Bagaimana jadinya jika keindahan dibangun dari kumpulan bentuk angka? Agus Purnomo, 33 tahun, melakukannya lewat lukisan bercorak abstrak yang dipamerkan di galeri Tembi Contemporary, 12 Agustus-6 September. Ia menorehkan angka 0 hingga 9 pada kanvas dalam berbagai warna kontras. Kumpulan angka-angka itu tidak diam, tapi seperti bergerak ke arah tertentu. Kadang tampak seperti gejolak yang tak terkendali, pada saat lain bak alunan gerak yang berirama.
Pada seri Big Bang #7, misalnya, citraan gerak muncul dari kumpulan struktur garis-garis kecil dan angka yang dimulai dari satu titik, kemudian menyembur melebar dengan gerak sentripetal yang tampak teratur dengan warna dominan cokelat. Sedangkan pada Big Bang #6 citraan gerak semrawut dimunculkan dengan citraan angka yang terbentuk dari susunan garis-garis blur seperti citraan gerak yang ditangkap kamera dengan kecepatan lambat dalam teknik fotografi.
Ia berbeda dengan seniman abstrak pada masa lalu yang melulu mengeksplorasi kualitas elemen estetik (garis, warna, komposisi) tanpa berpretensi memberi narasi pada gejala kebentukan. Agus, sebagaimana sejumlah pelukis abstrak yang masih tersisa saat ini, tampak tergoda memberi narasi pada bentuk-bentuk abstrak pada karyanya. Maklum, sebelum banting setir melukis gaya abstrak sembilan tahun lalu, Agus menggarap karya figuratif bertema sosial-politik.
Pada seri Wind tumpukan garis-garis pendek dalam posisi miring bak kumpulan ilalang atau pepohonan yang tertiup angin kencang. Di sela-sela garis-garis pendek itu muncul bentuk angka dengan goresan ekspresif. Angka pada karya ini tak dominan. Pada seri Ladies Roses kemunculan bentuk angka semakin banyak, meski struktur garis pendek masih lebih dominan dengan warna yang lebih berat pada struktur bagian atas kanvas. Sedangkan warna ringan pada bagian bawah kanvas. Penempatan struktur warna ini menciptakan kesan sesuatu yang kuat berada di atas fondasi yang lemah sehingga mudah bergejolak akibat gerakan.
Bentuk angka yang dominan muncul pada karya seri Rainbow dan seri The Earth. Pada seri Rainbow angka hadir dalam berbagai ukuran dan warna dengan garis lebih tegas. Deretan angka itu membentuk abstraksi garis dalam berbagai warna bak lintasan pelangi. Pada saat lain, Agus mengkombinasikan angka berukuran besar dengan angka dalam ukuran kecil secara berimbang. Karya ini bak menggambarkan pamer kekuatan antara sesuatu yang besar secara fisik dan kekuatan kecil dalam jumlah yang menyemut.
Agus tampaknya tidak sesungguhnya menggunakan angka sebagai medium maupun idiom rupa yang bermakna. Sebagai medium, angka pada karyanya cenderung sama posisinya dengan garis, tapi dengan bentuk tertentu yang sudah dikenal setiap orang. Dalam situasi ini, sejatinya angka secara visual bukan lagi citraan abstrak. Sebaliknya, justru bisa disebut bentuk representasional, sebagaimana bentuk rumah dan bentuk manusia.
Begitu juga sebagai idiom, angka punya makna kualitas dan kuantitas, atau obyektivitas angka. Angka 1 berbeda kualitasnya dengan angka 3 secara simbolis. Juara I berbeda kualitasnya dengan juara III. Namun, simbol angka 9 berbeda kuantitasnya dengan angka 2. Angka 9 mengandung makna sesuatu yang lebih banyak daripada angka 2. Angka juga punya nilai subyektif, misalnya orang memberi nilai pada sederet angka dengan label “nomor cantik”, atau angka hoki yang pada setiap orang bisa berbeda.
Pada karya Agus dalam seri The Earth yang didominasi bentuk angka tak memiliki kedua makna intrinsik angka itu. Karya The Earth #1 dibangun lewat ilusi visual yang bercorak optic art dengan angka dan garis pendek membentuk satu struktur bulat dengan warna dominan biru. Hasilnya, bentuk bumi bak dalam film fiksi ilmiah dengan citraan tiga dimensi yang penuh taburan bintang bergerak di sekelilingnya. Taburan bentuk angka pada karya ini tak punya makna kuantitas, misalnya jarak angka itu dengan bentuk bumi, atau kualitas bentuk yang diwakilinya. Angka pada karya Agus sejatinya garis dalam bentuk tertentu.
Riwayat kemunculan angka pada kanvas Agus berawal ketika tahun lalu dia beserta istri dan anak semata wayangnya pergi berbelanja di pasar swalayan di Yogyakarta. Sampai di rumah, ia kaget karena jumlah uang yang ia bayarkan kepada kasir lebih besar dari yang seharusnya ia bayar. Perkara ini macet dan menimbulkan kemarahan. Dari sinilah kemarahan dan sekaligus ketakjuban Agus pada angka bermula. Angka bukan sekadar penomoran atau penjumlahan. Angka adalah emosi yang meledak. RAIHUL FADJRI