September 11, 2008

Mengelola Potensi Konflik Pilkada

Kompas, 10 mei 2005

Oleh Syamsuddin Haris

TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 3/2005 mengakhiri spekulasi tentang berlangsung-tidaknya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung gelombang pertama Juni 2005.

Hampir lengkap payung hukum penyelenggaraan pilkada langsung. Namun sejauh mana aneka aturan main pilkada yang telah diterbitkan-mulai UU, Perpu, PP, Perpres, Inpres, Keppres, sampai Kepmendagri-menjanjikan berlangsungnya pilkada yang damai dan demokratis?

Pertanyaan itu penting diajukan karena meningkatnya suhu politik di daerah-daerah yang akan menggelar pilkada gelombang pertama Juni nanti. Hal itu tercermin dari berbagai demonstrasi dan perusakan kantor-kantor KPUD di sejumlah kabupaten dan kota. Di Bima (NTB) misalnya, pendopo kabupaten dibakar massa, yang tidak jelas asal-usulnya menyusul tingginya suhu politik terkait persaingan antarpasangan calon bupati.

Eskalasi konflik dan gejolak lokal cenderung meninggi bersamaan kian dekatnya penyelenggaraan pilkada. Paling tidak ada 187 kabupaten dan kota yang akan menyelenggarakan pilkada Juni 2005, menggambarkan betapa luasnya potensi konflik jika antisipasi terhadapnya tidak dilakukan.

Tugas negara

Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi. Masalahnya bukan saling menyalahkan karena perbedaan asal-usul, tetapi bagaimana mengelola perbedaan secara arif sehingga bisa menjadi modal sosio-kultural yang memperkokoh ikatan kebangsaan, tata-pemerintahan, dan sistem demokratis.

Setelah "lulus" ujian pemilihan presiden 2004, beberapa waktu mendatang bangsa ini kembali diuji, apakah bisa menyelenggarakan pilkada langsung secara damai dan demokratis. Jika pilkada langsung terselenggara dalam situasi konflik dan gejolak politik, tentu tidak memberi kontribusi apa pun bagi kehidupan bangsa. Alih-alih meningkatkan kehidupan demokrasi dan menghasilkan kepala daerah berkualitas, pilkada yang bergejolak justru bisa menjadi perangkap bagi dendam sosial-politik di antara berbagai kelompok masyarakat sendiri.

Karena itu, dalam konteks pilkada yang damai dan demokratis, tugas negara dan pemerintah bukan sekadar menerbitkan dan melengkapi perangkat aturan main dan perundang-undangan. Yang lebih penting, bagaimana negara dan pemerintah memberi jaminan bahwa aturan main yang diterbitkan bisa menjadi dasar pengelolaan konflik antarmasyarakat secara arif, sehingga berbagai potensi gejolak politik bisa dieliminir sebelumnya.

Potensi konflik

Dalam kaitan itu, paling kurang ada lima sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada. Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Mobilisasi politik atas nama etnik dan agama, baik secara bersama maupun terpisah, potensial muncul di wilayah-wilayah di mana ketegangan etnis cenderung tinggi seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, serta daerah-daerah di mana proporsi penduduk secara etnik dan/atau agama relatif berimbang. Sementara itu, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama daerah asal (asli-pendatang) mungkin potensial muncul di hampir semua daerah yang menyelenggarakan pilkada. Sementara itu, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama "golongan darah" (bangsawan atau bukan), potensial muncul di daerah-daerah bekas kerajaan atau kesultanan di masa lalu, dan daerah-daerah di mana relasi politik atas dasar kelas sosial masih cukup dominan.

Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antarpasangan calon kepala daerah. Berbeda dengan pemilu presiden, di mana kandidat hanya dikenal melalui media cetak dan elektronik, para calon kepala daerah adalah tokoh-tokoh yang hampir setiap saat bisa ditemukan di daerah. Sebagian besar masyarakat bahkan mungkin mengenal pribadi dan asal-usul tiap calon. Karena itu, kampanye negatif yang mengarah munculnya fitnah mengenai integritas kandidat bisa mengundang gesekan antarmassa pendukung dalam kampanye pilkada.

Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Gejala ini sudah muncul di beberapa daerah, saat massa pendukung calon memprotes keputusan KPUD karena calon tidak memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan UU. Premanisme politik dan pemaksaan kehendak bisa muncul pula setelah pilkada usai dan hasilnya diumumkan KPUD jika elite yang menjadi kandidat kepala daerah "tidak siap" menerima kekalahan dan memprovokasi massa pendukungnya.

Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pilkada. Konflik jenis ini terutama berpeluang muncul di daerah-daerah di mana kepala daerahnya maju kembali sebagai kandidat untuk jabatan kedua. Netralitas panitia pilkada di tingkat kecamatan (PPK) dan desa/kelurahan (PPS) amat menentukan. Potensi konflik juga bisa muncul jika aparat birokrasi (PNS, TNI, dan Polri) cenderung memobilisasi dukungan bagi kandidat dari unsur PNS, TNI, dan Polri.

Kelima, konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada. Sejumlah ketentuan pilkada yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004, PP No 6 Tahun 2005, dan aturan main lain seperti Inpres, Keppres, Perpres, dan Kepmendagri, potensial mengundang konflik jika ditafsirkan secara berbeda oleh peserta (kandidat berikut partainya), penyelenggara pilkada (KPUD), dan pemda serta DPRD.

Strategi dan solusi

Lalu, apakah pilkada langsung menakutkan? Tidak juga. Semua tergantung ada-tidaknya kemauan politik pemerintah (pusat), terutama Departemen Dalam Negeri, pemerintah daerah, KPUD, DPRD, Panwas, dan segenap pemangku kepentingan (stake holders) di daerah untuk melembagakan pilkada yang damai dan demokratis.

Diakui atau tidak, segenap aturan main pilkada kurang mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik itu. Semua aturan didesain di atas asumsi, bahwa politisi, pejabat, panitia, kandidat, dan tim suksesnya adalah orang-orang "baik" jujur, mendahulukan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal, realitasnya tidak demikian.

Karena itu, dalam rangka mengelola potensi konflik pilkada, maka, pertama, segenap pihak di daerah perlu membangun kesepakatan atau konsensus lokal dalam rangka mengantisipasi munculnya konflik dan gejolak. Konsensus lokal itu tidak hanya melibatkan KPUD, pemda, DPRD, partai-partai, para kandidat, Panwas, Polri, TNI, dan Kejaksaan, tetapi juga tokoh-tokoh LSM, ormas, pers, dan akademisi setempat. Melalui kosepakatan lokal itu diharapkan dapat dihasilkan, misalnya, kode etik penyelenggaraan pilkada, kode etik kampanye, komitmen siap kalah, dan seterusnya.

Kedua, pemerintah daerah dan DPRD perlu membatasi diri sebagai fasilitator saja-termasuk memfasilitasi kesepakatan lokal-sehingga campur tangan berlebihan dalam penyelenggaraan pilkada agar "bias" dan distorsi yang bisa menjadi sumber kecurigaan bisa dihindari.

Jadi, kata kuncinya adalah membangun kerja sama dan kemitraan antarpihak berkepentingan tanpa harus membeda-bedakan. Toh, pilkada langsung bukan milik pemerintah, partai, DPRD, atau para kandidat saja, tetapi milik dan kepentingan masyarakat.

Syamsuddin Haris Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Jakarta, Kompas - Mendekati hari H penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung, Desk Pusat Pilkada Departemen Dalam Negeri mencatat sedikitnya 23 daerah mengalami konflik pilkada. Sebagian besar konflik yang terjadi ada pada tahap pencalonan dan penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum daerah.

Desk Pusat Pilkada membagi penyebab terjadinya konflik dalam tiga bagian, yaitu konflik akibat kepengurusan partai politik ganda sehingga pengajuan calon juga ganda, konflik akibat proses seleksi, dan konflik akibat KPUD berpihak atau tidak transparan.

Enam daerah yang mengalami konflik pasangan calon ganda yang diajukan parpol, adalah Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Tapanuli Selatan, Gowa, Toba Samosir, Rejang Lebong, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sebelas daerah yang mengalami konflik akibat proses seleksi KPUD adalah Kabupaten Halmahera Barat, Seram Timur, Indragiri Hulu, Labuhan Batu, Sintang, Manggarai, Solok, Agam, Padang Pariaman, Bangka Barat, dan Bangka Tengah.

Selain itu, konflik karena KPUD yang berpihak sehingga menimbulkan aksi massa terjadi di Kabupaten Tana Toraja, Pangkep, Kepulauan Sula, dan Bima. Kepala Pusat Penerangan Depdagri Ujang Sudirman, Selasa (17/5), mengatakan, hingga kini Depdagri masih mempelajari kasus per kasus mengenai konflik pilkada yang terjadi di berbagai daerah.

Kolom Pilkada Eep Saefulloh Fatah

Manajemen Konflik
Senin, 25 April 2005 | 02:38 WIB

TEMPO Interaktif, :
Kabar buruk hampir selalu membayangi setiap kabar baik yang dibawa oleh angin demokratisasi. Demokratisasi gelombang ketiga yang menyapu hampir separuh permukaan bumi sejak 1970-an disertai oleh merebaknya ketidakpastian, eskalasi konflik, bahkan ancaman perang sipil.

Kenyataan itu menggarisbawahi bahwa konflik sejatinya omnipresent, ada di mana saja. Ia melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dibikin binasa. Rezim-rezim otoritarian atau totalitarian sejatinya tak pernah bisa membunuh konflik melainkan sekedar menekannya ke bawah permukaan tanpa meresolusikannya secara layak. Salah satu karakter sistem non-demokratis itu pun adalah kegagalan membangun pelembagaan (institusionalisasi) konflik.

Maka, ketika demokratisasi mulai bergulir, musim panen konflik seolah tiba-tiba saja datang. Indonesia bukan pengecualian. Sejak bergulir sekitar tujuh tahun lampau, demokratisasi memfasilitasi eskalasi ketegangan dan konflik politik. Ketidakpastian (atau kebelumpastian) semasa transisi menjadi semacam lahan subur bagi ketegangan dan konflik. Setiap ajang kompetisi, semacam pemilihan umum, pun menjadi salah satu arena aktualisasinya.

Begitulah, salah satu kecemasan yang menyeruak di balik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah merebaknya konflik. Belakangan, media massa -- baik cetak maupun elektronik -- menyebarluaskan kecemasan ini dalam liputan mereka.

Masuk akalkah memelihara kecemasan itu? Bagi saya, jawabannya adalah: Tentu saja! Pilkada adalah arena politik lokal yang berpotensi -- sekali lagi, berpotensi -- menjadi lahan subur bagi pertikaian atau konflik politik.

Bahkan, ditimbang dari aspek-aspek tertentu, Pilkada memiliki potensi lebih besar dalam menyulut konflik politik ketimbang pemilihan langsung Presiden yang kita laksanakan tahun lalu. Dengan skalanya yang bersifat nasional Pemilu Presiden melahirkan ancaman konflik yang ketampakan, intensitas dan cakupannya lebih kecil kerimbang Pilkada yang bersifat lokal.

Pemilu Presiden berlangsung di sebuah arena nasional yang amat besar dan luas. Ia melibatkan penduduk dalam wilayah geografis yang luas dan dengan identitas golongan yang amat beragam. Konsekuensinya, konflik dalam Pemilu Presiden tidak terlampau tampak di hadapan masyarakat.

Ketegangan dan konflik politik tak hadir secara langsung di hadapan masyarakat lokal di Sumbawa, Kalimantan Timur, Papua -- sekadar menyebut beberapa contoh. Konflik hanya terasa langsung oleh masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar tertentu yang menjadi pusat pertarungan politik utama. Masyarakat di tempat-tempat lain, apalagi di pelosok, hanya merasakan konflik sebagai realitas media, bukan realitas senyatanya. Ketampakan konflik pun rendah.

Sementara itu, Pilkada menghidangkan konflik langsung ke depan masyarakat dengan ketampakan yang tinggi. Mengingat relatif sempit dan terbatasnya arena politik
Pilkada, ketegangan dan konflik politik pun hadir sebagai realitas yang nyata, bukan realitas maya atau realitas media. Bagi masyarakat, ketegangan dan konflik politik bukanlah sesuatu yang abstrak, nun jauh di sana. Ia nyata, ada di halaman bahkan di dalam rumah mereka sendiri.

Konflik politik Pilkada pun potensial hadir dalam intensitas yang tinggi. Sebab, masyarakat berpotensi memiliki keterikatan emosional dengan isu-isu dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Konflik Pilkada potensial menjadi konflik mereka sendiri, bukan milik orang atau pihak lain.

Berbeda dengan itu, konflik di arena politik nasional biasanya berpusar pada isu-isu yang terlalu besar buat masyarakat lokal. Konflik pun tak potensial mengikat masyarakat secara emosional. Konflik tak berdaya magnit cukup kuat untuk menarik masyarakat terlibat di dalamnya.

Ketemapakan dan intensitas konflik pilkada yang cenderung tinggi berkonsekuensi pada tingginya cakupan atau skala konflik. Jumlah partisipan konflik Pilkada potensial lebih besar dan massif karena konflik hadir di tengah masyarakat dan bahkan cenderung menjadi milik mereka. Dilihat dari skalanya, konflik Pilkada pun potensial lebih besar ketimbang konflik Pemilu Presiden.

Menyadari fakta itu, salah satu bagian penting dari penyelenggaraan Pilkada adalah menyiapkan pola manajemen konflik. Sejatinya manajemen konflik adalah tugas dan tanggung jawab pemilik otoritas - yakni para pejabat publik - di bidang politik, keamanan dan hukum. Sekalipun demikian, perumusan pola manajemen konflik selayaknya melibatkan berbagai pihak: para pejabat publik, para pelaku sector bisnis, dan kalangan civil society.

Berbagai kalangan masyarakat di daerah selayaknya saat ini mulai secara proaktif menyiapkan rumusan pola manajemen konflik itu. Sebelum sampai ke sana, kesadaran akan perlunya pencegahan konflik selayaknya ditransformasikan menjadi gerakan antikekerasan.

Selayaknya, kita tak menghabiskan waktu, energi dan konsentrasi untuk terlibat dan larut dalam konflik politik di seputar Pilkada. Selayaknya, disisakan waktu, energi dan konsentrasi cukup besar untuk mencegah agar jangan sampai Pilkada menjadi ajang dari eskalasi konflik. Yang kita perlukan bukan cuma pemilu yang bebas dan kompetitif melainkan juga damai.

Eep Saefulloh Fatah
Wakil Direktur Eksekutif
The Indonesian Institute
esf@theindonesianinestitute.com
eepsf@yahoo.com

PONTIANAK POST, JUM’AT (20/5/05)

PILKADA DAN BAYANG-BAYANG KONFLIK

Memaknai Pilkada langsung, dalam dimensi pemerintahan merupakan start awal upaya membangun sistem Pemerintahan Daerah dengan mengedepankan prinsip Good Governance dan Clean Government.

Nah, belajar dari pengalaman Kalbar, konflik kepentingan, jika diamati, maka berbagai persoalan multikompleks menjadi latarnya, persoalan politik, ekonomi dan sosio-kultural melingkupinya. Namun diakui muara ketegangan SARA adalah endingnya dengan kekerasan berdarah senjata pamungkasnya.

Berkaitan dengan Pilkada yang didepan mata, konflik memang tak pelak menjadi ancamannya. Jelas, ancaman ini berkaitan dengan konflik kepentingan politik. Tingginya intensitas dinamika politik yang muncul, bisa diibaratkan bom waktu Pilkada. Karena secara psikologis, Pilkada akan sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat dari lokalitas yang sama ketimbang Pilpres. Mereka yang didukung dan mendukung, yang kalah dan yang menang sama-sama berasal dari daerah yang sama. Yang perlu diantisipasi adalah kerawanan simbolisasi SARA-Primordialisme untuk dijadikan komoditas politik seperti cenderung memunculkan dan memainkan issue etnisitas, agama, dan kelompok yang dapat menciptakan celah konflik antar sesama kandidat yang pada akhirnya menurun ke massa pendukung, kemudian model-model character assasination, intimidasi dan ancaman kekerasan baik fisik dan psikologis, pada setiap tahapan. Belum lagi, ketidak siapan pengamanan, karena dengan kurang lebih 120-an daerah yang melaksanakan Pilkada, dengan karakter demografis dan geografis yang berbeda tingkat kesulitannya, tentunya upaya pengamanan juga ekstra tingkat kesulitannya. Pengelolaan konflik diperlukan agar kekerasan tidak terjadi.

Rudy Handoko, Pontianak

PILKADA

Awas, Sentimen Primordial

Kamis, 12 Mei 2005
Anthony Charles Sunarjo, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Provinsi Maluku Utara (Malut), mengingatkan pemerintah dan panitia penyelenggara pilkada akan menguatnya isu-isu etnis menjelang pemilihan kepala daerah langsung tersebut. Potensi konflik SARA ini terutama terindikasi di daerah pemekaran. Salah satunya termasuk di Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Malut. Merujuk beberapa informasi, ia mensinyalir ada kelompok tertentu yang sudah membuat pertemuan. "Agar tidak terjadi ketegangan, hal seperti ini perlu dimonitor," ucap dia.

Ia juga masih meragukan kesiapan aparat kepolisian untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pertikaian, mengingat tujuh daerah yang akan mengadakan pemilihan kepala daerah langsung di Maluku Utara merupakan daerah pemekaran. "Polres-polres yang ada juga masih kepolisian resor persiapan," tutur dia.

Anthony yang juga anggota Kaukus Daerah Konflik DPD RI ini mengimbau semua pihak yang akan bertarung dalam pilkada, khususnya di daerah konflik atau pascakonflik, untuk tidak membawa sentimen primordial seperti agama, suku, atau ras (SARA) agar kebersamaan yang sudah terbangun tidak terkoyak lagi.

"Kami akan mengutuk keras siapa pun yang menunggangi isu-isu sektarian dan sempit untuk kepentingan perebutan kekuasaan seraya mengorbankan kepentingan bangsa yang jauh lebih luas dan besar," kata dia.

Dalam kesempatan reses, Kaukus Daerah Konflik DPD akan mengumpulkan informasi faktual tentang pengungsi di daerah masing-masing. Diharapkan, dengan adanya data yang akurat, hak-hak politik para pengungsi tak terabaikan pada pilkada mendatang.

"Black History"

Halmahera Utara (Halut) memiliki pengalaman tersendiri dalam hal konflik berbau SARA. Fakta ini menjadi "sejarah hitam" (black history) bagi warga setempat yang merindukan kedamaian hidup, persaudaraan dan kebersamaan. Seperti terjadi pada awal pergantian milenium lalu. Sekitar 2.315 warga di Kecamatan Tobelo dan Galela, Maluku Utara melarikan diri ke hutan, akibat kerusuhan bernuansa SARA. "Dari jumlah tersebut 1.315 di antaranya dari Desa Popilo, Gamhuko, Gamsungi II dan Togoliuwa, Kecamatan Tobelo. Sisanya dari beberapa desa di Kecamatan Galela," kata Gubernur Maluku Utara Surasmin ketika itu. Ribuan warga yang lari ke belantara Halmahera itu sebagian besar kaum wanita dan anak-anak.

Penduduk yang bersembunyi karena trauma dengan peristiwa pembantaian pada 29 Desember 2000 yang dilakukan oleh warga di kecamatan lain di Halmahera Utara.

Menurut dua saksi hidup kepada Antara di Ternate, Bahdar Karie dan Mohammad Albaar, menjelaskan bahwa ribuan korban kerusuhan yang pada umumnya adalah orang tua dan perempuan yang tidak tahu persoalan dan tidak tahulagi kemana mereka harus pergi.

Bahdar Karie dan Moh Albaar, merupakan gelombang terakhir dari 97.324 jiwa pengungsi asal Halmahera Utara yang tiba di Ternate dengan KRI Teluk Langsa milik TNI-AL pada 12 Januari 2000.

Saat kerusuhan terjadi, di sepanjang jalan menuju ke Desa Akelamo Kao yang merupakan berdiri posko-posko yang dijaga warga setempat dengan senjata seadanya beserta sejumlah aparat keamanan. Di beberapa ruas jalan bergelimpangan bangkai binatang dan di perbatasan Desa Akelamo Kao tercium bau mayat yang menyengat. Ratusan rumah hancur dan hangus terbakar. Sedikitnya 76.234 jiwa warga di kawasan itu tercerabut dari tanah kelahirannya dan mereka terpaksa menjadi bagian dari gelombang pengungsi yang dinilai sebagian pihak sebagai terbesar di Indonesia. (Yudhiarma)