dua kali lipat jumlah PMA ke seluruh negara-negara ASEAN. Barangkali memang PMA ke China akan mulai mengalami penurunan sebab rate of return-nya sudah sangat merosot. Hal ini menunjukkan gejala overinvestment. Namun, apakah akan terjadi pengalihan investasi secara berarti ke ASEAN, termasuk Indonesia?
Indonesia harus berbenah bila ingin mengambil manfaat dari kemungkinan perkembangan itu. Sebab, kalau hanya dengan mendeklarasikan "Tahun Investasi" yang tidak jelas maknanya, para investor tidak akan datang. Di luar China masih banyak kesempatan investasi lainnya. Tamz