Mei 19, 2009

Capres Bisa Kampanyekan "Kabinet"-nya

Capres Bisa Kampanyekan "Kabinet"-nya
Politik "Balas Budi" Tak Bebas Lagi
Senin, 10 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Dengan rampungnya Undang-Undang Kementerian Negara, kabinet mendatang tidak bisa lagi sekadar wadah akomodasi orang-orang kepercayaan presiden. Sejak awal kampanyenya, calon presiden-wakil presiden sudah bisa ”menjual” konstruksi kabinetnya sebagai acuan bagi rakyat untuk mendukungnya dalam Pemilu 2009.

Mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara Agun Gunandjar Sudarsa (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat IX) di Jakarta, Sabtu (8/11), meyakini, konstruksi dan komposisi kabinet sangat mungkin ditawarkan dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden.

Dari tawaran itu, rakyat bisa membayangkan rancang bangun pemerintahan yang akan dibentuk jika calon presiden terpilih. ”Saya meyakini, semua calon yang cerdas mau melakukan ini,” ujar Agun.

Menurut Agun, UU Kementerian Negara merupakan landasan pijakan presiden menyusun kabinetnya sekalipun ketentuan tersebut bukan pengurangan hak konstitusional presiden.

Dalam UU diatur soal tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara; juga pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian.

Dengan norma baku itu, presiden tidak akan sangat bebas menjalankan politik ”balas budi” dengan mengakomodasi orang- orang kepercayaannya masuk ke kabinet karena ada norma yang mesti ditaati. ”Peluang masih mungkin, tidak bisa tiba-tiba kabinetnya 100 menteri,” kata Agun mencontohkan.

Tergantung presiden

Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, secara terpisah menilai, sekalipun UU Kementerian Negara disahkan, aplikasi di lapangan masih sangat bergantung pada presiden terpilih. Terlebih terdapat klausul bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian diatur dengan peraturan presiden.

”Indonesia bukan hanya bergantung pada sistem, masih mengandalkan kepemimpinan. Kita tidak suka, tetapi kenyataan seperti ini,” ujar Siti.

Dalam konteks reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, presiden ditantang untuk membuat pemerintahan modern yang bersih dan efektif. Misalnya, soal pengaturan birokrasi mesti diperjelas kewenangan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Dalam Negeri yang selama ini terkesan saling ”berkompetisi” dalam mengatur birokrat.

Dalam kerangka otonomi daerah, institusi di pusat mesti ramping dengan kinerja yang efektif. (dik)