Usaha pemanfaatan sumber daya alam batubara di Kalimantan Selatan, saat ini, secara resmi (legal), dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, menengah, dan skala kecil (koperasi) serta perorangan. Pengusahaan pertambangan batubara tersebut, terdiri dari perusahaan pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan perusahaan atau koperasi pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan), pengelola pelabuhan, para pedagang (trader), dan eksportir. Selain yang legal, juga banyak terdapat pertambangan batubara ilegal, yang aktivitasnya, sampai saat ini, semakin marak dan semakin menambah carut-marutnya pengelolaan sumberdaya alam tambang batubara di Kalimantan Selatan. Dan semua aktivitas pertambangan batubara tersebut, dilakukan dengan menggunakan metode penambangan secara terbuka (open pit), sehingga tidak memerlukan teknologi yang rumit dan biaya investasi lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambangan bawah tanah (underground). Hal ini dimungkinkan, karena umumnya keberadaan batubara berada pada lapisan tanah permukaan.
Potensi sumber daya alam, berupa tambang batubara, yang terdapat di Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik, serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, HST, HSU, HSS, Tapin, dan Tabalong). Berdasarkan data dari Indonesian Coal Mining Association pada tahun 2001, stock cadangan batubara Kalimantan Selatan yang terukur (pasti) adalah 2,428 milyar ton, dan yang terindikasi sekitar 4,101 milyar ton. Sehingga paling tidak, sampai saat ini, terdapat cadangan batubara yang sudah ditemukan sebesar 6,529 milyar ton.
Dalam Indonesia Mineral and Coal Statistics, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2005, produksi batubara di Kalimantan Selatan, yang tercatat secara resmi pada tahun 2003 adalah 46.116.289,80 ton dan meningkat pada tahun 2004, yaitu sebesar 54.540.977,16 ton, dimana sebagian besar produksi batubara tersebut dihasilkan oleh perusahaan besar dengan modal asing (PMA), seperti PT. Arutmin dan PT. Adaro Indonesia. Jumlah produksi ini menyumbang sebesar 40,35% dari total produksi nasional sebesar 114.278.195,13 ton pada tahun 2003 dan 41,21% dari total produksi nasional sebesar 132.352.024,79 ton pada tahun 2004. Dan jumlah ini merupakan kedua terbesar setelah Kalimantan Timur yang memproduksi sebesar 57.693.479,71 ton pada tahun 2003 dan sebesar 68.396.462,38 ton pada tahun 2004. Kemudian tercatat penjualan domestik batubara Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebesar 13.153.674,52 ton dan pada tahun 2004 sebesar 14.666.467,21 ton, sedangkan untuk penjualan ekspor batu bara Kalsel pada tahun 2003 sebesar 32.805.818,99 ton dan pada tahun 2004 sebesar 34.499.239,35 ton.
Sampai dengan pertengahan tahun 2004 (data sampai dengan bulan Agustus 2004) produksi Batubara Kalimantan Selatan dari perusahaan pertambangan batubara pemegang PKP2B mencapai 25.617.917 ton, sementara dari bulan Januari 2004 sampai bulan Agustus tahun yang sama data produksi batubara dari para pemegang kuasa penambangan mencapai angka 1. 550.738 ton, kemudian dari 25 Koperasi Unit Desa yang terdata di Dinas Pertambangan Propinsi Kalimantan Selatan produksi batubara sampai dengan bulan agustus 2004 mencapai 27.853.730 ton, ini diluar Koperasi milik PUSKOPOL dan PUSKOPAD.
Menurut Ketua ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) Kalsel untuk tahun 2004 produksi batubara yang dihasilkan oleh PETI mencapai 10 juta metrik ton (sumber Banjarmasin Post 11 Juni 2004). REGIONAL Site Manager PT Arutmin Tambang Satui Sumarwoto mengatakan, dalam sehari produksi Arutmin di Tambang Satui hanya 9.000 metrik ton. Sedangkan batubara yg dihasilkan oleh PETI per harinya mencapai 40.000 ton, Lalu bagaimana dengan total produksi tambang batu bara seluruh Kalsel? Data mengejutkan diungkapkan External Affairs PT Arutmin Indonesia Sonny T Pangestu. Sonny membeberkan, selama tiga tahun terakhir produksi rata-rata PETI di Kalsel sekurangnya mencapai 28 juta metrik ton.
Jumlah itu terutama berasal dari produksi peti dari tiga areal tambang Arutmin, yaitu Tambang Satui yang berada di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Tambang Batulicin di Tanah Bumbu, dan Tambang Senakin di Kabupaten Kota Baru. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel Sukardhi bahkan berani memprediksikan, total produksi peti 10 persen lebih banyak lagi dibanding dengan data Arutmin. "Kami yakin produksi peti tiga tahun terakhir lebih dari 31 juta metrik ton," katanya (Banjarmasin Post 11 Juni 2004).
Kalau kita lihat betapa semakin tahun semakin besar jumlah batubara yang dieksploitasi dan telah menempatkan Kalsel sebagai daerah terbesar kedua penghasil batubara di Indonesia. Namun sebagian besar hasil dari eksploitasi tersebut dieksport ke luar negeri dengan tujuan ke beberapa negara maju. Disisi lainnya Kalsel (bahkan Indonesia secara umum) tidak mampu memenuhi kebutuhan energi rakyatnya. Terbukti di Kalsel sendiri Pemerintah (dalam hal ini PLN) belum mampu memenuhi kebutuhan energi listrik secara kontinyu, dimana sering sekali terjadi pemadaman listrik secara bergantian. Memang senyatanya bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam tambang batubara saat ini sangat berorientasi pada pasar dan bukan pada kebutuhan rakyat. Kebijakan yang berorientasi kepada ”modal” dan mengabaikan hak-hak rakyat dan lingkungan hidup.
Eksploitasi yang dilakukan sebagian besar tidak memberikan dampak kesejahteraan yang nyata di masyarakat, hal ini dapat terlihat dimana kehidupan masyarakat lokal sekitar tambang tidak mengalami kemajuan yang berarti dan bahkan sebagian besar masih terpinggirkan dalam segala hal baik di biding ekonomi, sosial dan budaya termasuk pendidikan.
PROBLEMATIKA dan DAMPAK PERTAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN
Penggunaan Jalan Umum Untuk Angkutan Batubara
Penggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara yang berlangsung sampai saat ini jelas-jelas telah menggangu kepentingan masyarakat banyak. Aktivitas ini sangat menggangu pengguna jalan lainnya, menimbulkan banyak kecelakaan, kerusakan jalan dan jembatan yang tentunya akan meningkatkan biaya pemeliharaan jalan dan jembatan, bahkan debunya telah mencemari lingkungan sekitar sepanjang jalan yang dilewati. Disamping kerugian-kerugian yang dapat secara langsung kita rasakan, juga terselip bahaya yang ditimbulkan oleh debu batubara yang dihasilkan pada saat batubara tersebut diangkut oleh truk-truk tersebut ketika melintas di jalan-jalan umum, adapun bahaya tersebut antara lain ; Penyakit inpeksi saluran pernapasan (ISPA), dan dalam jangka panjang akan berakibat pada kanker (baik itu kanker paru, lambung, darah) sampai nantinya adanya kemungkinan banyak bayi yang lahir cacat. Kebijakan yang membolehkan angkutan batubara lewat jalan umum ini juga telah melanggar ketentuan perundangan Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang mewajibkan perusahaan tambang memiliki sarana dan prasarana sendiri termasuk jalan.
Kepadatan angkutan batubara mencapai 2.473 unit per hari di Kab. Tapin, belum ditambah angkutan dari kabupaten lainnya (Bpost, 2005), sedangkan berdasarkan pengamatan WALHI Kalsel di Kabupaten Banjar dan Banjarbaru tingkat kepadatan angkutan batubara perharinya tidak kurang dari 1.300 truck. Bisa dibayangkan, kepadatan arus lalu lintas di jalan negara yang juga diperuntukkan untuk angkutan umum dan jenis angkutan pribadi lainnya. Belum lagi, keluhan masyarakat sekitar yang sudah merasa terganggu dengan aktivitas angkutan tersebut.
Adanya akses jalan umum bagi angkutan batubara ini sangat membuka kesempatan yang sangat lebar bagi berlangsungnya aktivitas pertambangan illegal karena mereka dapat dengan mudah mengangkut hasil bongkaran batubara yang dilakukan dari tempat manapun tanpa mampu dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Batubara yang diambil dari berbagai lokasi yang illegal terus mendapatkan “dokumen legal” dari berbagai koperasi dan kuasa pertambangan, seterusnya kemudian diangkut ke berbagai stockfile yang dimiliki penambang legal atau langsung dijual kepada para trader. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar batubara yang diangkut lewat jalan umum/negara adalah hasil dari penambangan batubara yang tidak menggunakan standar pengelolaan lingkungan yang baik dan banyak yang illegal. Sehingga dengan menghentikan angkutan batubara lewat jalan umum/negara maka asumsinya juga akan menghentikan sebagian besar aktivitas penambangan yang destruktif dan illegal.
Kepadatan angkutan batubara mencapai 2.473 unit per hari di Kab. Tapin, belum ditambah angkutan dari kabupaten lainnya (Bpost, 2005), sedangkan berdasarkan pengamatan WALHI Kalsel di Kabupaten Banjar dan Banjarbaru tingkat kepadatan angkutan batubara perharinya tidak kurang dari 1.300 truck. Bisa dibayangkan, kepadatan arus lalu lintas di jalan negara yang juga diperuntukkan untuk angkutan umum dan jenis angkutan pribadi lainnya. Belum lagi, keluhan masyarakat sekitar yang sudah merasa terganggu dengan aktivitas angkutan tersebut.
Adanya akses jalan umum bagi angkutan batubara ini sangat membuka kesempatan yang sangat lebar bagi berlangsungnya aktivitas pertambangan illegal karena mereka dapat dengan mudah mengangkut hasil bongkaran batubara yang dilakukan dari tempat manapun tanpa mampu dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Batubara yang diambil dari berbagai lokasi yang illegal terus mendapatkan “dokumen legal” dari berbagai koperasi dan kuasa pertambangan, seterusnya kemudian diangkut ke berbagai stockfile yang dimiliki penambang legal atau langsung dijual kepada para trader. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar batubara yang diangkut lewat jalan umum/negara adalah hasil dari penambangan batubara yang tidak menggunakan standar pengelolaan lingkungan yang baik dan banyak yang illegal. Sehingga dengan menghentikan angkutan batubara lewat jalan umum/negara maka asumsinya juga akan menghentikan sebagian besar aktivitas penambangan yang destruktif dan illegal.
Tumpang Tindih Kebijakan dan Illegal Mining (PETI Batubara)
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktivitas ekploitasi batubara di Kalsel samakin terus meningkat. Bukan saja ekploitasi yang dilakukan oleh para penambang resmi yang memiliki izin PKP2B maupun izin KP tetapi juga banyak dilakukan oleh para penambang tidak resmi alias penambang liar atau yang biasa disebut sebagai PETI batubara. Lebih parahnya lagi pertambangan illegal (Peti) di Kalimantan Selatan ditangani berdasarkan “kepentingan aparat” dan bahkan cenderung dilegalkan seperti kasus tambang illegal di Tanah Bumbu yang dilegalkan melalui berbagai yayasan dan koperasinya institusi TNI-POLRI.
Munculnya PETI Batubara juga tidak terlepas dari warisan kebijakan pertambangan dari jaman orde baru dimana konsesi-konsesi pertambangan di hampir seluruh wilayah Indonesia telah dikantongi ijinnya oleh corporate-corporate besar (multinasional corporasi) yang mempunyai ijin langsung dengan Pemerintah Pusat dengan konsesi lahan yang sangat luas. Di lain pihak, adanya perpindahan kebijakan dari pusat ke daerah yang diemplementasikan melalui UU Otonomi Daerah telah memberikan akses kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk ikut berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam Batubara ini. Akan tetapi pemberian konsesi kepada pengusaha lokal ini tentunya tidak semudah “membalik telapak tangan”, selain aturan mainnya yang belum jelas, areal yang mempunyai potensi tambang itu sendiri hampir semuanya telah dikuasai oleh perusahaan besar melalui mekanisme pusat. Kondisi inilah yang salah satu menjadi faktor pendorong timbulnya penambangan-penambangan liar yang sebagian besar dilegalkan oleh Pemerintah Daerah.
Jumlah produksi penambangan liar hingga saat ini di Kalsel mampu mencapai 10 juta metrik ton pertahunnya (berbagai sumber), itu hanya untuk kegiatan Peti disekitar areal PKP2B PT. Arutmin saja dan belum ditambah dengan produksi peti di sekitar areal PKP2B lainnya. Dengan jumlah produksi tambang sebesar itu, kegiatan Peti di Kalsel mampu memenuhi kebutuhan pasar di Asia Pasifik sebesar 25 %, bisa dibayangkan berapa kerugian negara akibat kegiatan penambangan liar ini.
Akan tetapi mengapa eksistensi penambangan liar ini begitu besar? Dibandingkan dengan perusahaan tambang besar, kehadiran Peti telah memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah lokal setempat dan masyarakat disekitar lokasi penambangan liar. Selain kontribusi para pengusaha Peti ini langsung masuk ke kas Pemda setempat melalui dana-dana kompensasi, pihak masyarakat setempat juga menarik fee terhadap pengusaha Peti yang masuk dan melewati wilayah mereka. Diluar biaya siluman lainnya, ada tiga macam kontribusi pengusaha Peti yang langsung masuk ke Pemda setempat agar mereka bisa mendapatkan SKAB (Surat Keterangan Asal Barang). Para pengusaha lokal tersebut mesti mengeluarkan pembayaran iuran produksi, dana rekklamasi, dan sumbangan Pihak Ketiga. Hal ini berbeda dengan para penambang pemegang PKP2B yang membayarkan royaltinya kepada Pemerintah Pusat dan baru kemudian dibagikan kepada pemerintah daerah.
Selain adanya fenomena diatas, diketahui bahwa eksistensi kegiatan Peti ini ternyata juga dibecking oleh perusahaan-perusahaan besar. Dari hasil investigasi bersama dengan Tim Terpadu Penanggulangan dan Penertiban Peti di Kalimnatan Selatan, aparat kepolisian setidak-tidaknya telah dapat mengidentifikasikan beberapa nama perusahaan besar yang menjadi becking Peti. Diantaranya, PT. Bangkit Adi Sentosa, PT. Varia Usaha (anak perusahaan PT. Semen Gresik), PT. Satui Baratama, CV. Texindo, dan PT. Djayanti Group. (MinergyNews.com)
Saat ini lokasi konsentrasi kegiatan Peti terbesar di Kalsel terdapat pada Kabupaten Kotabaru dan Kab. Tanah Bumbu, tepatnya di kawasan tambang Senakin dan kawasan tambang Satui, meliputi Kec. Klumpang Tengah, Klumpang Utara, Pamukan Selatan, Sampanahan (Kab. Kotabaru) dan Kec. Sungai Danau (Kab. Tanah Bumbu). Besarnya konsentrasi Peti di Kab. Kotabaru dan Tanah Bumbu ini disebabkan karena daerah penambangannya sangat dekat dengan akses angkutan sungai dan laut. Peti dapat memanfaatkan jalan negara serta jalan eks HTI, bahkan ada juga yang memanfaatkan jalan tambang PT. Arutmin.
Karena dekatnya lokasi tambang Peti ini dengan akses angkutan laut, maka aktivitas yang tak kalah besar adalah pengapalan PETI. Di Sepapah Kab. Kotabaru, ada belasan pelabuhan yang sebagian masih aktif memuat batu bara ke tongkang yang ditunggui penarik (tugboat). Lokasi itu tak jauh dari kantor wilayah kerja PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dan Administratur Pelabuhan (Adpel) Gunung Batu Besar Sampanahan. Menurut Usman Pahero (Ketua Tim Penanggulangan PETI dan Penebangan Liar Kota Baru) dan pengakuan Dishub Kotabaru , tercatat sekurangnya 30 pelabuhan ilegal dan 38 lokasi penumpukan batu bara (stock pile) ilegal di Kab. Kotabaru. Para pemilik ada yang penduduk lokal, ada pula yang ekspatriat. Di pintu masuk menuju Senakin yang tiap hari dilewati speedboat PT Arutmin dan speedboat umum (aparat Polsek setempat juga melewatinya jika ke Kota Baru) juga bertebaran pelabuhan ilegal.
Maraknya aktivitas illegal mining saat ini tidak lepas dari kelemahan peraturan perundangan yang ada, tumpang tindih kebijakan dan ketidakmampuan pemerintah dan aparat keamanan dalam melakukan penertiban dan menata persoalan pertambangan di sektor ini. Tim penertiban yang beberapa kali dibentuk juga belum mampu menyelesaikan persoalan dan bahkan menimbulkan berbagai persoalan baru dengan adanya isu KKN di tubuh tim. Ketidakmampuan dalam menangani persoalan illegal logging ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan komitmen pemerintah dalam melakukan pemeberantasan illegal mining di Kalsel. Faktor lainnya yang menimbulkan maraknya illegal mining saat ini adalah : masih tersedianya bahan baku yang mudah diakses; tersedianya pasar; terbukanya jalur perdagangan; tersedianya teknologi; dan birokrasi perizinan; serta adanya keterlibatan aparat pemerintah dan penegak hukum.
Keterlibatan TNI-POLRI dalam bisnis Batubara
Batubara yang juga disebut sebagai “emas hitam” ini merupakan komoditi bisnis yang menggiurkan dan juga menjanjikan bagi setiap orang yang ingin mengeruk keuntungan yang besar tanpa melihat dampak yang ditimbulkannya. Bukan hanya para pengusaha yang tertarik untuk melakukan bisnis batubara ini namun juga termasuk para pejabat dan institusi negara seperti TNI-Polri melalui berbagai koperasi yang didirikan. Keterlibatan TNI-POLRI ini semakin menegaskan akan pola ekploitasi sumberdaya alam yang sarat dengan kepentingan modal yang didukung oleh kekuasaan dan telah mendominasi wilayah-wilayah (hak-hak) yang menjadi kedaulatan rakyat.
Yayasan Mabes ABRI (Yamabri) bekerjasama dengan PT. Bangkit Adhi Sentosa, perusahaan ini melakukan pembelian batubara, kini pengembangan bisnis di kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu. Yayasan Bumyamka milik TNI-AL bekerjasama dengan KUD Karya Maju di Sei Danau, memiliki stockpile dan penyewaan dermaga untuk aktivitas pertambangan. Puskopad "b" milik Kodam IV Tanjung Pura, bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar. Puskopol, milik Polda Kalsel, bekerjasama dengan PT. Sumber Mitra Jaya, beroperasi di Blok V dan bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar, (bekas areal PT Chong Hua), disamping menjalin kerjasama dengan PT Kadya Caraka Mulia. Dan masih terdapat beberapa koperasi lainnya yang dimiliki oleh TNI-Polri yang berusaha disektor pertambangan batubara.
Yayasan Mabes ABRI (Yamabri) bekerjasama dengan PT. Bangkit Adhi Sentosa, perusahaan ini melakukan pembelian batubara, kini pengembangan bisnis di kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu. Yayasan Bumyamka milik TNI-AL bekerjasama dengan KUD Karya Maju di Sei Danau, memiliki stockpile dan penyewaan dermaga untuk aktivitas pertambangan. Puskopad "b" milik Kodam IV Tanjung Pura, bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar. Puskopol, milik Polda Kalsel, bekerjasama dengan PT. Sumber Mitra Jaya, beroperasi di Blok V dan bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar, (bekas areal PT Chong Hua), disamping menjalin kerjasama dengan PT Kadya Caraka Mulia. Dan masih terdapat beberapa koperasi lainnya yang dimiliki oleh TNI-Polri yang berusaha disektor pertambangan batubara.
Semakin lama keterlibatan TNI-Polri dibisnis pertambangan batubara ini semakin menjadi-jadi. Poskopad terus memperluas wilayah bisnisnya dan sekarang menjadi salah satu subkontrak dari PT. Arutmin Indonesia di wilayah Senakin. Begitu pula dengan Poskopol yang mengikat kontrak sebagai subkontraktor PT Arutmin Indonesia baik sebagai penambang maupun perantara bagi para penambang “kecil” lainnya.
Dengan dalih untuk menertibkan para penambang liar (PETI batubara) Poskopol mengambil peran yang sangat penting sebagai salah satu kontraktor PT Arutmin. Mulanya berawal dari ketidakmampuan PT. Arutmin dalam melakukan pengamanan wilayah konsesinya dari adanya “penjarahan” oleh para penambang “liar” yang sebagian juga mendapat “legalitas” Kuasa Penambangan (KP) dari Pemerintah Daerah setempat. Sebelumnya aktivitas “penjarahan” pada wilayah konsesi PT. Arutmin tersebut berlangsung tanpa ada tindakan yang serius oleh aparat Kepolisian dan Pemerintah Daerah. Akhirnya dengan dalih “penertiban” para “penambang liar” tersebut ditertibkan dengan dilakukan “pembinaan” melalui Poskopol. Para penambang liar yang mau dibina “dilegalkan” dan dijadikan subkontraktor dari PT. Arutmin melalui Poskopol. Disini peran Poskopol adalah sebagai pengumpul dari hasil batubara para penambang liar yang sudah “dilegalkan” tersebut dan meneruskannya kepada PT. Arutmin dengan mengambil keuntungan selisih harga dari yang dibayarkan kepada para penambang “binaan” oleh Poskopol dan pembayaran yang diterima Poskopol dari PT. Arutmin. Tidak hanya berhenti sebagai perantara, Poskopol juga mengembangkan usahanya dan melakukan aktivitas penambangan langsung di lokasi konsesinya PT. Arutmin sebagai subkontraktor.
Keterlibatan TNI-POLRI dalam bisnis batubara melalui berbagai yayasan dan koperasi maupun para oknumnya secara individu semakin menambah ruwetnya persoalan di sektor ini. Posisi mereka tidak akan mungkin bisa independen atau berdiri sendiri sebagai institusi bisnis. Bagaimana mungkin bisa memisahkan antara institusi bisnisnya dengan institusi induknya (TNI-POLRI) jika pimpinan/ pengurus yayasan atau koperasi tersebut adalah anggota TNI-POLRI aktif dan dibawah lindungan pimpinan formal mereka. Bagaimana mungkin hubungan bisnis dengan pihak lain bisa berjalan dengan fair sementara mereka mempunyai pengaruh kekuasaan secara formal. Bagaimana mungkin penegakan hukum bisa dilakukan sementara mereka merupakan pelaku sekaligus aparat penegak hukum.
Konflik Lahan dan Permasalahan Sosial lainnya
Adanya kebijakan sepihak dari pemerintah yang memberikan konsesi lahan kepada perusahaan besar seperti PT. Arutmin dan PT. Adaro Indonesia memunculkan berbagai konflik lahan dengan masyarakat baik para pemilik lahan maupun masyarakat pemanfaat kawasan/ lahan tersebut. Perusahaan dengan arogan mengusur lahan-lahan masyarakat sebelum adanya kesepakatan bersama antara masyarakat pemilik dan pengguna lahan dengan perusahaan mengenai pembebasan lahan. Pembebasan tanah masyarakat yang terkena areal tambang sangat tidak adil dengan hasil yang mereka tambang berupa kandungan batubaranya. Misalnya PT. Arutmin hanya memberikan ganti rugi sebesar Rp.150 – Rp.1000 permeter yang ditentukan berdasarkan ketentuan sepihak (standar pemerintah berdasarkan NJOP). Belum lagi muncul konflik horizontal antara masyarakat karena klaim perebutan lahan akibat ketidakberesan perusaahaan dalam proses pembebasan lahan tersebut.
Sejak dibukanya areal tambang, masyarakat lokal berharap bisa mendapatkan pekerjaan terutama para pemuda dan kaum laki-lakinya. Mereka merasakan perusahaan bersikap tidak adil karena mayoritas karyawan perusahaan berasal dari luar daerah Kalsel. Kalau pun ada penerimaan tenaga kerja lokal, itu pun mesti didahului dengan aksi tuntutan dari masyarakat dan hanya menempati posisi sebagai satpam/ wakar, cheker, tenaga survai dan sedikit sekali sebagai operator apalagi staf kantor dan manajemen. Padahal dalam ketentuan AMDAL dikatakan perusahaan sebagian besar akan merekrut tenaga kerja lokal.
Di beberapa lokasi ikatan kekerabatan diantara warga terlihat merenggang. Sebagai contoh terjadinya kecemburuan sosial khususnya yang berkaitan dengan permasalahan koperasi masyarakat yang keberadaannya difasilitasi oleh perusahaan seperti PT. Arutmin melalui program Community Development (CD) dan persoalan rekruitmen tenaga kerja lokal sebagai satpam dan cheker (yang direkrut oleh PT Thiess).
Konflik lahan tidak hanya terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat tetapi juga terjadi dengan perusahaan sektor lainnya seperti perkebunan kelapa sawit dan HPH/HTI. Hal ini diakibatkan oleh buruknya koordinasi antar sektor (instansi) di pemerintah. Tumpang tindih lahan ini mencerminkan betapa buruknya penataan ruang oleh pemerintah dan jelas berdampak pada semakin tidak tertata dan terkelolanya lingkungan secara baik dan benar.
Masyarakat yang sebelumnya merasa dirugikan dan tidak mendapatkan keuntungan dari adanya eksploitasi pertambangan ini di beberapa daerah membuat portal-portal untuk melakukan pungutan bagi para penambang yang menggunakan jalan umum untuk anggkutan batubara. Portal atau pos pungutan tersebut ada yang dikelola oleh desa (melalui aparat desa atau kesepakan kampung) dan ada juga yang dikelola oleh kelompok tertentu. Tidak jarang hal ini menimbulkan konflik antara para sopir angkutan batubara dengan para penarik pungutan tersebut.
Terjadinya pergeseran sosial dan budaya masyarakat. Dulunya petani pemilik dan nelayan sekarang menjadi buruh pekerja di perusahaan. Pergeseran pola hidup yang lebih konsumtif, penggunaan narkotika dan minuman keras oleh para anak remaja dan adanya praktek prostitusi, dan lain sebagainya sebagai akibat dari adanya perusahaan pertambangan batubara yang telah mengabaikan hak, nilai-nilai dan budaya masyarakat lokal.
Penghancuran, Pengrusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Seperti halnya aktivitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan batubara di Kalsel juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah. Payahnya lagi pemerintah dan perusahaan tambang tidak cukup serius untuk melakukan upaya-upaya penanggulanganya. Kondisi ini juga tidak dibarengi dengan adanya penegakan hukum yang tegas dan adil, bahkan cenderung kebanyakan kasusnya ditutup-tutupi.
Lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali -apalagi dilakukan reklamasi- telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Hasil penelitian Bapedalda Tabalong (2001) menyebutkan bahwa air yang berada pada lubang bekas galian batubara tersebut mengandung beberapa unsur kimia, yaitu : Fe, Mn, SO4, Hg dan Pb. Seperti kita ketahui Fe dan Mn bersifat racun bagi tanaman dan mengakibatkan tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. SO4 merupakan zat asam yang berpengaruh terhadap pH tanah dan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan Hg dan Pb adalah logam berat yang bisa menimbulkan penyakit kulit pada manusia. Selain air kubangan, limbah yang dihasilkan dari proses pencucian juga mencemari tanah dan mematikan berbagai jenis tumbuhan yang hidup diatasnya.
Pembiaran lubang-lubang bekas galian batubara yang ditinggalkan begitu saja dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan tersebut seperti debu, rembesan air asam tambang dan limbah pencuciannya terjadi dihampir semua lokasi pertambangan dan bahkan mencemari air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga. Di Kotabaru misalnya (2003) ratusan warga Desa Gosong Panjang Kec. Pulau Laut Barat mempersoalkan pencemaran debu batubara yang ditimbulkan oleh kegiatan PT Indonesia Bulk Terminal (PT. IBT). Masyarakat minta tinjau ulang batas aman 529 meter hasil penelitian PPLH Unlam. Kasus terbaru terjadi, Sekitar 50 warga perwakilan masyarakat Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan, mendatangi kantor DPRD setempat guna menuntut ganti rugi tanah pertanian dan perkebunan yang tidak lagi produktif, akibat tercemar limbah batu bara PT Adaro Indonesia, masyarakat mengungkapkan, sejak ladang dan persawahan mereka dijadikan sebagai saluran pembuangan limbah, tanaman yang mereka tanam diatasnya tidak ada yang hidup (Bpost, 11 Pebruari 2005). Pendangkalan sungai Asam-Asam Pelaihari akibat aktivitas penambangan batubara yang dilakukan oleh PT Jorong Barutama Greston. Di Desa Batu Laki Kec. Padang Betung Kandangan sejumlah warga mengeluh karena selama ini limbah bekas batubara yang turun ke Sungai Pangkulan mencemari sungai tersebut dan menyebabkan air menjadi keruh dan terasa asam dan kalat. Pencemaran air laut dan pantai di sekitar lokasi tambang perusahaan PT Jorong Barutama Grenston sebagai akibat dari adanya aktivitas bongkar-muat dan tongkang angkut batubara.
Penghancuran Sumber-Sumber Kehidupan Rakyat
Mencari kayu, rotan, damar, berladang, dan bertani merupakan mata pencaharian utama masyarakat sekitar tambang. Tetapi karena jumlah kayu mulai menurun, damar sudah tidak ditemukan lagi, lahan-lahan pertanian sudah dibebaskan oleh perusahaan, praktis masyarakat kehilangan mata pencahariannya sebaimana yang terjadi pada masyarakat Simpang Empat Sumpol Sungai Danau kabupaten Tanah Bumbu dan Warukin kabupaten Balangan dan Pulau Sebuku. Hal ini sebagai akibat dari adanya perluasan tambang dengan cara membuka areal hutan, lahan dan kebun masyarakat sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat tanpa melakukan perundingan yang setara terlebih dahulu. Masyarakat yang dulunya berkebun dan bertani sekarang sudah tidak bisa melakukan aktivitasnya lagi karena lahannya ditambang begitu pula masyarakat yang menggantungkan kehidupan mereka kepada hutan.
Bukan itu saja, aktivitas pertambangan batubara juga telah merusak sumber-sumber mata air dan sungai yang digunakan masyarakat bagi kebutuhan sehari-hari. Kawasan hutan dan rawa yang selama ini menjadi wilayah kelola rakyat sebagai sumber matapencaharian mereka telah disulap menjadi areal yang gersang, tandus dan kubangan-kubangan bekas galian batubara. Di Pulau Sebuku sebagian besar kebun-kebun mereka sudah tergusur secara paksa tanpa kompensasi yang layak dan bahkan ada yang tidak mendapatkan kompensasi sama sekali oleh akibat adanya pertambangan batubara PT. Bahari Cakrawala Sebuku. Selain itu juga aktivitas pertambangan menyebabkan rusaknya beberapa kawasan hutan mangrove dan rawa, hutan nipah dan wilayah tangkapan ikan dan udang sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat serta menyebabkan matinya puluhan ekor ternak kerbau. Kondisi seperti ini sebenarnya terjadi di hampir semua lokasi tambang yang ada di Kalsel.
Bencana Banjir
Akibat aktivitas pertambangan batubara yang tidak memenuhi kaedah lingkungan menjadikan banyak kawasan daerah tangkapan air menjadi rusak dan menyebabkan kondisinya mejadi rawan bencana termasuk banjir. Tercatat mulai awal tahun 2004, dua kabupaten meliputi Kab. Banjar yang menelan korban lima orang telah meninggal, 25.666 orang di dua kecamatan yaitu Kec. Sungai Tabuk dan Simpang Empat telah menjadi korban, selain itu kerugian materi berupa 55.741 buah rumah telah terendam banjir, 100 Ha lahan pertanian rusak berat dan Kab. Tanah Bumbu telah dilanda banjir yang menelah banyak korban materiil. Kurang lebih 2.047 Ha lahan pertanian hancur dan 650 buah rumah penduduk rusak berat terjadi di Kab. Banjar. Kerugian materi lain di Kab. Tanah Bumbu meliputi 1.360 Ha sawah dan 75 buah rumah penduduk mengalami kerusakan berat.
Ini bukti dari terjadinya kerusakan hutan di wilayah hulu yang mestinya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan resapan air. Hal ini diperparah dengan buruknya tata drainase dan rusaknya kawasan hilir seperti hutan rawa yang mestinya dapat berfungsi sebagai tandon air yang dapat menyerap air di musim hujan dan mengeluarkannya secara perlahan di musim kemarau.
ALTERNATIF SOLUSI PENGELOLAAN SDA BATUBARA DI KALSEL
Carut marut pengelolaan sumber daya alam tambang batubara di Kalimatnan Selatan sudah begitu sangat kompleks dan terlihat sangat sulit untuk diperbaiki. Diperlukan political will pemerintah untuk melakukan sebuah terobosan yang tegas dan berani dengan melakukan moratorium atau penghentian sementara (penertiban dan tata ulang) aktivitas pertambangan “yang disesuaikan”, bukan saja batubara tetapi juga sumbser daya tambang lainnya. Dengan melakukan “moratorium yang disesuaikan” bagi seluruh aktivitas pertambangan batubara di Kalsel, pemerintah daerah dapat menata kembali pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan batubara ke depan yang berpihak pada kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa dan kepentingan generasi yang akan datang. Tentunya untuk mempercepat terjadinya proses ini perlu didukung oleh kekuatan rakyat untuk mendesak pemerintah daerah dan pusat serta para wakilnya yang ada di parlemen (DPR-RI dan DPRD).
Moratorium tambang di Kalsel bisa dikonkritkan dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, Penghentian Penggunaaan Jalan Umum Untuk Aktivitas Angkutan Batubara Mesti ada ketegasan pemerintah daerah untuk menyetop dan menindak tegas setiap pengusaha batubara yang mengunakan jalan umum untuk angkutannya. Jika ini dilakukan jelas akan berdampak pada pengurangan aktivitas pertambangan illegal yang selama ini semakin menjamur dan penurunan terhadap dampak kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya.
Kedua, Tidak Mengeluarkan Perizinan Baru
Agar tidak menambah semrawutnya pengelolaan sumber daya alam tambang batubara, saat ini hal yang paling mudah dan sangat mungkin untuk dilakukan adalah dengan tidak mengeluarkan izin baru lagi. Sehingga memudahkan untuk melakukan monitoring terhadap pertambangan batubara yang ada.
Ketiga, Penghentian Pertambangan Batubara Illegal Secara Total
Pemerintah harus melakukan penghentian pertambangan batubara illegal secara tegas tanpa pandang bulu dan transparan. Kalau perlu melibatkan tim independen yang terdiri dari unsur diluar pemerintah.
Keempat, Penghentian Bisnis Yayasan dan Koperasinya TNI-Polri
Salah satu permasalahan dalam pertambangan batubara di Kalsel adalah adanya bisnis TNI-Polri melalui berbagai yayasan dan koperasi yang mereka miliki. Aktivitas mereka ini mesti segera dihentikan sebagai salah satu langkah perbaikan dalam pengelolaan tambang batubara di Kalsel.
Kelima, Evaluasi Perizinan Yang Telah Diberikan dan Lakukan Audit Lingkungan Semua Usaha Pertambangan Batubara di Kalsel
Hal ini harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap semua jenis perizinan yang ada. Audit lingkungan dilakukan dengan melihat sejauh mana pelaksanaan tambang memenuhi kaidah-kaidah lingkungan dan memperhatikan masyarakat disekitarnya. Jika ditemukan pelanggaran harus diproses dan ditindak secara tegas dan kalau perlu izinnya dicabut. Bagi pertambangan yang ditemukan melakukan eksploitasi secara destruktif dan melanggar hak-hak masyarakat maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melakukan pembekuan atau pencabutan izin pertambangan tersebut.
Keenam, Meninggikan Standar Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Rendahnya komitmen untuk pelestarian lingkungan hidup terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Tumpang tindih peraturan dan kecilnya kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang baik mengakibatkan kondisi lingkungan di Kalsel buruk.
Ketujuh, Pelembagaan Konflik
Hal ini diperlukan untuk menyelesaikan persengketaan rakyat dengan perusahaan pertambangan agar tercapai solusi yang memuaskan berbagai pihak. Pelembagaan konflik diprakarsai negara dan perusahaan tambang melalui mekanisme resolusi konflik. Resolusi konflik hanya bisa tercapai jika melibatkan semua stake holder yang berada pada posisi yang sederajat. Sebaiknya hal ini dijadikan kebijakan pemerintah, dengan melibatkan fasilitator profesional agar terhindar dari dominasi pihak-pihak yang bersengketa. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun sebaiknya dijadikan bagian dari re-negosiasi kontrak, sehingga secara hukum mengikat pihak perusahaan.
Kedelapan, Penyusunan Kebijakan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang Di Kalimantan Selatan Dengan Segala Perangkat Peraturannya Yang Berpihak Kepada Kepentingan Rakyat Dan Lingkungan.
Dokumen dan peraturan pengelolaan sumber daya alam tambang yang dibuat dijadikan sebagai pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan di Kalsel selanjutnya. Tentunya pengelolaan yang berpihak pada kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa, dan kepentingan generasi masa depan. Dengan demikian pengelolaan sumber daya alam tambang khususnya batubara di Kalsel dengan menggunakan strategi baru yang bijak berdasarkan pertimbangan yang rasional termasuk kepentingan penduduk lokal, kualitas lingkungan hidup, penghitungan tingkat keterancaman ekologi, jenis dan jumlah kebutuhan riil bahan tambang oleh masyarakat Kalsel dan bangsa Indonesia umumnya dan pembiaran atau pencadangan sumber daya tambang untuk kepentingan generasi mendatang.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Berry Nahdian Forqan
Direktur Eksekutif Nasional WALHI