Mei 15, 2008

Tasawuf Hamzah Fansuri Sufi – Pujangga dari Serambi Mekah

Tasawuf Falsafi Nusantara pertama yang diterapkan ulama sufi Hamzah Fansuri. Tak diketahui jelas kelahirannya tapi diperkirakan sufi-pujangga itu wafat sekitar 1607 M. Ia lahir di suatu desa bernama Syahru Nawi di Siam (kini Thailand). Data itu diperoleh dari kitab yang ditulisnya, Rubaiyyat. Ia hidup pada masa Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah dan pada awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh antara 1550-1605 M.
Di samping bahasa Melayu Indonesia, ia juga menguasai bahasa Arab dan Persia. Dalam pengembaraan intelektualnya, ia sempat berkunjung ke Irak, Persia, India dan dua kota suci, Makkah dan Madinah. Di Irak, malah ia mendapatkan penghargaan sufi untuk Tarekat Jailani dari salah seorang syaikh (guru)nya. Namun, sampai sekarang, siapa saja guru Fansuri, tak banyak diketahui.
Hanya saja, dalam karya-karyanya, ia menyebut beberapa nama sufi besar yang kerap menginspirasinya. Semisal Abu Yazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas’udi, al-’Aththar, Jalaluddin al-Rumi, al-’Iraqi, al-Maghribi Syah Ni’matullah, dan al-Jami’. Fansuri tidak saja rajin menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, tapi juga menulis beberapa karya terkait dengan corak tasawuf yang diacunya.
Dalam tradisi tasawuf Nusantara, ada dua corak dominan saat itu. Pertama, tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni adalah jenis tasawuf dengan poros ajaran Imam al-Ghazali. Kitab yang dirujuk adalah Ihya Ulumiddin, Minhaj al-Abidin, dan Bidayah al-Hidayah. Tasawuf Sunni banyak diikuti oleh para ulama dan fuqaha yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Itu karena, tasawuf itu juga yang dikembangkan oleh Wali Songo ketika menyebarkan Islam di bumi Nusantara.

Inilah salah satu karya dari syair-syair Fansuri:
Saat kau menjadikan harta sebagai teman,
maka akibatnya adalah kehancuran,
keputusannya jauh dari kebenaran,
sebagaimana jauhnya dari keikhlasan.
Wahai nak yang memahami,
jangan menemani orang yang zalim
karena Rasul yang bijaksana, melarang
menolong kezaliman
Wahai kaum fuqara,
jauhilah menemani para umara
karena Rasul memberi peringatan
tidak membedakan yang kecil dari yang besar.
Melalui syair-syair itu, Fansuri mengritik, baik ulama, fuqaha atau para penguasa yang lalai dengan tugas-tugasnya. Tidak terbuai oleh kemewahan dan jangan terjebak kepada fanatisme buta. Apalagi ketika telah diselubungi oleh keangkuhan dan kesombongan. Syair-syair itu sekaligus menunjukkan bahwa Fansuri adalah ulama yang sangat peduli dengan kondisi sosial masyarakatnya.
Prosa dan syair karangan beliau sebetulnya sangatlah banyak. Namun, karena karya-karyanya sempat dibakar oleh salah satu kelompok yang tidak menyukainya di depan Masjid Raya Aceh, sebagian besar karyanya hangus. Hanya ada beberapa risalah tasawuf yang berhasil diselamatkan dan dianggap sebagai karya orisinal Fansuri. Di antaranya adalah Kitab Syarab al-’Asyiqin (Minuman Orang yang Berahi), Asrar al-’Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), al-Muntaha, dan Zinat al-Wahidin (Perhiasan Orang-orang yang Mengesakan). Syarab al-Asyiqin, secara umum, adalah ikhtisar berisi ajaran wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi, dan Abd al-Karim al-Jilli. Risalah itu memuat tahap-tahap pencapaian makrifat dengan mengikuti amalan Tarekat Qadariyah. Kitab itu merupakan panduan bagi pemula dalam ilmu suluk yang terbagi dalam 7 bab. Bab 1, 2, 3, dan 4 menguraikan tahap-tahap ilmu suluk, yang terdiri dari syari’at, thariqat, hakikat, dan makrifat.
Hamzah Fansuri ini adalah seorang mistikus yang mengikuti ajaran “kesatuan eksistensial” (wihdat al-wujud) milik Ibnu Arabi. Menurutnya, ketika segala sesuatu itu belum ada atau belum ber-wujud, maka yang pertama-tama ada hanyalah Allah sebagai Zat Semata, tanpa sifat dan nama. Allah sebagai zat itu adalah Allah dalam kondisi diam tanpa aktivitas atau Allah dalam aspeknya yang adikodrati (transenden). Ia adalah Yang Awwal dan Yang Akhir, yang tiada teribaratkan dan tiada termisalkan. Nama Zat Semata adalah Huwa.
Hamzah Fansuri menambahkan, Allah dalam kondisi diam tanpa aktivitas tersebut, adalah seperti laut yang dalam, karena hakikat dari Zat tidak dapat dikenal dan diketahui, lagipula tak seorang juapun dapat tahu akan hal itu. Jadi, kalau Allah dalam sisi-Nya yang transenden adalah Zat Semata dan bernama Huwa, jadi Allah dalam kondisi beraktivitas atau sisi imanen-Nya bernama Allah. Allah adalah himpunan segala nama Allah, dan di bawah nama Allah ini terdapat banyak sekali nama, namun yang terkenal ada 99 nama yang biasa diberi nama asma’ al-husna.
Allah dalam aspek hakikat-Nya yang bernama Zat dan Allah dalam aspek imanen-Nya, yaitu wujud yang bernama Allah, maka Zat Allah dengan wujud Allah adalah esa.
Hamzah Fansuri ini menegaskan bahwasanya wujud Allah dan wujud alam adalah esa. Alam tidak memiliki wujud sebab menurut beliau, alam itu bukanlah wujud. Wujud alam itu adalah wujud bayang-bayang atau wujud wahmi, artinya bagaikan bayang-bayang pada cermin, ia tampaknya memiliki wujud tapi sebenarnya tidak. Jadi, karena alam ini tidak berwujud sendiri melainkan diberikan wujud oleh Allah, maka rupanya ada tapi pada hakikatnya tidaklah ada.
Sebenarnya Hamzah Fansuri melalui simbol cermin itu hendak menjelaskan hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan antara Allah dan alam seperti tampak dalam ajarannya mengenai penciptaan. Bagi Hamzah, proses penciptaan tak lain ialah proses di mana Allah memanifestasikan diri-Nya sendiri, atau dalam istilah disebut dengan tajalli, dan proses pemanifestasian diri ini dilakukan melalui berbagai fase yang disebut dengan ta’ayyunat, yaitu kenyataan pertama, biasa disebut martabat wahdat, atau pemanifestasian Zat kepada diri-Nya sendiri. Pada saat Allah melihat pada diri-Nya sendiri, maka Allah melihat kesempurnaan diri-Nya.
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa sesungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabat alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah adalah martabat (hakikat) segala nyawa, alam mitsal adalah martabat (hakikat) segala rupa, alam ajsam adalah martabat (hakikat) segala tubuh, dan alam insan adalah martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Sementara itu, Rubâî Hamzah Fansuri yang berjudul Ikan Tunggal Bernama Fâdhil menurut syarah Rubâ’î berisi hubungan antara manusia dengan Allah Ta’ala. Manusia di dalam kerangka tasawuf diibaratkan seperti seekor ikan yang berenang di lautan yang amat luas, tidak bertepi, dan tidak berujung. Allah Ta’ala diibaratkan seperti air laut yang sangat luas dan dalam. Keluasan dan kedalaman air laut tidak dapat dilukiskan dengan akal pikiran, seperti halnya keluasan dan kedalaman ilmu dan Dzât-Nya. Namun, seorang hamba Allah yang banyak mempunyai keutamaan-keutamaan, ia dapat sampai, bertemu, dan pada akhirnya dapat merasa bersatu dengan Allah Ta’ala (wahdatul wujud). Seorang hamba yang dapat merasa bersatu dengan Allah Ta’ala adalah seseorang yang telah dapat menjalankan fanâ fillâh, yaitu hancurnya batas-batas individual diri seseorang dalam menyatu dengan Allah Ta’ala. Apabila seorang hamba Allah telah melakukan perjalanan menuju sumber, yaitu Allah Ta’ala, maka ia harus melenyapkan kejahilan dan menggantinya dengan kebaikan. Dalam keadaan seperti ini, seorang hamba mengatakan dan mengiktikadkan inni anal-lâh yang artinya sesungguhnya aku adalah Allah.
Dengan demikian, di dalam mencari Tuhan, manusia selalu diibaratkan dengan burung dan Tuhan diibaratkan dengan ruang angkasa. Burung tidak mungkin dapat menemukan Tuhan karena ruang angkasa sangat luas, tidak berujung, dan tidak bertepi. Selain itu, manusia dalam mencari Tuhan juga sering diibaratkan dengan air laut. Ikan berenang ke sana ke mari mencari Tuhan. Ia tidak akan dapat menemukan Tuhan karena air laut sangat luas, tidak berujung, dan tidak bertepi. Simbol burung atau ikan bagi manusia dan ruang angkasa atau air laut bagi Tuhan dimaksudkan untuk menggambarkan pengembaraan jiwa atau ruh seseorang yang sangat luas dalam mencari kesempurnaan dirinya. Perlu diketahui bahwa kesempurnaan diri seseorang terpusat pada hatinya. Semakin jernih atau bening hati seseorang, maka semakin jelas dan terang ia dapat mengetahui dan melihat Tuhan. Karena itulah, Rubâî Hamzah Fansuri yang berjudul Ikan Tunggal Bernama Fâdhil perlu diungkap makna teksnya lebih dalam lagi.

Taufiq attamzirien, dari berbagai sumber