AKU BOSAN...
RUTINITAS YANG KUTEMUI, DEMI SESUAP NASI...
HARI DEMI HARI BERLALU...
BERTAMBAH TERUS UMURKU...
SEKETIKA KUTERSADAR...
APA YANG TERJADI SELAMA INI...
TAK PUNYA VISI DAN MISI...
HINGGA BEKERJA PUN HAMPIR TAK BERARTI...
TAK ADA KATA LAIN...
BANGKIT DAN TETAP OPTIMIS...
PERJALANAN MASIH PANJANG...
TUK MENUJU TERMNAL TERAKHIR...
PERJUMPAAN DENGAN ILAHI RABBI...
KARENANYA, TETAPLAH TERSENYUM...
KARENANYA, TETAPLAH BEKERJA...
KARENANYA, TETAPLAH HIDUP...
KARENA MEMANG HIDUP ITU HANYALAH
SEBUAH TEMPAT PERSINGGAHAN YANG FANA
DAN UJIAN DEMI UJIAN PASTILAH
AKAN TERUS MENDERA...
Jakarta, 30 Agustus 2006
11:10 Posted in Artikel Lepas | Permalink | Comments (0) | Email this
08/23/2006
Memiliki dan Menjadi
Oleh: Nur Cholis Huda
Pak Sugiharto membangun villa megah di lereng bukit. Pemandangannya indah
dan udaranya segar. Di tempat lain masih punya dua villa lagi yang juga
megah. Belum tentu dua bulan sekali Pak Sugiharto sempat menginap di salah
satu villanya karena ia sangat sibuk. Praktis villa itu sepi sepanjang hari.
Pak Kromo sekeluarga, orang yang dibayar untuk menunggu villa itu justru
yang menikmati kemegahan bangunan dan kesegaran udaranya. Tetapi meskipun
Pak Sugiharto jarang sekali bisa menikmati villanya, bahkan mengeluarkan
uang untuk orang yang menunggu, dia tetap puas dan bangga karena dia yang
memiliki villa itu.
Mengapa tidak menyewa saja, kalau hanya sesekali memerlukan santai di luar
kota? Menyewa mungkin lebih praktis dan hemat, tetapi tidak memberi kepuasan
karena tidak ikut memiliki.
Di rumahnya ada delapan mobil. Anggota keluarganya hanya lima orang. Maka
ada mobil yang jarang terpakai yaitu mobil paling mahal. Mobil mahal itu
dipakai hanya pada acara yang dianggap sangat penting dan prestisius.
Meskipun jarang dipakai, namun perawatan dan pajak mobil mahal menghabiskan
biaya paling banyak. Tetapi dia puas karena dia sebagai pemilik. Kepuasan
terletak pada pemilikan, bukan pemanfaatan.
Sementara Pak Hasan petani tua, suatu hari menanam pohon asam dan mangga di
kebonnya dekat jalan. Pohon itu dirawat dengan cermat. Seorang saudagar yang
lewat merasa heran karena pohon itu perlu waktu bertahun-tahun baru memberi
hasil, sementara usia Pak Hasan sudah lanjut.
"Saya sekarang sudah bau tanah. Ketika pohon itu besar dan berbuah, mungkin
saya sudah lama meninggal. Tetapi pohon itu akan tetap bermanfaat. Orang
yang lewat bisa berteduh, anak-anak bisa bermain sambil memanjat dan memetik
buahnya," kata Pak Hasan. Kepuasan Pak Hasan bukan karena memiliki tetapi
karena dapat memberi.
Dalam hidup ini ada orang-orang yang puas karena dapat memiliki dan
menguasai tetapi ada orang-orang yang menemukan kepuasan karena dapat
memberi. Dua contoh di atas merupakan contoh sederhana dari dua orientasi
hidup yang berbeda, yaitu orientasi "Memiliki" dan orientasi "Menjadi".
Perbedaan
Erich Fromm (1900-1980), pemikir kenamaan kelahiran Jerman, mencoba
memahami, membuat diagnosis, dan memberi terapi penyakit pada zamannya yang
tengah mengalami krisis. Karyanya banyak, di antaranya bukunya "To Have or
To Be" yang terbit tahun 1976. Dalam buku ini, Fromm menjelaskan panjang
lebar dua macam orientasi manusia dalam memberi makna hidupnya, yaitu
orientasi Memiliki dan Menjadi.
Ciri utama dari orientasi "Memiliki" ialah kecenderungan memperlakukan
setiap orang dan setiap hal menjadi miliknya. Memiliki berarti menguasai dan
memperlakukan sesuatu sebagai objek. Segala sesuatu dibendakan atau
diperlakukan seperti benda. Orang yang berorientasi "Memiliki" tidak bisa
hidup dengan dirinya sendiri karena tergantung pada simbul-simbul yang
menjadi miliknya.
Ketika miliknya itu lepas dari genggamannya, ia merasa eksistensinya hilang.
Orang yang mengandalkan mobilnya, rumah, kursi, popularitas, jabatan, dan
lain-lain sebagai simbol keberadaannya, maka terus-menerus berusaha agar
simbol-simbol itu tetap dimiliki. Sebab ketika semuanya lepas, maka
keberadaannya menjadi hilang. Semakin banyak yang dimiliki, maka ia merasa
kehadirannya semakin kukuh. Semakin sedikit yang dimiliki, semakin kurang
rasa percaya diri.
"Masyarakat yang serakah merupakan basis modus "Memiliki" kata Fromm.
Orientasi hidup Memiliki (To Have) berbeda dengan orientasi Menjadi (To Be).
Orientasi Menjadi mendorong orang melakukan aktivitas yang tumbuh dari
dirinya sendiri dengan tujuan yang jelas serta membawa perubahan yang
berguna secara sosial. "Modus Menjadi menuntut agar kita membuang
egosentrisitas kita dan sikap mementingkan diri sendiri," kata Fromm.
Orientasi Menjadi mengharuskan adanya kemauan memberi, membagi, dan
berkorban.
Orang dengan orientasi Menjadi akan selalu melakukan aktivitas. Menurut
Fromm harus dibedakan antara aktivitas dan kesibukan. Seorang tukang batu
yang diupah untuk mengerjakan pos keamanan, dia melakukan kesibukan, tidak
melakukan aktivitas. Sedang Pak Hasan, petani tua yang menanam pohon pada
contoh di atas, dia melakukan aktivitas.
Tukang batu melakukan kegiatan karena digerakkan orang lain. Sedangkan
keinginan Pak Hasan menanam pohon timbul dari kesadarannya sendiri, tidak
disuruh orang lain. Motivasi itu yang membedakan aktivitas dan kesibukan.
Jika melihat sekuntum bunga harum semerbak, seorang yang berorientasi
"Memiliki" akan memetik bunga itu untuk disimpan di kamarnya agar dia dapat
menikmati keharumannya sepanjang waktu. Tetapi orang dengan orientasi
Menjadi mungkin akan membiarkan bunga itu tumbuh, bahkan menyirami dan
memelihara agar setiap orang yang lewat dapat menikmati keharuman baunya.
Bukan Pemilik
Orang yang berorientasi Memiliki jumlahnya cenderung sangat besar. Sedangkan
yang berorientasi Menjadi jumlahnya kecil. Orientasi Menjadi serupa dengan
apa yang disebut agama sebagai jalan mendaki, sedangkan orientasi Memiliki
berarti jalan menurun.
Jalan mendaki adalah jalan pengorbanan dan memberi uluran pertolongan.
Sedangkan jalan menurun adalah jalan mudah dan menyenangkan karena menuruti
ego kita. Maka banyak orang memilih jalan menurun dan menghindari jalan
mendaki.
Tetapi justru karena orientasi hidup Memiliki atau memilih jalan menurun,
maka sering timbul krisis dalam banyak segi. Orientasi Memiliki, yang
berarti memperlakukan segala sesuatu seperti benda dan ingin menguasainya,
jika itu terjadi pada orang-orang "di atas", maka krisis yang ditimbulkan
akan meluas dan mencakup banyak dimensi.
Atmosfir kehidupan serba materi yang sangat kental dewasa ini mendorong kita
lebih memanjakan egosentris kita, memupuk orientasi Memiliki, memperlakukan
segala sesuatu seperti benda, lalu menguasainya.
Jika kita kembali pada ajaran agama, maka kita tidak memiliki apa-apa,
karena sekadar hak pakai. Bahkan diri kita sendiri juga bukan milik kita.
Dalam kalimat "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun", sangat jelas bahwa kita
dan apa yang ada pada diri kita bukan milik kita melainkan milik Allah dan
akan kembali kepada-Nya.
Karena itu orientasi hidup Memiliki sebenarnya tidak sesuai dengan kodrat
kemanusiaan kita. Seharusnya kita memilih orientasi Menjadi, memilih jalan
hidup Mendaki. "Carilah kebahagiaan dengan cara membahagiakan orang lain.
Carilah kesenangan dengan cara menyenangkan orang lain," kata psikolog.
Yang sering terjadi justru sebaliknya. Kita mencari kebahagiaan dengan cara
mengobankan orang lain. Kita mewujudkan kesenangan dengan cara merugikan
orang lain. Lebih celaka lagi, kalau kita baru merasa senang kalau orang
lain menjadi korban.
Tentu tak mudah memastikan apakah suatu perbuatan itu menunjukkan orientasi
Memiliki atau Menjadi. Kesulitannya karena manusia pandai berpura-pura,
membungkus motif yang sesungguhnya.
Memberi bantuan bisa saja bukan benar-benar ingin menolong, tetapi ingin
memperoleh sesuatu yang lebih besar. Mungkin ingin memperoleh nama baik
disebut dermawan. Mungkin agar orang yang dibantu berada dalam pengaruhnya.
Mengajak damai ketika kondisi terpepet, boleh jadi karena ingin selamat,
bukan karena cinta damai. Ketika keadaan sudah lapang, konflik akan disulut
lagi. Manusia pandai berpura-pura.
Karena itu agama menegaskan bahwa senyum yang tulus jauh lebih berharga
daripada memberi materi dengan maksud tersembunyi atau menyakiti.
Bangsa ini sudah capek dengan pertengkaran dan kekerasan. Itulah korban dari
orientasi hidup Memiliki. Itulah hasil dari jalan menurun dan menghindari
jalan mendaki.*