Senin, 09 Agustus 2004, pikiran rakyat.
Oleh MUKHIJABSebagaimana mafhum, saksi menjadi bagian sangat penting dari proses pembuktian di pengadilan, termasuk pembuktian sengketa pemilu presiden maupun legislatif. Bahkan peran dan fungsi saksi sangat sentral dalam pembuktian. Bukti-bukti yang diajukan ke majelis hakim tidak berbicara banyak, ketika saksi tidak bisa mengonfirmasi bukti-bukti.
Tetapi layaknya pengalaman pertama, proses persidangan sengketa pemilu layaknya trial and error. Proses persidangan tidak sesempurna yang dibayangkan, baik dari kesiapan bersengketa, bukti maupun pola pembuktian dan persyaratan yang melingkupinya.
Bukti dan saksi
Bukti dan saksi dua unsur persidangan yang bersifat komplementatif atau saling melengkapi. Bukti perkara sengketa pemilu presiden-wakil presiden berarti statistik penghitungan suara yang dibahasakan secara bahasa hukum. Dalam kasus permohonan sengketa oleh Wiranto-Salahuddin Wahid, bukti yang harus diajukan adalah hasil penghitungan suara di 26 provinsi dengan klaim sebanyak 5.443.660 perolehan suara tidak terekapitulasi oleh panitia penyelenggara pemilu. Akibatnya, perolehan suara pasangan presiden-wakil presiden ini versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya 26.286.788 suara. Sang pasangan kandidat mengklaim seharusnya 31.721.448 suara atau lebih besar 122.344 suara dari perolehan Megawati-Hasyim Muzadi (31.569.104 suara).
Persoalan muncul ketika klaim suara minim dukungan bukti otentik berupa tindasan berita acara penghitungan dari TPS yang dimiliki saksi-saksi yang dipasang oleh pasangan kandidat sewaktu pemilihan. Kalaupun ada saksi yang menyetorkan bukti penghitungan, koleksi data dari saksi di 26 provinsi memerlukan biaya besar dan waktu yang cukup lama. Akibatnya timbul kesan, pemohon sengketa pemilu kurang bukti-bukti.
Ketika bukti ada, problem lain muncul. Pertama, masalah waktu yang disediakan untuk masa pembuktian hanya empat hari. Maka membuktikan data dalam jumlah banyak dengan waktu singkat, itu sangat tidak memadai. Kedua, ketika bukti data ada, faktanya tidak banyak bisa bicara karena saksi dari lapangan terkesan minim pengetahuan tentang peran dan fungsi saksi dalam pemilu.
Seperti terekam dalam petikan dialog di persidangan MK (baca, kesaksian saksi), dua saksi relatif mengerti hasil perolehan suara di tempat tugasnya. Syarat pembuktian di persidangan dituntut saksi tidak hanya mengerti sebatas itu. Keterangan saksi harus memenuhi syarat hukum acara agar keterangannya sahih sebagai justifikasi bukti.
Dalam pembuktian angka-angka yang disengketakan, Hadi M. Lufi menyatakan keberatan atas perolehan suara ulang. Kemudian ia mengajukan protes. Agar protes menjadi fakta hukum, maka ia harus menorehkan catatan pada lembar keberatan, tidak sebatas edisi lisan. Yang terjadi keberatan Hadi hanya edisi lisan, maka dijadikan senjata oleh termohon, kuasa hukum KPU, hanya protes tertulis bisa dikategorikan memenuhi bukti hukum. Itu pun harus ditambahi syarat lagi, protes tersebut pernah dilaporkan kepada Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu.
Apabila ditelusuri di lapangan, pengalaman Hadi M. Lufi dan Idrus Erwin Patraya, terjadi pula pada saksi-saksi pemilu lainnya. Banyak saksi di TPS ribut-ribut dan keberatan atas hasil penghitungan suara, tanpa menorehkan di lembar keberatan dalam berita acara penghitungan suara. Akibatnya di "medan pertempuran sengketa" ditolak mentah-mentah oleh lawannya (termohon). Ini pelajaran sangat berharga bagi saksi-saksi pada pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua, 20 September 2004, agar tidak lupa menggunakan haknya menorehkan protes secara tertulis dengan berinisiatif minta lembaran itu ke petugas penyelenggara pemungutan suara.
Kasus ini bukan semata kesalahan saksi. Petugas pemungutan suara ikut andil. Banyak kejadian di tempat pemungutan suara, para petugas tidak menyodorkan atau lupa memberikan haknya kepada saksi untuk menulis keberatan. Sebaliknya saksi sendiri banyak yang tidak mengerti ada lembaran keberatan yang bisa diisi.
Sejumlah catatan penting dari sisi bukti dan saksi sengketa pemilu. pertama pentingnya pemohon sengketa pemilu presiden maupun legislatif mengajukan saksi yang benar-benar memahami tugas dan perannya. Yang terjadi di persidangan, saksi sengketa pemilu tidak memahami, apa yang harus dikerjakan di depan majelis konstitusi. Kedua, saksi pemungutan suara harus mengetahui haknya, bahwa ia berdasarkan ketentuan perundang-undangan memiliki hak memperoleh tindasan berita acara hasil penghitungan suara. Kemudian mengisi lembaran keberatan apabila menemukan kasus di lapangan sewaktu pemungutan suara. Ketiga, panitia pemungutan suara perlu menyadari, setiap saksi berhak atas tindakan berita acara penghitungan dan lembaran-lembaran keberatan yang disediakan apabila terjadi perselisihan angka maupun kecurangan dalam penghitungan. Dokumen ini sebagai alat penting untuk pembuktian apabila terjadi sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Model pembuktian
Dalam sengketa pemilu presiden maupun legislatif, pemohon sengketa harus membuktikan klaim suaranya. Pengalaman pertama, pemohon terkesan tidak menguasai data-data suara. Bahkan sempat dicemooh oleh lawan-lawan politik pemohon, Wiranto-Salahuddin Wahid kurang memiliki data. Akibatnya, hakim pun sempat mengingatkan, sengketa pemilu (presiden maupun legislatif) sesuai ketentuan hukum acara, pemohon harus membuktikan. Bukan sebaliknya, menuntut penyelenggara pemilu untuk membuktikan.
Kasus demikian selayaknya tidak terjadi andaikata terjadi keselarasan pemahaman dari kuasa hukum pemohon. Terkesan, pemohon terjebak pada model pembuktian dalam hukum acara biasa. Pihak termohon yang harus mengcounter, bahwa data dari pemohon tidak akurat. Logika ini bisa diterapkan pula dalam sidang sengketa pemilu. Masalahnya, kalau pemohon datanya tidak siap saji, atau bahkan tidak memiliki, maka KPU sebagai termohon tentu saja bersikap defensif dengan pertimbangan, kalau mengeluarkan seluruh data otentiknya takut disadur oleh pemohon sebagai lawan di persidangan.
Pembuktian sengketa ini, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, secara teknis sangat sederhana. Pemohon cukup menyodorkan bukti-bukti angka yang disengketakan, sebaliknya termohon membantah dengan data versinya.
Model pembuktian resiprokal ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas pemohon sengketa pemilu sendiri. Seperti disinggung di atas, pemohon miskin bukti atau tidak aktif membuktikan, dampaknya bisa diopinikan tidak serius bersengketa. Ujung-ujungnya permohonannya ditolak Mahkamah Konstitusi. Atau, pemohon bisa membuktikan sebagian kecil saja dari klaim perolehan suara yang tercecer, itu bisa berdampak pada citra buruk pemohon, bahwa Mahkamah Konstitusi sekadar sebagai lembaga pembenaran, bahwa pasangan kandidat presiden tertentu kalah dalam kompetisi pemilu langsung karena dicurangi atau terjadi kecurangan oleh penyelenggara pemilu. Ini pelajaran berharga bagi dua kandidat presiden yang mengikuti pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua.
Terlepas dari kekurangan di atas, pengalaman sengketa pemilu presiden-wakil presiden yang pertama dalam sejarah Indonesia, terdapat pembelajaran yang perlu dicamkan oleh siapapun yang terlibat dalam pemilu. Pertama, sengketa pemilu presiden-wakil presiden secara tidak langsung menjadi kontrol terhadap KPU sebagai penanggungjawab penyelenggara pemilu atas berbagai kelemahan administrasi maupun operasional pemungutan suara, setelah kontrol dari Panwas Pemilu dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membentur tembok.
Kedua, sengketa pemilu membuktikan, sosialisasi peraturan pemilu terhadap pihak-pihak terkait pelaksana pemilu tidak sepenuhnya berhasil, terbukti adanya saksi-saksi tidak memahami fungsi dan perannya, serta petugas pemungutan suara yang tidak maksimal fungsi dan tugasnya dalam menangani administrasi pemilu.
Ketiga, pemungutan suara secara jujur, adil, dan fair dari penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu presiden maupun pemilu legislatif nilainya tak terhingga. Apabila kesadaran ini tertanam pada diri para pihak yang terkait dalam pemilu, maka pemilu sebagai pemberdayaan demokrasi secara alami lebih menumbuhkan legitimasi kepemimpinan dan pemerintahan kredibel dibanding menegakkan demokrasi melalui jalan sengketa di peradilan. Sebab potensial terjadi politisasi di peradilan untuk menentukan siapa menang dan berhak terus melaju ke putaran kompetisi pemilu presiden tahap berikutnya atau menempati kursi presiden andaikata sengketa pemilu presiden terjadi pascapemilu presiden putaran kedua. Sangat berbahaya, apabila suara rakyat mayoritas dieliminasi oleh putusan beberapa hakim. Kalau putusannya objektif dan memenuhi rasa keadilan semua pihak, mungkin tak bermasalah. Apabila pihak yang kalah merasa dipecundangi, alih-alih presiden-wakil presiden terpilih bisa dilantik, justru panen situasi chaos. Kiamat demokrasi di Indonesia.***
Penulis wartawan Pikiran Rakyat