Penulis : Sopia Siregar
JAKARTA--MI: Kisruh harga jual LNG Tangguh, Papua ke Fujian, China makin memanas. Kali ini, anggota PDIP menantang Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla membuktikan letak kesalahan kontrak Tangguh yang dinilai dijual dengan harga terlalu rendah.
Untuk membuktikan itu, anggota Komisi VII DPR dari FPDIP Effendi Simbolon, menyatakan pihaknya siap melakukan debat terbuka. "Silakan saja, kami siap berdebat. Kami undang SBY dan JK untuk hearing dengan fraksi kami. Kami siap dengan data. Kita main head to head saja," ujar Effendi.
Effendi meradang, ketika partainya dan Megawati Soekarnoputri dinilai bertanggung jawab atas negosiasi harga jual LNG Tangguh ke Fujian yang harganya dinilai sangat kerendahan. Sebab, harga LNG Tangguh dijual flat, dengan patokan harga minyak tertinggi di US$25 per barel.
Dengan patokan itu, formulasi harga Tangguh saat kontrak ditandatangani 2002 harganya hanya US$2,4 per MMBTU. Negosiasi kedua, pada 2006, hanya mampu menaikkan patokan harga minyak tertinggi sebesar US$38 per barel. Harga LNG pun hanya bisa naik ke level US$3,4 per MMBTU. Padahal, jika formulasi harga dibuat fleksibel mengikuti harga minyak dunia, harga wajar LNG saat ini di pasar internasional mencapai US$20 per MMBTU.
Menurut Effendi, prosedur saat negosiasi LNG Tangguh bisa dipertanggungjawabkan. Effendi menjelaskan, tidak aneh jika harga jual LNG Tangguh rendah karena saat itu harga LNG internasional sedang rendah.
"Pasokan LNG kita melimpah. Pemerintah sudah sepakat dengan harga itu berdasarkan proses-proses pertimbangan harga. Berpatokan dengan harga gas dunia saat itu yang sedang lesu," paparnya.
Oleh karena itu, dia meminta SBY-JK mundur dari pemerintahan bila terbukti kontrak LNG Tangguh tidak bermasalah. Menurutnya, PDIP siap melakukan apapun. Baik itu uji lapangan maupun public hearing terkait kontrak penjualan gas Tangguh tersebut sehingga bisa ditemukan bukti apakah prosesnya salah atau benar.
"Kalau ada yang salah kami siap mengaku salah. Tapi kalau SBY dan JK tidak bisa membuktikan saudara harus hengkang dari pemerintahan," tantangnya.
Ditambahkan dia, pada saat itu tidak ada yang bisa memprediksi harga minyak dunia bisa di atas US$100 per barel. Pihaknya menilai masalah ini sengaja dipolitisasi Jusuf Kalla.
Sementara, pengamat perminyakan dari Universitas Indonesia Dirgo Purbo, menilai tidak ada satu pun alasan rasional yang bisa menjadi pembenaran terbentuknya harga LNG Tangguh. Penetapan harga tanpa mempertimbangkan fluktuasi harga minyak, padahal kontraknya jangka panjang hingga 25 tahun.
"Karena, itu akan berpotensi menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. Capping harga ekspor LNG dengan flat selama 25 tahun itu, menurut saya menjadi tanda tanya. Karena pada intinya seharusnya harga itu bisa menghasilkan devisa sebanyak-banyaknya bagi Indonesia," jelas dia.
Dirgo melihat ada unsur konspirasi terselubung dalam pembentukan harga LNG tersebut. Yakni, konspirasi antara pembeli LNG di Fujian dengan produsen LNG di Tangguh.
Karena itu, ke depan dia berharap ada perubahan kebijakan mendasar, tidak hanya pada kontrak LNG Tangguh. Melainkan juga kontrak-kontrak energi lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya konspirasi itu bisa diminimalisir.
"Sebaiknya pemerintahan sekarang atau siapapun yang nantinya memerintah mereview kontrak setiap dua tahun sekali, itu kuncinya. Karena kalau empat tahun itu kelamaan," tegasnya.
Namun begitu, untuk kontrak Tangguh, menurut dia, sebaiknya review harga dilakukan sesuai perjanjian kontrak. Kontrak menyatakan renegosiasi bisa dilakukan setiap empat tahun, sejak kontrak ditandatangani. Jadi, jika Indonesia telah renegosiasi pada 2006, renegosiasi kedua, baru bisa dilakukan 2010.
Indonesia jelas dia tidak bisa semena-semena membatalkan kontrak Gas Tangguh. Jika kontrak yang sudah diteken di 2002 itu dibatalkan, maka Indonesia akan terkena pinalti (ganti rugi).
Jika kontrak dibatalkan, itu juga mengganggu kinerja perusahaan yang sudah terlanjur berinvestasi untuk mencari ladang gas tersebut. Padahal investasi yang sudah dikeluarkan tentu tidak sedikit, setidaknya baru akan bisa break even point (BEP) setelah delapan tahun. (Pia/OL-2)