Kawan2 semua,
Ini ada tambahan bahan diskusi lagi. Kalau lagi iseng bisa dibaca2. Makalah
yang saya kirim ini merupakan makalah saya di pascasarjana UI. Mohon jangan
dikutip, karena memang bukan makalah yang baik untuk dikutip. Jadi tolong
dibaca dan didiskusikan saja. Lumayan untuk bahan bacaan, daripada ngintip
tetangga sebelah..hehehe.
tabik,
Bonnie Triyana
Narativisme versus Strukturalisme dalam Penulisan Sejarah
Oleh Bonnie Triyana, Sejarawan.
Wakil Direktur Yayasan Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
Tentang Narativisme
Narativisme atau pemaparan secara narativ dikembangkan oleh Ankersmit yang
mengikuti pendapat Johann Gustav Droysen (1808-1886), bahwa kisah memiliki
kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh
(holistik).[1] Dengan pendekatan ini, sejarawan diharapkan dapat
menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran, jika tidak boleh dikatakan
obyektif, dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang
terdapat di dalam sumber sejarah.
Dalam pendekatan narativ, peristiwa menjadi titik fokus utama. Ia tidak
melihat aspek apapun kecuali peristiwa itu sendiri. Peristiwa sejarah yang
hanya terjadi satu kali saja (einmalig). Dan pendekatan narativ melihat bahwa
sejarah merupakan tampilan peristiwa masa lalu yang diisi oleh tokoh-tokoh,
orang-orang yang dianggap eksponen dari masyarakat.[2] Jadi para tokoh-tokoh
tersebut menjadi satu kesatuan dengan peristiwa sejarah. Oleh karenanya
pendekatan narativ ini seringkali bersifat elitis, karena hanya mengisahkan
peristiwa masa lalu dari puncak kekuasaan.
Metodologi ini menggunakan hermeneutika sebagai cara untuk menerjemahkan
masa lalu. Melalui hermeneutika proses penerjemahan masa lalu itu dilakukan
dengan cara membaca dan memahami (verstehen) isi dari dokumen-dokumen sejarah
tanpa harus memberikan analisis dengan terperinci. Jadi metode ini mengutamakan
penyampaian keadaan masa lalu sesuai dengan apa yang terkandung dalam dokumen
sejarah. Wie ist eigentlich gewesen atau apa yang sesungguhnya terjadi (dalam
peristiwa masa lalu) menjadi rujukan utama dalam metodologi ini.
Metodologi Ankersmit menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana obyektifitas
konstruksi sejarah yang dibangun melalui metodologi ini dapat
dipertanggungjawabkan. Terlebih ketika obyektivitas menjadi syarat mutlak untuk
diterima sebagai ilmu pengetahuan. Ia kemudian menjawab berbagai pertanyaan itu
dengan jawaban bahwa obyektivitas itu sesuatu yang relatif, dan tak bisa
dicapai sepenuhnya. Dengan merujuk pendapat Popper, ia mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan tidak pernah mencapai kemurnian yang sesungguhnya, karenanya akan
selalu ada berbagai upaya untuk menyempurnakan teorinya.
Ada berbagai kelemahan dalam metodologi ini. Pertama menyangkut intepretasi
sejarawan terhadap fakta sejarah. Sebagaimana diketahui bahwa sejarawan dalam
kerjanya dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya personal bias, conflict
theory, perbedaan ideologi, latar belakang budaya dan sebagainya. Tarik menarik
intepretasi bukan akan menambah pengetahuan, alih-alih justru akan
membingungkan dan tidak akan menambah pengetahuan. Kebenaran sejarah melalui
metodologi ini dipandang sebuah hal yang relatif, lebih kasar lagi, mungkin
absurd.
Ketidaktepatan penerjemahan peristiwa masa lalu yang terkandung dalam dokumen
bahkan bisa menyebabkan munculnya kerancuan atau sesat pikir tentang peristiwa
itu sendiri. Benar Ankersmit mengatakan bahwa hal tersebut bisa teratasi dengan
munculnya berbagai karya sejarawan yang meneliti satu peristiwa yang sama,
semakin banyak buku mengenai peristiwa yang sama terbit, maka semakin kaya
pengetahuan. Namun bagaimana jika hanya seorang sejarawan saja yang
melakukannya? Dan bagaimana pula jika dalam proses hermeneutika ia melakukan
kesalahan? Bukankah hanya pengetahuan yang salah alamat saja yang didapatkan.
Kedua, sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa metodologi ini teramat
elitis. Karena hanya menumpukan penulisan sejarah dari peristiwa masa lalu di
mana para kaum elit menjadi satu dalam peristiwa itu sendiri. Bagaimana dengan
mereka yang tak pernah tercatat dalam dokumen resmi pemerintah, sepertihalnya
di banyak negara dunia ketiga, kaum perempuan, orang-orang miskin, petani di
pedesaan dan buruh-buruh pabrik jarang dicatat dalam dokumen resmi pemerintah?
Padahal mereka pun punya peran dalam sejarah, betatapun kecil peran itu.
Kelemahan ketiga dalam metodologi ini adalah kemungkinan munculnya kesalahan
dalam menyajikan kisah atau pembahasan dalam proses penulisan. Kemungkinan
keasalahan bahasa yang emotif[3] atau penggunaan bahasa yang emosional akibat
pengaruh personal bias si sejarawan (karena mungkin ia memiliki keterkaitan
dengan peristiwa sejarah yang ditelitinya) menyebabkan penggambaran yang
hiperbolis atas suatu peristiwa. Dan hal itu tentunya akan mereduksi realitas
faktual dari peristiwa sejarah tersebut.
Keempat atau kelemahan yang terakhir dalam metodologi ini adalah penulisan
sejarah yang hanya bertumpu pada sumber tertulis saja. Lengkap atau tidaknya
dokumen menjadi ukuran utama penulisan sebuah peristiwa. Bukan mustahil
penelusuran masa lalu akan terhenti ketika dokumen tertulis tidak lengkap, atau
mungkin hancur dimakan zaman. Padahal sumber lisan pun dapat mengisi kekosongan
sumber tertulis.
Kelebihan dari metodologi narativisme ini adalah sejarawan tidak dibebani
tugas yang berlebih kecuali menerjemahkan peristiwa masa lalu (hermeneutika)
itu sendiri dan kemudian menuliskannya. Sejarawan tak bertugas untuk memberikan
analisisnya yang kritis terhadap peristiwa masa lalu. Dengan kata lain,
metodologi ini membuat kerja sejarawan lebih ringan. Hanya dengan pengetahuan
bahasa dan seni dalam intepretasi, penulisan sudah dapat dilakukan, tentu jika
dokumen tertulis yang tersedia cukup untuk menghadirkan masa lalu itu sendiri.
Tentang Strukturalisme
Agaknya metodologi ini merupakan hasil kawin silang dengan cara kerja
ilmu-ilmu sosial, yakni mengutamakan analisis. Metodologi ini menekankan pada
pentingnya struktur sosial yang mengatur hidup manusia. Dengan masuknya
metodologi dalam ilmu sosial ini, penulisan sejarah kritis memasuki dimensi
kajian yang lebih luas lagi.
Pendekatan ini melihat bahwa sebuah proses kejadian dari masa lalu dapat
dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya. Semisal tindakan
manusia dalam pergaulan sehari-hari selalu mengikuti kebiasaan, adat, atau pola
kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu.[4] Jadi metodologi memfokuskan
pada aturan atau system value yang berlaku pada suatu masyarakat, dan kemudian
melihatnya sebagai sebuah koridor yang membimbing manusia dalam menjalani
proses sejarahnya.
Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa kelakuan manusia dalam masyarakat selalu
distrukturasikan sesuai dengan tradisi dan konvensi. Di sini struktur kelakuan
yang mantap melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu seseorang. Menurut
faham ini, aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat tidak bisa diabaikan
jika sejarawan akan menuliskan peristiwa masa lalu yang terjadi pada sebuah
kelompok masyarakat.
Seperti dikatakan di atas bahwa metodologi ini merupakan perpaduan cara
kerja dalam ilmu sosial dengan metode sejarah. Analisis yang kritis menjadi
modal utama untuk membangun konstruksi masa lalu. Pun metodologi ini mengklaim
bahwa masa depan bisa diramalkan melalui pendekatan struktural ini. Lebih
lanjut Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa apabila studi sejarah diharapkan
mempunyai potensi memprediksi maka berdasarkan pengetahuan sejarah orang mampu
meramalkan, atau paling sedikit memproyeksikan ke masa depan. Di sini sejarah
struktural, demikian Sartono, menjadi lebih fungsional untuk membantu bidang
praktis, seperti perencanaan dan pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.
Tentu yang dimaksud di atas bukanlah sejarah sebagai peristiwa masa lalu yang
berulang sehingga dapat dilihat kesesuaian antara masa lalu dengan masa kini,
melainkan aspek strukturnya yang berulang.
Metode strukturalisme ini juga menganjurkan agar sejarawan menelisik
aspek-aspek lain yang terjadi dalam masyarakat dari sudut pandang berbagai
cabang dalam ilmu sosial. Semisal untuk meneliti peristiwa Perang Puputan di
Bali maka sejarawan harus pula mengetahui kajian antropologis terhadap
masyarakat Bali pada abad ke-19; bagaimana system value yang berlaku pada saat
itu sehingga masyarakat rela mati demi adat dan kepercayaan yang dipegangnya
dengan teguh.
Kelemahan metodologi ini adalah: sumirnya pandangan bahwa aturanlah yang
menjadi faktor utama latar belakang tindakan manusia. Bagaimanapun aturan atau
adat adalah seperangkat nilai-nilai yang dibuat oleh manusia, yang kemudian
diberlakukan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Namun, bukan suatu hal yang
aneh lagi jika banyak pelanggaran yang dilakukan oleh manusia itu terhadap
aturan yang dibuatnya sendiri. Dengan kata lain, manusialah yang berkehendak
sepenuhnya terhadap apa yang ia ingin lakukan.
Kelemahan lain yang terdapat dalam metodologi ini ialah sejarawan struktural
hanya menelaah struktur yang rentangannya panjang. Ini dapat berarti bahwa
metodologi struktural hanya mampu menjangkau sebuah struktur sosial tertentu
dalam masyarakat yang terjadi pada rentang waktu yang amat panjang dan tidak
berubah. Ia tidak memberikan perhatian pada perubahan satu struktur ke struktur
lainnya, padahal aturan atau adat bisa saja berubah sewaktu-waktu.
Kelebihan metodologi ini adalah memaksa sejarawan untuk mempelajari
pendekatan lain dalam penulisan sejarah. Pendekatan ilmu sosial dalam penulisan
sejarah menjadi penting dalam metodologi ini karena diharapkan dapat membantu
sejarawan untuk memahami/membedah peristiwa masa lalu dari obyek kajian
masing-masing peristiwa, seperti dalam peristiwa Perang Puputan yang telah
disebutkan di atas.
Sartono Kartodirdjo mengaplikasikan metodologi ini pada karyanya
Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). Dalam
karyanya ini bahkan ia memperkenalkan pendekatan multidimensi yang berhasil
mengupas latar belakang peristiwa, jalannya aksi serta pasca peristiwa
pemberontakan petani tersebut. Kepercayaan akan datang Ratu Adil (mesianisme),
ajaran tentang perang sabil serta keinginan untuk mengembalikan otoritas
kesultanan Banten diyakini sebagai penyebab para petani Banten memberontak di
Cilegon, di luar faktor lainnya seperti kelaparan, menurunnya tingkat kehidupan
ekonomi masyarakat, kegagalan panen dan tingginya pajak.
Melalui metodologi ini rekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi lebih
komprehensif dan diyakini lebih dapat mendekatkan pada obyektifitas. Metodologi
struktural dapat dengan jeli menangkap fenomena-fenomena yang terjadi di dalam
masyarakat dalam dimensi ruang dan waktu yang terjadi pada masa yang lalu. Dan
inilah kelebihan metodologi strukturalisme dari metodologi narativisme.
Daftar Bacaan
Leirissa, R.Z., Diktat Metodologi Sejarah tidak diterbitkan.
----------------, Strukturisme dan Sejarah Sosial-Budaya dalam A.B. Lapian
ed.et.al.,Sejarah dan Dialog Peradaban Persembahan 70 Tahun Prof. Dr.Taufik
Abdullah (Jakarta: LIPI Press, 2006).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2001).
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992).
---------------------------------
[1] R.Z. Leirissa, Diktat Metodologi Sejarah tidak diterbitkan. Hal. 16.
[2] R.Z. Leirissa, Strukturisme dan Sejarah Sosial-Budaya dalam A.B.
Lapian ed.et.al.,Sejarah dan Dialog Peradaban Persembahan 70 Tahun Prof. Dr.
Taufik Abdullah (Jakarta: LIPI Press, 2006) hal. 1049
[3] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2001) hal.
180
[4] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992) hal. 123.
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com
[Non-text portions of this message have been removed]
Tetap Semangat Mencintai Banten!
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/