Tampaknya, Aceh susah bisa lepas dari krisis. Walau begitu, pasca gempa dan tsunami banyak kalangan yang memprediksikan, bahwa musibah ini adalah klimak dari problematika kehidupan masyarakat Aceh. Tapi kenyataanya, gempa tidak memberikan perubahan (perbaikan) yang substansial di bumi Serambi Mekkah. Di tengah-tengah hasrat bangkit dari porak-poranda, ditemukan soal pro-konra bantuan asing, korupsi bantuan, GAM, dan yang terakhir kasus Farid Faqih. Koordinator Government Watch (Gowa) ini dituduh menyelewengkan bantuan untuk Aceh. Ironisnya, meski belum terbukti bersalah (masih tersangka) ia sudah kejatuhan tinju dari aparat TNI.
Dari kasus tersebut, penulis bisa mengatakan bahwa tradisi kekerasan masih menancap kuat di sekitar reruntuhan puing-puing bangunan di NAD. Sebenarnya, apakah yang melatarbelakangi budaya ini, sampai begitu susah bisa terlepas? Penulis teringat dengan pernyataan P. Kooijmans, Asisten Sekretaris Jenderal PBB saat di depan komisi HAM PBB (19/02/1986). Dia memaparkan, bahwa fenomena penyiksaan dalam masyarakat bernegara adalah tidak semata bersifat kultural (pandangan, nilai, mentalitas, dan perilaku masyarakat). Tapi, harus dipahami dalam konteks struktural (struktur kekuasaan). Sebagaimana sistem struktur kekuasaan yang dikonstruk oleh Orde Baru, yaitu berlandaskan pada kekuasaan, bukan kedaulatan rakyat. Kita tahu, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang religius, mereka paham dengan kearifan agama, jangan dijejali mereka dengan monyong bedil dan muntahan peluru. Sebab, tindakan tersebut bertentangan dengan agama dan termasuk—memakai kata dalam Piagam Nuremberg—kejahatan terhadap kemanusian (crime againts humanity).
Menerapkan cara-cara kekerasan berarti mengatasi masalah dengan menambah masalah. Bukankah Gandhi telah mengajarkan kita tentang penyelesaian masalah tanpa kekerasan (konsep ahimsa). Penyelesaian masalah tanpa kekerasan memang memerlukan kesabaran dan menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Bahkan, banyak hal yang diperjuangkan Gandhi tidak tercapai dalam masa hidupnya dan juga sampai saat ini. Hingga akhir hayatnya (30/01/48) pun ditandai dengan kekerasan, dia wafat tertembak. Karena itu, perbaikan infrastruktur di Aceh tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan butuh kesabaran.
Kejadian yang menimpa Farid Faqih adalah bagian dari jenis tindak kekerasan oleh aparatur negara (TNI). Sejatinya, kasus kekerasan di Aceh sangatlah komplek (bukan kasus Farid Faqih saja). Maka, jangan salah pengertian: kekerasan bukan hanya berupa fisik. Secara teoretik-akademik dikenal berbagai bentuk kekerasan, antara lain: symbolic violence (Elias, 1993), workplace violence (Solomon and King, 1993), structural violence, bureaucratised violence (Turpin dan Kurtz, 1997), anarchic violence (Hobbes, 1928), dan lain-lain.
Prinsip “tanpa kekerasan” memang terkesan utopia. Sebab, sejarah manusia sungguh sulit untuk dipisahkan dari tradisi kekerasan. (Eric Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness diterjemahkan menjadi Akar Kekerasan, 2000). Keberadaan manusia senantiasa disertai insting-insting seperti rasa lapar, haus, dan aman (Freud-insting seksual dan pertahanan diri). Dalam setiap aktivitas untuk memenuhi kebutuhan instingnya itulah yang meniscayakan manusia berinteraksi dengan manusia atau makhluk lainnya. Dalam interaksi ini, hanya ada dua pilihan yang muncul: kerjasama atau permusuhan. Jika interaksi berjalan disebabkan saling membutuhkan, tentu kerjasama akan menjadi pilihan. Sebaliknya, jika interaksi berjalan karena yang satu membutuhkan yang lain (hubungan subyek-obyek), bisa dipastikan, permusuhan yang akan menjadi pilihan.
Meski begitu, bukan berarti dalam proses kerjasama tidak ada permusuhan sama sekali. Kerjasama yang berjalan tidak seimbang (tidak adil) amat potensial memunculkan permusuhan. Artinya, setiap terjadi interaksi, manusia sulit menghindari permusuhan. Karena itu, amat masuk akal jika—berbeda dengan Locke dan Rousseau—Thomas Hobbes (1588-1679) menyebut manusia pada dasarnya sebagai homo homini lupus (saling memangsa,) yang dalam komunitasnya bisa menjadi belum omnium contra omnes (satu sama lain bermusuhan, atau perang semua melawan semua).
Dalam kasus Farid Faqih pun sama, pada mulanya adalah kerjasama. Tetapi di tengah jalan, ditemukan ‘ketidakberesan’. Kerjasama yang seharusnya saling menguntungkan, malah ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Penimbunan bantuan yang seharusnya untuk korban adalah wujud kerjasama yang timpang. Makanya, pihak yang terkait (baca: aparat) terobsesi untuk melakukan kekerasan. Pemukulan Farid Faqih oleh aparat (buntut dari kejengkelan) pun tak terelakkan lagi. Meski benar adanya, apakah harus diselesaikan dengan kekerasan? bukankah rakyat Aceh masih trauma dengan kekerasan akibat DOM, darurat militer, dan GAM? Perbuatan aparat tersebut merupakan tindakan bodoh, tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Aceh. Apalagi, kejadian tersebut tak luput dari sorotan dunia International.
Akibatnya, tindakan aparat yang over-acting seperti film-film action itu menuai kecaman. Antara lain datang dari YLBHI. Ketua YLBHI, Munamarman, mengecam keras tindak penganiayaan serta penangkapan terhadap kordinator Gowa Farid Faqih, oleh pihak TNI. Menurut dia, kalaupun ada indikasi pencurian, seharusnya pihak yang lebih berhak menangani kasus itu adalah kepolisian dan tidak boleh mengandung unsur-unsur kekerasan. Apalagi, kehadiran Farid Faqih di Aceh juga atas permintaan presiden Yudhoyono, untuk ikut mengawasi proses pendistribusian bantuan. Selain itu, KONTRAS dalam konverensi persnya menegaskan, dugaan tindak pidana terhadap seseorang tetap harus dilakukan dengan tindakan hukum yang sah, bukan dengan kekerasan. Kejadian yang menimpa Farid yang tengah menjadi sukarelawan di NAD ini menunjukkan belum berubahnya watak aparat yang menggunakan kekerasan dalam mengatasi masalah di lapangan.
Karena itu, kasus penangkapan dan pemukulan Farid Faqih setidaknya mampu membelalakkan mata kita. Pertama, pemerintah harus tetap waspada (jangan percaya begitu saja) dengan lembaga-lembaga yang menyalurkan bantuan. Sebab tidak menutup kemungkinan Gowa (jika terbukti bersalah) adalah salah satu (bukan satu-satunya) lembaga yang telah menyelewengkan bantuan untuk Aceh. Kedua, penanganan masalah dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru menuai masalah yang baru. Pemukulan Farid Faqih oleh anggota TNI malah berbuntut panjang, yaitu penyiksaan. Ketiga, kebuntuan perundingan GAM-RI di Finlandia bukan berarti mengakhiri jalan damai—lalu mengesahkan cara-cara kekerasan (perang)—sebagai solusi tindakan makar GAM. Tapi, bagaimana kita semakin jeli dalam mencermati fenomena GAM, dan mencari celah sebagai jalan keluar. Artinya, masih banyak cara persuasif (bukan konfrontatif) lain yang belum ditempuh. Keempat, kasus ini menggambarkan bahwa aparat TNI sekarang masih menggunakan paradigma lama, represif dan militeristik.