September 10, 2008

Menghitung Akar Konflik Islam

InProgress, Para Ulama dunia dalam International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ketiga menuding Barat sebagai biang konflik di dunia Islam.


Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim (ICIS) III yang digelar di Jakarta sejak 30
Juli hinga 1 Agustus baru lalu berakhir dengan keputusan menyelesaikan konflik
dengan sikap mengembangkan saling pengertian, kesefahaman, serta mempergunakan akar-akar ajaran agama Islam
sebagai penyelesaian.

Sekitar 300 ulama yang
antara lain terdapat sekitar 80-an ulama berasal dari luar negeri ikut
meramaikan konferensi yang telah menjadi garapan resmi Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama setiap dua tahun sekali ini. Presiden Iran Mahmd Ahmadinejad, Perdana
Manteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, Sekjen PBB Ban Kimoon, Pageran Hasan
bin Talal dari Yordania, Madam Aisyah Qaddafi, Dr. Aidl Al-Qarni, dan sejumlah
tokoh penting lainnya yang namanya sangat ditunggu media tak hadir dan pemberitahuan ketidakhadirannya sangat
mendadak.

Namun, ketidakhadiran mereka tak mempengaruhi putusan-putusan ICIS yag cukup bernas dalam mencari
terobosan penyelesaian konflik di Negara Islam. Sebut saja kasus Darfur, Sudan,
yang hingga acara hendak ditutup, Syaikh Umar Idris Hadlrah, ketua delegasi
Sudan masih angkat bicara dan meminta konferensi ini secara tegas mengutuk
Barat yang mendiskreditan Sudan di mata international. Presiden Omar Al-Basyir,
menurut Hadlrah, merupakan tokoh yang sangat kuat agamanya, tapi, kini ia
dituduh sebagai penjagal Darfur. “Kasus Darfur
adalah rekayasa Barat karena daerah itu adalah daerah kaya minyak,” kata
Hadlrah. Tai, Hadlrah telah puas dengan hasil rumusan’Pesan Jakarta’ ini.

Bahkan, kasus Sahara
Barat yang diinginkan panitia ICIS bisa selesai melalui meja perundingan,
akhirnya kandas karena masing-masing pihak bersikeras. Dalam Sidang hari kedua,
31 Juli lalu itu, utusan Maroko merasa keberatan dengan kehadiran utusan Sahara
Barat. Tapi, sebaliknya, Sahara Barat merasa perlu datang karena perlu didengar
juga suaranya oleh umat Islam dunia agar tak pincang menerima informasi tentang
konflik di wilayah itu. Karena bersitegang akhirnya keduanya tidak diberi waktu
bicara. Utusan Maroko sempat geram dan mengancam akan merevisi kebijakan
pemberian beasiswa untuk mahasiswa Indonesia.

Tapi, riak-riak itu bisa selesai berkat tangan dingin K.H. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama yang juga Sekretaris Jendral ICIS.
Memang, konflik belum akan
bisa diredaan melalui konferensi semacam ini. Tapi, terlihat ada semangat di
kalangan ulama itu untuk mewujudkan segera perdamian di dunia Islam dengan
spirit ukhuwah, seperti yang dikehendaki Rais Am Syuriah PBNU K.H. M.A. Sahal
Mahfdl dalam paparan tertulisnya yang dibacakan Wakil Rais Am K.H.M. Tholhah
Hasan.

Menurut Hasyim,
konferensi ini tidak ditujukan untuk bisa mengatasi konflik. Tapi, sesuai
dengan tujuan konferesni ini adalah bagaimana memetakan konflik-konflik agar
terlihat bagaimana menyelesaikannya. “Tujuan Konferensi ICIS III kali ini
adalah untuk mengurai akar-akar konflik yang terjadi di dunia Islam,” kata Kiai
Hasyim dalam jumpa persnya di hadapan sejumlah pimpinan media massa di PBNU beberapa hari sebelum acara ICIS dibuka.

Menurut Hasyim, ICIS III bertujuan membantu menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi di berbagai
belahan dunia melalui diskusi yang melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan
sejumlah cendekiawan muslim. "ICIS tidak berambisi menyelesaikan konflik
itu. Tujuan utama kesamaan visi dan pandangan. Sebab, setiap orang memandang persoalan
konflik ini selalu didahului kepentingan. Kita ingin agar duna Islam bisa
menata diri dan tidak masuk ke area konflik," kata Hasyim yang kala itu
didampingi Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda dan Ketua Panitia ICIS III Prof.
Dr. Masykuri Abdillah itu.

Setelah pelaksanaan
konferensi tiga hari itu para ulama akhirnya merumuskan hasil perundingannya
dalam "Pesan Jakarta" yang berisi 13 butir. Butir ketiga dalam
"Pesan Jakarta"
itu menyebutkan bahwa para ulama dan cendekiawan muslim sepakat jika akar
konflik dan ketegangan bukanlah faktor agama, melainkan sejumlah faktor yang
ada di masyarakat dan faktor dari luar, antara lain eksploitasi politik, social,
dan ekonomi.

Kesimpulan yang
menyebutkan bahwa akar konflik di dunia Islam adalah faktor dari luar negeri,
atau pihak Barat boleh jadi terdengar klise. Namun, sejumlah ulama dan
cendekiawan muslim --yang secara langsung terlibat dalam berbagai konflik di
negaranya itu-- di sela-sela acara jauh hari sebelum "Pesan Jakarta" menyepakati
hal itu. Bahwa fakta sejarah menyatakan bahwa ‘cakar-cakar’ Barat hampir selalu
terasakan dalam setiap konflik, untuk alasan apa pun juga.

Ulama besar Iran
Ayatollah Mohammad Ali Taskhiri menunjuk faktor eksternal sebagai penyebab
konflik di dunia Islam. Ulama besar ini merujuk pada segala ketegangan sebelum
abad 19. "Sebab utama dan terbesar munculnya konflik di dunia Islam adalah
faktor eksternal atau pihak Barat. Kita bisa melihat ke abad 19 ketika
negara-negara barat menjajah negara-negara muslim dan menguras sumber daya alam
serta meninggalkan rakyat muslim tetap miskin dan bodoh," katanya.

Kemudian, lanjutnya, pasca kemerdekaan ternyata para penjajah itu juga tidak serta merta mencabut
pengaruhnya dengan tetap mencampuri urusan dalam negeri negara-negara tersebut,
baik dari segi politik maupun ekonomi. "Akibatnya faktor eksternal tetap
berperan penting dalam konflik," ujarnya. Dan Negara bekas jajahan dibuat
akan selalu tergantung kepada bekas penjajahnya.

Hal senada juga dikemukakan ulama dari Somalia Ali Mahmoud Hasan dengan merujuk ketidakpedulian
bangsa Barat terhadap konflik Palestina. Barat dianggap melakukan standar ganda.
Ia seolah membela hak-hak tertindas warga Palestian tapi, ia juga menyokong Israel melakukan aksi aneksasi wilayah. “Apakah dengan demikian tak ada campur tangan
Barat,” katanya.

Hal senada dikemukakan
sejumlah tokoh politik dan ulama yang tergabung dalam delegasi Sudan.
Barat dengan medianya dianggap salah satu penyebab ketegangan di Sudan.
"Barat sengaja menciptakan sengketa di Darfur, karena Darfur kaya sumberdaya alam. Tidak benar jika kemelut di Darfur akibat sengketa suku
dan agama, karena seluruh penduduk Darfur beragama Islam," kata Syeh Umar
Idris Hadlrah, Ketua Komite Tertinggi Urusan Agama Islam pada Kementerian Wakaf Sudan.

Hadlrah dalam acara
jumpa pers di hari kedua, tetap getol menuding media Barat yang gencar
melakukan propaganda memecah belah rakyat Darfur, sekalipun rakyat Darfur, baik
penduduk setempat maupun suku pendatang, hidup berdampingan dengan damai.

Seperti digambarkan jurubicara
urusan luar negeri Kementerian Wakaf Sudan Alfatih Mukhtar, keadaan Sudan tidak seburuk yang diberitakan media internasional yang dikuasai Barat. Keberhasilan
pemilihan umum di Sudan membawa Sudan ke masa lebih demokratis, karena pemerintah saat ini terdiri atas beragam partai.
Karena itu, tambah dia, konferensi ICIS III penting bagi Sudan sebagai ajang memperkenalkan Sudan baru kepada negara muslim lain, apalagi di tengah perkembangan isu penangkapan
Presiden Sudan Omar Bashir oleh Mahkamah Internasional.

Pada kesempatan itu,
tokoh tersebut juga membantah keberadaan milisi Janjaweed.
Menurut mereka,
milisi Janjaweed adalah rekaan Barat
untuk menjatuhkan Sudan.
"Janjaweed tidak ada hubungannya dengan negara. Dia bukan boneka Negara
kami,” kata Alfatih yang pernah tinggal lama di Malaysia itu.

Hal senada juga dikemukakan ulama ahli fikih (hukum Islam) asar Syuriah Syaikh Dr. Wahbah
Zuhaili. Ia mengatakan bahwa akar konflik yang ada di Syuriah adalah karena keberadaan Israel yang didukung negara-negara Barat.

Sekalipun mereka kompak
menunjuk faktor luar negeri sebagai akar konflik di dunia Islam, namun sejumlah
ulama juga sepakat jika faktor internal memainkan peran yang tidak kurang
pentingnya. Sebab, menurut Taskhiri, faktor luar negeri dapat mudah masuk
karena keluguan dan kebodohan umat Islam yang menerima begitu saja semua
pengaruh itu.

Sementara itu Ali
Mahmoud Hassan menilai konflik tak berujung di sejumlah negara Islam juga
disebabkan perbedaan pandangan masing-masing negara. "Antar negara-negara
muslim pada umumnya tidak mempunyai kesamaan pandangan atau kesatuan langkah
sehingga tiap-tiap negara berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan
negaranya masing-masing," ujarnya. Ketidakadaan dukungan Negara terhadap lembaga
keagamaan di negara muslim membuat ketidakmampu Negara tersebut untuk berkembang.

Namun, menurut pandangan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda, faktor-faktor tidak dominant
benar sehingga menjadi penyebab utama. Menurut Hasan, konflik bias diselesaikan
dengan meningkatkan kesejaheraan rakyat. “Peningkatan kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh para
cendekiawan muslim dalam mewujudkan perdamaian di dunia muslim. Dengan
sejahtera salah satu akar konflik terselesaikan. Tidak ada perdamaian tanpa
pembangunan," katanya. Sekali pun Hasan tidak menafikan adanya sejumlah faktor
eksternal dalam konflik Palestina.

Menurut Hassan, dunia Islam harus bekerja keras menghapus ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dapat
memicu konflik di antara umat, antara orang-orang memiliki keyakinan berbeda,
serta antara pemerintah dan masyarakat. Apalagi, lanjutnya, hanya ada sembilan
negara di dunia Islam yang termasuk dalam kelompok negara maju, sementara
puluhan sisanya masih sibuk berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya.

Oleh karena itu, lanjut Hasan, Pemerintah Indonesia mendorong solidaritas dunia Islam untuk meningkatkan kesejahteraan warga muslim di seluruh dunia dan menghindari konflik. "Sebagian dari negara-negara di
dunia Islam menikmati keuntungan yang luar biasa, akumulasi kekayaan yang
begitu besar akibat kenaikan harga minyak yang tinggi. Seharusnya kekayaan itu
bisa dibagi kepada negara-negara Islam lain yang membutuhkan," ujarnya.

Hasan mengatakan bahwa pembagian itu bukan sekedar dalam bentuk sedekah atau amal tetapi lebih pada
mendorong investasi di negara sesama berpenduduk muslim sehingga dapat turut
memajukan ekonomi negara-negara muslim. Juga, negara-negara berkembang dan
terbelakang hendaknya juga harus menyiapkan diri untuk lebih kompetitif agar
modal asing termasuk dari negara-negara Timur Tengah yang kekayaannya melimpah
dapat masuk dengan nyaman. "Karena itu harus ditingkatkan daya saing,
karena mereka (negara-negara kaya) tidak akan serta merta berinvestasi kecuali
memang menguntungkan," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan pembkaan mengatakan bahwa 40 persen
populasi muslim dunia masih buta huruf dan hidup di bawah garis kemiskinan
dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS per hari. Negara muslim juga hanya
menyumbang tujuh persen nilai perdagangan dunia.

Sebagai kelompok penyuplai 70 persen energi dunia dan 40 persen bahan mentah, menurut Presiden
Yudhoyono, negara-negara muslim seharusnya dapat bersatu dan berbuat lebih
banyak untuk dunia. Di antaranya adalah menjaga harmoni dan perdamaian, bukan
justru menjadi pusat lokasi konflik dunia.

Sementara itu di saat para ulama Islam tengah sibuk menggali akar konflik, dua pemimpin organisasi
internasional yang turut menyumbangkan pendapatnya dalam ICIS III, Sekjen PBB
Ban Ki-moon dan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan justru muncul dengan teori yang
berbeda.

Ban Ki-moon yang
diwakili utusan khusus itu, secara tegas mengatakan bahwa konflik dapat
dicairkan hanya melalui solusi politik. Menurut Ban, jika PBB tidak mampu
memberikan penyelesaian politik maka akan terjadi krisis kemanusiaan dan
keperluan penempatan penjaga perdamaian tanpa batas waktu yang jelas yang
tentunya memerlukan dukungan tidak hanya dari pihak yang bertikai saja namun juga negara-negara di kawasan dan
negara-negara kuat lainnya.

Sedangkan Surin
Pitsuwan mengatakan jalan rekonsiliasi antara dunia Islam dengan Barat justru
melalui Asia Tenggara.
"Saya percaya
bahwa jalan rekonsiliasi antara dunia Islam akan melalui kawasan Asia Tenggara
karena kami belajar hidup dalam keberagaman," katanya.

Menurut dia, selama
ini masyarakat Asia Tenggara telah terbukti mampu hidup bersama dalam
keberagaman. Surin merujuk pada keberhasilan ASEAN menjaga stabilitas di
kawasan selama 40 tahun terakhir. "Masyarakat Asia Tenggara hidup belajar
dalam keberagaman, dalam perbedaan dan saya kira masyarakat muslim di Asia
Tenggara mampu menerima segala hal jauh lebih baik dari yang lainnya,"
ujar mantan Menlu Thailand itu.

Bagi Surin yang
dibesarkan di daerah konflik Thailand Selatan, masyarakat muslim Asia Tenggara
terbukti mampu menghadapi globalisasi.

Namun setidaknya
hampir semua kartu telah tergelar di meja permainan dan semua tak ada agi yang
menyembunyikan. Akhirnya, pesan ICIS III yang menginginkan tegaknya konsep Islam
sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat
bagi semesta) sebagai cara pencegahan konflik serta pengembang amanat
perdamaian, masih ditunggu implementasi di lapangan, setelah para tokoh
berhasil merumuskan kerangka kerjanya.

Dan, para ulama itu
telah begitu tampak sangat letih memikir. Tapi, tak mengurangi gerak langkah
mereka yang rata-rata masih gesit.
(MH)