Agustus 25, 2008

Novel tanpa Daya Sihir

Bilangan Fu, novel ketiga Ayu Utami, bersemangat mengkritik agama monoteis yang memproduksi kekerasan. Kata-kata tak lagi bercahaya.

Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Juni 2008
Tebal: x + 537 halaman

JIKA sihir seni terletak pada kein­dahan bentuknya, Bilangan Fu mungkin menghindar dari kredo ini. Kemampuan Ayu Utami meng­olah kata-kata dan mengadon metafora untuk membalut kisah dan gagasan kini tak terasa dalam novel terbarunya. No­vel ketiganya ini seolah lahir prematur dibandingkan dengan dua ”kakak”-nya: Saman dan Larung.

Apa boleh buat, ini novel-realis-kritik macam Grotta Azzura Takdir Alisjahbana yang, aduhai, menyiksa itu. Ayu bahkan perlu melampirkan opini dan potongan berita koran untuk menegaskan kritik dan konteks ceritanya. Ia tak cukup puas memberi judul bab dan sub-bab yang gagah; segagah tokohnya, Sandi Yuda: modernisme, monoteisme, dan militerisme.

Maka yang tampil dari novel yang tebal ini adalah isi dan relevansi. Cerita panjat tebing tak nikmat kecuali sebagai buku panduan. Cerita mistik dan kebatinan, juga folklor dan fakta sejarah, hanya berhenti pada informasi yang sudah kita ketahui. Padahal, sebetulnya, temanya sungguh unik dan menarik. Bilangan fu, apa itu?

Fu adalah bilangan tak berwujud dari rumus 1 : fu = 1 x fu = 1 dan fu bukan 1. Sandi Yuda—pemanjat tebing yang menuturkan kisah ini—memperoleh formula aneh itu saat berayun di sebuah gawir: pemanjat senantiasa membagikan nyawa kepada pemanjat lain sekali­gus menggandakannya. Yuda terobsesi memecahkan rumus yang diciptakannya sendiri.

Rumus fu bukan logika­ ma­tematika. Pencarian fu, kata Ayu, adalah pencarian spiritual. Pen­carian yang menuntun Yuda berte­mu dengan Parang Jati, mahasiswa geologi Institut Teknologi Bandung dari Sewugu­nung. Di kaki Watugunung, pinggir pantai Laut Selatan di sekitar Cilacap, Jawa Tengah, itulah sengkarut peristiwa dalam novel ini terjadi, pada 1998-2001.

Jati seorang yang cergas dan unik. Ia membaca khazanah pengetahuan dunia sejak kecil karena diasuh Suhubudi, tokoh kebatinan Sewugunung yang menguasai tujuh bahasa asing, tujuh bahasa kuno. Silsilahnya suram karena orok Jati ditemukan di sebuah mata air pada 21 Juni 1975. Ia punya 12 jari tangan. Kelak jumlah jari ini menjelaskan hu, bilangan purba sebelum manusia mengenal angka desimal.

Ia punya adik yang juga ditemukan di sendang itu. Kupukupu diasuh penyadap nira yang papa dan buta hu­ruf. Kemiskinan menjelmakannya menjadi seorang radikal yang menegakkan keyakinan agama dengan pedang. Ia menganggap upacara sesajen dan kepercayaan kepada Nyi Roro Kidul sebagai sesuatu yang musyrik, sementara Jati mendukungnya karena dengan begitu manusia menjaga alam.

Lewat bentrokan keduanya itulah Ayu menyusupkan kritik terhadap monoteisme. Ideologi Kupukupu memicu kekacauan dan kekerasan di Sewugunung. Ia menghimpun pasukan berjubah dan menghardik para penyekutu Tuhan, tapi berselingkuh dengan perusahaan tambang yang akan merobohkan Watugunung, juga memancing pasukan ninja yang membunuh kiai dalam isu dukun santet. Ini khotbah yang sudah umum.

Yuda menemukan fu dari kekacauan itu. Fu itu simbol Tuhan. Agama dengan Tuhan yang esa ternyata mendorong kekerasan belaka. Karena itu fu bukan satu. Agama-agama bumilah, aliran-aliran kepercayaan, yang justru menciptakan kedamaian. Pada agama bumi, Tuhan diimani dalam kesunyatan. Kosong tapi ada. Suhubudi menamainya hu. Jati lalu mengumumkan aliran baru: Kejawan, yang mema­dukan filosofi fu dan hu.

Dahsyat: bagaimana setiap faset dalam no­vel ini berkorelasi satu sama lain. Isi yang menarik. Tema yang magnetik. Tapi, itulah, isi dan tema yang menarik ini tak dikemas dalam bentuk yang menarik juga. Bahasa dan metafora tak lagi menjadi bahan yang asyik seperti pada Saman atau Larung yang, dalam pujian Ignas Kleden, bercahaya seperti kristal. Novel Fu malah ganjil sejak kalimat pertama. ”Kau pasti enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples.…”

Ayu kerap terpelecok sindrom ”refleksologi untuk”, sekadar menyontek ­synonymising reflex dari Milan Kundera, yang mestinya bisa tumpas di tangan penyunting. Kalimat semacam ”Aku memutuskan untuk berdiam” tak sekali-dua muncul. Tengok halaman 41: ”Coba, berapa panjang perkawinan, secara mimi dan mintuno dijual sebagai obat kuat.…” Semoga saja Ayu hanya sedang menyindir cara bertutur remaja masa kini, korban modernitas itu, yang salah kaprah memakai kata ”secara”. Dengan kata lain, penyuntingan novel ini kurang ketat seperti kedua novel sebelumnya.

Apa mau dikata, kali ini Ayu kehilang­an sihirnya.

Bagja Hidayat