Mei 19, 2009

Psikoanalisa dan Kesalahpahaman Dosen UIN

Psikoanalisa dan Kesalahpahaman Dosen UIN
February 6th, 2008 by ahmadmakki

Dalam konteks pemikiran kontemporer psikologi, terutama psikologi timur, Fakultas Psikologi UIN Jakarta cukup memainkan peranan. Hal ini dikarenakan aktifnya imstitusi ini dalam diskusi aliran baru dalam psikologi, yakni Psikologi Islam. Aktivitas ini ditandai oleh munculnya nama Abdul Mudjib, yang juga dosen UIN, dalam kancah diskusi psikologi islam.

Dalam uraiannya tentang mendesaknya kebutuhan terhadap didirikannya aliran psikologi islam, Mudjib, dan dosen-dosen lainnya biasanya memulai dari uraian singkat tentang aliran psikologi sebelumnya, seperti psikoanalisa, behaviorisme, dan humanisme. Setelah itu mereka mengritik dan menunjukkan kenapa aliran-aliran tersebut tak lagi komprehensif.

Dengan kondisi yang sehat dan jernih, diskusi seperti ini penting, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang sejarah bermula dari diskusi-diskusi seperti ini. Namun demikian, seperti yang dikaakan di awal paragraf, kondisinya mesti sehat dan jernih.

Berkaitan dengan hal itu, saya melihat beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam diskusi tersebut.

Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah rangkaian kritik yang saling bertautan hingga membangun tradisi yang kokoh dari pengetahuan. Sebuah kritik terhadap asumsi sebelumnya mengandaikan penguasaan yang mantap terhadap seluk-beluk dari apa yang dikritiknya. Jika dikaitkan tersebut, permasalahan yang timbul dalam konteks diskusi di fakultas psikologi UIN Jakarta adalah minimnya pemahaman terhadap aliran-aliran yang dikritiknya.

Permasalahan seperti disebut di atas tergambar dalam kampanye psikologi islam di kelas-kelas yang mengatakan bahwa psikoanalisa yang digagas oleh Sigmund Freud adalah aliran yang mengatakan bahwa secara ontologis manusia dilahirkan dalam kondisi psikis yang jahat. Pernyataan ini bersifat evaluatif dan moralistik, karena pernyataan ini meletakkan teori psikoanalisa dalam kategori molatitas, dan kita tak bisa mengklarifikasi asumsi ini dari tulisan Freud langsung. Sejauh penelusuran saya, pernyataan ini direferensikan dari karya Calvin S. Hall dkk., yang telah diindonesiakan; "Teori-teori Psikodinamika" yang diterbitkan oleh Kanuisius.

Secara epistemologis, pernyataan tersebut akan terlihat problematis, mengingat Freud selama ini tak pernah berbicara dalam kerangka moralitas. Freud selama ini kita kenal sebagai dokter ahli saraf yang kemudian membangun sebuah kerangka kokoh dari teori yang bertujuan untuk menjelaskan dinamika kepribadian manusia.

Asumsiku, penilaian moralitas seperti di atas berangkat dari klasifikasi Freud terhadap insting manusia yang dibagi menjadi dua, yakni eros dan thanatos. Eros adalah insting hidup yang mewakili keinginan manusia untuk memenuhi kepuasannya. Freud sendiri menyatakan bahwa karakteristik eros didominasi oleh aspek libidinal yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan seksual. Sementara thanatos adalah insting kematian yang mendorong manusia kepada agresi dan kehancuran.

Kedua kategori ini memang sangat mudah untuk disalahpahami, terutama jika dievaluasi secara moralistik. Aspek libidinal yang ditekankan Freud dalam psikis manusia memang pernah mengndang kecaman dari para ahli yang menganggap Freud sebagai pan-seksualis. hal ini bisa kita maklumi mengingat seks adalah salah satu kategori yang masih sangat tabu, terutama di negeri kita.

Sementara thanatos, melihat sifatnya yang agresif dan destruktif, kita dengan mudah akan menduga bahwa insting ini bersifat jahat dan mesti direpresi seketat mungkin. Namun K. Bertens pernah menyanggah anggapan semacam ini. Menurutnya, dengan memahami tulisan Freud secara komprehensif kita akan mengerti bahwa kedua macam insting ini dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Secara konkrit, perilaku manusia adalah percampuran dari dua senyawa ini dan tak mungkin hanya dimotivasi hanya oleh salah satu dari keduanya.

Dalam hal libidinal, Freud memahami hal ini dengan artian yang sangat luas, berbeda dengan pandangan awam yang mengartikan libido sebagai aktivitas kontak seksual an sich.

Jika ditilik dari teori Freud, keberlangsungan hidup kita cuma dimungkinkan dengan terintegrasinya libiso dalam sistem psikis manusia. Seorang bayi, misalnya, ia tidak mungkin menyusu jika tidak ada integrasi antar dorongan lapar dengan dorongan libidinal. Selain itu, aktivitas seksual yang dimaksudkan Freud tidak terpusat pada daerah kelamin semata, dan jauh lebih kompleks (Michel Foucault, dalam -kalau tak salah- "History of Sexuality" bahkan menunjukkan bahwa asumsi masyarakat modern yang mereduksikan aktivitas seksual hanya pada wilayah kelamin adalah konstruksi yang dibangun oleh jejaring kuasa kapitalisme).

Pada akhirnya Freud menekankan bahwa dikotomi psikologis antara sehat dan sakit sebenarnya tidak memiliki garis batas yang jelas. pada dasarnya setiap orang punya permasalahan psikologis, dan yang membedakan adalah kadarnya. Dengan pemahaman seperti ini Freud juga menegaskan bahwa yang dipentingkan untuk membentuk sebuah kondisi kepribadian yang sehat adalah keseimbangan antara instansi-instansi kejiwaan -id, ego, superego-.

Tiga instansi kepribadian yang diterangkan oleh Freud pun jika diterawang secara metodologis akan menemui kesimpulan bahwa ketiganya diperlukan dalam kehidupan, dan ketiganya sama sekali tidak negatif secara ontologis. Negativitas dalam kepribadian hanya mungkin diakibatkan oleh distorsi-distorsi terhadap salah satu atau keseluruhan dari ketiganya.

Uraian singkat tentang sekelumit pemikiran Freud di atas akan membawa kesimpulan kita pada prinsip kejiwaan manusia dalam kacamata Frued yang menekankan psinsip keseimbangan kepribadian, dan bertujuan untuk membuang emisi dalam ketidaksadaran manusia yang merugikan kepribadian manusia.

Dengan tujuan positif seperti itu, akan sulit bagi kita untuk terus menerus memegang pernyataan di atas (secara ontologis manusia dilahirkan dalam kondisi psikis yang jahat), karena kita tak bisa mengidentifikasi satu pun kriteria moralitas dalam pemikiran Freud.

Semoga hal ini sungguh-sunguh disadari dalam forum-forum diskusi psikologi islam selanjutnya.

Posted in Uncategorized | 2 Comments »
MUI, oh, MUI
February 5th, 2008 by ahmadmakki

Akhir-akhir ini fenomena kekerasan terhadap Ahmadiah merebak di mana-mana. Orang-orang berlomba menghancurkan tempat ibadah yang beridentitaskan Ahmadiah. Semua tindakan agresi yang terjadi terhadap Ahmadiah tak ada bedanya dengan perbuatan kriminal. Yang membedakannya cuma sepucuk keputusan MUI tentang sesatnya Ahmadiah.

Aku bertanya-tanya, "jika memang MUI lembaga yang memegang kebenaran, mengapa kekerasan seperti ini yang berlandaskan keputusan mereka masih saja dibiarkan terjadi?

MUI adalah lembaga yang digagas atas kesadaran tentang keberagaman budaya di Indonesia yang tentu saja berpengaruh terhadap keragaman faham agama kita. Dan jika ditilik dari visi dan misinya MUI bertugas untuk mendudukkan keragaman itu dalam sebuah diskusi yang ramah dan toleran, yang dilandasi saling pengertian (Tempo, 2008).

Tapi sekali lagi, mengapa kekerasan yang membawa-bawa fatwa MUI masih juga dibiarkan terjadi?

MUI, kita tahu, terdiri atas ahli-ahli yang pengetahuan agamanya di
luar kepala. Dibanding kita, orang-orang biasa, tentu mereka lebih tahu
jika kekerasan dalam agama tak pernah dapat kata setuju.

Selama ini kita melihat gerak dari lembaga ini terkesan lamban dan kekurangan inisiatif. Praktis selain fatwanya tentang halal-haram, serta sesat atau tidaknya suatu aliran, kita tidak melihat peran mereka yang signifikan, terutama melihat kondisi bangsa yang karut-marut.

Berkaca pada zaman penjajahan, pesantren-pesantren yang digawangi oleh para ulama sukses menggerakkan perlawanan yang massif terhadap penjajahan. Ketika itu dalam pendidikan pesantren yang ditekankan adalah nilai-nilai sosial dalam Islam (Ahmad Baso, 2006). Permasalahan ritual seperti shalat, zakat atau yang lainnya adalah hal yang sudah diketahui secara umum dan dengan mudah dan singkat bisa diajarkan. Makanya para ulama pesantren lebih tertarik mengajarkan kepada santrinya nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, serta kesamaan manusia
di mata Tuhan. Secara praktis mereka akan mendidik santrinya dengan kesadaran bahwa merampas hak orang lain itu haram hukumnya, dan dalam Islam kita diwajibkan untuk mempertahankan hak kita. Karenanya bangsa asing yang datang ke Indonesia untuk menguasainya harus dilawan!

Jika begitu, kenapa kumpulan ulama dan kiai di tubuh MUI saat ini tak bisa melakukan hal yang sama, padahal bangsa kita masih bergelut di permasalahan itu-itu juga?

Korupsi adalah perampasan hak terhadap orang lain, perusakan tempat ibadah adalah perbuatan yang dibenci Allah, menista agama lain adalah perilaku yang tidak pernah diajarkan dalam Islam, lalu kenapa berhadapan dengan hal-hal tersebut MUI diam saja?