Oktober 28, 2008

sejarahsejarah

BEBERAPA waktu lalu ada yang mengusulkan untuk mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Alasannya, nama Nusantara lebih sesuai dibandingkan Indonesia. Jauh sebelumnya, tahun 1920-an, Dr Setiabudi yang memiliki nama asli Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950) memopulerkan nama untuk tanah air negeri kita adalah Nusantara. Satu kata yang tak memiliki unsur kata ”Hindia” (dari kata bahasa Belanda = Nederlands Indië, Hindia Belanda). Nama yang digunakan pemerintah kolonial untuk menyebut negeri kita.

KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images

Setiabudi mengambil nama ini dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit. Naskah ini ditemukan akhir abad ke-19 di Bali yang lalu diterjemahkan JLA Brandes dan diterbitkan Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Hal menarik adalah pengertian Nusantara usulan Setiabudi sangat berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit.

Pada masa Majapahit, kata Nusantara dipakai untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (dalam bahasa Sansekerta ”antara” berarti luar atau seberang) untuk dioposisikan dengan Jawadwipa (Pulau Jawa). Adalah Patih Gajah Mada yang mengucapkan Sumpah Palapa Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (Jika pulau-pulau seberang telah kalah, saya baru menikmati istirahat). Setiabudi lalu mengotak-atik kata nusantara zaman Majapahit yang bermakna kolonialis dan memodifikasinya sehingga memiliki pengertian nasionalis.

Setiabudi menggunakan makna kata Melayu asli ”antara” sehingga Nusantara akhirnya memiliki makna baru, yaitu ”nusa di antara dua benua dan dua samudra”. Dengan demikian, Jawa pun masuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah baru Dr Setiabudi ini segera menjadi populer yang digunakan sebagai alternatif nama Hindia Belanda.

Ada pula yang menyatakan bahwa istilah Nusantara diperkenalkan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa. Dewantara sendiri menjadi anggota partai Douwes Dekker, Indische Partij. Bersama Dr Cipto Mangunkusumo, mereka dikenal sebagai ”tiga serangkai”. Kemungkinan besar, Nusantara adalah ide Dewantara dan Douwes Dekker yang sejalan.

Nama Nusantara ini pula yang digunakan oleh Bernard HM Vlekke untuk judul bukunya Nusantara. A History of the East Indian Archipelago (1943). Sedangkan buku yang diterjemahkan ini berasal dari edisi kelima tahun 1961 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia.

Perbedaannya sangat jelas. Pada edisi 1961 ini ada perubahan sudut pandang. Dari Eropa sentris menjadi Indonesia sentris. Jika pada edisi 1943, khususnya Bab 6, lebih memusatkan pada Jan Pieterszoon Coen sebagai peletak dasar perekonomian Belanda di Hindia, maka pada edisi 1963, bab tersebut lebih memusatkan pada Indonesia di masa Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Suatu perubahan sudut pandang dari masa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Hal tersebut cukup menarik mengingat Vlekke tentunya kita anggap sebagai pihak luar (apalagi dari Belanda) yang mengamati Indonesia dengan kacamata berbeda. Tak tertutup kemungkinan pendapatnya tak lepas dari pandangan kolonial. Namun, anggapan ini terbantahkan, mengingat Vlekke pada tahun 1940 pergi ke Amerika bersama istrinya, Caroline, untuk bekerja di Nederlandsch Informatie Bureau, New York, sekaligus mengajar di Harvard University, Cambridge (Massachusetts).

Di Amerika inilah Vlekke menulis buku Nusantara. Dalam hal ini, Vlekke harus bisa mengambil jarak dan bersikap ”netral” bagi publik Amerika serta tidak dapat memaksakan pandangan umum bangsa Belanda terhadap negeri koloninya. Apalagi memasukkan cerita kepahlawanan kolonialisme Belanda yang menggulirkan slogan ”Daar werd wat groots verricht' (Di sana dibangun sesuatu yang besar). Namun, sekaligus ia ingin menggambarkan makna penting kehadiran Belanda di Nusantara sebagai sine ira et studio (without anger and fondness).

Ada beberapa pendapat Vlekke yang berbeda dengan pendapat umum para sejarawan Belanda yang lebih menitikberatkan pada proses perluasan kolonialisasi. Misalnya bagi Belanda, persatuan Indonesia sebenarnya tidak ada dan sebenarnya berkat Belanda-lah ”persatuan” dari Sabang hingga Merauke itu ada. Vlekke menjawab bahwa sebenarnya Indonesia bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda. Penyatuan itu lebih disebabkan masa silam gemilang Indonesia yang disebut Nusantara.

Penyajian

Tidak hanya itu, penyajian Vlekke jauh berbeda dengan sejarawan Belanda pada umumnya ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Seperti ulasan E Adamson Hoebel dalam American Anthropologist (Oct-Des 1944) yang menyebut Vlekke mengambil sikap netral dalam membahas isu-isu sejarah kontroversial. Vlekke tidak menganalisis budaya Indonesia seperti analisis seorang etnolog yang menempatkan masyarakat pribumi sebagai obyek belaka. Lepas dari budaya yang dimilikinya. Namun, Vlekke lebih menitikberatkan pada masyarakat dan pengaruh budayanya. Oleh karena itu, tulis Hoebel, Vlekke memperlakukan sejarah sebagai a record of man and his accomplishments based on written documents.

Hal itu muncul pada edisi berikutnya (1961), khususnya dalam diskusi mengenai kontak budaya awal antara India dan Nusantara. Menurut Vlekke, kontak budaya tersebut menjadi satu hal yang mungkin dipertimbangkan sebagai masalah penting.

Kenetralan Vlekke tampak karena ia tidak hanya menggambarkan masyarakat Nusantara. Tokoh-tokoh, seperti HW Daendels, TS Raffles, dan Van den Bosch, yang memberikan warna dalam historiografi, baik Indonesia maupun Belanda, juga dibahasnya. Lengkap dengan berbagai intriknya.

Hal menarik lainnya adalah analisis Vlekke tentang jatuhnya Majapahit yang sebagian kalangan meyakini semata-mata ada hubungannya dengan bangkitnya Islam. Menurut Vlekke, memudarnya kejayaan Majapahit disebabkan mulai berkuasanya armada dari China di jalur perdagangan Nusantara. Faktor lainnya adalah para pedagang dan pelaut Eropa (Portugis dan Spanyol) yang mulai berdatangan pada awal abad ke-15 di Jawa. Dengan kata lain, menurut Vlekke, faktor kedua kekuatan utama (China dan Eropa) di samping kebangkitan Islam sebagai penyebab memudarnya Majapahit.

Pada Bab 8 ”Keruntuhan Negara-Negara Indonesia”, Vlekke membantah mitos bahwa keberhasilan Belanda menguasai Nusantara karena peralatan militer mereka yang lebih hebat. Namun, lebih disebabkan faktor internal, yaitu selama 60 tahun, kerajaan-kerajaan di Nusantara saling berperang dan menguasai satu sama lain. Belanda kemudian datang pada saat dan situasi yang menguntungkan mereka. Mereka mengadakan berbagai perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang isinya memudahkan mereka berkuasa di Nusantara.

Analisis menarik lainnya adalah tentang pilihan para raja terhadap Islam bukan karena mereka masuk secara sukarela terhadap agama tersebut, tetapi karena dihadapkan pada pilihan bersekutu dengan Portugis atau bekerja sama dengan Demak dan Johor. Dengan kata lain, pilihannya Islam atau Kristen. Pada dua bab terakhir (Bab 15 dan 16), Vlekke mengangkat lahirnya suatu bangsa melalui perjuangan kaum nasionalis di meja parlemen hingga jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda.

Buku ini dilengkapi pula dengan ringkasan peristiwa-peristiwa secara kronologis, mulai dari masa Hindu-Buddha hingga Hindia Belanda, baik yang terjadi di Nusantara dan Belanda. Selain itu, buku ini memuat daftar nama penguasa Jawa dan gubernur jenderal.

Secara garis besar, tema-tema dalam buku babon ini masih sejalan dengan masalah-masalah yang muncul pada masa kini. Bagi generasi baru, membaca buku ini seperti membaca ”dongeng” Nusantara yang tentu juga harus diimbangi dengan sikap kritis. (Achmad Sunjayadi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Tokoh: Biografi Lengkap Pangeran Diponegoro

-- Suryadi

MENULIS biografi lengkap seorang tokoh besar yang sudah meninggal ratusan tahun lalu mungkin tak semudah menulis biografi (pesanan) seorang penguasa/pengusaha yang masih hidup. The Power of Prophecy (Kekuatan Nujum) menyuguhkan biografi lengkap Pangeran Diponegoro (1785-1855), seorang Muslim yang saleh, tetapi tetap dipengaruhi kosmologi Jawa, yang mengobarkan ”perang suci” melawan Belanda (1825-1830).

SURYADI / Kompas Images

Buku ini adalah sebuah studi yang mendalam mengenai riwayat hidup Pangeran Diponegoro (PD), bangsawan Keraton Yogyakarta, penentang paling gigih aneksasi Belanda terhadap tanah Jawa. Ia melukiskan detail kehidupan PD dalam turbulensi politik pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 ketika kekuatan penuh kolonialisme Eropa memukul Indonesia, menghancurkan orde lama Jawa untuk selamanya, serta mendorong kekuatan kembar Islam dan identitas nasional Jawa ke dalam konfrontasi frontal melawan Belanda.

Dalam konfrontasi itu, yang dikenal sebagai Perang Jawa (atau ”Perang Diponegoro”), PD kalah dan akhirnya dibuang—fase yang menandai dimulainya periode kolonisasi modern Belanda di Indonesia yang berakhir dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942. Buku ini membahas konteks kesejarahan Perang Jawa serta seluruh ”aktor” yang terlibat di dalamnya, dengan PD sebagai ”protagonis”-nya.

Tebal buku ini mencapai hampir 1.000 halaman, terdiri dari 12 bab yang diperkaya dengan 84 ilustrasi plus 11 peta, 2.260 catatan kaki yang sarat rujukan arsip dan sumber pertama, dan 16 lampiran yang membantu pembaca memahami posisi genealogis PD serta konteks sosial, politik, dan historis yang melahirkan, membesarkan, dan menentukan jalan hidupnya.

”Tulang punggung” (backbone) buku ini adalah otobiografi PD sendiri, naskah Babad Dipanagara (beraksara Pégon) yang ditulisnya di Manado. Penulis juga menggunakan banyak sumber pribumi lainnya serta catatan-catatan Belanda dan Inggris, khususnya kumpulan arsip kolonial yang berasal dari Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Peter Carey, yang mengaku mulai terpesona oleh figur PD sejak tahun 1969 ketika memulai studinya di Universitas Cornell, juga menapaktilasi dan merekonstruksi seluruh rute yang pernah ditempuh PD sebelum, selama, dan sesudah berlangsungnya Perang Jawa. Bahkan, ia mengaku melakoni beberapa acara ritual-mistis ala Jawa selama melakukan studi lapangan, salah satunya bermalam di Goa Secang, Selarong, Bantul, tempat PD pernah melakukan meditasi.

Konteks historis Perang Jawa

Membaca buku yang penyusunannya memakan waktu lebih dari tiga dekade ini, pembaca dibawa menelusuri berbagai sisi personalitas PD serta alasan pribadi dan sosio-politik yang mendorongnya maju menjadi pemimpin Perang Jawa.

Bab I memaparkan konteks demografi, sosio-ekonomi, dan politik the sounth-central Javanese world tahun 1792-1825, dunia tempat PD dilahirkan dan menjalani masa kanak-kanak dan remajanya. Bab ini juga melukiskan ”kemajuan” sistem administrasi kekuasaan Keraton Yogyakarta dan sistem kemiliteran yang mendukungnya, serta membahas kehidupan kaum tani, sistem perpajakan, birokrasi, dan pengusahaan tanah, yang memengaruhi dinamika sosio-politik masyarakat Jawa pada masa itu.

Rekonstruksi masa kanak-kanak PD sampai berusia 20-an tahun ketika Daendels menganeksasi Kesultanan Yogyakarta—keputusan yang, langsung atau tidak, telah ikut mendorong PD mengobarkan ”perang suci” melawan ”kafir murtad” Belanda—dibahas dalam tiga bab berikutnya.

Kelahiran PD di Istana Yogyakarta—nama kecilnya Bendara Radèn Mas Mustahar, lalu menjadi Radèn Antawirya—dengan berbagai mitos yang menyertainya dan lingkungan sosial Desa Tegalreja tempat PD menjalani masa kanak-kanaknya, dilukiskan dalam Bab II. Ayah PD, Hamengku Buwono III, baru berumur 16 tahun lebih sedikit dan ibunya, Radèn Ayu Mengkarawati, baru berusia 15 tahun ketika ia melahirkan PD. Di tubuh PD mengalir seperempat darah Madura karena nenek buyutnya, Ratu Kedathon (ibu Hamengku Buwono II), adalah keturunan Pangèran Cakraningrat II yang berdarah Madura.

Masa remaja PD dan inisiasi yang dijalaninya sehingga menjadi seorang dewasa yang terjadi pada tahun 1803-1805 digambarkan dalam Bab III. Carey melukiskan penampilan fisik, tabiat, dan kapabilitas intelektual PD, proses pendidikan yang dilaluinya, minatnya pada sastra dan ilmu keislaman, serta hubungannya dengan orang Eropa. Pada tahun 1804, dalam usia 19 tahun, PD menikah untuk pertama kali dengan Radèn Ayu Madubrangta, putri Kiyai Gedhé Dhadhapan, kepala pathok negeri Dhadhapan, Distrik Sleman.

Bab IV mendeskripsikan ziarah lelana PD ke tempat tirakatnya di pantai selatan dan ”pertemuannya” dengan Ratu Kidul di Gua Langsé. Di sanalah ia mendengar suara Sunan Kalijaga, konon, yang mengingatkannya akan datang bencana menghancurkan Kesultanan Yogyakarta yang menandai kejatuhan Tanah Jawa. PD juga menerima sinyal-sinyal mistis menyangkut peran historis yang akan dilakoninya pada masa depan. Ziarah PD selesai akhir tahun 1805 dan ia kembali ke Tegalreja.

Dua bab berikutnya melukiskan penaklukan Belanda terhadap Jawa Tengah yang sinyalnya telah diterima PD dalam ziarahnya. Proses penaklukan ini, yang dipimpin Gubernur Jenderal HW Daendels, diuraikan secara rinci dalam Bab V. Aneksasi terhadap Kesultanan Yogyakarta menyebabkan timbulnya gerakan anti-Belanda di kalangan bangsawan dan golongan ulama. Pada tahun 1809 meletus pemberontakan yang dipimpin Radèn Rongga Prawiradirja III. Bab VI membahas latar belakang pemberontakan ini dan dampak politisnya. Radèn Rongga tewas di Sekaran, di tepian Sungai Sala, 17 Desember 1810.

Bab VII melukiskan aksi ”pencabulan” (rape) yang dilakukan Inggris terhadap Kesultanan Yogyakarta menyusul kolapsnya Pemerintahan Franco-Dutch di Jawa. Yogya jatuh ke tangan Inggris pada 20 Juni 1812. Proses konsolidasi kekuasaan Inggris di Jawa, yang juga cukup menyengsarakan rakyat walau hanya berlangsung singkat (5 tahun), beserta dampak sosio-politiknya diuraikan dalam Bab VIII (hal 345-430).

Bab IX menggambarkan dinamika sosio-politik the sounth-central Java setelah kepergian Inggris pada tahun 1816. Carey memberi judul bab ini ”Binding on the iron yoke” untuk melukiskan berbagai kebijakan baru Belanda di bidang sosial, politik, dan ekonomi sampai 1822 yang makin memiskinkan rakyat. Konflik internal di kalangan bangsawan Yogyakarta akibat aneksasi Belanda semakin meruncing, salah satu faktor yang memicu timbulnya Perang Jawa (Bab X, hal 505-603). PD dan para pengikutnya yang menentang pendudukan Belanda atas Yogyakarta menyingkir ke Tegalreja. Seiring dengan itu muncul tanda-tanda ramalan Jayabaya tentang akan datangnya Ratu Adil, antara lain meletusnya Gunung Merapi pada Desember 1822.

Tegalreja, basis pasukan PD, diserang Belanda dan kolaborator lokalnya pada 20 Juli 1825. Mereka gagal menangkap PD yang dengan pasukannya sudah lebih dulu mundur ke Selarong. Penyerangan itu menandai dimulainya Perang Jawa. Jalannya peperangan itu (1825-1830), cara-cara pembiayaannya, dan konsekuensi sosio-politisnya diuraikan dalam Bab XI.

Bab XII memaparkan secara rinci antiklimaks Perang Jawa ditandai oleh kekalahan yang dialami pasukan-pasukan PD dalam beberapa front pertempuran yang kemudian memaksanya berunding dengan utusan Belanda, JB Cleerens, di Rèmakamal. Dengan tipu daya the commander-in-chief' pasukan Belanda, Letnan-gubernur HM de Kock, akhirnya PD ditahan saat mereka berunding di Magelang tanggal 28 Maret 1830.

Rekonstruksi proses penangkapan PD beserta para pembantu utamanya, sampai dia dibawa ke Batavia melalui Pelabuhan Semarang pada 5 April 1830 (PD sampai di Batavia pada 8 April) dan perjalanan panjang menuju tempat pembuangan di Manado dan akhirnya sampai ke Makassar diuraikan dalam bab ini.

Banyak kisah menarik

Buku ini mengungkapkan berbagai sisi kepribadian PD yang selama ini jarang kita ketahui: misalnya, waktu kecil PD dikelilingi oleh banyak wanita anggota keluarga, termasuk neneknya yang sangat memengaruhi minatnya belajar Islam. Carey juga berhasil mendapatkan satu-satunya sketsa wajah PD muda dalam pakaian Jawa memakai belangkon (hal 118). Ternyata PD tidak bisa berbahasa Melayu dengan baik dan juga berbahasa Belanda. Bila marah kepada pejabat Belanda, ia cenderung berbahasa Jawa Ngoko.

PD ingin tahu banyak mengenai peta Hindia Belanda dan Tanah Arab. Ia juga sangat mengerti tata cara makan ala Eropa. PD suka makanan Belanda seperti ”kentang Welanda” dan roti bakar (hal 700). Meski menolak minum wine, sekali waktu dalam pelayaran dengan Corvette Pollux dari Batavia ke Manado ia terpaksa meminumnya sebagai ”obat”.

Pascaberakhirnya Perang Jawa, PD yang terserang penyakit malaria hanya ingin diakui sebagai pemimpin agama tertinggi di seluruh Jawa (ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya). Setelah menjadi tahanan Belanda, PD yang tetap diizinkan memiliki keris pusakanya, Kyai Ageng Bandayuda, ingin sekali ke Mekkah. Ia menyisihkan sebagian uang tunjangan pemberian Belanda. Menjelang bertolak dari Semarang dengan SS Van der Capellen, PD minum air zam-zam pemberian seorang haji di Magelang. Namun, sampai akhir hayatnya permohonan PD untuk pergi naik haji tidak pernah dikabulkan Belanda.

Menurut Carey, ada faktor kembar yang mendorong PD, adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apa pun, mendeklarasikan ”perang suci” melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta (hal 757). Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya: ”Karemannya mangan minum / lan anjrah cara Welanda'” (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda) (hal 434).

Banyak lagi sisi-sisi kehidupan PD yang berhasil diungkapkan Carey dalam buku ini, juga lingkungan Keraton Yogyakarta memiliki pasukan wanita (royal Amazon corp) dengan kepandaian menunggang kuda dan menggunakan senjata yang membuat Daendels terkagum-kagum. Di The 'Versailles of Java' itulah PD dilahirkan sebelum fajar menyingsing pada Jumat, 11 November 1875.

Mungkin hanya sebuah kebetulan atau keajaiban terakhir: sama seperti waktu kelahirannya 70 tahun sebelumnya, PD, yang selama hidupnya memiliki tujuh istri dan beberapa istri lagi yang tidak diketahui namanya (Appendix IV), wafat menjelang fajar menyingsing pada hari Senin 8 Januari 1855 di biliknya dalam Benteng Rotterdam, Makassar.

Sebagai seorang anak manusia, this pious and complex man' telah menyelesaikan tugas sejarahnya. Agaknya benar diktum Karl Popper yang disitir Carey: ”[H]istory is the struggle of men and ideas” (hal 757).

Studi sejarah Indonesia

Tampaknya buku ini amat dinantikan oleh peminat studi (sejarah) Indonesia, mengingat kabar mengenainya telah beredar sejak 33 tahun lalu ketika Peter Carey sukses mempertahankan disertasinya, ”Pangeran Dipanegara and the Making of Java War, 1825-30”, di Universitas Oxford pada November 1975. Edisi kedua buku ini telah dicetak, menyusul edisi pertamanya (Desember 2007) yang sudah terjual habis.

Peter Carey, yang kini menjadi dosen di Trinity College, Inggris, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyusun buku ini. I can say that I have lived under the shadow of the Prince [Diponegoro] for nearly all my adult existence, akunya dalam Jurnal Itinerario.

Buku ini sangat patut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia supaya anak bangsa ini dapat mengetahui secara mendalam riwayat hidup dan perjuangan salah seorang pahlawan nasional mereka. Di sampul dalamnya, Carey menulis: Dedication. For the family and descendants of Pangéran Dipanagara. In honour and respect. Kalimat itu seperti mengimbau pewaris Keraton Yogyakarta untuk mengirim pesan rekonsiliasi kepada arwah nenek moyang mereka yang dulu sempat terpecah karena perang yang dipimpin PD.

Semoga pewaris Keraton Yogyakarta (baca: Sultan Hamengku Buwono X), juga Pemerintah Republik Indonesia, tergugah untuk mengusahakan penerjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia.

* Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Akurasi, Syarat Mutlak Karya Sejarawan

JAKARTA, KOMPAS - Akurasi merupakan syarat mutlak karya sejarawan. Akurasi tercapai antara lain dengan mengindahkan masukan dari piranti bantu, seperti arkeologi, epigrafi, paleografi, kronologi, dan statistik. Demikian salah satu butir orasi ilmiah Dr A Eddy Kristiyanto OFM dalam acara pengukuhan sebagai guru besar Sejarah Gereja di aula Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (25/10). Sidang Terbuka Senat STF Driyarkara dipimpin Pembantu Ketua I Dr JB Hari Kustanto.

Fakta itu suci, opini itu bebas, demikian Eddy, tetapi banyak orang tahu cara paling efektif untuk memengaruhi massa, yaitu dengan menyeleksi dan menyusun fakta secara tepat.

Prof Eddy merasa ”enggan” menggunakan pendekatan dekonstruksionisme yang disederhanakan sebagai deskripsi hitam putih yang menuntut, kebenaran sejarah adalah kesesuaian ungkapan dan fakta sehingga kebenaran harus dibongkar. Pendekatan itu ada baiknya diperhatikan agar pendasaran teori sejarah bisa seobyektif mungkin. Pendekatan ini tidak sekadar deskripsi hitam putih, tetapi sebuah karya sejarah yang memungkinkan sejarawan memiliki cara penggambaran, penafsiran, dan pola memaknai yang berbeda-beda meskipun peristiwa yang disorot sama.

Fakta hanya berbicara apabila sejarawan mencari, menemukan, dan mengolahnya. ”Hanya sejarawan yang memutuskan apakah Supersemar itu suatu fakta historis, kendati pada tanggal yang sama ada sekian juta orang yang menulis surat. Kenyataan ini bisa saja tidak digubris oleh sejarawan.”

Menurut Ketua STF Driyarkara itu, sejarawan mutlak perlu melakukan seleksi atas fakta. Fakta menyangkut interpretasi. Amat sering sejarah dicemari fakta nonhistoris, sehingga bidaah dalam sejarah pun bermunculan, karena sejarah kemudian terdiri atas himpunan fakta yang tidak dapat ditolak dan tidak obyektif. Sejarah merupakan perekayasaan dalam pikiran sejarawan. Penyusunan masa lalu tergantung dari data empiris, yang mengharuskan seleksi dan penafsiran fakta historis. Menulis sejarah merupakan satu-satunya jalan membuat sejarah.

Dengan proses di atas, untuk mendeskripsikan masa lalu dengan akurat dan obyektif, sejarawan dituntut konsisten menaati prinsip-prinsip penelitian dengan semangat ”kebenaran ilmiah”, tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, bebas dari kepentingan nonilmiah, dan bersifat induktif. Persyaratan hanya dilakukan lewat interpretasi.

Sesuai judul orasinya ”Sejarah sebagai locus philosophicus et theologicus”, Prof Eddy menyimpulkan, menjadi seorang sejarawan filsafat berarti mengolah filsafat dari si subyek. Menjadi seorang sejarawan teologi berarti mengolah teologi dari si subyek. Di antara para filsuf dan teolog ada ketegangan bahkan konflik, perlu disadari pada dasarnya bersatu padu, yakni di dalam Tuhan yang adalah asal usul sekaligus tujuan eksistensi segala sesuatu yang ada, yang kini ada, dan yang akan ada.

Lahir di Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, 5 Juli 1958, doktor sejarah Gereja lulusan Universitas Gregoriana tahun 1996 dan masuk Ordo Fransiskan sejak 1978, Romo Eddy Kristiyanto sejak 2007 adalah Ketua STF Driyarkara. Beberapa karya buku, di antaranya, Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria (2008) dan Visi Historis Komprehensif, Sebuah Pengantar (2003). (STS)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Rasa Kebangsaan 1928

-- Armada Riyanto CM*

SAAT revolusi fisik belum pecah, Indonesia tidaklah sunyi. Tahun 1928 dideklarasikan sebuah kesadaran revolusioner, ”cita rasa sebagai bangsa”. Rasa kebangsaan adalah energi kebersatuan yang memungkinkan tercipta negara bangsa baru, Indonesia.

Jauh dari ingar-bingar ritual upacara, ”Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sebenarnya merupakan produk rapat demi Kongres Pemuda Indonesia kedua.

Ada tiga kali rapat utama yang dilakukan di gedung berbeda-beda. Ketiga gedung itu sudah biasa dipakai untuk pertemuan kaum muda. Rapat pertama (Sabtu malam, 27 Oktober) berlangsung di Gedung Pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jalan Lapangan Banteng). Rapat kedua (Minggu pagi, 28 Oktober) di Gedung Bioskop ”Oost Java” di Medan Merdeka Utara. Ketiga (Minggu malam, 28 Oktober) di Indonesissche Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106 (Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, 695). Konon dalam satu dua sidangnya ada pula sambutan tertulis dari Soekarno, Tan Malaka, dan lainnya.

Motivasi

Kongres Pemuda Indonesia Kedua ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, seolah tidak mengandaikan konteks pergumulan sebelumnya. Kongres Kedua merupakan kelanjutan yang pertama dengan maksud tunggal, agar berbagai perhimpunan kepemudaan dapat berikhtiar menggalang persatuan yang lebih kokoh. Desakan untuk bersatu dipicu oleh hukuman pembuangan dr Tjipto Mangoenkoesoemo oleh pemerintah kolonial. Sebelum berangkat, dr Tjipto berkirim surat ke Soekarno agar bertekun untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi kemerdekaan Indonesia (Lih. Ibid. 682).

Soekarno menindaklanjuti pesan dr Tjipto dengan melakukan perundingan bersama pimpinan kaum muda lain di Bandung sampai terbentuk ”Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI) yang merupakan federasi PSI, PNI, BO, Pasoendan, Soematranen Bond, Kaoem Betawi, dan lainnya.

Semangat dan kehendak untuk bersatu ini kian menemukan motivasi setelah mereka mendengar kabar, para pemimpin Indonesia di Nederland (Hatta dan kawan-kawan) dibebaskan.

Serangkaian peristiwa ini mendorong para pemuda Indonesia mengadakan rapat-rapat untuk merencanakan Kongres Pemuda Indonesia II pada bulan Oktober. Terbentuklah panitia: Soegondo (ketua), Djoko Marsaid, Yamin (Jong-Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong-Batak), Djohan M Tjai (Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong-Celebes), J Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi).

Kongres 26-28 Oktober ternyata sebuah pertemuan akbar, dihadiri 750 orang. Uniknya, peserta tidak hanya dari putra-putri pribumi, tetapi juga dari keturunan China, bahkan Belanda.

Sidang pertama di Gedung Pemuda Katolik membahas tema persatuan Indonesia. Saat itu diperdengarkan pidato M Yamin berjudul Persatoean dan Kebangsaan Indonesia. Pidato ini mendapat tanggapan baik, di antaranya Kartosoewirjo yang mendukung pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Tema Sidang kedua lebih praktis, yaitu bagaimana ”kebangsaan” Indonesia diwujudkan secara nyata dalam pendidikan. Ki Hadjar Dewantara tidak bisa hadir. Rekannya, Sarmidi Mangoensarkoro, menguraikan visi dan teknik-teknik pendidikan untuk anak-anak bumiputra.

Sidang ketiga mengurai tema ”patriotisme” yang mengatasi suku, agama, ras, dan ideologi. Pembicaranya beragam: Ramelan, Islam, dari Kepanduan Sarekat Islam; Theo Pangemanan, Kristen, dari Kepanduan Nasional; dan Mr Sunarjo dari Persaudaraan Antarpandoe Indonesia.

Lalu Wage Rudolf Supratman, seorang Kristen, memperkenalkan lagu ciptaannya tanpa lirik (guna menghindari ketersinggungan pemerintah kolonial) dengan instrumen biola ditemani Dolly Salim (putri Haji Agoes Salim), seorang Muslim, yang memainkan piano. Saat itu suasana Kongres larut dalam alunan nada indah mengharukan. Kelak nada-nada itu akan menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Hampir gagal

Kongres II Oktober 1928 sebenarnya ”hampir gagal” karena tidak mencapai ”kesepakatan politik” untuk membentuk sebuah organisasi pemuda. Yamin, misalnya, sejak awal tidak pernah setuju peleburan berbagai organisasi politik. Tetapi, larut malam, Yamin (sekretaris) menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, ketua Kongres, berisi kalimat ”kebersatuan tekad hati.”

Kertas itulah draf dari apa yang kelak dikenal ”Sumpah Pemuda”, yaitu bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat itu lantas menjadi entry point peradaban baru, yakni kedalaman rasa kebangsaan Indonesia.

Dari perhelatan Kongres Pemuda Oktober 1928, kita belajar sebuah kedalaman makna, apa artinya menjadi bangsa. Seperti diajarkan Mahatma Gandhi, rasa kebangsaan tidak lain adalah rasa kemanusiaan. Artinya, dalam rasa kebangsaan, yang ada adalah solidaritas, perdamaian, kebersatuan, kesetiakawanan, kerja sama, tekad hati menatap masa depan yang lebih cemerlang.

Cita rasa semacam ini mengatasi sekat-sekat kesukuan, kepercayaan, kepentingan golongan ras, juga ortodoksi ajaran agama atau ideologi maupun tradisi kultural. Kecemerlangan ”rasa kebangsaan” 1928 dengan demikian bukanlah milik masa lampau. Milik kita juga. Saat ini.

* Armada Riyanto CM, Rektor STFT Widya Sasana, Malang

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Sunday, October 26, 2008

Apresiasi: Sumpah Pemuda sebagai Puisi

-- Asarpin*

PERGULATAN menentukan identitas politik dan kultural sejak mula berdiri organisasi pribumi awal abad ke-20 mencapai klimaks pada 28 Oktober 1928, yang kelak dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Teks sumpah yang dicetuskan kaum muda ini berisi tiga proyek Indonesia seumur hidup: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dari tiga proyek itu, barangkali proyek bahasa paling sering mendapat tekanan di kalangan sastrawan. Karena itu ada anggapan bahwa perkembangan bahasa Indonesia relatif lebih dinamis dan kreatif dibandingkan yang terjadi pada proyek bangsa atau kebangsaan.

Kendati demikian, pernah juga orang memandang sebelah mata terhadap bahasa Indonesia. Masalah bahasa dianggap remeh, sudah selesai.

Saya teringat pada Pramoedya Ananta Toer, ketika pada suatu hari ia begitu kecewa pada mereka yang meremehkan bahasa Indonesia. "Anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah masalah kecil nan remeh adalah anggapan primitif. Mengingat kedudukan bahasa Indonesia bukan saja menjadi bahasa resmi, melainkan juga bahasa pergaulan nasional. Namun, bila dulu bahasa dan politik bergandengan tangan menentang penjajahan, kini ia berjalan sendiri-sendiri, dan tak jarang terpaksa merangkak-rangkak. Politik lebih senang membiarkan kawan sejawatnya, bahasa Indonesia, berganti dengan bahasa asing".

Pram tidak antiasing, malah pernah menganjurkan metode pembenahan bahasa Indonesia dengan melihat bahasa asing seperti Jepang. Hanya saja, kata Pram, di lapangan ini tampak ciri-ciri ketakutan orang menghadapi segala yang berbau Barat atau asing, terutama yang menimbulkan kenangan-kenangan pahit di masa penjajahan. Walau dengan alasan apa pun juga, ketakutan ini tidaklah sehat dan merupakan penyakit-penyakit impotensi kemasyarakatan yang merajalela.

Afrizal dan Sutardji

Dalam usia Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun ini, ternyata tak banyak penyair yang menempatkan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi. Karena itu tawaran Afrizal dan Sutardji berikut ini menarik diekspresikan.

Dalam Sesuatu Indonesia, Afrizal mengutip salah satu puisi Rustam Effendi yang ditulis 1926, dua tahun sebelum kelahiran Sumpah Pemuda, dengan pemberontakannya yang khas modernitas: "Seloka lama beta buang beta singkiri".

Puisi Rustam tersebut, kata Afrizal, tak mendapat perhatian nasional sebagaimana terjadi pada Sumpah Pemuda: "Padahal apa bedanya pemberontakan Rustam dengan pemberontakan para pemuda yang mau mengganti yang lama dengan yang baru itu," tulisnya.

Bedanya, jawab Afrizal sendiri: "Terletak pada klaim puisi yang cenderung berlangsung sebagai individualisme, sementara Sumpah Pemuda adalah pemberontakan ramai-ramai."

Dengan kata lain: Sumpah Pemuda bicara dengan klaim "kami", sementara sajak seloka Rustam bicara dengan klaim "aku", sehingga yang terakhir ini terkesan tak memiliki momen bersama. "Maka wajar saja jika puisi tak pernah jadi acuan dalam kehidupan sosial-politik," tulis Afrizal.

Alasan mengapa hal itu terjadi sudah bisa diduga karena bahasa Indonesia dibayangkan sebagai sesuatu; sesuatu yang digunakan untuk penyatuan. Dan kita tahu, akar bahasa Indonesia tidak lain adalah politik.

Dari masa Pujangga Baru sampai lahirnya Orde Lama, bahasa Indonesia masih ditempatkan dalam kancah pergolakan politik dan nasionalisme. Demikian pula pada Orde Baru, politik bahasa dan bahasa politik menjadi ajang kontestasi para politikus dan birokrat.

Bagi Sutardji, Sumpah Pemuda sering dilihat sebagai teks sosial-politik, bukan sebagai puisi, maka kreasi di kalangan penyair nyaris mati. Puisi pun jadi klise-klise verbal. Karena itu, Sutardji menawarkan jalan keluar dengan menempatkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi. Bahkan secara spesifik ia menyebut puisi mantera. Salah satu sajak Tardji terbaru yang ditulis saat reformasi 1998 lalu,

berjudul Cari, terang-terangan mengajak kita untuk menghayati kembali Sumpah Pemuda dan menempatkannya sebagai puisi mantera, sehingga tak ada lagi dikotomi Sumpah Pemuda dan sastra sebagaimana dalam pandangan Afrizal.

Tardji mengajak kita untuk mencari bahasa, mencari pengucapan, dengan menimba spirit Sumpah Pemuda. "Saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantera," tulis Tardji.

Pengulangan tiga kali dalam larik teks Sumpah Pemuda itu tak ubahnya dengan puisi magi dengan nuansa yang dekat dengan sajak Tanah Air, Bahasa-Bangsa Muhammad Yamin tahun 1920-an. Kehadiran sajak Tanah Air Mata dan Cari Sutardji sendiri diniatkan untuk memecah kebekuan bahasa Indonesia berikut menguatkan kata dari kedalaman makna.

Jika sebelumnya Tardji membebaskan kata dari kuda troya yang disandangkan padanya, mengaduk-aduk kata benda menjadi kata sifat atau kata sifat menjadi kata benda, tidak lain karena Tardji sungguh mencium bau kolonial dalam bahasa Indonesia. Pramoedya benar ketika dalam esai Bicara Tentang Bahasa Indonesia di majalah Mimbar Penyiaran DUTA No. 2 Februari 1954 mengatakan: "Setiap orang mempunyai hak untuk merevolusi bahasanya sendiri, baik bersifat asasi maupun aksidental.

Setiap kita juga memiliki kemerdekaan ekspresi untuk merubah kata-kata benda menjadi kata-kata sifat. Kita mempunyai kebebasan penuh untuk melepaskan diri dari buntut bahasa Belanda. Asalkan semua dikerjakan sekonsekuen mungkin, dan bukan cuma memanjangkan keluhan impotensi."

Saya kira apa yang dilakukan Sutardji dengan mengubah kata benda menjadi kata sifat, atau sebaliknya, bukan sebuah keluhan yang impoten. Kebebasan melakukan "penyelewengan" terhadap bahasa Indonesia yang telah dijahili kolonialisme itu, bagi Tardji menjadi semacam keharusan untuk dilakukan bila ia memang mencium bau politik kolonial di dalamnya. Bukan sekadar kenenesan atau kelatahan apalagi gagah-gagahan untuk menyembunyikan ketidakmengertian berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Tardji punya andil menghidupkan kembali api bahasa Melayu lisan yang kreatif dan bertenung, yang banyak digunakan para pawang dan dukun-dukun di desa-desa di tanah Melayu. Kata-katanya penuh gairah-girang seperti orang yang menulis dengan kesurupan, dan tak jarang merangsang saya ikut bercepat. Tardji memberontak terhadap konvensi bahasa warisan kolonial dan politik sebagai panglima Orde Lama dengan menyusun konvensi puisi dengan gaya sendiri.

Bukan sekadar kebetulan jika sebanyak tiga kali Tardji mengulang kata "penjajahan" dalam Kredo Puisi 1973 yang terkenal itu: (1) Kata-kata harus bebas dai penjajahan pengertian (2) membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata (3) serta membebaskan kata-kata dari penjajahan gramatika. Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri.

Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Saya kira, konsekuensi itu pula yang disadari oleh Afrizal Malna ketika melihat bahasa Indonesia yang berkembang sebagai produk kolonial. Indonesia menjadi sesuatu, sekaligus itulah sesuatu Indonesia: sesuatu di sekitar imajinasi nasional yang hidup dalam setiap individu orang Indonesia, yang bahasa persatuannya sekian lama menghegemoni kebebebasan mencipta bahasa ibu sendiri.

Karena itu, kata Afrizal, membaca puisi-puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia selama ini, seperti sebuah perjalanan yang gamang dalam mengendalikan Indonesia sebagai sesuatu lagi. Karena itu, "mengembalikan puisi kepada fenomena komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat di sini menjadi penting".

Begitukah? Ah!

* Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Oktober 2008

Saturday, October 25, 2008

Sosok: Sejarah, Gagasan di Balik Peristiwa

-- St Sularto

Menjelang pengukuhan guru besarnya, Prof Dr Antonius Eddy Kristiyanto OFM (50), teringat sejumlah nama. Di antaranya Kardiyat Wiharyato, guru sejarah di SMP Kanisius Pakem, Sleman, Yogyakarta, serta Martinus Antonius Weselinus (MAW) Brouwer OFM, psikolog dan kolumnis yang menentukan masa depannya sebagai anggota Ordo Fratrum Minorum (OFM).

Pak Kardiyat menimbulkan minat saya studi sejarah. Pengetahuan ensiklopedisnya mampu mengaitkan peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya. Saat mengajar ia tak bawa buku, bercerita sepanjang jam pelajaran. Pengetahuannya amat komprehensif,” kata Eddy Kristiyanto OFM.

Mengenang Pak Kardiyat, baginya, berarti menghidupkan ingatan benih minat belajar sejarah sejak kelas I SMP Kanisius, Pakem. Mengenang awal-awal pendidikan menengah, berarti mengenang tingkah laku ”usil”.

Ia menyebut salah satu contoh. Setamat SMP, ia tak diterima di Seminari Menengah Mertoyudan karena saat tes malah mandi dengan menceburkan diri ke bak air. ”Padahal bak kamar mandinya bersambung, jadi airnya kotor semua.”

Tentang MAW Brouwer, Eddy bercerita, setamat SMA Seminari Menengah Stella Maris dan SMA Mardi Yuana Bogor tahun 1977, ia melamar ke OFM. Ketika tes psikologi, ia diminta menuangkan pemikirannya tentang perkawinan dalam gambar. Ia teringat ilustrasi GM Sudarta di buku kumpulan tulisan MAW Brouwer, Bapak Ibu Dengarlah!

”Saya gambar seorang ibu gendut di atas kereta dengan suaminya sebagai kuda. Saya tidak diterima,” katanya.

Eddy lalu ke Bandung menemui MAW Brouwer OFM. Ia menghadap Brouwer. ”Saat saya masuk ke kamarnya, dia sibuk mengetik. Tanpa melihat saya, dia bertanya, ’Kamu mau masuk fransiskan? Saya jawab, ya Pater. Sambil terus mengetik ia bilang, ya masuk sana.’ Beberapa hari kemudian saya menerima surat diterima sebagai calon fransiskan.”

Mengenai kecintaannya pada sejarah gereja, diawali saat ia diminta belajar Sejarah Gereja di Universitas Kepausan Gregoriana Roma, tahun 1989. ”Awalnya saya merasa cupet, bahasa Latin saya, bahasa resmi gereja yang berabad-abad dipertahankan, amat terbatas. Padahal, hampir semua sumber pertama ditulis dalam bahasa Latin,” katanya.

Hari Sabtu (25/10) ini, Dr Eddy Kristiyanto, Ketua STF Driyarkara ini, dikukuhkan sebagai guru besar bidang sejarah dengan orasi ilmiah Sejarah sebagai Locus Philosophicus et Theologicus di Kampus STF Driyarkara, Jakarta.

Tujuh tahun belajar di Roma dengan obyek penelitian disertasi di Jerman tentang ”uskup buruh” Wilhelm Emmanuel von Ketteler (1811-1877) mengkristalkan beberapa keyakinannya, antara lain bahwa belajar sejarah itu berbeda dengan belajar renang, misalnya. Mahasiswa yang tak belajar khusus ilmu sejarah, umumnya tak dibekali metode telaah historis. Ini perlu disiasati dengan pengetahuan komprehensif.

Tiadanya pengetahuan ini membuat orang tak mampu menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. ”Pendasaran metodologi perlu kuat. Kalau pengalaman eksistensial merupakan salah satu basis belajar sejarah, maka terjun langsung tak cukup. Perlu piranti untuk membedah dan menganalisis pengalaman.”

Belajar sejarah berarti memahami gagasan atau alam pikiran di balik peristiwa. Data historis itu penting dan bermanfaat, tergantung bagaimana menghidupkannya menjadi sejarah alam pikiran dan makna yang berkaitan dengan faktor sosial, politik, ekonomi, dan kultural.

Historiografi

Mirip pendekatan historiografi yang dipelopori Prof Sartono Kartodirdjo? ”Ya, belajar sejarah itu tak identik dengan mencatat dan menghafal data historis,” kata Eddy.

Meminjam istilah Frankle, teori-teori historiografis sudah menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Belajar sejarah gereja Eropa berarti belajar sejarah Eropa.

”Saya mengambil Jerman untuk penelitian, karena Jerman itu sumber semua ilmu sosial keagamaan. Teori dan tokoh pemikir besar lahir dan tumbuh di sini. Ini termasuk pemikiran besar yang diadopsi dan memberi inspirasi teologi pembebasan di Amerika Latin.”

Lewat tokoh Uskup Von Ketteler, uskup kaum buruh yang hidup di abad ke-19 itu, Eddy memperoleh keyakinan tentang ilmu sejarah. Sejarah merupakan rekayasa pikiran sejarawan. Hal yang banyak diketahui sejarawan adalah masa lampau, sementara masa kini dan masa depan, relatif sedikit.

Kebenaran sejarah bersifat sementara. Ketika ditemukan data baru, seharusnya dilakukan koreksi dan interpretasi baru. Semakin banyak data dan bahan, semakin baik sejarawan melakukan interpretasi. Dalam arti, semakin obyektif dan semakin konvergen. Historiografi diperlukan untuk melengkapi data. Ini berarti sejarah membutuhkan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi.

Menyangkut pendidikan sejarah, mestilah dihapus rasa kekhawatiran. Biarkan anak-anak tahu seperti adanya. Sesuatu yang tak gampang diwujudkan dalam sebuah negara otoriter. Sebaliknya, di negara yang kurang otoriter, dengan proses pendewasaan yang lebih cepat, fakta historis bisa disampaikan lebih awal.

Konsep locus philosophicus et theologicus—proposisi judul pidatonya, kata Eddy, dipungut dari Melchior Cano (meninggal 1560). Locus tak sekadar berarti tempat, tetapi prinsip teologis. Locus sesungguhnya berasal dari pewahyuan, sedangkan ”tempat asing” dapat dikenali oleh kodrat insani. Maka, sejarah dengan akal budi dan otoritas filosofis merupakan locus atau sumber teologis dari teologi.

Tentang masalah obyektivitas sejarah, menurut dia, ada dua hal yang perlu dipertimbang- kan. Pertama, interpretasi sebagai bagian dalam menetapkan fakta historis. Kedua, tidak ada interpretasi yang mutlak obyektif.

Sejarawan diandaikan tahu sebenar-benarnya dan selengkapnya tentang fakta historis. Pengetahuan bermanfaat untuk melihat jati diri sekaligus bahan belajar masa kini dan masa depan.

Lalu, apa kunci agar obyektivitas sejarah bisa dipertanggungjawabkan? Ketika sejarawan taat dan konsisten pada prinsip-prinsip penelitian, di antaranya bisa mempertanggungjawabkannya sebagai kebenaran ilmiah, tak berat sebelah, dan bebas dari kepentingan non-ilmiah.

BIODATA

Nama: A Eddy Kristiyanto OFM
Lahir: Degolan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta
Pendidikan:
- Sarjana Muda STF Driyarkara, 1982
- S-1 IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma), 1983
- S-2 Institut Filsafat Teologi St Paulus, Kentungan, Yogyakarta, 1986
- Doktor dari Universitas Gregoriana, Roma, 1996

Pekerjaan:
- Ditahbiskan sebagai pastor OFM, 1986
- Dosen di STF Driyarkara, sejak 1996
- Mengajar di FKIP Ilmu Teologi di Unika Atma Jaya, Jakarta, sejak 2006
- Anggota Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia, sejak 1998
- Anggota Office of Theological Concerns of FABC, Bangkok, sejak 2007

Karya buku antara lain:
- Gagasan yang Menjadi Peristiwa. Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, Yogyakarta, Kanisius, 2002
- Visi Historis Komprehensif. Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Kanisius, 2003
- Reformasi dari Dalam. Sejarah Gereja Zaman Modern, Yogyakarta, Kanisius, 2004
- Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta, Lamalera, 2008

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Oktober 2008

Friday, October 24, 2008

Warisan Budaya: Kearifan Lokal Bisa Selamatkan Manuskrip

DEPOK, KOMPAS - Indonesia selain memiliki kekayaan budaya juga memiliki kearifan lokal untuk menyelamatkan warisan budaya, seperti manuskrip. Namun, tidak banyak orang yang menyimpan manuskrip peduli dengan upaya pelestarian sehingga di banyak daerah, banyak manuskrip yang rusak dan terancam rusak.

Demikian benang merah seminar ilmu sosial-humaniora bertajuk Konservasi dan Pemanfaatan Kekayaan Tradisional Indonesia, memperingati 80 Tahun Sumpah Pemuda, dalam rangkaian kegiatan ”Reborn Indonesiaku”, di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Kamis (23/10).

Tamara A Susetyo-Salim, pengajar Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, manuskrip sebagai sebuah artefak budaya, yaitu hasil karya budaya manusia, merupakan sumber informasi yang penting, baik di perpustakaan, kearsipan, museum, serta pusat-pusat dokumentasi dan informasi lainnya.

Kertas daluang

Peneliti Mufid Susuri yang mempresentasikan tentang Sejarah dan Penyelamatan Kertas Daluang mengatakan, sebagai kekayaan budaya bangsa, upaya penyelamatan kertas daluang perlu disegerakan.

”Sudah terbukti bahwa daluang dapat bertahan hingga mencapai usia ratusan tahun. Tradisi pembuatan kertas ini hanya dapat dijumpai di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat,” katanya.

Saat ini, keberadaan daluang di Kabupaten Garut itu masih dilanjutkan oleh generasi ketiga keluarga pewaris. Meski demikian, keluarga tersebut hanya membuat kertas daluang jika ada pesanan. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 24 Oktober 2008

Tuesday, October 21, 2008

Seminar: Arsip tentang Peran Pemuda Diabaikan

Jakarta, Kompas - Kepala Arsip Nasional RI Djoko Utomo mengatakan, Arsip Nasional menyimpan banyak bukti otentik tentang peran pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa. Sayangnya, banyak pemuda atau masyarakat umum yang tidak mengetahui dan menjadikannya sebagai sumber rujukan atau penambahan pengetahuan.

Djoko Utomo mengatakan hal itu dalam seminar tentang Peranan Pemuda dalam Sejarah, yang digelar Arsip Nasional RI, Senin (20/10) di Jakarta.

Anhar Gonggong, sejarawan, pada kesempatan itu mengatakan, Republik Indonesia akan terpuruk jika sistem politik dibangun seperti sekarang. Misalnya, rakyat diwakili oleh orang- orang yang tidak paham sejarah bangsa serta visi dan misi perjuangan bangsa. Mereka dicalonkan menjadi anggota legislatif hanya karena kedekatan dengan pemimpin partai atau memiliki modal materi.

”Ini gejala keterpurukan republik ini jika partai-partai tidak memiliki pola perekrutan dan standar kualitas anggota legislatif,” ujarnya.

Anhar juga menegaskan bahwa kemiskinan di banyak daerah, kesehatan masyarakat yang menyedihkan, anak-anak yang alami gizi buruk dan kurang gizi di sejumlah daerah, bahkan ada warga yang kelaparan karena tidak makan, merupakan cacat kemerdekaan.

”Selama kemiskinan itu belum teratasi, kesehatan masyarakat belum lebih baik, dan selama anak-anak generasi masa depan belum terperhatikan gizinya, maka di sana ada cacat kemerdekaan,” ujarnya.

Menurut Anhar, pemuda harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dan mengantisipasi cacat kemerdekaan itu. Kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang harus dikembangkan secara terus-menerus.

Sementara itu, Cosmas Batubara, salah seorang pelaku sejarah Angkatan 66, mengatakan, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru yang membawa tiga tuntutan atau Tritura, murni dirumuskan para pemuda. Tuntutan itu tanpa muatan politik dari partai politik, tetapi sungguh-sungguh bentuk keprihatinan mahasiswa atas keterpurukan kondisi bangsa saat itu. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008

Arkeologi: Ratusan Benda Bersejarah Terbengkalai

Kediri, Kompas - Ratusan benda bersejarah yang pernah ditemukan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, kondisinya terbengkalai. Benda-benda purbakala itu bahkan ada yang disimpan di rumah-rumah penduduk dan di balai desa.

Hanya sebagian kecil yang disimpan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri. Itu pun tempat penyimpanannya tidak representatif. Benda-benda itu hanya digeletakkan begitu saja di sebuah ruang mirip gudang di belakang gedung DPRD Kabupaten Kediri.

Padahal, berdasarkan catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jatim di Trowulan, Mojokerto, jumlah benda bersejarah yang ditemukan di Kediri sepanjang tahun 1988 sampai dengan 2003 mencapai 378.

”Bentuknya beragam, mulai dari arca, guci, mangkuk, batu relief, batu candi, gandik, lingga, yoni, miniatur candi, sampai perhiasan emas zaman kerajaan dan lempengan emas kuno,” ujar Kepala Seksi Seni Budaya Dinas Pariwisata Kabupaten Kediri Suradi, Senin (20/10) di Kediri.

Pada tahun 2005 ditemukan sebuah benda purbakala yang disebut Patirtan Jala Dwara di Desa Sukorejo. Benda itu kemudian disimpan di Museum Mpu Tantular, Surabaya.

Kemudian pada tahun 2008 ditemukan sedikitnya 12 benda bersejarah dari Situs Tondowongso di Desa Tondowongso. Keseluruhan benda itu saat ini disimpan di Museum Trowulan.

Baru-baru ini ditemukan sedikitnya tujuh benda bersejarah di Desa Sumbercangkring. Benda- benda itu sebagian disimpan di kantor balai desa setempat, sebagian lagi berada di lokasi penemuan di tengah ladang warga dan sebagian lainnya di rumah warga.

Total benda bersejarah yang ditemukan sampai dengan saat ini dan sudah diinventarisasi mencapai 390 unit. Jumlah benda bersejarah yang ditemukan, tetapi belum diinventarisasi diprediksi jauh lebih banyak lagi.

Pemerintah daerah secara resmi sudah mengirim surat kepada pengelola museum untuk mengetahui berapa jumlah benda dari Kediri yang ada di Museum Nasional, Museum Mpu Tantular, dan Museum Trowulan.

Menurut Kepala Bagian Humas Pemkab Kediri Sigit Rahardjo, pihaknya sebenarnya berkeinginan mengumpulkan benda- benda bersejarah tersebut pada suatu tempat. Dengan demikian, warisan budaya Kediri tetap bisa dinikmati masyarakat sepanjang masa dengan mudah.

Sigit juga sependapat, pembangunan tempat penyimpanan yang representatif sangat mendesak, mengingat banyaknya benda yang ditemukan. Apalagi Kediri, konon pada masa kerajaan, disebut-sebut sebagai salah satu pusat kebudayaan di Indonesia.

Permasalahannya, pihaknya tidak mengerti apakah hal itu diizinkan. Selama ini setiap ada penemuan benda bersejarah hanya dilaporkan kepada BP3 Trowulan. (NIK)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008

Monday, October 20, 2008

Sosok: Drugov dan Watak Kebangsaan

-- Subhan SD

KETIKA sejumlah pelajar Indonesia asyik memainkan lagu Rayuan Pulau Kelapa dalam alunan musik kolintang pada pembukaan Indonesia Expo di Kedutaan Besar Indonesia di Moskwa akhir September lalu, seorang lelaki tiba-tiba berdiri dan menyanyikan lagu ciptaan Ismail Marzuki itu dalam bahasa Rusia.

Pria itu, Prof Dr Alexey Drugov, merasa selalu rindu Indonesia. Maka, saat mendengar alunan musik kolintang, ia meminta pengeras suara. Tanpa sungkan, ia bernyanyi di hadapan ratusan undangan. Kerinduannya kepada Indonesia tak terungkapkan dengan kata-kata. Kedekatannya dengan Indonesia hanya bisa dirasakan di dada. Drugov yang mahir berpantun itu adalah salah satu benang sejarah hubungan Indonesia dan Rusia.

Oleh karena itu, ia melakukan penelitian tentang Indonesia, khususnya sejarah politik. Guru besar dan peneliti utama pada jurusan bahasa dan sejarah di Lembaga Ketimuran Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia sejak tahun 1960 ini melahirkan sejumlah buku (dalam bahasa Rusia) mengenai sejarah dan politik Indonesia modern, terutama terkait dengan rezim penguasa di Indonesia. Studi itu dia lakukan secara intens sejak zaman Demokrasi Terpimpin hingga kini.

Menurut Drugov, sejak reformasi menjadi panglima dalam 10 tahun terakhir, terlalu banyak tuntutan yang ditimpakan di pundak pemimpin Indonesia. Sosok pemimpin diharapkan segera menyelesaikan semua persoalan yang membelit sejak negeri ini dilanda krisis ekonomi. Padahal, problem bangsa Indonesia begitu kompleks sehingga tugas itu tak mudah.

”Baru saja bangsa Indonesia memasuki sistem demokratis. Bukan hanya Presiden Yudhoyono, siapa pun tak akan sanggup (menangani problem bangsa yang kompleks). Seharusnya semua pihak punya tanggung jawab,” kata ayah satu anak dan kakek dua cucu ini.

Butuh waktu lama

Dari potret presiden yang telah memimpin Indonesia, sebenarnya bisa dengan mudah ditarik pelajaran. Fenomena Soekarno sungguh menarik karena bisa diamati bagaimana tokoh itu tampil jaya, kemudian tumbang serta bangkit kembali dalam pemikiran-pemikirannya.

Menurut Drugov, Soeharto memiliki hubungan dengan upaya pemberangusan banyak orang pada masa Orde Baru. Sedangkan BJ Habibie terkenal pintar, tetapi dikenal dekat dengan Soeharto. Baginya, Presiden Abdurrahman Wahid adalah bukti Islam yang demokratis. Sedangkan Megawati Soekarnoputri memiliki hubungan dengan pemikiran Soekarno.

Bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono? Kata Drugov, Yudhoyono tidak hanya memikirkan kemajuan ekonomi, tetapi ia juga memerhatikan sisi kepribadian atau watak bangsa.

Memang, tambahnya, sebagai sebuah bangsa, kemajuan di bidang ekonomi menjadi sasaran utama. Bagaimanapun, kesejahteraan rakyat adalah cita-cita luhur dari sebuah entitas yang mengikat diri sebagai bangsa. Namun, bangsa itu akan maju jika fondasinya, watak kebangsaannya kuat.

Jika mengejar salah satu di antaranya, yang terjadi adalah ketimpangan. Bangsa yang timpang justru akan mudah terpuruk. Bangsa itu menjadi rentan akan ancaman atau gangguan. Runyamnya, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa bangkit.

Oleh karena itu, Drugov yang tak mampu menahan diri untuk ikut bernyanyi bila mendengar lagu Bengawan Solo ini mengingatkan, pembangunan ekonomi dan watak bangsa Indonesia haruslah seiring sejalan. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada sendi-sendi ekonomi sebagaimana digencarkan pada masa Orba ternyata berfondasi keropos dan mudah rapuh.

”Ketika krisis, justru Indonesia yang terkena paling dahsyat di Asia Tenggara,” kata lelaki yang meraih gelar doktor pada tahun 1999 ini.

Begitu juga sebaliknya, bila pembangunan watak tak diimbangi pembangunan ekonomi sebagaimana pada masa Orde Lama, kekuatan bangsa pun mudah terkoyak. Kepercayaan terhadap pemimpin dengan mudah goyah dan ujung-ujungnya menyisakan problem besar. Ini sebagaimana dialami Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an.

Menjadi juru bahasa

Sejarah Indonesia, bagi Drugov, tak ubahnya bagian sejarah hidupnya. Wajarlah bila kerinduannya dengan Indonesia begitu tinggi. Apalagi, karena ia pernah berhubungan langsung dengan para tokoh Indonesia.

Persinggungannya dengan tokoh-tokoh Indonesia pada masa lalu terjadi ketika ia menjadi juru bahasa misi militer Uni Soviet di Indonesia selama tahun 1962- 1964. Saat peta politik Indonesia memanas itu, ia tinggal di Jakarta. Ia menjadi saksi pergolakan politik dan ideologi tiga titik: nasionalis, agama, dan komunis.

Ketika itu, ia menjadi salah satu kunci komunikasi kemesraan antara Indonesia dan Uni Soviet. Setiap kali pejabat Uni Soviet bertemu dengan petinggi Indonesia, dialah yang menjadi penerjemah. Sampai sekarang pun ia masih terkenang saat menjadi juru bahasa bagi Presiden Soekarno, Jenderal AH Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Laksamana RE Martadinata, dan Marsekal Omar Dhani.

”Waktu itu banyak tokoh Soviet datang dalam rangka Trikora,” kata Drugov.

Sebelumnya, karena punya kemampuan berbahasa Indonesia, Drugov menjadi juru bahasa saat Festival Pemuda digelar di Moskwa tahun 1957. Salah satu pemuda yang datang kala itu, seingatnya, adalah penyair WS Rendra.

Tahun 1961-1962 ia menjadi juru bahasa perwira Angkatan Laut RI yang belajar tentang kapal selam di Vladivostok. Ia menjadi saksi kerja sama militer kedua negara saat pelatihan, tentang persenjataan, tank, hingga pesawat tempur seperti Sukhoi didatangkan ke Indonesia.

Ketertarikannya pada studi Indonesia sesungguhnya tanpa sengaja. Kala itu, saat komunisme dengan sistem yang kaku tak memungkinkannya memilih studi sesuai minatnya, studi jurusan Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sudah ditentukan kampusnya, Moscow Institute of Foreign Relations yang berada di bawah Departemen Luar Negeri Uni Soviet pada tahun 1954.

Ketika itu, kenang Drugov, orang yang belajar bahasa Indonesia hanya sedikit, lima-enam orang Rusia, satu orang Ceko, seorang Jerman Timur, dan seorang Tionghoa. Siswa asal Jerman Timur, Gunther Galich, lalu menjadi Dubes Jerman Timur di Indonesia.

Kini, teman-teman seangkatan Drugov yang mampu memahami Indonesia, baik dalam bahasa maupun peta politik, semakin sedikit. Orang-orang lama di masa yang melambangkan romantika hubungan Indonesia-Uni Soviet kian berkurang.

Kalau saja ada yang bisa dipetik dari sejarah, betapapun kelamnya, mestinya bisa memunculkan tunas-tunas yang mampu menjalin hubungan baru di antara kedua bangsa. Itulah pula yang menjadi kerinduan Drugov.


Biodata

Nama: Alexey Drugov

Lahir: Moskwa, 12 April 1937

Istri: Natalia

Pendidikan: Moscow Institute of Foreign Relations, jurusan Bahasa Indonesia

Pekerjaan: Guru besar di Lembaga Ketimuran Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia

Buku:

1. ”Indonesia dalam Masa Demokrasi Terpimpin”, 1969

2. ”Indonesia Sesudah 1965”, 1972

3. ”Rezim Politik di Indonesia”, 1987

4. ”Rezim dan Budaya Politik Indonesia”, 1998

5. ”Indonesia” (buku ajar untuk mahasiswa), 2005

6. ”Indonesia Zaman Reformasi 1987-2006”, masih dalam proses

Sumber: Kompas, Senin, 20 Oktober 2008

Sunday, October 19, 2008

Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

-- Nezar Patria

HASAN Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.

Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.

Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.

Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.

Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.

Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.

Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: ... To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!

Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.

Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.

Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.

Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.

Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.

Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.

Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?

Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.

Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.

Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.

Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.

* Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).

Sumber: Kompas, Minggu, 19 Oktober 2008

Saturday, October 18, 2008

Arkeologi: Ditemukan Kapak Batu Manusia Purba

KUDUS, KOMPAS - Tim Balai Arkeologi Yogyakarta yang tengah melakukan ekskavasi di formasi Kancilan Situs Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, 7 kilometer timur pusat pemerintahan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Jumat (17/10), menemukan sebuah batu warna hitam berukuran panjang sekitar 12 sentimeter dengan ketebalan 2-5 sentimeter.

Menurut Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, batu yang ditemukan di pinggir Sungai Kancilan tersebut berbahan batuan beku basalt dan dinamakan kapak batu. ”Ini salah satu alat manusia purba (Homo erectus) yang hidup antara satu juta hingga 700.000 tahun lalu di Situs Patiayam ini,” tuturnya.

Penemuan batu tersebut merupakan kali kedua dalam tahun 2008, sehingga, menurut Siswanto, Situs Patiayam menjadi situs lengkap, yaitu memiliki manusia purba, fauna invertebrata dan vertebrata serta alat-alat batu manusia, dalam satu seri perlapisan tanah yang tidak terputus sejak minimal satu juta tahun lalu. ”Batu tersebut untuk sementara dibawa dan disimpan di Kantor Balai Arkeologi Yogyakarta untuk penelitian lebih lanjut,” tuturnya.

Ekskavasi terhadap fosil gajah purba di formasi Kancilan yang bertujuan untuk lokasi pendirian gardu atraksi dinyatakan selesai tahap pertama. Artinya, pihak pelaksana pembangunan gardu atraksi segera bisa melanjutkan pembangunan fisik.

Menurut Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus, Brata Subagya, melalui Kepala Seksi Sejarah Museum dan Purbakala, Sancaka Dwi Supani, pembangunan gardu atraksi tersebut dibiayai APBD Kudus 2008 sebesar Rp 40 juta. Namun, belum termasuk jalan menuju lokasi yang berjarak sekitar 200 meter yang masih berupa jalan tanah. (SUP)

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008

Di Mana dan ke Mana Indonesia?

-- Ahmad Syafii Maarif*

INDONESIA adalah negara terbesar keempat di dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat. Tahun 2015 penduduk bumi naik menjadi delapan miliar. Indonesia sekarang sekitar 225 juta orang, naik lebih tiga kali lipat saat kita menyatakan kemerdekaan tahun 1945.

Optimisme untuk melawan kemiskinan global kian kuat. Angka statistik sebagaimana dikutip Fareed Zakaria dalam buku terbaru, The Post-American World (Mei 2008) dan sumber lain menjelaskan semua itu. Tahun 1981 ada sekitar 40 persen penduduk dunia dengan penghasilan hanya satu dollar AS per hari, tahun 2004 tinggal 18 persen. Diharapkan pada tahun 2015 akan menurun sampai 12 persen. Terorisme juga akan jauh berkurang dalam beberapa tahun mendatang karena rakyat telah semakin membencinya. Dengan demikian, ketakutan kaum neokons AS, termasuk McCain, terhadap bahaya teror kian kehabisan alasan.

Kelompok neokons tidak saja cemas terhadap bahaya teror yang dapat mengancam negerinya, mereka juga amat khawatir bahwa AS akan kian kehilangan wibawa global, bahkan keruntuhan, sebagaimana penulis Perancis Emmanuel Todd telah mengatakan demikian sejak tahun 2002 dalam buku terkenal: After the Empire: The Breakdown of the American Order. Todd juga yang pernah meramalkan kehancuran Uni Soviet tahun 1975, jauh sebelum perestroika Mikhail Gorbachev dilancarkan.

Saya sendiri saking marah terhadap Bush pernah terpukau oleh Todd bahwa nasib AS tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Namun dengan karya Fareed Zakaria itu, saya harus bersikap lebih berhati-hati tentang hari depan AS. Yang akan terjadi bukan hancurnya AS sebagai bangsa dan negara, tetapi dalam ungkapan Zakaria adalah karena the rise of the rest (munculnya pusat-pusat kekuatan baru) yang dapat menyaingi, bahkan mengalahkan AS, khususnya di bidang ekonomi dan investasi. Bukankah sekarang dana investasi terbesar di planet bumi ada di Abu Dhabi, pusat industri film terbesar dunia adalah Bollywood (Mumbai, India), bukan lagi Hollywood? Gedung tertinggi kini di Taipei, sebentar lagi di Dubai. Perusahaan publik terbesar ada di Beijing, bukan di New York. Pesawat penumpang terbesar dibuat di Eropa, bukan di AS.

Dengan demikian, AS sebagai adikuasa satu-satunya pasca-Perang Dingin telah berakhir. Meski dari segi militer, AS masih kuat, hulu ledak nuklirnya berjumlah 830, dibandingkan China hanya 20, tetapi sudah tidak bisa lagi mendikte dunia, seperti dilakukan selama lebih dari setengah abad terakhir. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika kini berlomba bangkit.

Indonesia 2015

Berbagai kekuatan baru itu sebenarnya sudah dikenali, yaitu: China, India, Brasil, plus Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Cile, Afrika Selatan, Malaysia, Argentina, dan Rusia. Pertanyaannya, di mana dan ke mana Indonesia tahun 2015? Brasil yang dulu sarat korupsi, dengan kepemimpinan visioner, segalanya mulai berubah secara fundamental. Negeri jiran Malaysia, meski terjadi keretakan politik domestik, toh fundamental ekonominya lebih tertata.

Di Indonesia, dalam tenggang 10 tahun reformasi belum terjadi perubahan yang mendasar di bidang ekonomi. Birokrasi kita masih korup dan tidak efisien. Kita tetap rentan menghadapi gejolak pasar dunia; bukan saja rentan, bahkan sering lingkung. Apakah negeri kita terlalu luas dan sulit diatur? Inilah yang memprihatinkan, mengapa negeri kepulauan ini belum melahirkan negarawan yang siuman dan paham betul bagaimana memperbaiki keadaan agar bangsa ini lebih bermartabat dan punya kebanggaan diri.

Memang ada administrator di posisi bagian puncak yang cakap dan berani, tetapi sungguh sulit untuk dijual di pangsa pasar politik. Polling-polling yang ada tetap menyudutkan tokoh ini, padahal dialah pemain sebenarnya di balik keberhasilan negara ini dalam mengatasi masalah Poso dan Aceh.

Adapun di bidang ekonomi, kita masih rapuh. Resep-resep IMF dan Bank Dunia untuk perbaikan fundamental ekonomi sejak beberapa tahun ini adalah cerita kegagalan meski ada saja ekonom kita yang tercuci otaknya oleh resep itu.

Pemimpin visioner

Fareed Zakaria tentu belum akan memasukkan Indonesia dalam kategori the rise of the rest karena argumen dan data statistik untuk itu belum tersedia. Inilah sebuah negeri yang sebenarnya tidak terlalu miskin dalam sumber alam, tetapi amat sulit menemukan pemimpin visioner yang berani ambil risiko untuk kepentingan lebih besar: bangsa dan negara.

Politisi jangan ditanya lagi. Prioritas utama mereka umumnya adalah bagaimana menggerogoti harta negara untuk kepentingan sesaat. Sungguh tragis, lingkungan kultur kita tetap kumuh. Dengan tingkat kemiskinan sekarang berdasar standar dua dollar AS per hari per kepala, angkanya pasti di atas 100 juta warga negara atau sekitar 40 persen yang masih berkubang dalam kemiskinan.

Mati karena berebut zakat beberapa waktu lalu adalah salah satu indikator tentang keadaan riil masyarakat kecil kita. Drama ini amat menyakitkan. Namun, itulah realitas kita. Saya tidak tahu berapa jumlah elite politik kita yang benar-benar punya keprihatinan tentang bangsa ini?

Jika pada tahun 2015, angka kemiskinan dunia akan turun menjadi 12 persen, bagaimana Indonesia tahun 2014 saat pemilu kita laksanakan lagi? Proses demokratisasi yang tidak punya dampak positif bagi perbaikan gizi rakyat adalah sebuah malapetaka meski peradaban manusia belum menemukan sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Di sinilah dilemanya, di sinilah tantangan besar itu sedang berada di depan bangsa kita. Bahwa kita bisa bangkit, saya tidak meragukan, tetapi itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan siap berkorban, dimulai dari pemimpin sebagai pelayan publik.

* Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008

Kuat, Pengaruh Budaya Yunani di Nusantara

Palembang, Kompas - Pengaruh kebudayaan Yunani dan tokoh Raja Alexander Agung atau Iskandar Zulkarnain menyebar luas sampai ke wilayah Nusantara. Beberapa bukti mengenai pengaruh kebudayaan Yunani itu tampak dalam bahasa, abjad, filsafat, arsitektur, mata uang koin, dan dalam berbagai hikayat.

Demikian kesimpulan dalam seminar internasional tentang Iskandar Zulkarnain di Hotel Novotel Palembang, Jumat (17/10),l yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Di Sumatera Selatan juga dikenal mitos mengenai Iskandar Zulkarnain yang dimakamkan di Bukit Siguntang. Dalam mitos tersebut, Iskandar Zulkarnain disamakan dengan Panglima Sigentar Alam.

Menurut pakar filologi, Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain yang hidup sekitar tiga ratus tahun sebelum Masehi baru dikenal secara luas dalam sastra Melayu pada abad ke-15 Masehi. Nama Iskandar Zulkarnain diadopsi secara lokal karena kuatnya pengaruh Yunani sampai ke Asia.

Sebagai catatan, Iskandar Zulkarnain, yang merupakan raja Macedonia, melakukan penaklukan sampai ke wilayah India. Kemasyhurannya sebagai penakluk dan raja yang adil bijaksana tersebar sampai ke Asia Tenggara.

Henri mengungkapkan, masing-masing budaya lokal di Nusantara membuat cerita mengenai Iskandar Zulkarnain sesuai versinya sendiri. Dalam cerita Minangkabau, misalnya, Iskandar Zulkarnain dikisahkan sebagai orang yang menurunkan raja-raja di Melayu.

”Di Malaka, hikayat Iskandar Zulkarnain dibacakan kepada para prajurit dan bangsawan untuk mengobarkan semangat berperang. Saat itu, tahun 1511, Malaka dikepung Portugis,” kata Henri.

Menurut Henri, hikayat mengenai Iskandar Zulkarnain dikenal di Nusantara bersamaan dengan meluasnya ajaran Islam. Hal itu disebabkan, dalam Al- Quran surat Al-Kahfi disebutkan sepintas mengenai sosok Iskandar Zulkarnain.

Iskandar disebutkan sebagai orang yang berjasa mempertemukan kebudayaan barat dan timur. Iskandar juga disebut sebagai tokoh yang adil dan bijaksana.

Henri menjelaskan, hikayat mengenai Iskandar Zulkarnain diduga merupakan hikayat dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

”Tidak ada kaitan sejarah antara Iskandar Zulkarnain dan Melayu karena keduanya terpaut jarak dan waktu yang sangat jauh. Iskandar Zulkarnain sampai ke Melayu dalam bentuk tradisi sastra atau hikayat,” katanya.

Pengaruh kuat di Asia

Arkeolog Potitsa Grigorakou-Parnassos mengutarakan, pengaruh kebudayaan Hellenisme (pertemuan budaya Yunani dan budaya Timur) memiliki pengaruh kuat di Asia yang dibuktikan dari hasil penggalian arkeologi.

Pengaruh budaya Hellenisme menimbulkan era pencerahan di Asia. Dari hasil penggalian itu ditemukan bahwa bahasa Yunani telah digunakan secara luas di wilayah Asia sebagai bahasa resmi sebelum masuknya Islam di kawasan itu.

Iskandar Zulkarnain juga membangun 70 kota dengan nama Alexandria di daerah yang ditaklukkannya. Sebanyak sembilan di antaranya berada di wilayah paling timur dari wilayah kerajaan Iskandar Zulkarnain, yaitu Afghanistan, Uzbekistan, Tadzikistan, dan Pakistan. (WAD)

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008

Thursday, October 16, 2008

Budaya: Replika Balla Lompoa Siap ke Afrika

Sungguminasa, Kompas - Replika Balla Lompoa, Istana Kerajaan Gowa yang hingga kini masih berdiri di Sungguminasa, akan dikirimkan ke Cape Town, ibu kota Afrika Selatan pada 18 November. Replika itu rencananya akan didirikan di Kampoong Macassar, perkampungan anak keturunan Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, ulama asal Gowa, Sulawesi Selatan, yang menyebarkan ajaran Islam di Afrika Selatan.

Hal itu disampaikan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo ketika menerima kunjungan 14 warga Afrika Selatan keturunan Makassar yang datang ke Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa, Selasa (14/10) malam.

”Replika Balla Lompoa akan kami berangkatkan ke Cape Town pada 18 November. Kami juga akan memberangkatkan sejumlah orang yang akan memasang replika itu. Pembuatan replika itu dilakukan di Kabupaten Barru,” kata Ichsan.

Balla Lompoa di kompleks Istana Tamalatea Balla Lompoa saat ini difungsikan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka Kerajaan Gowa. Replika Istana Balla Lompoa yang akan dikirimkan ke Cape Town berukuran 9 x 12 meter. Sebagaimana Balla Lompoa di Gowa, seluruh bagian dari replika tersebut terbuat dari kayu.

Pada kesempatan yang sama, Konsul Jenderal RI untuk Afrika Selatan Andradjati menyatakan, perpustakaan yang dibangun Pemerintah RI di Cape Town rencananya akan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri Konferensi Asia-Afrika mendatang.

”Tahun ini akan berdiri perpustakaan di Kampoong Macassar, di tempat Syekh Yusuf Tuanta Salamaka,” kata Andradjati.

Syekh Yusuf Tuanta Salamaka adalah tokoh yang gigih melawan Belanda sehingga dibuang ke Cape Town tahun 1694. (ROW)

Sumber: Kompas, Kamis, 16 Oktober 2008

Friday, October 10, 2008

Naskah Kuno Digitalisasi, Ditargetkan 9.000 Naskah Bisa Dikerjakan

Jakarta, Kompas - Sebanyak 9.000 naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional yang bernilai sejarah tinggi akan diubah ke dalam bentuk digital sehingga naskah asli bisa terhindar dari kerusakan. Namun, dari koleksi sebanyak itu, baru 315 judul naskah yang telah ditransformasi dalam bentuk digital.

Staf Perpustakaan Nasional merapikan catatan katalog koleksi data yang masih dilakukan dengan sistem katalogisasi manual di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Salemba, Jakarta, Senin (6/10). Saat ini Perpustakaan Nasional sedang menyiapkan sistem digitalisasi pada materi maupun sistem database koleksi sehingga akan lebih mudah diakses dan dimanfaatkan masyarakat. (KOMPAS/LASTI KURNIA/Kompas Images)

Tidak semua naskah kuno atau manuskrip dapat ditransformasi ke dalam bentuk digital karena ada yang berbentuk benda-benda tertentu, misalnya aksara yang terukir di benda.

”Koleksi Perpustakaan Nasional sekitar 10.000 naskah kuno, sedangkan yang dapat ditransformasi digital sekitar 9.000 naskah, yakni naskah berbentuk lembaran,” ujar Kepala Perpustakaan Nasional Dady Rachmananta, Kamis (9/10) di Jakarta.

Transformasi digital tersebut sangat penting mengingat usia naskah sebagian besar sangat tua dan fisiknya ada yang sudah rusak. Perubahan ke bentuk digital diutamakan untuk naskah yang fisiknya sudah parah kondisinya. Koleksi naskah Perpustakaan Nasional ada yang dari tahun 1200-an atau sudah berumur lebih dari 800 tahun.

”Kalau naskah masih sering dibuka-buka dan tersentuh akan cepat hancur. Sekarang ini tidak sembarangan orang dapat memegang secara langsung karena fisiknya harus dilindungi. Dengan adanya bentuk digital, siapa pun dapat mengakses, sedangkan naskah tetap lestari,” ujarnya. Pada tahun 2008, anggaran transformasi digital sebesar Rp 650 juta.

Naskah yang telah dialihkan ke bentuk digital sangat beragam dan berasal dari berbagai daerah. Naskah yang terbilang sangat penting, misalnya, Nagarakretagama, Ila Galigo, dan Babad Tanah Jawi.

Terbesar

Koleksi Perpustakaan Nasional termasuk yang memiliki koleksi terbesar di Asia Tenggara.

Menurut Kepala Bidang Digital Perpustakaan Nasional, Joko Prasetyo, selain melakukan digitalisasi naskah kuno, Perpustakaan Nasional juga mendigitalkan buku langka sebanyak 2.500 judul, majalah langka 1.700 judul, 3.000 foto koleksi IPPHOS, peta kuno sebanyak 1.300 lembar, serta beragam koleksi lainnya.

Untuk buku, yang telah didigitalisasikan masih terbatas, yakni yang sudah lewat hak ciptanya selama 50 tahun.

Semua hasil digitalisasi ini, lanjut Dady, nantinya akan ditampilkan sehingga bisa diakses oleh publik. Untuk abstraknya seperti halaman judul, ilustrasi, dan kulit muka dapat diakses melalui internet. Namun, untuk membaca teks penuh harus datang dan mengakses lewat fasilitas multimedia di Perpustakaan Nasional.

Harapannya, dengan transformasi ke bentuk digital, masyarakat lebih mudah memanfaatkannya. Selain itu, jika masyarakat mengenal koleksi-koleksi tersebut diharapkan timbul kepedulian dan rasa memiliki. (INE)

Sumber:
Kompas, Jumat, 10 Oktober 2008

Purbakala: Manusia Modern Akan Berevolusi secara Kultur

SALATIGA, KOMPAS - Pascaevolusi Homo sapiens, manusia modern masih akan terus berevolusi baik molekuler maupun genetik. Namun, berbeda dengan evolusi sebelum masa Homo sapiens yang sangat dipengaruhi lingkungan, perkembangan manusia modern akan didominasi evolusi kultur.

Demikian diutarakan ahli evolusi molekuler Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Ferry Fredy Karwur PhD, dalam Seminar ”Evolusi: Manusia Jawa Purba: A New Adventure” di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (9/10). Hadir pula sebagai pembicara Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Dr Harry Widianto.

Menurut Ferry, evolusi kultur akan menjadi pendorong paling kuat evolusi. Berbeda dengan evolusi genetik yang membutuhkan waktu ribuan bahkan jutaan tahun, evolusi kultural berlangsung relatif lebih cepat. Sebagai contoh, selama kurun waktu 200 tahun terakhir, perilaku manusia sudah berubah secara fundamental.

”Kalau manusia modern beradaptasi dengan akal, manusia purba beradaptasi secara fisik. Hal ini terlihat dari perubahan bentuk fisik manusia purba dari generasi sebelum Homo sapiens,” kata Harry.

Sebagai contoh, untuk menghadapi tekanan lingkungan, manusia purba memiliki torus yang menonjol, kekuatan rahang yang lebih besar, serta gigi-gigi besar dengan akar terbuka. Kondisi ini perlahan-lahan berubah.

”Bulu pada manusia purba yang perlahan menghilang, merupakan bentuk adaptasi fisik terhadap iklim yang mulai menghangat,” ujarnya.

Kapasitas otak

Homo sapiens yang ada sejak sekitar 120.000 tahun lalu menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan modern di bandingkan dengan Homo erectus (1,7 juta tahun lalu). Salah satu yang paling utama adalah bertambahnya kapasitas otak.

”Volume otak Homo erectus sekitar 1.016 cc, sedangkan Homo sapiens mencapai 1.355 cc,” ujar Ferry.

Ferry mengatakan, meski evolusi kultural sangat dominan, tidak tertutup kemungkinan terjadinya evolusi fisik. Proses evolusi ini diawali dengan adanya tekanan terus-menerus yang semula tidak bersifat genetis, tetapi akhirnya menjadi bersifat genetis melalui jembatan epigenetis yang menghubungkan dengan lingkungan. Meski demikian, waktu yang dibutuhkan untuk evolusi fisik ini sangat tergantung dengan intensitas tekanan tersebut.(GAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 10 Oktober 2008