PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang rencana anggaran 2009 terkesan sangat berpihak kepada rakyat. Hal itu sangat menggembirakan. Gaji pegawai negeri dinaikkan, aliran dana untuk daerah diperbesar, belanja pendidikan ditingkatkan. Dengan begitu, tahun depan, ketika pemilihan umum diselenggarakan, suasana gembira pasti akan meliputi para abdi negara, para pemimpin dan masyarakat daerah, serta para penyelenggara pendidikan. Itu merupakan suasana yang kondusif untuk menyambut gawe besar demokrasi tahun depan.
Mendongkrak popularitas demi memenangi pemilu sah-sah saja dilakukan oleh sebuah pemerintahan, asalkan disertai dengan rencana yang jelas, realistis, dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat. Sayangnya, pidato tadi kurang mencerminkan semua hal itu.
Target inflasi bisa diambil sebagai contoh. Dalam rencana tahun depan, pemerintah mematok angka yang ambisius, yakni 6,5 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata inflasi tahun ini yang diperkirakan mencapai 11 persen. Barangkali itu karena pemerintah terpaku pada tren penurunan harga minyak dunia dalam beberapa pekan terakhir ini. Kita tahu tren harga minyak dunia memang berkaitan erat dengan angka inflasi, karena pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membeli minyak dari pasar internasional.
Semestinya pemerintah menghitung situasi geopolitik dunia. Keadaan di Rusia, Iran, Afganistan, Pakistan cenderung memanas dan dipastikan akan mengerek harga bahan bakar fosil ini. Bukan mustahil tahun depan harga minyak akan mencapai US$140 per barel, sementara pemerintah mematok asumsi harga minyak di angka US$ 100 per barel. Jika asumsi itu keliru, target pemerintah menekan angka inflasi kecil kemungkinan akan tercapai.
Yang lebih mengejutkan adalah target swasembada beras tahun depan. Kalau benar demikian, pemerintah Yudhoyono-Kalla mengulangi sukses 24 tahun lalu. Ketika itu pemerintah Soeharto mendapat penghargaan dari Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena Indonesia dianggap mampu mencukupi kebutuhan berasnya sendiri. Yang terjadi di masa Yudhoyono, jarak antara produksi dan konsumsi beras makin lebar. Usaha menutupi tekor itu sejauh ini belum terdengar berhasil. Tak ada program terobosan, misalnya mencetak sawah 1 juta hektare seperti di masa lalu. Malah, yang terdengar impor beras kita terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka swasembada beras adalah capaian yang sangat ambisius.
Tanda tanya besar juga muncul soal utang pemerintah. Yudhoyono berhasil mengurangi atau bahkan menghilangkan ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, di dalam rencana anggaran tahun depan, pemerintah justru memperbesar penjualan surat utang negara. Walaupun dilakukan untuk menyerap modal dalam negeri, langkah itu sama dengan memindahkan sumber utang dari luar negeri ke dalam negeri. Sebuah pilihan berisiko, lantaran bunga yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih besar. Bisa saja pemerintah menunda pembayaran utang yang jatuh tempo, tapi ini berarti melempar beban ke pemerintah selanjutnya. Sebuah kebijakan yang semestinya tidak dilakukan oleh pemerintah mana pun.
Yang juga perlu disorot, rencana anggaran itu tidak mencerminkan adanya usaha serius dalam memerangi korupsi. Ini tampak dari tetap terbatasnya anggaran untuk berbagai program penting, misalnya usaha menekan kebocoran anggaran negara.
Menyusun sebuah anggaran yang bernapas populis bukan merupakan perbuatan tercela. Tapi usaha itu sebaiknya tidak dilakukan dengan memindahkan pengorbanan ke masa yang akan datang. Apalagi demi meraih popularitas politik jangka pendek.