Sepak terjang Mantan Presiden Gus Dur dalam menjalankan aktivitas politiknya menggiring kita untuk menengok kembali strategi perjuangan umat Islam. Kiprah Islam politik di negara ini sejak masa pasca kemerdekaan telah menunjukkan bahwa artikulasi-artikulasi Islam yang bercorak formalistik dan legalistik, khususnya dalam kerangka idealisme dan aktivisme politiknya, besar perannya dalam membentuk hubungan yang saling mencurigai dan tidak harmonis antara Islam dan negara. Pada periode prakemerdekaan terdengar seruan ke arah kesatuan Islam dan negara, malah sekarang sekelompok aliran Islam menginginkan berderinya negara islam di Indonesia. Masa pascarevolusi (liberal, 1950-an) tampak perjuangan demi Islam sebagai dasar ideologi negara lebih dominan. Sedangkan masa Orde Baru lebih cenderung terjadi “penjinakan” idealisme dan aktivisme politik Islam. Nah, apa yang terjadi di era SBY-JK sekarang ini? namun, bagi Gus Dur yang seorang tokoh intelektual neo-modernis, demokrat, humanis dan pluralis. Dan bagaimana menformulasikan aktivisme Islam yang lebih relevan pada era sekarang dan mendatang?
Pada saat ini, disadari atau tidak, strategi perjuangan umat Islam di Indonesia tampak terasa kabur. Sementara yang didambakan rakyat Indonesia adalah hadirnya sebuah demokrasi, kebebasan, kesejahteraan, dan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh intelektual muslim neo-modernis semakin kehilangan bentuk dan gerakannya. Perjuangan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang getol dengan gerakan moralitas politik, kini tidak lagi melahirkan ide-ide cemerlang dan bahkan terkadang terbawa arus kepentingan kelompok politik tertentu. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dengan teguh mengembangkan humanisme dan pluralisme, juga harus bergelut dengan lingkaran ‘setan’ di medan percaturan politik yang tentu saja menguji dan menghadapkan semua gagasan-gagasan dan gerakan-gerakannya pada realitas. Amin Rais yang dengan lantang menyuarakan keadilan sosial dengan tauhid sosialnya juga tak berdaya dengan iming-iming politik yang memblingerkannya sehingga gerakan sosialnya jadi gagu dan bahkan ditelikungnya sendiri. Sementara mereka yang mengatasnamakan kelompok modernis (HMI dan Masyumi) juga tampak rikuh mencetuskan gagasan-gagasan brilian karena aroma Orde Baru yang membekas di bajunya. Gerakan kultural tradisionalis NU pun makin digerogoti pembelaan politik atas Presiden Gus Dur. NU telah diseret ke medan politik praktis. Sedangkan kelompok ‘garis keras’ (fundamentalisme?) terkesan disinisi masyarakat meski mereka berusaha memperjuangkan praktek syari’ah Islam dengan ketat. Nampaknya, problem identitas menyebabkan terjadinya polemik antar entitas komunitas tertentu. Problem identitas ini pada tataran selanjutnya memunculkan terjadinya kerusuhan komunal dan disintegrasi bangsa.
Jalan yang harus ditempuh untuk mensejahterakan masyarakat menjadi suatu komoditas politik perjuangan gerakan mereka. Meskipun saat ini tampak ada perkembangan yang lebih baik sebagaimana digambarkan Bachtiar Effendi dalam bukunya Islam dan Negara melihat identitas politik Islam: pertama, idealisme dan aktivisme Islam politik telah berubah dari formalisme-legalisme ke substansialisme, dan bahwa negara telah memberi tanggapan positif atasnya, akan tetapi tidak sepenuhnya berhasil mengatasi masalah hubungan politik antara Islam dan negara. Kedua, transformasi Intelektual gagasan dan praktik politik Islam berlangsung dalam situasi eksklusivisme politik terhadap banyak kelompok. Spektrum yang terjadi kemudian sangat bergantung pada keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga politik negara, dan dipertahankannya komitmen nasional untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam konteks ini, gerakan ‘garis keras’ muslim bisa muncul kembali jika rasa ketertindasan –secara sosial, ekonomi dan politik—juga makin tumbuh.
Kini wakil-wakil Islam telah menempati posisi-posisi penentu bagi perpolitikan di negeri ini. Hubungan Amin Rais, Gus Dur, Akbar Tanjung, dan Mega akan menentukan wajah Islam, bahkan Komaruddin Hidayat menyimpulkan bahwa politik Islam saat ini telah kehilangan identitasnya dan cenderung memudar. Ini berarti apapun tindakan mereka akan berimplikasi kepada citra Islam secara totalistik. Selain itu, implikasi yang tampak ketara sekali adalah terdengar lirihnya para inteletual muslim yang menyuarakan kritik atas mereka secara obyektif dan proporsional. Dengan kata lain telah terjadi ‘kebekuan’ intelektualisme Islam. Kader-kader muslim dari semua lini gerakan tak terdengar lantang menggulirkan pemikiran-pemikiran baru, bahkan mereka yang terlibat dalam wacana politik malah mendapatkan tempat yang terhormat. Anehnya, kecenderungan intelektual-intelektual muda lebih memilih popularitas dan verbalitas daripada penataan konstruksi metodologis dan epistemologis baru dalam melakukan pembacaan realitas.
Di sisi lain, kenyataan bahwa keragaman formasi sosial-keagamaan masyarakat Indonesia adalah satu hal yang harus di jadikan sandaran untuk kepentingan penentu kebijakan politik. Sehingga gagasan dan pemikiran Islam harus diarahkan untuk kepentingan tersebut. Bahwa bentuk Islam yang bagaimana pun juga, ---apakah itu liberalis, pluralis, fundamentalis, tradisionalis, rasional dan lainnya—jika agenda politik lebih dominan, hanya akan mencerabuti wajah Islam.
Islam Transformatif, Bangkitlah !
Menarik untuk diangkat kembali gerakan Islam Transformatif yang pernah muncul di Indonesia. Barangkali saat ini makin mendapatkan momentumnya karena kepedulian gerakan ini adalah transformasi masyarakat secara egaliter dan emansipatoris. Dengan mempertimbangkan ruang lingkup agenda mereka, sulit dibayangkan bahwa para tokoh gerakan ini akan menempuh pendekatan yang partisian. Hubungan Islam dan negara yang sulit diraba karena naiknya Gus Dur menjadi presiden, --seorang tokoh yang mewakili intelektual Islam dan demokrat--, memancing bangkitnya gerakan Islam transformatif. Problem-problem kepemimpinan di negeri ini yang belum juga selesai, bisa jadi terkait dengan identitas politik Islam.
Munculnya Memorandum dan sebentar lagi Sidang Istemewa 2001 tidaklah dengan mudah dikatakan sebagai rapor merah perpolitikan dan kenegarawanan Gus Dur. Faksi-faksi gerakan Islam di Indonesia sedikit banyak memberikan kontribusi bagi konflik politik dan krisis multidimensi di Indonesia saat ini. Kesalingcurigaan dan ketidakrelaan masing-masing kelompok lebih mengemuka. Taruhlah misalnya, NU yang tidak rela dan curiga bila Muhammadiyah tampil, begitupun sebaliknya. Meskipun ada kecenderungan mereka juga tidak merelakan dipimpin non-muslim atau muslim abangan.
Situasi ini menciptakan ruangan ambiguitas para intelektual dan aktivis muslim. Dunia perjuangan mengalami Parodoks. Lantas, apa yang harus dilakukan umat Islam? Kita harus belajar cara keberagamaan masyarakat bawah (rakyat) yang jauh dari politisasi para elit politik. Keberagamaan rakyat yang lebih terfokus pada tataran aplikasi dan lebih mengedepankan hubungan harmonis dalam menjalankan fungsi sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Sayang, kini terjadi mobilisasi rakyat untuk komoditas kepentingan politik para elit. Ini harus segera dicegah.Islam rakyat harus bergeliat, membendung arus Islam negara yang lebih bernuansa politis.
Barangkali kita harus ingat munculnya “wacana tandingan” di masa Orde Baru. Budaya tandingan menjadi prasyarat utama untuk bangkitnya sebuah masyarakat yang memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak. Wacana tidak lagi dikuasai oleh rezim politik, tapi menyebar dalam semua lapisan masyarakat tanpa memandang apakah kaum awam atau elite –meminjam Enest Gellner low tradition dan high tradition—karena pada kenyatannya mereka yang “dituduh” kelas rendah seringkali memiliki budaya yang lebih arif, inklusif, pluralis ketimbang yang mengklaim kelas tinggi/elite, sekalipun terdapat kemungkinan anomali kultural dalam dua kelas tersebut.
Penempatan secara sederajat antara rakyat yang dianggap berada pada posisi marginal dengan para elite negara atau intelektual muslim adalah sebagai upaya menciptakan kedewasaan bermasyarakat dan bernegara. Jika hal semacam itu diterapkan dalam wilayah wacana agama, maka akan berkembang apa yang disebut civil religion, bukan religion politics.
Berdasarkan perspektif-perspektif itu, Islam transformatif mendapatkan momentumnya untuk makin digalakkan dan dikembangkan dalam sistem keberagamaan rakyat. Hal ini dikarenakan Islam transformatif menyerukan; pertama, diperhatikannanya makna yang lebih luas dari politik, yang dalam pengertiannya yang paling dasar mencakup program-program, strategi-strategi dan lapangan bermain yang lebih beragam, bukan hanya perjuangan demi kepentingan-kepentingan partisan dengan parlemen atau pemerintah sebagai satu-satunya lapangan bermain. Kedua, dipupuknya hubungan-hubungan yang labih bermanfaat dengan negara dan organisasi-organisasi lain, terutama yang memiliki kepedulian yang sama.
Atas kerangka ini, agenda pemberdayaan masyarakat dalam rangka penguatan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat menjadi agenda mendesak yang harus dilakukan seluruh elemen terlebih yang bergerak dalam bidang gerakan kultural. Islam kultural yang menjadi tekad gerakan NU jika ditinggalkan, maka NU akan kehilangan fungsinya di masyarakat. Pun, jika Muhammadiyah makin terkesan elitis dan bergaya modernis dengan slogan-slogan inklusif dan pluralis, maka hanya akan mendapatkan wacana itu saja dan kehilangan perannya di masyarakat. Apalagi jikalau keduanya terlibat secara praktis dalam politik hingga mendekati titik pertikaian, maka sebaiknya keduanya bubar saja karena hanya akan mencoreng wajah Islam.
Oleh karenanya, kinilah saatnya Islam rakyat menggugat. Momentum yang tepat ini, mari kita kedepankan fungsi pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan civil society. Para intelektual muslim muda harus memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan gagasan-gagasan dan pemikiran alternatif yang lebih transformatif dan bergerak dalam wilayah kultural. Kita harus mengakui bahwa kemampuan metodologis dan epistemologis kita amat lemah dan rapuh hingga tumpul untuk menganalisa peta perkembangan kemasyarakatan dan keberagamaan kita sendiri. Wajar saja kalau solusi-solusi yang muncul juga tak mujarab segera mengentaskan krisis di negeri ini. Aktivisme kita tidak cukup efektif, apalagi strategis. Apakah kita akan asyik menonton pertunjukan politik yang membius wacana kita, Bangkitlah!