Fenomena Ahmadiah dan Kejanggalan Negeri Kita
February 5th, 2008 by ahmadmakki
Orang-orang memasang muka ganas, senjata-senjata dihunus, rumah ibadah roboh dan terbakar. Plang-plang yang bertuliskan Ahmadiah dirobohkan dengan perasaan bercampur antara marah dan bangga.
Kira-kira gambaran demikian yang sering kita lihat dari media massa di negeri kita akhir-akhir ini. Ini permasalahan agresi dan perusakan faslilitas ibadah, ini permasalahan penghilangan kenyamanan terhadap peribadatan, tapi dengan berbekal sepucuk keputusan dari MUI semua menjadi sah dan diberi aplaus.
Kita tahu, Ahmadiah, sebagai satu sub-faham keagamaan telah lama bercokol di negeri kita, paling tidak pada dekade 1980-an aliran ini telah dikenal di Indonesia. Tapi janggalnya, jika mereka memang salah, mengapa baru sekarang orang-orang marah? Padahal ketetapan MUI tentang sesatnya faham ini telah turun sejak dekade 1980-an (Tempo, 2008).
Bangsa kita memang terlalu sering mengalami kejanggalan hingga menganggap hal janggal menjadi biasa.
Suatu saat, pasca peristiwa 11 September di Amerika, negeri Abang Sam ini menganjurkan Negara kita untuk memberlakukan peraturan pencegahan terhadap tindak terorisme. Orang-orang berdebat panjang, tiba-tiba bom meledak. Di saat yang lain sekelompok orang turun ke jalan. Mereka merazia dan membakar buku-buku yang dianggap menyebar faham komunis. Anehnya, buku karang Franz-Magnis Suseno yang ingin menjelaskan beda antara komunisme dengan marxisme, dan justru mengritik keduanya, ikutan dibakar. Ketika ditanya wartawan, perwakilan mereka menjawab "buku ini mengajarkan kapitalisme" (?).
Di lain kesempatan, Akbar Tandjung terlibat Buloggate, semua kamera televisi dan koran menyorot kepadanya, orang-orang ramai mebicarakannya. Tiba-tiba Theis Eluways -seorang tokoh perjuangan di salah satu daerah- dibunuh. Mendadak semua orang berpaling pada kasus pembunuhan ini, dan kasus Akbar Tandjung "melorot ratingnya". Makanya ketika ia divonis dengan hukuman ringan, apalagi jika dibandingkan dengan nominal kesalahannya, orang-orang sudah melupakannya.
Bangsa kita memang terlalu sering mengalami kejanggalan hingga menganggap hal janggal menjadi biasa.
Makanya, ketika kejanggalan agresi terhadap Ahmadiah yang terjadi berbarengan dengan perdebatan status hukum Alm. Soeharto dan ahli warisnya, serta pengusutan terhadap penggelapan dana BI, wajar jika orang-orang lupa dan menganggap biasa. Mereka lebih disibukkan oleh aktivitas memasang muka garang dan merobohkan tempat ibadah orang.