Agustus 28, 2008

DPRD Sandera APBD

SELAMA delapan bulan terakhir hampir tidak terlihat pembangunan fisik yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pembangunan stagnan bukan karena tidak punya uang. Uang tidak bisa cair karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2008 tak kunjung disahkan DPRD DKI Jakarta.

APBD 2008 yang hingga kini belum disahkan itu bukan monopoli Jakarta.
Masih banyak daerah lain yang belum merampungkan pembahasan APBD 2008.
APBD tidak rampung bukan karena minimnya kemampuan teknis anggaran anggota dewan. Justru karena anggota dewan sangat lihai mencari setiap celah dalam pembahasan APBD untuk memperkaya diri.

Sungguh ironis. DPRD yang beranggotakan orang-orang partai itu dengan keji menyandera APBD. Ini semakin memperlihatkan watak asli para wakil rakyat yang gemar melakukan transaksi hak konstitusionalnya untuk mengisi pundi-pundi kekayaan pribadi.

Padahal, APBD bukan sekadar pembagian kue untuk belanja rutin. APBD juga salah satu instrumen untuk menggeliatkan perekonomian daerah. Selain itu, APBD menjadi alat politik negara untuk memenuhi kepentingan masyarakat dengan membangun fasilitas publik. Karena itu, DPRD yang sengaja menunda-nunda pembahasan APBD adalah musuh publik, musuh masyarakat.

Dengan dasar pemikiran seperti itulah kita mendukung ancaman Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengadukan anggota DPRD DKI Jakarta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih elok lagi jika pemimpin tidak obral ancaman, tapi langsung melaksanakannya.

Sesuai jadwal, daerah sudah harus menyerahkan peraturan daerah tentang APBD 2008 pada 31 November 2007 ke Departemen Dalam Negeri sehingga APBD itu mulai berlaku efektif 1 Januari 2008. Namun, pada kenyataannya malah molor berlarut-larut.

Pengesahan APBD yang molor itu tentu saja berdampak sangat serius, baik bagi sektor riil maupun sektor konsumsi, yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi. APBD molor berarti pembangunan sejumlah proyek infrastruktur mandek karena dana tidak cair.

Salah satu proyek yang tertunda pembangunannya adalah Banjir Kanal Timur. Dampaknya, setiap saat warga Jakarta harus siaga menghadapi kiriman banjir dari Bogor.

Masih ada dampak lainnya, seperti tunjangan pegawai dan gaji guru honor juga tidak terbayar karena menunggu kucuran uang.

Sangatlah terang benderang, tabiat buruk DPRD yang menyandera APBD telah menyebabkan rakyat sengsara. Kesengsaraan itu bukan hanya berskala lokal.
Secara nasional, akibat roda perekonomian daerah tidak bergerak, laju pertumbuhan ekonomi nasional pun bisa melambat.

Sudah tiba waktunya untuk dipikirkan memberi insentif dan disinsentif yang efektif secara institusional dikaitkan dengan pengesahan APBD.

Secara makro, misalnya, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dipotong untuk daerah yang terlambat mengesahkan APBD. Secara mikro, perlu dilakukan terobosan cerdas seperti melarang mencairkan belanja pimpinan dan anggota dewan serta kepala daerah yang terlambat mengesahkan APBD.

Kalau untuk urusan memenuhi tenggat saja DPRD tidak mampu, apalagi yang bisa kita harapkan? Karena itu, jangan sekali-kali memilih lagi anggota DPRD yang kini menyandera APBD.