Pemilu 2009
Bukan Partai Neo-Nazi
Partai baru mendesak parliamentary threshold 2,5 persen dihapus. Terancam tak punya wakil di Senayan.
MOMOK baru itu bernama parliamentary threshold. Yang bergidik menghadapinya adalah sejumlah partai baru peserta Pemilihan Umum 2009. Intinya, prinsip ini mensyaratkan peserta pemilu tahun depan agar mencapai perolehan suara minimal 2,5 persen. Jika tidak, partai tak diizinkan ikut pemilu berikutnya. Selain itu, mereka tak akan mendapat satu kursi pun—meski pada beberapa daerah pemilihan suara mereka cukup untuk mengantarkan seorang calon legislator ke Senayan. Sejumlah partai baru pekan ini akan menggugat Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008—beleid yang mengatur parliamentary threshold—ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, kasak-kusuk terjadi di antara mereka. Ketua Umum Partai Matahari Bangsa, Imam Addaruqutni, misalnya, runtang-runtung dengan Adhi Massardi, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Daerah, untuk mengatur strategi hukum. Mereka juga melobi Dewan Perwakilan Rakyat agar merevisi klausul tersebut. Menurut Adhi, ambang batas suara parlemen bertentangan dengan konstitusi. ”Sistem itu membunuh demokrasi,” kata bekas juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Dua pekan lalu partai-partai baru itu bertemu di Hotel Bidakara, Jakarta. Sepekan kemudian pertemuan serupa digelar di Hotel Kartika Chandra. Dalam pertemuan itu, petinggi partai baru membentuk Forum Komunikasi 18 Parpol. Ketua Umum Partai Persatuan Daerah Oesman Sapta didapuk menjadi koordinator.
Banyak yang memprediksi perolehan suara partai alit pada pemilu tahun depan tak akan lebih baik daripada 2004. Suara tak seberapa juga akan didapat oleh partai-partai baru. Jika asumsi ini benar, Partai Damai Sejahtera, misalnya, yang pada pemilu lalu meraup 2,4 juta suara (2,1 persen), akan tutup buku. Jika pada periode 2004-2009 mereka memperoleh 13 kursi, dengan peraturan baru ini mereka tak akan mendapat satu wakil pun.
Contoh lain: Partai Bintang Reformasi. Pada pemilu lalu partai ini mendapat 2,7 juta suara (2,4 persen). Kalau dalam Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 mereka punya wakil 11 orang, dengan beleid ini mereka akan tak memiliki satu kursi pun.
Para pengurus partai baru dag-dig-dug—meski secara resmi mengaku yakin bisa meraup 2,5 persen suara. ”Kami jangan dimatikan. Beri kami kesempatan,” kata Imam Addaruqutni. Menurut Wakil Sekretaris Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia Jojo Rohi, jika parliamentary threshold diberlakukan, hanya tujuh atau delapan partai yang punya wakil di parlemen. Dominasi partai besar akan kian terasa dengan dibolehkannya anggota partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. ”Check and balances tidak jalan,” ujarnya.
Menurut Adhi, parliamentary threshold mengadopsi pemilu Jerman. Tujuannya, menghambat partai berideologi fasis, yang umumnya tak punya banyak konstituen, masuk parlemen. Di Indonesia, kata Adhi, tak ada partai fasis. Karena itu, model pembatasan tersebut tidak tepat. ”Kami bukan partai neo-Nazi,” katanya.
Munculnya parliamentary threshold sebetulnya tak lepas dari politik barter di Dewan. Awal tahun lalu 17 partai yang tidak mendapat suara 2,5 persen pada Pemilu 2004 minta diloloskan ikut pemilu tahun depan tanpa verifikasi. Imbalannya, partai kecil menerima ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun depan. ”Ini deal kami dengan partai kecil,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar.
Napas sistem ini, kata Rully, untuk membatasi jumlah partai, sesuai dengan permintaan banyak kalangan, termasuk kampus dan lembaga swadaya masyarakat. Tapi, kata Jojo, pembatasan semestinya lewat regulasi ketat partai untuk bisa ikut pemilu, bukan mengubur suara hasil pemilu.
Sunudyantoro
-----------------------------------
Abdurrahman Baswedan
Seorang Nasionalis Berdarah Arab
Abdurrahman Baswedan gigih menumbuhkan nasionalisme keturunan Arab di Indonesia. Piawai sebagai diplomat, pergaulan dia amat luas, melintasi berbagai kalangan. Lahir pada 9 September 1908, riwayat pejuang kemerdekaan itu kini genap satu abad.
Yogyakarta, akhir 1970-an. A.R. Baswedan, yang sudah menapak usia senja, terkena stroke di rumahnya di kawasan Taman Yuwono. Kondisi pejuang kemerdekaan itu agak mengkhawatirkan. Di Gereja Katolik Kota Baru—salah satu gereja tertua dan terbesar di kota pelajar itu—Romo Dick Hartoko SJ sedang bersiap memimpin misa bagi umatnya.
Mendengar kabar geringnya A.R. Baswedan, Romo Dick spontan meminta jemaat gereja ikut mendoakan kesembuhan tokoh Islam itu. ”Peristiwa itu membuat Yogyakarta gempar,” ujar Samhari Baswedan, anak bungsu A.R. Baswedan. Ketika itu, ayah Samhari adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Yogyakarta. Adapun Romo Dick Hartoko merupakan tokoh Katolik terkemuka di kota itu. ”Warna” mereka berlainan. Namun keduanya berkawan akrab.
”Hubungan pribadi mereka baik sekali,” Samhari menambahkan. Keduanya kerap saling kunjung. Dalam berdiskusi, mereka tak selalu sepaham tapi tetap saling menghormati pendapat masing-masing.
Selain dengan Romo Dick Hartoko, A.R. Baswedan berkarib dengan Yap Kie Tong, dokter mata terkenal di Yogyakarta pada masa itu. Dia pun akrab dengan Dr Johan Syahruzad, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia.
Lahir di Kampung Ampel, Surabaya, riwayat pejuang kemerdekaan itu kini genap berusia 100 tahun. Bernama lengkap Abdurrahman Baswedan, dia dikenal mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Saat usianya masih 20-an tahun, dia sudah gigih mendorong tumbuhnya semangat persatuan komunitas Hadramaut (Yaman) di Nusantara. Ketika itu, mereka terpecah di antara keturunan Sayyid, Gabili, Syekh, dan rakyat biasa.
Baswedan muda kemudian mengarahkan persatuan keturunan Arab untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dia mendirikan wadah Persatuan Arab Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Partai Arab Indonesia. Dan dia bergaul akrab dengan tokoh-tokoh nasional, antara lain Dr Sutomo.
Secara tegas Baswedan menyatakan tanah air keturunan Arab bukanlah Hadramaut, melainkan Indonesia. Dia juga menyebut keturunan Arab sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sikap itu sesungguhnya ”menurunkan derajat” komunitas tersebut—yang oleh Belanda dimasukkan ke kelompok Timur Asing.
Dalam mars Partai Arab Indonesia yang dikarangnya bersama Umar Baraja, tergambarlah nasionalisme para pemuda keturunan Hadramaut. Ini salah satu baitnya:
Indonesia! Semboyan Persatuanku
Indonesia! Tanah Tumpah Darahku
Persatuan! Arab Indonesia
Makin lama makin bercahaya
Kita tetap setia
Untuk menunjukkan keindonesiaannya, dalam beberapa pertemuan, A.R. Baswedan tak sungkan mengenakan surjan Jawa—tindakan itu mulanya dianggap tak lazim, tapi lama-kelamaan bisa diterima oleh komunitas Arab Indonesia. Dia juga pernah terjun menjadi wartawan, bergabung dengan harian Sin Tit Po, yang propergerakan nasional. Di sana, dia berkawan akrab dan banyak belajar tentang jurnalisme dari Liem Koen Hian, pemimpin harian tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan memutuskan bergerak di bawah tanah. Dia menggabungkan diri dengan kelompok pemuda di sekitar Sutan Sjahrir. Pekerjaan mereka memantau radio siaran luar negeri—tugas yang berisiko tinggi karena semua radio disegel tentara Jepang.
Suatu ketika, dia tepergok Kempetai—polisi rahasia Jepang—sedang menyimak radio luar negeri. Mereka menggelandangnya ke markas. Dia divonis mati. Eksekusi akan dilakukan esok siangnya. Pagi harinya, dia dijemur di pekarangan bersama sejumlah tawanan lain.
Di saat genting itu datang Mr Singgih dari Jakarta. Dia anggota Pusat Tenaga Rakyat yang dipimpin Soekarno. Melihat Baswedan, Mr Singgih segera menghampiri dan meminta polisi Jepang membebaskannya. ”Mr Singgih berdalih Bapak adalah anak buahnya,” tutur Samhari. Nyawa A.R. Baswedan bisa diselamatkan.
Setelah proklamasi dikumandangkan, Partai Arab Indonesia membubarkan diri. Anggota-anggotanya menyebar ke berbagai partai. Hamid Algadri, misalnya, masuk Partai Sosialis Indonesia. Abdulah Baraba memilih Partai Komunis Indonesia. Yuslam Badres bergabung ke Partai Nasional Indonesia. Abdurrahman Shihab—ayah Quraish Shihab dan Alwi Shihab—menggabungkan diri ke Masyumi.
A.R. Baswedan ketika itu masih memilih jalan independen. Dia diangkat Perdana Menteri Sjahrir sebagai Menteri Muda Penerangan. Pada 1947, dia ikut rombongan Menteri Luar Negeri Agus Salim berkunjung ke Kairo, Mesir. Mereka berdiplomasi agar dunia internasional mengakui kemerdekaan Indonesia.
Tiga tahun kemudian, tokoh yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Arab itu bergabung dengan Masyumi. Selain kagum atas kejujuran Mohamad Natsir—pemimpin Masyumi—dia menegaskan tindakannya didorong oleh keinginan memperkuat orientasi nasionalistis partai itu.
Tatkala Masyumi dibubarkan pemerintah Orde Lama dan tak boleh direhabilitasi oleh pemerintah Orde Baru, Baswedan memilih bergerak di jalur budaya. Dia mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta dan menjadi pelindung Teater Muslim. Mereka mementaskan drama Iblis tentang kisah Nabi Ibrahim, yang waktu itu tergolong kontroversial.
Seniman Yogyakarta seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, dan Chaerul Umam adalah kawan-kawannya. Dia ikut membantu ketika Rendra mementaskan Kasidah Barzanji. ”Rumahnya terbuka untuk semua orang. Dia seperti orang tua kami,” kata Syu’bah Asa, yang ketika itu aktif berteater di Yogyakarta.
Di pengujung hidupnya, A.R. Baswedan bersahabat dengan Romo Mangunwijaya. Dengan gayeng keduanya kerap mendiskusikan masalah Irak-Iran, Palestina-Israel, dan korupsi di dalam negeri. Pada 1986, A.R. Baswedan menutup mata di RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Tiga hari setelah kematiannya, Romo Mangun bertakziyah.
Nugroho Dewanto
---------------------------------
Calon anggota Legislatif
Jungkir Balik Nomor Peci
Banyak orang berlomba-lomba mendapatkan nomor atas dalam daftar calon anggota legislatif. Modalnya: duit dan kedekatan dengan petinggi partai.
MENJELANG subuh di tempat parkir Kantor Dewan Pengurus Pusat PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, dua pekan lalu. Seorang calon anggota legislatif tak henti-hentinya mengisap rokok. Yang satu tinggal puntung, yang lain ia sulut lagi. Satu tangan lainnya sibuk dengan telepon seluler.
Pagi itu terasa mencekam buat si calon legislator. Hari itu pengurus pusat partai berencana mengirim daftar calon anggota legislatif sementara ke Komisi Pemilihan Umum. Namanya memang telah dijamin seorang pengurus partai akan bertengger di nomor jadi. Tapi, menjelang tengah malam, calon lain berusaha mendongkel. ”Orang lain ngincar nomor saya,” katanya.
Melalui seorang utusan, calon tadi menitip pesan kepada pengurus partai. Ia mengiba agar posisinya terus dipantau. Soalnya, tak sembarang orang bisa mengakses komputer pengurus pusat. Karena itulah ia tak henti bertelepon dan mengirim pesan pendek. Nasib baik berpihak padanya: hingga daftar dibawa ke kantor Komisi, posisinya aman. Sebagai tanda terima kasih, si calon menghadiahi ”orang dalam” tadi arloji Rolex seharga belasan juta rupiah.
Calon lain dari PDI Perjuangan, kata sumber Tempo, harus bersimpuh pada Taufiq Kiemas, suami Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, agar mendapat nomor jadi. Ini dilakukan karena ada calon yang mencoba menggesernya lewat Megawati. Beruntung, ”Rayuan Pak Taufiq ampuh meluluhkan hati Bu Mega,” kata sumber itu. ”Orang tadi masuk nomor aman.”
Sementara calon PDI Perjuangan menggunakan cara ”lunak”, calon anggota legislatif Partai Persatuan Pembangunan, Syaifuddin, dari daerah pemilihan Malang Raya, memilih nekat. Gus Din, panggilan Syaifuddin, mengerahkan massa untuk menyerbu Kantor Dewan Pengurus Partai Ka’bah Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis dua pekan lalu. Selain membawa poster dan berorasi, mereka membakar kursi kantor dan bendera partai.
Semula anak Kiai Syirad, pendiri Pondok Pesantren Babussalam, Pagelaran, Malang, ini merasa aman karena mendapat rekomendasi Kiai Alawy Muhammad, Wakil Ketua Dewan Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan dan ulama terkenal dari Sampang, Madura. Gus Din juga mendapat surat dukungan dari Ketua Umum Dewan Majelis Syariah Kiai Maimun Zubair. Rekomendasi dari pengurus Partai Ka’bah Kota Batu, Kabupaten Malang, dan Kota Malang pun diberikan kepada Gus Din.
Tapi, begitu daftar calon sementara dari dewan pengurus pusat partai itu terbit, nama Gus Din terlempar ke nomor dua. Ia tergeser oleh Asrul Harahap, calon dari pusat. Padahal, merujuk pemilu lalu, daerah pemilihan Malang hanya mendapat satu kursi. Wakil ketua partai Kabupaten Malang, Fatich Fuadi, mengaku kecewa dengan munculnya Asrul. Pendukung loyal Gus Din ini mengancam keluar dari partai jika pengurus pusat mempertahankan Asrul. ”Kami tidak main-main,” kata Fatich.
Desas-desus soal permainan uang juga terdengar dalam penetapan calon anggota legislatif. Sumber Tempo mengungkapkan, untuk daerah pemilihan Jawa Timur, seorang kandidat legislator harus membayar Rp 100 juta untuk mendapat rekomendasi tiga pengurus kota-kabupaten. Di Partai Ka’bah, ihwal ini justru dibuka oleh pengurus partai, M. Bahrudin Dahlan. Menurut dia, untuk mendapat nomor jadi masuk Senayan, seorang kandidat harus menyetor Rp 2 miliar.
Nomor atas penting untuk calon anggota legislatif karena PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan kukuh menggunakan sistem proporsional dengan nomor urut. Golkar semula menggunakan nomor urut, tapi belakangan berubah ke sistem suara terbanyak.
Petinggi partai menyangkal ihwal uang tersebut. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung menyatakan penetapan calon anggota legislatif dilakukan oleh tim. Hal yang sama terjadi di Golkar. ”Tidak ada permainan uang,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Rully Chairul Azwar.
Sunudyantoro, Abdi Purmono (Malang)
------------------------------------
Rekaman Suara RI-10
Antony Zeidra Abidin merekam pembicaraannya dengan Anwar Nasution. Alasan membongkar skandal suap Bank Indonesia.
DESEMBER dua tahun lalu, dua kali Antony Zeidra Abidin menyambangi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution. Pertama, Antony bersama anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Bobby Suhardiman, diterima Anwar di ruang kerjanya. Kedua, Antony datang sendiri.
Isu yang diobrolkan tak main-main: surat Anwar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bercerita tentang kejanggalan aliran dana sekitar Rp 100 miliar dari Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat. Antony tercatat sebagai salah satu penerima dana haram itu.
Saat diskusi berlangsung, tanpa disadari Anwar, Antony merekam percakapan itu melalui recorder yang ia simpan di saku. Dalam rekaman itu, Anwar sempat berujar, ”Salah kau dulu, kenapa kau bikin aku di sini (Badan Pemeriksa Keuangan—Red.). Kalau kau bikin aku di sana (Bank Indonesia—Red.), dari dulu aku bayarnya.”
Transkrip percakapan itu dibacakan pengacara Antony dalam sidang perdana Antony dan Hamka Yandhu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan H.R. Rasuna Said, Jumat pekan lalu. Menurut pengacara Antony, Maqdir Ismail, pernyataan itu cermin sakit hati Anwar karena dipilih Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004 sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Padahal posisi yang diinginkan Anwar adalah Gubernur Bank Indonesia.
Saat pemilihan, Anwar, yang ketika itu deputi gubernur senior, merupakan orang nomor dua di Bank Indonesia. Dalam sesi voting, anggota Dewan memilih Burhanuddin Abdullah sebagai gubernur.
Karena itu, masih menurut Maqdir, upaya Anwar membongkar penyimpangan di bank sentral dan menyeret kliennya sebagai penerima dana disebabkan oleh gagalnya Anwar mendapat kursi gubernur bank sentral. Seperti diketahui, Antony, juga Bobby, adalah anggota Fraksi Partai Golkar di Komisi Keuangan periode 1999-2004. Keduanya ikut proses uji tuntas dan kelayakan Gubernur Bank Indonesia.
Akibat laporan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tiga pejabat tinggi bank sentral—bekas Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Kepala Biro Gubernur Rusli Simanjuntak, dan Direktur Bidang Hukum Oey Hoey Tiong—diseret ke pengadilan. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan yang menjadi terdakwa adalah Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, masing-masing bekas Ketua Subkomisi Perbankan dan Ketua Subkomisi Keuangan.
Kepada Tempo di ruang kerjanya Jumat pekan lalu, Anwar membenarkan bahwa dia telah menerima Antony dan Bobby pada 8 Desember 2006. Namun ia tak menyangka percakapannya itu direkam Antony. Ia mengaku belum berencana melaporkan Antony ke polisi. Ia mengaku menyesal telah menerima Antony. ”Dia rekam tanpa setahu saya, di kantor saya. Itu saya kira tidak bermoral,” katanya.
Sekretariat Badan Pemeriksa Keuangan mencatat Anwar menerima Antony dan Bobby selama satu jam mulai pukul 15.30. ”Bobby itu lebih banyak diamnya,” kata Anwar. Pertemuan kedua dengan Antony berlangsung mulai pukul 17.30 selama sekitar setengah jam.
Saat itu Antony, kata Anwar, mempertanyakan alasan Badan Pemeriksa membuat laporan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Antony juga mengeluh karena namanya dalam audit itu disebut sebagai satu-satunya penerima uang. Anwar menyatakan nama Antony muncul karena disebut pejabat Bank Indonesia dalam sebuah wawancara dengan auditor Badan Pemeriksa Keuangan.
Bobby Suhardiman, yang ikut dalam pertemuan dengan Anwar, tidak bisa dihubungi. Berkali-kali ditelepon Tempo, ponselnya tidak aktif. Saat Tempo mendatangi rumahnya di Jalan Ampera 120, Jakarta Selatan—seperti tercantum dalam dokumen pemeriksaan Bobby di Komisi Pemberantasan Korupsi—seorang penjaga mengatakan Bobby tak ada. ”Pak Bobby sudah dua tahun tidak tinggal di sini,” kata si penjaga.
Dalam berkas pemeriksaan Bobby, Mei lalu, politikus Golkar itu bercerita Antony juga mempersoalkan mengapa Badan Pemeriksa Keuangan mengirim surat panggilan ke Jambi—ke kantornya sebagai wakil gubernur provinsi itu.
Selain itu, Bobby menyatakan kedatangan dia dan Antony ke kantor Anwar Nasution dilakukan dua-tiga hari setelah kunjungan mereka ke kantor Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Menurut Bobby, kepada Burhanuddin, Antony sempat marah karena soal fulus itu melebar ke mana-mana.
Rekaman Antony juga menyebutkan Anwar sempat berujar tak enak. Anwar meminta Antony menyampaikan kepada Burhanuddin Abdullah agar ”memeras Cina-Cina” untuk menutup pengeluaran Rp 100 miliar sebagai ganti duit Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang dipakai buat menyuap anggota Dewan. Soal ini, Anwar tak menyangkal. ”Itu kan diucapkan secara bercanda,” katanya. Prinsipnya, bagaimanapun caranya, uang milik Yayasan harus segera dikembalikan. ”Uangnya dari mana, ya, saya tidak tahu,” kata Anwar lagi.
Sikap ini, menurut Anwar, juga disampaikannya kepada Burhanuddin Abdullah dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta. Secara terpisah, keduanya pernah datang tahun lalu untuk membahas solusi skandal ini. Paskah Suzetta, yang telah dua kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan saat dana miliaran mengalir deras ke sejumlah anggota Dewan.
Sikap serupa, Anwar menambahkan, disampaikannya kepada Aulia Pohan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, yang notabene masih terhitung keponakannya sendiri. ”Besan kau (Susilo Bambang Yudhoyono—Red.) kan sudah presiden,” kata Anwar. ”Ini harus segera diselesaikan.”
l l l
PROSES pemilihan Gubernur Bank Indonesia pada Mei 2003 memang masih meninggalkan imbas hingga kini. Meski Anwar saat itu anggota dewan gubernur yang paling senior, namanya tak direkomendasikan untuk mengikuti proses seleksi gubernur di Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu menggadang-gadang Miranda Swaray Goeltom, deputi gubernur, sebagai orang nomor satu di bank sentral menggantikan Syahril Sabirin. Kandidat lain adalah Direktur Bank Indonesia Cyrillus Harinowo dan Deputi Gubernur Burhanuddin Abdullah.
Seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bercerita calon paling kuat saat itu memang Miranda Goeltom. Nama Anwar Nasution sengaja tidak dimasukkan karena akan menjadi pesaing kuat bagi Miranda. ”Kalau mau bersaing, ya, jangan dengan yang kuat, dong,” katanya.
Anwar, kata sumber Tempo, masih berminat berkiprah di bank sentral. Ia yakin bisa membangun hubungan baik antara ”Thamrin dan Lapangan Banteng”—kantor Bank Indonesia dan Departemen Keuangan—soal moneter dan keuangan negara. ”Mungkin maksud Anwar pesan itu disampaikan ke Megawati,” kata si sumber.
Peluang Anwar sebenarnya masih terbuka saat pemilihan deputi gubernur senior setahun kemudian. Saat itu, kata si politikus, Anwar bisa saja memperpanjang jabatannya. Namun Miranda, yang dikalahkan Burhanuddin Abdullah saat pemilihan gubernur, keburu dipantek Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai orang nomor dua. ”Anwar lalu disepakati menempati posisi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan,” katanya.
Anwar membenarkan dia lebih suka berkarier di bank sentral. ”Ini sesuai dengan latar belakang ilmu saya,” kata lulusan Administrasi Publik Kennedy School of Government Universitas Harvard itu. Namun, menurut Anwar, ia realistis karena kesempatan bekerja di bank sentral harus disetujui presiden. Ia merasa tak pintar melakukan lobi politik, apalagi menggelontorkan uang. ”(Saya tidak mau) sogok sana-sini seperti yang kalian beritakan itu,” kata Anwar.
Namun guru besar ekonomi Universitas Indonesia itu mengaku posisinya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan lebih bergengsi dibanding Gubernur Bank Indonesia. ”Pelat mobil saya RI-10,” katanya, tertawa. ”Kalau saya lewat, minggir semua.”
Budi Riza, Vennie Melyani
-------------------------------