September 11, 2008

PKS 2005 news

Suara Merdeka, 6 April 2004

Melejitnya PKS dan PD
Fenomena Cari Alternatif

BANDUNG, (PR).-
Melejitnya partai-partai baru atau partai-partai kecil menjadi besar dalam perolehan suara sementara, secara umum merupakan indikasi bahwa orang kini sedang mencari alternatif keluar dari dominasi partai-partai besar. Demikian komentar dua pengamat pemilu dari Bandung Yesmil Anwar dan I Gede Pantja Astawa, ketika dihubungi "PR, Senin (5/4) malam.

Yesmil mengatakan, meskipun perhitungan suara belum final, melejitnya suara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera merupakan sebuah fenomena tersendiri. "Masih terlalu dini kalau kita menilai PD dan PKS sebagai pemenang pemilu. Kita belum tahu bagaimana perolehan di daerah-daerah. Tetapi munculnya PKS dan PD merupakan sebuah fenomena tersendiri," katanya, kepada "PR" tadi malam.

Yesmil menilai, PD diuntungkan oleh situasi, terutama kesan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang yang terzalimi. "Tapi saya juga melihat, SBY sebagai figur yang layak jadi pemimpin bangsa. SBY itu adalah negarawan di tengah belantara politisi yang ada. Tapi dia itu negarawan yang kesepian (lonely stateman)," katanya.

Sedangkan PKS melejit, karena memang partai ini merupakan tempat bermuaranya orang-orang agama yang intelektual. "PKS menang bukan karena situasi, seperti adanya figur di PD. Tetapi memang dia adalah partai dengan sistem yang baik, sehingga dia adalah partai masa depan," katanya.

Yesmil menilai, melejitnya partai-partai baru atau partai-partai kecil menjadi besar, secara umum merupakan indikasi bahwa orang kini sedang mencari alternatif keluar dari dominasi partai-partai besar. "Saya kira ini merupakan perkembangan yang baik dan positif," katanya.

Pantja Astawa mengatakan, dengan melihat performa pemerintah saat ini, ada kesadaran bahwa cara kinerja mereka tidak membawa perubahan yang berarti. "Jadi, pemilu kali ini merupakan momentum yang baik bagi masyarakat untuk mencari partai alternatif," ujar Pakar Tata Negara dari Universitas Padjadjaran ini.

Ia mengamati dua partai yang meraih perolehan suara sementara yang cukup signifikan di beberapa tempat yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Kedua partai itu, menurutnya, dipandang oleh masyarakat memiliki figur-figur dengan integritas moral yang dianggap bersih.

Kader PKS yang kini duduk di kursi legislatif, menurutnya, telah memperlihatkan kinerja yang baik dengan memberikan contoh yang baik. "Mereka melakukan gebrakan yang berani dengan melawan arus ketika yang lain justru tidak melakukan hal itu," ujarnya. Sementara untuk Partai Demokrat, masyarakat tampaknya melihat figur SBY yang dianggap menunjukkan integritas politik yang baik. "Ia dipandang sebagai sosok yang tenang dan relatif bersih," tambahnya.Pada prinsipnya, kedua partai itu menunjukkan figur dengan integritas moral yang bagus sehingga dapat meraih suara sementara yang cukup signifikan. "Di tengah wacana elite politik yang busuk, masyarakat mencari figur yang bersih," tandasnya. Dipaparkan, saat ini masyarakat Indonesia tengah dalam krisis pemimpin yang berperilaku baik dengan tidak adanya negarawan dan contoh yang baik. Siapa pun kelak partai yang muncul, baik yang berasal dari partai baru atau partai lama, diharapkan akan menjadi pemimpin yang baik. (A-76/A-131)***



Suara Pembaruan, 5/3/2004
Fenomena Islam dalam Pemilu 2004

Oleh Kustigar Nadeak

INALAISIS dari ekses-ekses yang menyelimuti proses persiapan pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung 5 April 2004, maka masuk akal bila disimpulkan, bahwa tidak akan ada target yang akan dicapai terutama menyangkut upaya pemulihan ekonomi. Pemilu ini hanyalah sekadar latihan berdemokrasi yang harus dibayar dengan ongkos mahal (Rp 6 triliun lebih). Para pengamat internasinal maupun para penulis buku ilmu politik kaliber dunia belum pernah memasukkan Indonesia dalam peta politik dunia sebagai negara demokrasi, bahkan tidak menyebut negara yang sedang bergerak menuju masyarakat demokratis.

Paling tidak ada dua faktor yang membenarkan anlisis ini. Pertama, tercabik-cabiknya penegakan hukum oleh perpecahan politik kelompok. Padahal syarat utama untuk dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi adalah penegakan hukum. Partai-parti besar tampaknya berbeda dengan partai-partai lain dalam menafsirkan keadilan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Kedua, fenomena Islam sebagai ideologi politik dan gerakan radikalisme tentu saja tidak menolong dalam membangun citra bangsa yang beradab dan bermartabat di tengah masyarakat dunia.

Ketiga, kemiskinan dan keterbelakangan dalam pendidikan dari mayoritas dari 144,5 juta penduduk yang berhak memilih, membuat bangsa ini sulit menampilkan pemimpin yang berkualitas (intelektual, brilian, cerdas, bermoral, dan menguasai leadership yang mempunyai sense of crisis).

Karena itu, yang maksimal dapat diharapkan dari proses demokrasi melalui pemilihan langsung presiden, adalah perubahan politik secara gradual. Itulah sebabnya tekanan dari tulisan ini lebih pada substansi ideologi politik, terutama menyangkut Islam. Dalam kaitan itu, cukup menarik diskusi politik bertemakan "Prospek Partai Islam dalam Pemilu 2004'' yang digelar oleh Koordinator Wartawan DPR/MPR (Jumat 25 September 2003). Dari diskusi itu muncul prediksi, yang menggambarkan para pemilih mulai meninggalkan partai-partai Islam. Alasannya, selain karena perpecahan dalam tubuh hampir semua partai berbasis Islam, partai-partai tadi juga tidak mengesankan political will dalam memperjuangkan perbaikan ekonomi yang menjadi kepentingan seluruh rakyat.

Memahami Misi Islam

Secara garis besar perpecahan internal partai-partai Islam adalah dalam hal pemahaman tentang misi Islam itu sendiri di masyarakat plural seperti Indonesia. Di satu pihak, masih ada partai-partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) yang menempatkan Islam sebagai asas partai, dan masih menyimpan keinginan untuk memasukkan syariat Islam dalam UUD 1945 yang sudah diamendemen atau di tingkat UU seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Meskipun sejak tahun 1945 perjuangan ini tidak berhasil, namun gerakan-gerakan politik dan politik praktis seperti ini sering mencerminkan citra yang tidak bersahabat terutama dengan dunia demokrasi Barat.

Sebagai partai yang menempatkan Islam sebagai ideologi politik, bagaimanapun akan membentuk opini sebagian masyarakat Indonesia bahwa perjuangan syariat Islam merupakan suatu kebenaran dan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Tidak mengherankan kalau perjuangan ideologi ini diekspressikan dengan sikap ngotot bisa menimbulkan konflik horizontal. Padahal substansi dari The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan 10 Desember 1948 adalah; "All human beings are born free and equal in dignity and rights".

Isi kalimat ini merupakan inti dari konfigurasi sistem politik demokrasi. Fenomena mengideologikan Islam tanpa disadari telah menghambat proses demokratisasi di Indonesia. Sikap seperti itu oleh para teoretisi politik universal sering dilukiskan dengan kalimat: "Too much democracy can result in stalemate". Artinya, kebebasan berdemokasi yang melebihi batas toleransi, dapat menimbulkan kemandekan. Dan menyulitkan bangsa dalam mencapai konsesus menyatukan visi menyangkut kebenaran hukum universal dan keadilan masyarakat.

Sikap politik yang ngotot mempertahankan ideologi politik agama kelompok sendiri paling benar justru menjadi ancaman bagi keselamatan manusia dan membuat proses politik pemilu tidak dengan cepat membawa perubahan politik yang dibutuhkan memberdayakan denyut kehidupan ekonomi. Atau bahkan proses perubahan politk yang mandek akan terus mengakibatkan stagnasi pembangunan ekonomi.

Tampaknya misi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia (sekitar 40 juta jiwa) dalam melakukan reformasi peranan yang pas bagi Islam dalam kerangka berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, tidak mudah. Peranan positif NU dalam pembaruan Islam dapat dianalisis dari dua perspektif.

Pertama, keinginan yang kuat para tokoh NU dalam "Meneguhkan kembali Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin" yang menjadi tajuk kerangka acuan konferensi cendekiawan Islam internasional yang berlangsung 23-25 Februari 2004 lalu, pantas dinilai sebagai upaya untuk memoles wajah Islam di dunia internasional dan mendidik masyarakat Islam Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai agama yang memberikan keselamatan dan perlindungan kepada semua manusia.

Satu di antara 6 poin tujuan konferensi tersebut adalah melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan yang bisa mengeratkan hubungan antaragama dan antarbangsa. Poin ini mengingatkan kita kepada pandangan Dr Muhammed Arkoum seorang professor sejarah Islam di Sorbonne University yang mengatakan, "If you only study one religion you develop fanatism. You don't develop tolerance. (Jakarta Post, Jumat 8 Desember 1985).

Kedua, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berdirinya dibidani oleh tokoh-tokoh senior NU, tampaknya sedang berjuang keras agar sepuluh tahun mendatang mencapai titik keseimbangan (equlibrium) kepentingan antara kelompok nasionalis dan kepentingan Islam. Spektrum politik seperti inilah yang diterapkan di negara demokrasi modern terbesar di dunia Amerika Serikat (AS). Negara demokrasi modern itu melindungi kelompok minoritas. Sebagai wujud pemikiran tersebut PKB menyatakan tekad memberikan tempat khusus bagi masyarakat minoritas untuk masuk dalam daftar calon legislatif (caleg) DPR, DPRD atau duduk dalam struktur partai.

PDI-P Gandeng NU

Garis politik PKB tersebut mestinya dapat menjadi landasan visi mempersatukan NU dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). yang mempunyai kesamaan dalam melindungi kelompok minoritas di Indonesia. Terlepas dari kelemahan kepemimpnan Megawati selama tiga tahun menjabat residen, figur megawati sebagai pemimpin kelompok nasionalis-pluralis, harus diakui masih mendapat dukungan luas baik dari masyarakat internasional (Barat) maupun dari masyarakat dalam negeri walaupun dukungan itu akibat kelemahan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih paternalis. Memang paradok, kelemahan masyarakat Indonesia justru menjadi kekuatan bagi Megawati Soekarnoputri.

Kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih terpukau dengan kepemimpinan kharismatis Bung Karno yang kini diwarisi oleh Megawati Soekarnoputri. Tetapi, status quo dalam segala aspek pembangunan selama tiga tahun Megawati memimpin baangsa ini, tntu saja digunakan lawan-lawan politiknya untuk melakukan manuver-manuver politik untuk menjegalnya terpilih kembali menjadi presiden. Manuver-manuver politik Amien Rais, sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasinal (PAN) masih terus berlanjut. Dalam penjelasannya di Solo (Sabtu, 25 Oktober 2003) ia mengungkapkan, bahwa lima parpol berbasis Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah dua kali mengadakan pertemuan dalam upaya membendung Megawati Soekarnoputri untuk tidak terpilih lagi sebagai presiden dalam pemilu 2004.

Oleh karena itu, pendapat Mahfud Md (Wakil Ketua Umum PKB) agar Megawati mendekati Abdurrahman Wahid, dalam upaya mendapatkan restu untuk menggandeng Hasyim Muzadi (Ketua Umum PB NU) menjadi calon wakil presiden (cawapres) seperti diungkapkan kepada wartawan Minggu malam 15 Februari 2004, memang perlu dipertimbangkan. Pertama, kedua partai tersebut memiliki persamaan visi dalam soal pluralisme. Kedua, NU yang mempunyai basis yang kuat di Jawa Timur akan sangat menentukan bagi kemenangan Megawati. Ketiga, bergandengan dengan Hasyim Muzadi sebagai pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia yang dapat menyumbang aspek moralitas dalam pemerintahan, akan mendapat dukungan luas daripada menggandeng Akbar Tandjung, yang sudah tercap sebagai politikus busuk.

Penulis adalah waratwan dan pengamat politik.


\Islamlib.com

Fenomena PKS
Oleh Saiful Mujani
04/04/2004

Kalau survei tersebut akurat, yakni sesuai dengan hasil pemilu sebenarnya nanti, PKS adalah salah satu dari partai baru yang sukses mendongkrak suara. Ketika namanya Partai Keadilan, dalam pemilu 1999 ia hanya mendapat suara 1,5 persen. Kalau dalam pemilu 2004 nanti mendapatkan suara sekitar 5,5 persen, itu adalah kemajuan yang berarti.




Menurut survei-survei perilaku pemilih yang dilakukan oleh lembaga survei politik yang kredibel seperti the International Foundation of Electoral System (IFES) ataupun Lembaga Survei Indonesia (LSI), dukungan calon pemilih terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) cenderung menguat dibanding partai-partai baru lain pada umumnya. Dalam survei nasional LSI terakhir, yakni 10 hari masa kampanye (23 Maret 2004), PKS mendapatkan dukungan 5,5 persen. Perolehan suara ini tidak banyak berbeda dengan perolehan suara PKS dalam survei IFES (28 Maret 2004), yakni 3,6 persen. Ini mengindikasikan bahwa seburuk-buruknya PKS akan mendapatkan suara setidaknya 2 persen, dan potensial mendapat 7,5 persen.

Kalau survei tersebut akurat, yakni sesuai dengan hasil pemilu sebenarnya nanti, PKS adalah salah satu dari partai baru yang sukses mendongkrak suara. Ketika namanya Partai Keadilan, dalam pemilu 1999 ia hanya mendapat suara 1,5 persen. Kalau dalam pemilu 2004 nanti mendapatkan suara sekitar 5,5 persen, itu adalah kemajuan yang berarti.

Pertanyaannya, kenapa PKS sukses dibanding dengan partai-partai lainnya? Walapun tidak lolos electoral treshold dalam pemilu 1999, kader PK, dibanding partai-partai lain, terlihat terus aktif dan bekerja keras melakukan konsolidasi dan sosialisasi partai kepada masyarakat pemilih lewat berbagai kegiatan sosial. PKS juga cukup berhasil membangun citra sebagai partai yang punya komitmen terhadap pembentukan pemerintahan yang bersih. Para aktivis partai ini umumnya berlatar pendidikan baik dibanding rata-rata masyarakat kita, dan mampu membangun kader-kader yang sederhana dan bersih. Karena citra demikian, sejumlah tokoh “sekuler” sekalipun menunjukan rasa simpatiknya terhadap partai ini.

Walapun dikenal sebagai partai Islam yang punya komitmen bagi penegakan syariat Islam di bumi pertiwi, tapi di bawah kepemimpinan Hidayat Nurwahid selama kampanye ini, komitmen tersebut cukup berhasil diterjemahkan secara substantif dan inklusif dalam bentuk kampanye anti Korupsi. Selama kampanye, PKS tidak mencitrakan dirinya sebagai partai eksklusif dengan mengusung simbol-simbil keagamaan yang hanya menarik satu segmen saja dari masyarakat Indonesia. PKS cukup berhasil menciptakan dirinya sebagai partai terbuka, punya komitmen moral, dan keinginan kuat untuk membentuk pemerintahan yang bersih.

Kalau citra inklusif seperti ini terus dipupuk dan dijabarkan dalam proses legislasi nanti, PKS adalah salah satu partai baru yang punya masa depan. Sekarang PKS telah menjadi sebuah fenomena dalam politik kita. Pertanyaannya, sejauhmana PKS dapat mempertahankan citra yang positif ini ke depan?

Jawabannya tentu saja ada pada pikiran dan hati-nurani aktivis dan kader PKS sendiri. Kalau mereka berhasil menjaga dan mengembangkan citra yang baik, ia potensial menjadi salah satu partai besar di masa depan, dan karena itu akan membantu mewadahi aspirasi rakyat yang sangat beragam secara primordial. Pada akhirnya, PKS akan membantu mematangkan demokrasi yang sedang dibangun dan menjadi komitmen hampir seluruh rakyat Indonesia bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik bagi bangsa ini. Sistem ini dipercaya paling mampu mengelola secara damai perbedaan dan pertentangan yang ada di masyarakat. Mudah-mudahan komitmen bangsa ini juga menjadi komitmen sentral dari PKS sendiri. Selamat PKS! (Saiful Mujani)


Koran Tempo, April 11, 2004
Obeliks dan Asteriks di panggung politik
Indra J. Piliang

April mop! Begitulah kejutan terbesar pada April 2004 ini ketika dua partai politik mendapatkan dukungan di luar dugaan, yakni Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua partai politik ini tampil seperti Asteriks dan Obeliks di perkampungan Ghalia yang sulit ditaklukkan oleh Julius Caesar dari Romawi. Sosok Obeliks ada dalam diri Susilo Bambang Yudhoyono yang dengan cepat mengalirkan suara pemilih ke PD sekalipun terlambat start. Sedangkan Asteriks adalah PKS yang merupakan pekerja keras dalam politik, sekalipun tidak mempunyai sosok-sosok "tokoh" besar.

Tetapi benarkah PD mendapatkan kekuatannya hanya semata-mata dari SBY? Kesimpulan umum memang mengarah ke sana, sekalipun tidak seluruhnya tepat. Pemilih memang mengenal PD sebagai "Partai Pak SBY". Popularitas SBY menggelembung ketika ia menyerahkan Surat Pengunduran Diri Sebelas Maret (Supersemar). Ketika hari pertama kampanye diberitakan keesokan harinya oleh pers, pengunduran SBY berhimpit dengan seluruh peserta pemilu lainnya. "Iklan kampanye" gratis ini disambut kalangan calon pemilih dengan menghadiri setiap kampanye SBY. Artinya, pers membantu pengelompokan massa di belakang gerbong PD, ketika partai-partai politik lain mencari banyak celah untuk memperkenalkan dirinya.

Kekuatan SBY dan PD tentu tak akan fenomenal, apabila partai-partai politik lain di luar yang mendapatkan electoral threshold menyuguhkan pola-pola kampanye yang menarik. Kenyataannya, tak ada yang benar-benar melakukan inovasi. Panggung kampanye melulu adalah nyanyian, goyang dangdut, dan tebaran juru-juru kampanye "nasional" yang diimpor dari Jakarta. Ketua-ketua umum partai politik yang dilihat tiap hari di televisi dengan bahasa dan pola komunikasi yang itu-itu saja justru mengundang kebosanan. SBY diuntungkan karena ia adalah wajah baru dalam panggung politik, sekalipun dikenal luas. Dari sisi ini, SBY sama dengan KH Zainuddin MZ dan Hartono, dua sosok yang banyak hadir di panggung kampanye 2004, tetapi tak hadir dalam kampanye pemilu 1999.

SBY dalam kemasan baru ini tentu menimbulkan rasa penasaran. Apalagi ketenangannya, juga kemampuannya menyanyi, mengingatkan kita pada pola-pola kelompencapir yang dulu dilakukan oleh Soeharto. Bahasa tubuhnya yang khas, lalu wajahnya yang terbilang ganteng untuk ukuran rata-rata pemimpin politik lainnya, menenangkan publik yang selama ini begitu resah dengan pola komunikasi yang saling hujat oleh pemimpin politik lainnya. Setelah proses politik yang hiruk-pikuk selama lima tahun ini, terlihat pemilih PD mendambakan sosok yang lebih kalem.

Selain SBY dengan PD-nya, perolehan suara PKS menunjukkan betapa pentingnya perbedaan dalam identitas politik, baik ideologi, manajemen, juga citra. PKS bukan pemain baru, karena sudah hadir dalam dua kali pemilu. Perbedaan yang paling mencolok antara PK dulu dengan PKS sekarang adalah kematangannya dalam melakukan penetrasi politik. Kalau PK pada 1999 identik sebagai partai anak-anak muda yang berasal dari kalangan kampus dengan identitas Islam puritan yang kental, PKS hari ini sedang menuju kematangannya. Sekalipun komposisi pengurusnya tak jauh berbeda dengan PK 1999, dinamika internalnya menunjukkan arah pembaharuan.

PKS bisa disebut sebagai satu-satunya partai politik yang hadir tidak pada hari-hari kampanye saja. Ia bukan alat mobilisator politik, sebagaimana terjadi di kalangan partai-partai politik lain, sebagai satu ciri dari partai politik di negara berkembang. PKS bukanlah partai yang tertidur seusai pemilu. Ketika partai politik lain tenggelam dalam kemalasan pengurusnya, fenomena rangkap jabatan, sampai persaingan mendapatkan posisi di pemerintahan pusat dan daerah, PKS terus melakukan kritik konstruktif.

PKS tak segan-segan menggunakan uang yang didapatkan dengan cara sah, yakni lewat APBD, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat. PKS juga menolak laporan sejumlah gubernur, bupati, dan wali kota dalam akhir tahun. Sikap yang tak umum ini, sekalipun tidak berdampak pada pengunduran kepala daerah yang ditolak laporannya itu, tetap berhasil meraih pemilih satu demi satu. Artinya, PKS mendapatkan dukungan secara recehan, satu demi satu, sehingga pelan-pelan menjadi jaringan organisasi politik yang solid.

Kehadiran SBY dengan PD-nya merupakan ciri khas budaya politik dan perubahan politik di Indonesia. Patahan sejarah politik 1965-1966, juga 1998-1999, menunjukkan dengan jelas betapa para pemimpin selalu dilahirkan oleh krisis. Krisis multidimensional yang terjadi selama tujuh tahun terakhir ini tidak juga menuju titik akhir, ketika para pemimpin menggunakannya untuk saling mendapatkan pengaruh. Kerja sama politik yang bersifat jangka panjang diabaikan. Akibatnya, kita selalu dihadapkan dengan kejutan.

Sebaliknya, PKS menampilkan kerja-kerja politik yang terorganisasi. Sekalipun miskin dengan tokoh, sesungguhnya PKS merupakan partai politik yang menyimpan sumber daya manusia yang di atas rata-rata partai politik lainnya. Syarat-syarat rekrutmentnya juga ketat, selain memang harus mampu memahami AlQuran, juga berpendidikan. Inilah partai alternatif bagi kalangan muslim kelas menengah, sambil mengakar pada masyarakat Indonesia yang pluralis dan inklusif.

Dari potret sekilas itu, menurut saya, SBY dengan PD-nya belum merupakan kekuatan politik alternatif. Parameternya sederhana, yakni kinerja SBY selama ini, baik dalam karier militer dan pemerintahan. Belum ada prestasi luar biasa yang ditunjukkan SBY sehingga menjadi credit point dari pola kepemimpinan baru bagi Indonesia kedepan. Selain itu, politisi PD juga belum dikenal. Sehingga, penggabungan unsur SBY dengan PD saja akan menghadapi persoalan di depan, apalagi dengan kekuatan politik di luarnya. Sudah terbukti selama ini betapa pemimpin yang lahir di saat krisis cenderung tak mampu menghadapi situasi di masa tenang. Bahkan ada tendensi betapa krisis yang selama ini terjadi dimanfaatkan oleh segelintir elite politik guna mempertahankan kekuasaannya.

Sedangkan untuk PKS, saya kira sedang menuju kedewasaan politiknya. Dibandingkan dengan partai-partai politik lain, sulit untuk mengatakan PKS akan kehilangan massanya. Ada kecenderungan bagi PKS terus-menerus menaikkan jumlah pemilihnya. Sebab pemilih PKS bukan hanya berasal dari kalangan yang simpati, melainkan langsung mempunyai empati.

Kesulitan terbesar PKS adalah luas dan besarnya Indonesia, tetapi kelebihannya adalah langsung bekerja di basis massa. Konsentrasi PKS untuk memenangkan pengaruh di satu atau dua daerah pemilihan jangan sampai dipatahkan dengan cara ingin masuk ke seluruh daerah pemilihan. Jauh lebih baik melihat PKS sebagai fenomena partai lokal, ketimbang partai nasional, terutama di pusat-pusat pendidikan dan politik yang mengalami sekularisasi. Toh PKS tak banyak bersuara di basis-basis Nahdlatul Ulama, misalnya.

Kehadiran kedua partai politik ini tidak dengan sendirinya akan berpengaruh besar pada pemilihan presiden dan wakil presiden 5 Juli 2004 nanti. Selama ini, partai-partai politik dan tokoh-tokoh politik sering menggunakan baju yang kebesaran. Kedua parpol ini sebaiknya membiarkan diri tumbuh secara alamiah, sehingga tidak perlu dibebani oleh tujuan-tujuan jangka pendek kekuasaan. "Kepanikan" politik yang muncul dalam seminggu pertama pasca-5 April ini justru akan memunculkan subyektivitas berlebihan. Padahal, masih ada jutaan suara yang didapatkan oleh partai-partai status quo yang kalau dijumlahkan jauh lebih besar dari perolehan PD dan PKS. Artinya, mayoritas pemilih sulit untuk mengalihkan pilihannya karena banyak faktor, antara lain tradisionalitas politik yang belum terhapus, jaringan organisasi yang belum merata, sampai kaderisasi yang lemah.

Saya berharap agar tak terulang lagi pembajakan politik oleh kalangan elite yang terbatas. Kehadiran PD dan PKS semestinya ditafsirkan sebagai perlunya peremajaan politik, baik di ranah partai politik, apalagi di ranah tokoh politik. PD dan PKS tetap Obelik dan Asterik, sementara kekuatan status quo adalah representasi dari Julius Caesar dan Romawi yang membutuhkan kerja besar untuk mengalahkannya.

INDO POS, Rabu, 22 Juni 2005,
Calon PKS Menangi Pilkada Bangka Barat



JAKARTA - Meski gagal dalam pilkada di Kota Cilegon, Banten, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) -yang mengusung calon Parhan-Zuhri M. Syazili- unggul di Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung.

"Ini fenomena pilkada yang cukup menarik," ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PKS Muhammad Razikun di Jakarta kemarin. Parhan adalah mantan kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) setempat. Sementara itu, Zuhri merupakan pengurus DPD PKS yang juga anggota DPRD setempat. Penghitungan sementara, pasangan calon PKS itu unggul dengan 36 persen suara.

Menurut dia, di Bangka Barat, suara PKS dalam pemilu lalu hanya 11 persen dengan raihan empat kursi DPRD. Namun, dalam perebutan kursi bupati-wakil bupati, jago PKS berhasil mengalahkan calon pemenang pemilu di sana, yaitu pasangan Syaiful Rahman-Muhammad Hatta yang dicalonkan Partai Golkar.

"Suara Golkar di sana sangat besar. Tapi, ini kembali membuktikan bahwa suara pemilu legislatif tidak signifikan dengan hasil pilkada," jelasnya.

PKS berharap agar kasus Bangka Barat menjadi cambuk dan inspirasi untuk kemenangan serupa di daerah-daerah lain. Sebab, dengan suara 11 persen saja, calon PKS bisa unggul. "Daerah lain yang meraih suara PKS lebih dari 11 persen tentu jauh lebih realistis untuk menang," ungkapnya.

Di kota-kota besar, lanjut Razikun, PKS umumnya mendulang suara pada pemilu legislatif lalu di atas 25 persen. Hal itu, antara lain, terjadi di kota-kota di Jabotabek, Bandung, dan Medan. "Di Kota Cilegon sebenarnya calon kita mestinya menang kalau tidak ada kecurangan yang luar biasa," jelasnya.

Dia mengatakan, musuh terbesar dan terberat PKS adalah kecurangan. Sebab, lawan-lawan PKS mencoba memenangkan pilkada dengan merancang strategi kecurangan. "Kita gelorakan kepada seluruh kader di setiap daerah bahwa musuh terberat kita adalah kecurangan. Mereka tahu calon PKS hanya bisa dipatahkan dengan strategi kecurangan nasional," kilahnya. (adb)


Islamlib.com
Memahami Realitas PKS
Oleh Happy Susanto
27/10/2004

Membaca tulisan Sholahuddin, Menepis Fundamentalisme PKS, di harian ini (3/10) menggugah penulis untuk menanggapinya. Sholahuddin menyatakan bahwa PKS bukanlah partai Islam yang bergaya fundamentalis. Ia menyatakan bahwa sistem perjuangan PKS tidak sama dengan gerakan fundamentalisme Islam dari Timur Tengah.


Membaca tulisan Sholahuddin, Menepis Fundamentalisme PKS, di harian ini (3/10) menggugah penulis untuk menanggapinya. Sholahuddin menyatakan bahwa PKS bukanlah partai Islam yang bergaya fundamentalis. Ia menyatakan bahwa sistem perjuangan PKS tidak sama dengan gerakan fundamentalisme Islam dari Timur Tengah.

Perolehan suara PKS pada pemilu legislatif tahun ini mengalami kenaikan yang sangat pesat sekali. Hal ini disebabkan karena partai Islam yang satu ini menampilkan isu-isu publik yang berbau substantif dan strategis. Isu pemberantasan korupsi dan solidaritas kemanusiaan menjadi “barang jualan” mereka pada saat kampanye pada pemilu legislatif 5 April yang lalu.

PKS memang “partai kader”, bukan partai figur. Karena PKS adalah partai kader maka mereka tidak khawatir akan keberadaannya di hari-hari kemudian. Mereka tinggal mengembangkan program dan aktivitas yang dikelola secara profesional dan baik oleh kader-kader yang mereka miliki di berbagai tempat. Lambat laun massa PKS akan selalu bertambah melalui konsistensi dan militansi perjuangan para kadernya. Seperti biasanya, ketika menjelang pemilu dan selama masa proses kampanye, mereka sangat rajin dalam upaya mencari simpati massa publik melalui berbagai cara, dari turun ke jalan, publikasi di berbagai media elektronik, hingga terjun ke lapisan “masyarakat bawah” (grassroots). Tidak heran PKS memperoleh kenaikan suara yang sangat pesat.

Saya sendiri kaget dengan penampilan PKS pada pemilu kali ini. Kenapa isu agama tidak mereka tawarkan ke publik? Memang isu agama kurang begitu laku dan mengena sebagai agenda kampanye. Isu agama yang dimaksud di antaranya adalah isu seputar penegakan syariat Islam, pemberlakukan Piagam Jakarta, dan isu keagamaan lainnya. Prediksi yang pernah dikemukakan oleh William Liddle beberapa tahun yang lalu ternyata meleset. Isu agama ternyata tidak menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Semua partai Islam mencari sebuah isu besar yang lebih bisa dipahami masyarakat secara luas.

Dengan melihat peluang pasar masyarakat yang tidak lagi terlalu memperhitungkan simbol dan identitas agama (baca: Islam) sebagai dasar pilihannya, maka akhirnya PKS lebih suka mengangkat isu seputar pemberantasan korupsi ketimbang mengangkat isu tentang pemberlakukan syariat Islam. Penampilan mereka, dari jajaran elit sampai ke aktivis di tingkat ranting dikenal santun, moralis, dan bersih. Mereka juga sangat respek dengan soal-soal pemberdayaan masyarakat bawah dengan terjung langsung ke dalamnya untuk membantu masyarakat yang tak mampu dan dilanda kesusahan. Akhirnya, “wajah eksklusif” mereka sebagai partai Islam tidak lagi dikhawatirkan oleh masyarakat dari lapisan mana saja.

Itulah taktik dan strategi politik mereka yang sangat cerdik dalam upaya meraih simpati massa. Untuk membaca PKS, alangkah baiknya bila kita melihatnya secara dualitas: antara dakwah keagamaan dan dakwah politik. Dalam ruang politik, sikap keberagamaan PKS yang sebenarnya eksklusif dan fundamentalis menjadi tidak kentara. Mereka sangat memperhitungkan sekali bilamana simbol dan identitas keagamaan dipakai dalam momen-momem politik, maka eksistensi mereka kian terus dicurigai sebagai partai Islam yang fundamentalis.

Politik Keagamaan PKS

PKS tetaplah sebuah partai Islam yang fundamentalis. Pola pikir dan agenda perjuangan mereka masih hampir sama dengan model gerakan Islam yang ada di Timur Tengah. Pendapat Sholahuddin yang menyatakan bahwa PKS bukanlah partai Islam yang fundamentalis, dikarenakan ia melihatnya hanya pada ruang politik praktis di mana PKS bermain cantik di dalam kancah perpolitikan nasional. Pola pikir dan aktivitas keberagamaan PKS tidaklah mengalami “indigenisasi” dengan perkembangan kebudayaan dan masyarakat Indonesia. Bahkan mereka hanya melakukan copy-paste kebudayaan dan pemikiran keagamaan yang ada di Timur Tengah, seperti buku-buku panduan tarbiyah Ikhwanul Muslimin dan juga pemikiran-pemikiran dari Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, Hassan al-Banna, dan pemikir muslim konservatif lainnya.

Seringkali dipahami bahwa aktivitas politik PKS berbeda dengan aktivitas keagamaannya, seperti halaqah-halaqah yang rutin mereka lakukan di berbagai tempat. Dalam berbagai forum kajian halaqah, corak keberagamaan mereka terkesan eksklusif dan sempit. Persoalan akidah dan fiqih selalu mewarnai pemikiran keislaman mereka. Sering terjadi pengklaiman atas pemikiran yang dianggap berbeda dengan mereka. Ya, intinya keberagamaan mereka agak konservatif, tapi tidak pada dataran yang ekstrim karena mereka sangat mementingkan upaya dialog dan sikap anti-kekerasan.

Tapi, ketika masuk pada ruang politik mereka sangat hati-hati bersikap. Ruang politik adalah wilayah permainan dalam meraih kekuasaan. Jika mereka masih terpusat pada gaya berpikir seperti yang tercermin dalam pola pikir keagamaan model halaqah maka itu akan mengganggu aktivitas politik mereka. Modal utama mereka adalah moral dan kesantunan berpolitik. Di tengah kondisi bangsa membutuhkan perilaku politik yang damai dan santun, kehadiran mereka akan mudah dilirik oleh masyarakat kita. Dan itu terbukti pada pemilu legislatif 2004 ini. Dalam wilayah politik, mereka mencoba mengontrol emosi seputar pemberlakukan syariat Islam dan isu agama lainnya, dengan maksud agar tujuan politis jangka pendek mereka tidak terlalu terganggu. Padahal, secara diam-diam mereka masih menginginkan agar wacana syariat Islam terus disuarakan.

Politik bagi mereka adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang diajarkan menurut keyakinan agamanya. Karena fungsinya sebatas alat, tidaklah menjadi persoalan apabila dalam proses politik itu isu-isu segar seputar agama kurang begitu ditampakkan. Yang penting adalah bagaimana moralitas dan kemanusiaan itu yang lebih dahulu dipentingkan dalam proses politik untuk memperbanyak simpati massa. Pandangan politik mereka sangat jauh ke depan sehingga pola pengkaderan yang dilakukannya berjalan dengan bagus sekali. Capaian politik mereka adalah 25 tahun ke depan. Jika sudah pada saatnya nanti, impian-impian yang telah mengakar kuat dalam keberagamaannya akan menjadi kenyataan.

Sungguh, keberagamaan PKS dalam wilayah politik sangat menarik. Masyarakat umum yang tidak mengetahui tentang pola pikir keagamaan mereka yang asli tercermin dalam halaqah-halaqah, tentu akan berpikir secara positif melihat penampilannya pada ruang politik praktis.

Di sinilah, sebenarnya PKS melakukan sebuah “kemunafikan” dengan mengajukan standar ganda (double standard). Maksudnya, dalam pemikiran keagamaan mereka bersifat ideologis, sempit, dan eksklusif, tapi dalam sikap berpolitik mereka mencoba bertindak secara inklusif, tidak ideologis, dan mengusung moralitas. Padahal, keduanya sama saja karena mengarah pada eksklusivisme. Maksudnya, apa yang mereka perjuangkan dalam rentan waktu yang sedemikian lama adalah bermuara untuk mementingkan umat Islam dan kelompoknya juga.

Inilah realitas PKS yang sesunggunya. Pengalaman pemilu 2004 ini menunjukkan sebuah fakta tak terbantahkan bahwa semua partai Islam, termasuk PKS tidak mengusung idealisme untuk memperjuangkan umat Islam dan bangsa Indonesia ke arah perbaikan di masa depan. Partai Islam hanya mementingkan kekuasaan politik jangka pendek. Hal ini dibuktikan dengan sikap politik mereka yang ikut larut dalam upaya dukung-mendukung pasangan capres-cawapres yang akan maju ke pertandingan politik, dengan maksud agar bisa memperoleh “kursi kabinet” kekuasaan. Alangkah sangat disayangkan bila partai-partai Islam kini mulai kehilangan spirit perjuangan politik keumatan. Wallahu A’lam.[]

Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), peneliti Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta, kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).


Pikiran Rakyat.
PKS Menuju Singgasana Kekuasaan?
Oleh MUKHIJAB

18:54 on 13 July 2004 | by wibi
Ah kalau sampai beliau (Anis Matta,red) akhirnya beneran support SBY, jadi agak berkurang nih perasaan 'berdosa' kalo milih SBY. Mungkin perasaan gue aja, cuma kemaren kalo org Islam nggak milih Amien Rais kayanya dianggap agak ke kafir-kafiran gitu. Sekarang bisa feeling agak relieved.

16:11 on 14 July 2004 | by dikecewakan_pks
PKS t&# kucing....
Waktu kampanye pemilu bilangnya bersih dan peduli dan mau jadi oposisi. Waktu mutusin rekomendasi capres, bilang cuma Amien & Wiranto yang terbaik, yang lainnya gak dilirik.
Sekarang pemilu pilpres kedua malah milih SBY.
Walah ... mau jadi apa itu kader PKS...
Dijamin para kader akan jadi keder...
(dikutip dari www.pemilu2004.goblokmedia.com)

PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS) benar-benar fenomenal di mata simpatisan. Simak saja komentar di atas. Dua simpatisan demikian besar berharap terhadap langkah politik partai yang digandrunginya. Sampai demikian hikmat mengekspresikan sikapnya. Seorang terkesan bangga telah memperoleh legitimasi atas pilihan calon presidennya, seorang lainnya demikian masygul dengan manuver partai yang dikaguminya.

Istimewanya ekspresi seperti di atas jumlahnya sangat banyak dan beragam, telah ditorehkan jauh-jauh hari sebelum PKS menetapkan secara resmi untuk mendukung pasangan kandidat presiden-wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (26/7-2004). Ini menunjukkan simpatisan partai ini mengikuti terus dinamika politik internal partainya. Dan, ini membuktikan (semula) PKS sesungguhnya partai harapan.

Maka, saat PKS menempuh langkah spektakuler, perhatian publik maupun simpatisan terenyak. Sebagian menganggap, warna politik PKS dalam mengaksentuasikan dukungan terhadap pasangan kandidat presiden-wakil presiden pada pemilu presiden putaran kedua, di luar dugaan. Apabila saat mendukung pasangan M. Amien Rais-Siswono Yudo Husodo dilihat dari hubungan ideologis dan faktor historis, bisa mengangkat citra reformasi dan meninggikan syiar Islam. Lain halnya dukungan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, PKS mulai dikesankan ahistoris dan sangat pragmatis.

Ekspresi Wibi melalui e-mail seperti dikutip di atas, ketika PKS mendukung M. Amien Rais benar-benar diikuti atas dasar kebanggaan untuk memilih tokoh Islam. Ketika harus "jatuh cinta" pada Susilo Bambang Yudhoyono, Wibi semula bimbang. Saat ada keputusan PKS, ia memperoleh legitimasi ijtihad nafsi-nya dalam memilih tokoh yang dibanggakan.

Lain halnya dengan simpatisan anonim dalam e-mail di atas. Ia tampak sangat kecewa ketika melihat jatidiri partai yang dibanggakan menjadi tidak jelas langkah politiknya. Sampai ia harus melukiskan sangat kasar, "PKS t#& kucing!".

Sikap kontroversial dalam menerima putusan politik sebagai ciri khas dari pentingnya keragaman. Tanpa perbedaan dalam politik, maka proses demokratisasi tidak jalan. Persoalannya mendinamisasi demokrasi dalam lingkup partai tanpa kehilangan jatidirinya, itu masalah berat yang kini justru ditempuh PKS.

Dari oposisi menuju kekuasaan

Publik telah mafhum, PKS semula ingin meretas jalan oposisi sebagaimana dijanjikan pascapemilu legislatif. Maka dipahami pilihan partai ini tidak mengeblok terhadap pasangan kandidat presiden-wakil presiden manapun. Sampai akhirnya terjadi dinamika politik internal, sehingga PKS mengalami tarik ulur antara mendukung M. Amien Rais dengan Wiranto. Putusannya, PKS mendukung M. Amien Rais walaupun terkesan tidak optimal realisasi dukungannya.

Sikap mendukung M. Amien Rais bisa dimengerti dari sudut pandang ideologis partai. Sebagai satu-satunya partai yang didirikan dengan ilham (klaim) pemikiran tokoh Ikhawanul Muslimin, Hasan Albana, dukungan terhadap M. Amien Rais memiliki pijakannya dari segi pemikiran-pemikiran keislaman bahkan legitimasi normatifnya. Dari sisi praksis, elemen-elemen gerakan Islam yang menjadi bagian dari bidan kelahiran PKS, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), selalu dibelakang gerakan reformasi yang dipelopori M. Amien Rais (baca Aay Muhamad Furkon : Partai Keadilan Sejahtera Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer; 2004).

Sejurus langkah-langkah mendukung reformasi, maka KAMMI menyuarakan anti militerisme, police state dan isu kekuasaan otoriter yang dimotori kalangan militer. Ketika itu ini diusung, Susilo Bambang Yudhoyono masih aktif menjabat di TNI. Maka bisa dipahami, Susilo Bambang Yudhoyono ikut menjadi bagian yang disasar ikut bertanggungjawab atas tumbuh-suburnya militerisme di Indonesia, apalagi sebagai tentara-pemikir yang sangat kekeuh mempertahankan fungsi teritorial TNI.

Dinamika politik elite-elite PKS sepertinya telah mengubah haluan sejarah partainya. Kedekatan sejumlah elite partai dengan bekas petinggi tentara, seperti Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono, tampak berpengaruh besar dalam pandangan dan sikap politik PKS. Pada pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, elite-elite PKS lebih memilih Wiranto dibanding kandidat presiden M. Amien Rais, andaikata tanpa intervensi opini publik dan tekanan yang secara "tidak sengaja" dibangun oleh media massa. Maka saat tokoh Islam sipil yang didukung tereliminasi pada pemilu presiden putaran pertama, wacana yang dikembangkan elite-elite PKS kembali mengarah pada dukungan kandidat presiden dari lingkungan militer. Sampai akhirnya diputuskan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Sikap progresif sekaligus pragmatis PKS sangat bertentangan dengan "saudara sepupunya" Partai Amanat Nasional (PAN). Partai berlambang matahari itu memilih netral walaupun 55 persen perwakilan konstituen dalam pleno PAN mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Sikap netral yang sedikit "miring" ini jauh lebih elegan dibanding secara vulgar mendukung pasangan kandidat presiden-wakil presiden tertentu.

Sikap politik apapun secara prinsip terkait dengan fatsun berpolitik. Maknanya bukan sekadar bijak dalam mengimplementasikan nilai-nilai dan etika politik. Tercakup pula pentingnya bermain politik yang cantik, dan tidak mengesankan produk politik praktis semata-mata kekuasaan.

PAN bisa ditebak pada akhirnya bisa berkoalisi di eksekutif maupun legislatif dengan kubu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, andaikata keduanya terpilih sebagai Presiden-Wakil Presiden 2004-2009. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam mengaksentuasikan sikap politik PAN dipilih lebih santun dan terhindar dari citra kemaruk kekuasaan.

Dalam hal ini PAN lebih mampu me-manage dan menetralisasi pertarungan elite-elite sipil yang berkubu pada Megawati-Hasyim Muzadi maupun Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalau tidak demikian, seperti diakui oleh pengurus DPW PAN DKI Jakarta, maka PAN bisa menerima tawaran Megawati-Hasyim Muzadi dengan mendapat bagian dua kursi di kabinet. Atau rayuan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang juga mengajak bersama mengelola pemerintahan seperti disampaikan dalam pertemuan dengan Ketua Umum PAN, M. Amien Rais, sehari menjelang pleno PAN (26/7).



PKS mau ke mana?

Fungsionaris Partai Golkar, Fahmi Idris, menggambarkan PKS dan PAN sebagai partai harapan kaum muda. Apabila keduanya mendorong pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, maka raihan suara pasangan ini pada pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua mencapai di atas 60 persen dari jumlah pemilih yang menggunakan haknya.

PKS khususnya, de facto dan de jure memiliki beban untuk mendorong pencapaian dukungan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dimaksud sebagai konsekuensi atas keberpihakannya secara tekstual. Langkah ini secara fisik sangat mudah ditempuh oleh PKS, karena model stelsel (usrah) dalam garis komando partai sangat efektif menyosialisasikan keputusan partai.

Masalahnya seberapa efektif PKS meyakinkan label Islam mewarnai dalam perjuangan politik Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalaupun keduanya sebagai tokoh muslim, faktanya mereka sangat menghindari pengerucutan identas Islam dalam kiprah politiknya. Sehingga ia mengatakan, "Kebersamaan (dengan PKS) tidak kami lihat dari identitas kelompok atau agama."

Begitu juga dengan cita-cita PKS untuk ikut membatasi pemerintahan terbentuk dari dominasi pengaruh Amerika Serikat. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono dikenal sangat dekat dengan elite-elite kekuasaan dan militer negara adidaya tersebut. Sampai timbul "kecurigaan" langkah politik Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak steril dari pendanaan kelompok kepentingan dari Amerika Serikat.

Pemikiran dan sikap politik yang melekat pada diri Susilo Bambang Yudhoyono, sampai batas tertentu sangat bertentangan dengan prinsip perjuangan dan jatidiri PKS yang kental dengan ideologi maupun identitas keislamannya serta garis-garis program yang diperjuangkan partai. Ini, apabila internal PKS mau mengaku secara jujur.

Maka misi PKS dalam pusaran lingkaran suksesi, bukan sebatas memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai presiden-wakil presiden. Tanggung jawab menghikmatkan Islam dalam perjuangan politik calonnya jauh lebih penting dan bermartabat dibanding bagian kekuasaan yang bisa diperoleh PKS dengan dua atau tiga kursi di kabinet. Apalagi, pasangan ini dikenal dikepung di lingkaran pertama oleh tokoh-tokoh militer dan politisi yang tidak berafiliasi pada Islam.

Apabila PKS tidak bisa mewarnai Islam dalam perjuangan politik calonnya, sementara yang didukung mencapai kekuasaan, PKS tidak layak untuk ikut serta menikmati kekuasaan. Sebaliknya, PKS lebih terhormat untuk mengembalikan jatidiri sebagai partai Islam dibanding sepanjang lima tahun ke depan terus dipertanyakan mau ke mana dan mau seperti apa lagi jatidiri partai ini.

Perjuangan PKS melalui legislatif yang dirintis lima tahun terakhir, sebenarnya telah lebih efektif dibanding sewaktu kadernya ikut dalam kabinet sewaktu setahun lebih pemerintahan Abdurrahman Wahid. Ini bisa dibuktikan dengan naiknya perolehan suara yang signifikan pada pemilu legislatif 2004. Kenaikan dukungan secara kuantitatif membuktikan, PKS sebagai partai harapan.

Apabila dukungan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mendegradasi citra positif tersebut, maka PKS merugi dua kali. Pertama, jatidiri dan ideologi partai menjadi hiasan (label) semata dan dinamika politik mengantarkan PKS mengingkari sejarah partainya sendiri. Kedua, PKS bisa ditinggalkan simpatisannya pada pemilu lima tahun mendatang.

Permainan politik pasti berisiko dan itu harus ditanggung. Bagaimana meminimalisasi risiko yang mudlarat-nya lebih besar dibanding bagian kecil dari kekuasaan yang diperoleh, itu merupakan tantangan PKS dalam menatap masa depannya. Walaupun demikian, tidak ada salahnya apabila publik mengucapkan kepada PKS, "Selamat menggapai kekuasaan". Wallahu'al bisshowab.***

Penulis Wartawan HU Pikiran Rakyat Bandung.


Islamlib.com
Menepis "Fundamentalisme" PKS
Oleh Sholahuddin
04/10/2004

Fokus tulisan ini lebih ditujukan pada PKS. Sebuah partai yang memiliki platfrom keislaman eksklusif serta memperjuangkan penegakan syariat Islam tetapi mendapatkan suara yang cukup siginifikan dalam pemilu legislatif? Dalam perkembangan terakhir misalnya diketahui PKS telah menggeser dominasi partai-partai lawas berasas Islam seperti PPP di daerah DKI Jakarta dan PAN di Sumbar. Apakah kita bisa mengaitkan fenomena kebangkitan PKS sebagai kebangkitan partai fundamentalisme Islam sebagaimana yang terjadi di Timur-Tengah?


Rangkaian terakhir pemilu 2004 baru saja berlalu. Dalam kurun waktu hampir 8 bulan lamanya masyarakat Indonesia diramaikan oleh tiga babak pemilu, yakni pemilu legislatif dan DPD 5 April, pemilu presiden dan wakil presiden (baca: pilpres) pertama 5 Juli dan yang paling anyar pilpres kedua 20 September.

Setidaknya ada catatan penting yang bisa digarisbawahi, khususnya terkait pelajaran politik dalam pemilu legislatif yang lalu. Ada dua partai politik baru yang memperoleh suara cukup signifikan dalam pemilu ini, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) —“agak baru” karena reinkarnasi dari Partai Keadilan— dan PD (Partai Demokrat). Kedua partai politik ini mampu menyejajarkan dirinya dengan partai-partai lama laiknya PDI-P, Golkar, PKB, PPP dan PAN. Bahkan kedua partai fenomenal ini mampu melampaui electoral treshold sehingga otomatis menjadi kontestan pemilu 2009 tanpa melalui verifikasi atau merger dengan partai lain.

Tak aneh jika pada pilpres pertama dan kedua lalu, kedua partai ini begitu diperhitungkan. Apalagi, salah satu kandidat dari dua pasang capres dan cawapres yang maju ke babak final lolos melalui pintu PD, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla. PKS sendiri mem-back up penuh kandidat yang disodorkan “saudara mudanya” itu dalam pilpres kedua lalu. Aneh bin ajaib, pasangan SBY dan Kalla yang “hanya” didukung dua partai baru ini mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi yang didukung Koalisi Kebangsaan yang dimotori partai-partai lama dan besar seperti PDI-P, Golkar, PPP, dan beberapa partai baru seperti PDS dan PBR.

Sejatinya jika kita melihat infrastruktur kepartaian, terutama PKS, keberhasilan dalam pemilu legislatif dan kesuksesan mengusung SBY dan Kalla tak perlu diributkan. Mereka mempunyai infrastruktur yang lumayan kokoh meskipun tidak sekokoh Golkar atau PDI Perjuangan yang sudah “karatan” dalam jagad perpolitikan di tanah air.

***

Fokus tulisan ini lebih ditujukan pada PKS. Sebuah partai yang memiliki platfrom keislaman eksklusif serta memperjuangkan penegakan syariat Islam tetapi mendapatkan suara yang cukup siginifikan dalam pemilu legislatif? Dalam perkembangan terakhir misalnya diketahui PKS telah menggeser dominasi partai-partai lawas berasas Islam seperti PPP di daerah DKI Jakarta dan PAN di Sumbar. Apakah kita bisa mengaitkan fenomena kebangkitan PKS sebagai kebangkitan partai fundamentalisme Islam sebagaimana yang terjadi di Timur-Tengah?

PKS adalah partai yang berasas Islam, punya komitmen tinggi untuk pelaksanaan syariat Islam. Partai ini secara resmi didirikan 20 April 2002, dalam hal ini de facto PKS adalah metamorfosis dari PK yang tidak mempunyai suara signifikan dalam pemilu 1999. Karena keperluan electoral treshold, maka PK berubah dan dibubuhi kata “sejahtera” sebagai pembeda dari PK. Mitos bahwa ummat Islam adalah umat yang secara kuantitatif dominan dengan jumlah 88 persen menjadi sesuatu yang niscaya bagi para elit PKS untuk melangkah memenangkan pemilu. Mereka merasa lebih yakin dengan penggunaan asas Islam dapat mendulang suara dari pemilih muslim tradisionalis (NU) dan modernis (Muhammadiyah).

Ada dua dua model potret pemilih, pertama, traditional voters (pemilih tradisonal), yaitu pemilih yang mendudukkan pilihannya atas dasar ideologi, paham keagamaan dan juga otoritas kepemimpinan keagamaan. Jumlah pemilih tradisional ini kurang lebih mencapai 70 persen dari jumlah seluruh pemilih pemilu 2004. Kebanyakan mereka adalah kelas menengah ke bawah dan berdomisili di daerah pedesaan. Kedua, rational voters (pemilih rasional) yaitu pemilih yang mendasarkan pilihan mereka atas dasar visi dan misi serta bagaimana platform parpol pada pemilu 2004. Pemilih ini rata-rata berdiam di perkotaan dan kelas menengah ke atas. Jumlah mereka sekitar 30 persen dari total pemilih pada pemilu 2004.

PKS seolah menjadi harapan baru di tengah “ketidaksuksesan” pemerintahan Megawati, dengan militansi dan ketekunan sosialisasi program dan platfrom partai para eksponen PKS mampu menelusup ke relung hati para pemilih rasional yang ada di sekitarnya, sehingga mereka berhasil meraih simpati masyarakat menengah.

***

Beberapa hal yang perlu didiskusikan adalah anggapan PKS sebagai representasi partai fundamentalis Islam, karena jargon-jargon yang diusung mirip sekali dengan gerakan fundamentalis Timur Tengah. Menyamakan PKS dengan gerakan-gerakan sempalan di Timur Tengah —menurut saya--- merupakan pandangan simplistis: Pertama, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang telah mengalami proses kontekstualisasi dan indigenisasi. Islam Indonesia merupakan “little” atau bahkan “local tradition” yang menyempal dari “great tradition” Timur Tengah. Islam Indonesia lebih akomodatif dan fleksibel terhadap budaya lokal. Islam Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami pembacaan ulang dari “optik” budaya lokal, Islam yang mengalami proses “sinkretisasi”. Di dalam Serat Centhini misalnya diterangkan dengan jelas bagaimana proses sinkretisasi antara Islam dengan budaya Jawa.

Kedua, Indonesia mempunyai lingkungan sosio-politis yang berbeda dengan lingkungan sosio-politis Timur-Tengah. Gerakan fundamentalisme Islam Timur-Tengah lebih disebabkan state of nature dari rezim-rezim berkuasa di sana yang cenderung sangat opresif dan otoriter. Sedangkan di tanah air kecenderungan seperti itu hampir tidak dapat ditemukan sekarang ini. Bahkan di tanah air kebebasan telah dinikmati sedemikian rupa, sehingga dalam batas-batas tertentu kebebasan tersebut telah overloaded. Ketiga, jargon-jargon aktivis PKS yang dianggap “fundamentalis,” seperti an-nizham al-islamy (tatanan politik Islam) dan di bawah hakimiyyah (kedaulatan) Allah hanyalah “riak” kecil dari sebuah gumpalan “great tradition” Timur-Tengah saja. Gerakan-gerakan demonstrasi yang dilakukan PKS hanya sebatas luapan dan solidaritas emosional ummat Islam terhadap saudaranya sesama muslim.

Jadi tidak bisa digeneralisasi bahwa naiknya suara PKS adalah representasi naiknya gejala fundamentalisme Islam dalam kancah perpolitikan dewasa ini. Anggapan ini sekaligus menolak beberapa analisis yang mengatakan bahwa isu syariat Islam sudah tidak workable dan marketable dalam konteks pemilu yang lalu.

PKS sebagai salah satu dari partai baru yang sukses mendongkrak suara harus dilihat dari keseriusan mereka dalam mensosialisasikan visi dan misi partai serta komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan penyakit-penyakit akut yang telah diidap bangsa ini. PKS juga cukup berhasil membangun citra sebagai partai yang punya komitmen terhadap pembentukan pemerintahan yang bersih. PKS cukup berhasil menciptakan dirinya sebagai partai terbuka, punya komitmen moral dan keinginan kuat untuk membangun Indonesia baru. Kalau citra inklusif seperti ini terus dipupuk dan dijabarkan dalam proses legislasi nanti, PKS adalah salah satu partai baru yang punya masa depan.

Pada akhirnya, PKS akan membantu mematangkan demokrasi yang sedang dibangun. Hampir seluruh rakyat Indonesia berkomitmen bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik bagi bangsa ini. Sistem ini dipercaya paling mampu mengelola secara damai perbedaan dan pertentangan yang ada di masyarakat. []

Sholahuddin, Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Koordinator Litbang HTMA Ma’had Aly al-Munawwir, Jogjakarta dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).






KOMPAS, 22 Juli 2004
Islam, Nasionalisme, dan Empati

Oleh R William Liddle

HAIDAR Bagir (Kompas, 14/7) mengeluhkan bahwa saya tidak menunjukkan sikap empatik dalam perilaku dan tulisan saya. Salah satu contohnya adalah interaksi saya dengan Zulkieflimansyah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera, dalam talk show Metro TV, Suara Anda, beberapa waktu lalu.

Dalam acara itu, saya sempat menantang Bang Zul setelah ia menjelaskan kenapa partainya mendukung Amien Rais hanya pada hari-hari terakhir kampanye putaran pertama. Pertanyaan saya: apakah betul bahwa orang-orang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merasa sangat mengenal Amien justru sebenarnya ingin supaya dia tidak menjadi presiden?

Menurut Haidar, saya seharusnya "menjadikan pendapat obyek penelitian sebagai tolok ukur kebenaran". Untuk memperkuat posisinya, dia mengutip sejumlah pengkritik orientalisme seperti Edward Said dan Wilfred Cantwell Smith. Dalam hal Zulkieflimansyah, tampaknya Haidar ingin supaya saya menerima sepenuhnya penjelasannya tentang dukungan PKS terhadap Amien Rais, sebab Zul dan PKS adalah obyek penelitian saya pada malam itu.

Tuntutan Haidar tentu mengagetkan. Dia meminta sesuatu dari saya (sebab saya adalah orang non-Islam dan non-Indonesia?) yang tidak diminta oleh siapa pun pada pengamat atau peneliti lain, yaitu agar saya menjadi corong PKS atau partai/organisasi lain yang sedang saya pelajari. Malam itu saya diundang Metro TV justru sebagai pengamat, yang berarti bahwa saya diharapkan mengutarakan pendapat saya sendiri tentang hal yang sedang dibicarakan. Persis seperti dilakukan Metro beberapa hari sesudah itu, misalnya, ketika mengundang AM Fatwa, fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN), dan Syamsuddin Haris, pengamat independen dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Seingat saya, Bung Syamsuddin berseberangan beberapa kali dengan Pak Fatwa, yang belum mau menerima kenyataan bahwa calonnya tidak menang dalam putaran pertama.

Sebagai ilmuwan politik yang mempelajari Indonesia, saya memang berusaha untuk berpijak dari landasan empati kepada obyek penelitian saya. Tetapi bagi saya, suatu komitmen kepada empati berarti bahwa saya harus mencari kebenaran bukan semata di permukaan pernyataan resmi partai dan pemerintah, melainkan jauh di bawah, dalam kehidupan politik sehari-hari di Indonesia yang saya amati dari dekat.

Kasus PKS adalah contoh kecil. Dari beberapa pembicaraan, sebelum acara Metro TV, dengan orang PKS dan pengamat lain (semuanya orang Islam dan Indonesia), saya sudah mencium keengganan pimpinan nasional PKS untuk mendukung Amien. Alasannya adalah bahwa Amien tidak bisa diandalkan sebagai politisi yang akan memperjuangkan aspirasi PKS. Ia dianggap telah memilih jalan lain-"abu-abu ketimbang hitam-putih", menurut salah satu narasumber-ketika ia menjadi pemimpin PAN pada tahun 1999.

Contoh-contoh yang lebih besar menyangkut posisi Islam dan nasionalisme dalam pembentukan wacana atau diskursus politik bangsa Indonesia. Sebagaimana umumnya diketahui, pilihan politik orang Islam sangat bervariasi. Menurut pendapat saya, hampir semua partai yang terwakili di Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 adalah partai Islam. Maksud saya, mayoritas pemilihnya pada pemilu legislatif dan juga wakilnya di DPR beragama Islam. Kalau kita menggunakan definisi yang lebih ketat, kita masih akan menemukan cukup banyak variasi: katakanlah antara Islam modernis dan tradisionalis, serta antara Islam modernis yang liberal dan yang konservatif.

Dalam konteks lain, saya pernah memilahkan "Islam politik" dalam kelompok skripturalis, yang menekankan makna harfiah Al Quran dan Sunnah, dan kelompok substansialis yang menekankan nilai-nilai sosial seperti keadilan dan pemerataan sosial dan ekonomi. Tetapi setelah saya mengamati Pemilu 2004, saya cenderung berkesimpulan bahwa kategorisasi itu tidak berlaku lagi (seandainya pernah benar). Sebab partai Islam yang paling berhasil adalah PKS, yang secara ideologis bersifat sekaligus skripturalis dan substansialis. Yang juga mengagetkan, sebagian besar dari partai pemenang pemilu secara formal menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis atau Pancasila, bukan partai Islam. Semua perkembangan ini tentu perlu dipelajari lebih lanjut, melalui metode ilmu- ilmu sosial, supaya kita bisa memperoleh gambar baru yang lebih cermat dan lengkap.

Tentang nasionalisme, saya sudah lama berpendapat bahwa di Indonesia ada dua jenis nasionalisme yang amat bertentangan. Tetapi kenyataan ini tidak dimaklumi, malah tidak diakui, oleh sebagian besar dari pemikir dan aktivis politik di Indonesia sendiri. Jenis pertama (dalam pengertian muncul lebih awal dalam sejarah bangsa Indonesia) diwakili antara lain oleh Kwik Kian Gie, yang baru-baru ini meragukan peran Carter Center dan National Democratic Institute (NDI) dalam pelaksanaan Pemilu 2004. Tetapi posisi pokok Kwik menyangkut kebijakan ekonomi, bukan politik. Setahu saya, ia percaya bahwa kapitalisme internasional, misalnya dalam bentuk IMF dan pemodal asing, mengancam kepentingan bangsa Indonesia dan oleh karena itu harus diawasi ketat kalau tidak dibendung.

Jenis nasionalisme Indonesia yang kedua diwakili selama lebih dari tiga puluh tahun oleh Profesor Widjojo Nitisastro dan para ekonom lain yang dijuluki Mafia Berkeley. Kini jenis nasionalisme ini dijunjung oleh para pejabat pemerintahan Megawati seperti Menteri Keuangan Boediono serta pengamat ekonomi seperti Mari Pangestu dan Mohammad Chatib Basri. Posisi pokok mereka adalah bahwa keterbukaan kepada pasar domestik dan internasional adalah kebijakan terbaik untuk menumbuhkan ekonomi nasional. Dan pertumbuhan pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja dan juga kemakmuran yang lebih merata, kalau ditambah dengan program-program untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan bangsa.

Mengapa jenis nasionalisme yang kedua ini, dalam diskursus politik Indonesia, jarang diterima sebagai pandangan nasionalis yang sah? Tentu kita bisa mengajukan beberapa hipotesis. Favorit saya (yang saya pinjam dari Herb Feith almarhum) adalah bahwa masyarakat intelektual Indonesia terlalu lama terisolasi dari dunia luar di bawah pemerintahan dua diktator, Soekarno dan Soeharto. Tetapi poin utama saya di sini adalah bahwa seorang ilmuwan, dari dalam atau luar negeri, harus berempati kepada penganut dua konsepsi nasionalisme, bukan hanya satu, sebab kedua- duanya hidup di Indonesia.

Akhirulkalam, empati menurut definisi saya berarti, pertama, bahwa seorang peneliti perlu menghormati seluruh variasi pemikiran dan kegiatan politik bangsa Indonesia. Kedua, ia harus berusaha supaya penemuannya disampaikan kepada audiens yang relevan, termasuk melalui publikasi dan presentasi di Indonesia sendiri. Tentu dengan tambahan syarat, bagi peneliti asing, bahwa kehadirannya diinginkan oleh orang Indonesia sendiri.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik The Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat

-----------------------------------------

NEWS INDOSIAR
PKS GELAR MUNAS

indosiar.com, Jakarta- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menyelenggaran Musyawarah Nasional (Munas) I pada tanggal 27 hinga 31 Juli 2005. Munas ini tidak akan mengagendakan pemilihan Presiden PKS.

“Untuk pemilihan Presiden PKS maupun lembaga tinggi partai lainnya, sudah dilakukan Mei 2005 lalu," kata Ketua Panitia Pelaksana Munas, Mustafa Kamal, Kamis (21/7), saat memberi keterangan pers di Jakarta.

Pimpinan yang sudah dipilih adalah Ketua Majelis Syuro, Ketua Dewan Syariah Pusat, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat, Presiden Partai, Sekjen, serta Bendahara Umum. Munas bertema 'Bersama Membangun Moralitas dan Kualitas Bangsa' akan mengagendakan sidang-sidang komisi.

Meliputi Komisi wilayah dakwah, dewan syariah, kewanitaan, ekonomi dan industri, kepemudaan, badan pemenangan pemilu, politik dan hukum, maupun kesra. Setelah sidang komisi, maka hasil-hasilnya akan dibawa ke sidang pleno untuk menjadi grand desain Indonesia masa depan versi PKS.

Kegiatan Munas PKS akan dipusatkan di Gedung Serbaguna, Hotel Atlit Century Park, maupun kawasan Istora Senayan. "Dibanding dengan Munas partai lain, mungkin Munas kita akan lebih sederhana," ujar Mustafa.

Mustafa membantah kalau awalnya Munas PKS akan diselenggarakan di Hotel Hilton. "Pembukaan kita saja hanya di Gedung Serbaguna, yang biasanya untuk kegiatan pernikahan," tambahnya.

Untuk kegiatan Munas, PKS melakukan penggalangan dana dari para simpatisan. PKS meminta kader dan simpatisan berpartisipasi dengan menyumbang Rp 50 ribu. "Penggalangan dana ini nantinya juga akan kita gunakan untuk membangun sekretariat," kata Mustafa.
--------------------------------------


REPUBLIKA. Sabtu, 11 Juni 2005
Meramal Masa Depan PKS

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu bintang pada Pemilu 2004. Tiga peneliti dari Reform Institute yakni Yudi Latif, Aay M Furkon, dan Edwin Arifin mencoba menelaah fenomena PKS sebagai salah satu parpol Islam yang tidak berkaitan dengan ''parpol Islam'' semasa Orde Baru. Pengamatan selama lima bulan itu mereka rangkum dalam laporannya Rethinking Islam, Reinventing Democracy.
Para peneliti menilai aktivis PKS merupakan generasi baru dari sebuah pergerakan Islam yang termarjinalkan oleh Orde Baru. Di tengah marjinalisasi itu, generasi ini mampu berkonsolidasi, melakukan kaderisasi, dan memanifestasikan diri dengan coraknya yang khas. Meski terpinggirkan, para aktivis PKS tidak gagap politik, hal ini terlihat dari tampilan PKS yang elegan dalam dua kali pemilu.
Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif, mengatakan PKS tampak ideal. Tak heran, katanya, bila Francois Raillon (2004) dari CNRS, Belgia, menganggap keberadaan PKS yang fenomenal itu mampu menghentikan stagnasi Islam politik yang diwakili dan disebabkan oleh parpol Islam lain. ''PKS menurut dia adalah righteous reedemer (ratu adil saleh) yang muncul sebagai alternatif politik menawarkan citra disiplin, pemikiran murni, bebas korupsi, dan bermoral bersih,'' kata alumnus Australia National University (ANU) itu.
Pada generasi pertama, nyaris semua tokoh PKS berlatar belakang pendidikan agama dan mereferensi pemikir Islam Timur Tengah dalam literatur pemikirannya. Misalnya Abu Ridha, Hilmi Aminudin, dan Rahmat Abdullah. ''Ruang publik mereka sempit dan karena depresi Orde Baru, maka terjadi proses kristalisasi dan internalisasi ideologi,'' kata Yudi. Lain halnya dengan generasi kedua, mereka sudah mulai heterogen, meski fondasi pendidikan agamanya masih sangat kuat. Muncul tokoh-tokoh seperti Mutammimul Ula, Untung Wahono, Hidayat Nur Wahid, dan Didin Hafiduddin. ''Literatur non-agama menjadi bagian yang mempengaruhi pemikiran mereka. Konsistensi politik pada masa mereka juga sedikit agak berkurang represinya.''
Perkembangan lebih lanjut menjadikan generasi ketiga nyaris kebalikan dari generasi pertama. Pada generasi ini, kebanyakan kadernya berlatar belakang pendidikan umum. Nama-nama yang muncul adalah Zulkieflimansyah, Al Muzammil Yusuf, Anis Matta, Mahfudz Sidik, dan Fachri Hamzah. Ruang publik mereka cukup luas, karena situasi politik memberikan ruang yang relatif luas untuk ekspresi politik. Literatur yang digunakan pun sudah banyak ragam. Bahkan, referensi Barat juga turut mempengaruhi pemikiran mereka. Demikian juga dengan konsistensi politik, yang nyaris tanpa represi dari Orde Baru menjadikan ideologi mereka agak cair.
Bagaimana kira-kira prospek PKS di masa depan? ''Dalam dua pemilu lalu, PKS membuktikan bahwa mereka tidak mengusung simbolisme agama, melainkan menawarkan citra disiplin, pikiran murni, bebas korupsi, dan disiplin. Di di sinilah mereka mampu menarik simpatik,'' ungkap salah seorang peneliti, Aay M Furkon. PKS juga, menurut Furkon, tidak mau masuk dalam ranah politik Islam yang terbagi-bagi menjadi modernis dan tradisional. ''PKS dinilai mampu meraih kedua ranah tersebut, dari Islam modernis (seperti PBB, PAN, PPP, dan PBR) dan Islam tradisionalis (seperti PKB dan basis-basis NU lainnya). Masa depan PKS ditentukan mereka sendiri.''
Para peneliti masih meragukan pengalaman PKS untuk menjawab tantangan internal dan eksternal dalam memperkuat perannya dalam kancah politik. ''Persoalan SDM di internal PKS, secara pendidikan formal mungkin memang mereka S2 atau S3. Tapi soal pengalaman, itu yang mereka tidak miliki,'' ungkap Furkon. Problema yang cukup akut, menurut peneliti adalah profesionalisme SDM tersebut tak terlalu memuaskan. ''Seperti sekarang, banyak anggota DPR dari PKS yang tidak profesional di bidangnya, sehingga mereka keteteran dan kurang bersuara,'' katanya. Tapi, katanya, realitas itu berbeda dengan legislasi PKS di daerah (DPRD Tingkat I dan II) para wakil rakyat dari PKS, justru banyak diandalkan oleh legislatif lainnya.
( Siti ghia )

-------------------------------

Sabtu, 25 Juni 2005
Jajak Pendapat "Kompas"
PKS, Menuai Buah Konsistensi
Semenjak didirikan hingga kini berbagai keberhasilan melekat pada Partai Keadilan Sejahtera. Ia menjadi besar dan satu-satunya partai politik yang tetap konsisten meraih peningkatan jumlah pemilih. Simpati publik pun hingga kini tetap positif terhadap partai berasas Islam ini.
Rangkuman demikian tergambarkan dari berbagai penelusuran data dan opini publik yang terkait dengan kiprah partai ini. Tidak dapat disangkal memang, dari ratusan partai politik yang muncul pascakeruntuhan rezim Orde Baru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang paling berhasil mempertahankan keberhasilan mereka dalam meraih simpati publik. Bahkan, tidak hanya sekadar mempertahankan apa yang diraih, sejalan dengan bertambahnya usia, partai ini semakin memperluas jangkauan pengaruh politiknya, baik di kalangan masyarakat luas maupun pusat-pusat kekuasaan negara.
Tidak terlalu sulit untuk membuktikan hal ini. Dengan membandingkan dua penyelenggaraan pemilihan umum akan terungkap kesuksesan partai ini. Pemilu 1999, dengan identitas Partai Keadilan, sebanyak 1,4 juta suara mereka raih. Jumlah ini menempatkan mereka di urutan ke-7 partai politik pemenang pemilu dari 48 partai yang berlaga. Untuk sebuah partai yang tergolong baru (didirikan pada tanggal 20 Juli 1998) pencapaian sebesar ini tentu mencengangkan. Memang, saat itu perolehan suara partai ini masih di bawah partai-partai baru lainnya, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun, dalam periode pemilu selanjutnya (Pemilu 2004) justru di saat PKB, PAN, dan PBB menunjukkan penurunan suara, partai ini—mengubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera—menuai hasil gemilang.
Sejauh ini puncak kesuksesan PKS terekam dari rangkaian hasil Pemilu 2004 lalu. Dari sisi pemilu legislatif, misalnya, lonjakan suara pemilih partai ini nyaris enam kali lipat. Saat itu tidak kurang dari 8,3 juta pemilih menjadi pendukung partai ini. Jika hasil Pemilu 1999 partai ini menempatkan tujuh wakilnya di DPR, hasil Pemilu 2004 melonjak menjadi 45 kursi legislatif diraih. Catatan keberhasilan ini kian mengagumkan lagi jika menghitung perolehan PKS di tingkat daerah. Bahkan kian mencengangkan jika dipaparkan pula ikut sertanya tokoh-tokoh partai ini dalam jajaran kabinet pemerintahan.
Pencapaian selama ini dalam riil politik negeri ini sejalan pula dengan citra positif yang berhasil dibangun partai. Dalam berbagai penyelenggaraan jajak pendapat, nyaris tidak sekalipun citra negatif yang muncul. Bahkan hingga kini, di saat sebagian besar publik cenderung menyikapi secara pesimistis terhadap kiprah partai politik di negeri ini, justru terhadap PKS sebaliknya terjadi. Jajak pendapat Kompas pertengahan Juni 2005 lalu, misalnya, tidak kurang dari 60,4 persen responden menyatakan positif citra partai ini. Di kalangan publiknya sendiri pun, responden yang mengaku memilih partai ini dalam Pemilu 2004 lalu, penilaian positif terhadap citra partai ini demikian dominan, diutarakan oleh 89 persen responden.
Buah-buah keberhasilan yang dipetik saat ini tentu saja tidak terjadi sedemikian rupa tanpa diikuti usaha partai ini berikut jajaran organisasinya. Jika dikaji, seusai Pemilu 1999 hingga menjelang Pemilu 2004 lalu, partai ini berupaya sedemikian rupa untuk terus tampil dalam kancah perpolitikan nasional. Terbatasnya akses yang dimiliki melalui lembaga legislatif tidak menyurutkan langkah untuk tampil dalam wacana perpolitikan. Aksi-aksi masif massa pendukung PKS dalam menyikapi berbagai persoalan dalam maupun luar negeri mampu menarik simpati masyarakat. Di saat partai-partai lain tenggelam dengan berbagai konflik internal, terseret oleh arus perebutan kekuasaan, tersandung oleh kasus-kasus korupsi, partai ini justru menampilkan sosok sebaliknya. Tidak heran jika daya pikat PKS sanggup membuat berbagai kalangan yang sebelumnya mengaku sebagai simpatisan partai politik lain beralih pada partai ini.
Mulusnya aksi-aksi pendukung PKS didukung pula oleh kuatnya organisasi partai ini dalam mewujudkan militansi hubungan antara anggota, pengurus, dan segenap jajaran organisasi partai. Memang, semenjak cikal-bakal partai ini terbentuk, faktor inilah yang dinilai menjadi salah satu sisi positif. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan struktur kepengurusan organisasi selama ini dilalui tanpa konflik. Peralihan Presiden Partai dari Nur Mahmudi Ismail kepada Hidayat Nur Wahid dan kini kepada Tifatul Sembiring, misalnya, berlangsung mulus. Ini pula yang membedakan dengan partai-partai politik lain, di mana perseteruan dalam perebutan ketua umum partai seakan menjadi tradisi.
Berlangsung mulusnya perubahan kepemimpinan sejauh ini diikuti pula oleh persepsi positif yang terbentuk dalam benak responden, terutama simpatisan partai ini. Dalam jajak pendapat kali ini, mayoritas simpatisan PKS mengaku tetap tertarik memilih partai ini sekalipun dipimpin oleh ketua yang baru. Bahkan, mereka pun tetap optimistis dan meyakini di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring, PKS dalam pemilu mendatang akan mampu meraih suara dan pengaruh politik yang lebih besar lagi.
Melihat segenap pencapaian PKS selama ini, tidak berlebihan memang penilaian dan harapan yang terbentuk. Namun, layaknya sebuah perkembangan organisasi partai, semakin besar simpatisan yang diraih, semakin besar kiprah dan pengaruh politik partai ini tentu berkonsekuensi semakin besarnya beban pengelolaan partai, terlebih upaya mempertahankan apa yang telah mereka raih selama ini. Bagaimanapun, hasil rangkaian Pemilu 2004 telah menempatkan partai ini dalam lingkaran dalam kekuasaan penyelenggaraan negara. Dalam kondisi seperti inilah justru ujian tersulit kini tengah dihadapi partai. (bes/Litbang Kompas)

---------------------------------