Mei 19, 2009

Kumpulan Puisi dari Ciputat

Lelah juga terus-menerus diskursus, ada baiknya aku kembali ke profesi asli:

Ciput-art

Pada malam aku merapal
di pucuknya yang biru-beku
di embun-embunnya yang bersuara

langit kelu
hati bisu
gelisah geram mencengkram

menanti saat-saat tuhan
bersendawa

ada ketawa merebak gembira
walau gugus karang menyela

untuk malam
untuk mimpi
untuk takdir yang mengelak diminta jinak

ssst…

ada perempuan paruh-baya naik becak,
terkantuk-kantuk pada pukul
tiga

Ciputat,
Oktober 2003

Birthday
(buat Nina)

Malam kaku dan beku
antar dingin yang nadanya
ngilu

ini malam yang tak biasa bukan?

angin boleh sepi
dan bulan biar sunyi tak bernyanyi
hanya gumam lirih dari sini

ada yang berdoa sambil menghela nafas
kala jam menunjuk tepat

angka dua belas

Ciputat,
10 Oktober 2003

Jl. Sedap Malam


Hari yang singkat bermula
saat mentari telah tinggi

kita ceritakan Bharata dengan belek
masih di sudut mata
atau heroisme Abimanyu yang kau hargai
sehangat kopi pagi.

(saya lupa menutup keran)

ada silsilah yang dirunut dengan cerita

saya terbayang ketika dunia
penuh dengan kata-kata siaga
atau sepotong kalimat yang dibayar
dengan nyawa

untung kita lupa pada de la Serna -kau
ingat jasadnya yang kusut dan tengadah?-

atau kamar mandi tak akan terusik.

Ciputat, 19 Februari 2005

Hujan dan sepotong roti di warung kopi

Malam adalah beberapa waktu di warung kopi, adalah
jerit radio yang serak melawan tetes hujan yang terserak

atau ia lupa meletakkan gelombang
dengan tepat?

sejenak ingat korban mutilasi
di televisi. Seperti kisah si Pitung –entah
bagian mana terkubur di Marunda?

lalu saya gugup menyuap potongan roti

gugur hujan ini seperti upacara
tahlil tahun lalu; paduan suara
untuk cerita yang menghabisi nyawa kita

semoga masih ada isak yang tersisa

di sini,
malam adalah jerit radio yang serak
entah gelombang suara yang
tak akurat, atau rintik hujan yang terserak.

Ciputat, 20 Februari 2005



Amnesia… dan Corrine

Saya sadar tentang ingatan
yang telah menguning dan ujungnya
terlipat. Tak ada album foto yang
membuat tetap necis dan merekat

ketika lupa demikian rakus,
cukup tinta menulis tentang
kota ini
–ya, Ciputat. Karena
tak ada rindu pada purnama
yang di bayangnya kita main petak umpet

atau ketika ingatan demikian
renta, hanya Corrine meminta
puisi saya.

Ciputat,
25 Februari 2005.

Nyanyi angin –kau dengar itu?-
(Fiet)

Angin yang menggelayut pada
dinding –kau dengar itu?- menyanyikan
koor muram, dengan

guntur

yang jadi metronom.

seperti menyambut tetes-tetes
hujan yang menulis aksara
pada kaca jendela

kau tahu,
akan selalu ada amarah
pada kisah yang mendadak retak
seperti kali ini.

dan tetes hujan turun
berebut menulis aksara
pada jendela.

pada detik-detik ini,
tidakkah setiap orang akan
jadi penyair?

Ciputat,
06 Maret 2005



Kangen
(Yanti)

Bunyi denting -entah dari mana-
mengagetkan lamunan angin,
kembali melambai. Kali ini ia menggurat
kelabu pada langit.

bersama bersin, namamu tercetak
pelan dan menggigil, dari celah jendela
yang termangu.

dan detik pun tak lagi kedengaran.

Ciputat, 22 April 2005



Tinggal sepi

hujan telah lewat
dingin kian merapat
dan bayang beristirahat

tak ada kata yang siap
dijadikan pelana

pada waktu yang beku,
angin telah menghempas kalor
dari tubuh yang menggigil

tinggal bulan muram sendiri

Ciputat, 22 April 2005.

Puisi jam 3 pagi

“Cinta itu warnanya merah.”
Ucapmu.
“Lihatlah tanda yang ia
tinggalkan
di dada kita.”

Ciputat,
16 November 2005

11 Februari
(De)

Tahukah kau di sana
dingin memanggil dengan suara
yang bergetar, menunggu kita
mendatangi pondok itu dan meletakkan
tangan kita di jendela. Memandang danau
yang birunya memancar, di bawah rindang cemara.

aku ingin meletakkan cincin
di jarimu. Aku ingin
memakaikan
kerudung putih ketika kau tertunduk.



Medan,
11 Februari 2006

Setelah revolusi tak ada lagi*(1)
(buat Ade
F.)

I
Bang,
ada baiknya kau pulang menjemput rindu
emak
seperti kau hampiri derita panjang rakyat
dengan cita-cita revolusi.

orang-orang kini memandang asing padamu,
sebab tangismu adalah getir panjang

dari zaman yang sayup, ketika tuan-tuan modal
masih memandang dengan cemburu. Dan (ssst…)
mereka hanya punya ingatan pendek
sejenis amnesia.

sesaat jerit revolusimu menggema bersama
kibar-kibar bendera merah, sampai
deru mobil dan teriakan kondektur tak sengaja lebih
dulu menulikan telinga kami.

II

Revolusi, Bang, adalah mimpi pagi hari
ketika
matahari kita pandang dengan mata
menyipit, dan
headline suratkabar belum sempat kau
eja. Kau tak tahu orang-orang
bilang; ini
zaman, bukan waktunya lagi mengumpulkan
kepala
seperti mengikat batang-batang lidi lalu
diberi nama.

Karena tak ada lagi yang gemetar oleh suara
yang keluar dari bawah kumis Lennin.

Kau lihat, rakyat memandangmu dari
televisi dengan muka yang kosong, menanti
giliran iklan yang mengundang gelak tawa.

III

Setelah revolusi tak ada lagi,
kita hidup dari mimpi-mimpi kecil, Bang.
Seperti mimpi bocah sebelum erangnya saat

terbangun karena ngompol.
mungkin kau menerawang masygul kini,
tapi bagaimana lagi hendak kau bangun cita-
citamu di atas reruntuh yang kerontang dan
tergadai

Kau mesti lihat, revolusi cuma ada di bawah
terik matahari. Sementara di sini, di tempat
yang teduh,

ia tinggal menempel pada t-shirt bergambar
Ghuevara.

Ciputat, 09 Mei 2006

* Dari judul esai dan buku Goenawan
Mohamad.
1 Dimuat Syirah edisi September 2006

non sense!

Matahari kehabisan bahan bakar dan terbang rendah di

sana, mencari-cari tempat lapang buat
melandas, membuat bayang-bayang kita memanjang.

”Di sana, entah di mana atau
kapan, senar-senar pada gitar telah dibuat bergetar dengan serius, dan mereka
menyanyi buat kita yang kadang mendengar setengah sadar atau sambil tertidur.” Ucapmu
waktu itu

senja telah matang, gelap perlahan-lahan mengental waktu kau pergi ke sana, ke barat yang
entah.

***

Kau tahu, di sini malam tak sepadan dengan sepi
di sini cuma hujan yang bisa menahan bising, kala bulan tengah perawan.

(jarum-jarum pada jam dinding tak pernah benar-benar diam. Kadang merapat mesra bertiga-tiga, lalu menjauh
satu-persatu. Mungkin mereka punya jadwal buat cemburu.)

bulan menjadi tua
perlahan-lahan ketika aroma subuh menggelinjang, berlagak lugu di depan embun
yang jatuh lebih dulu. Beberapa orang kena rayu dan memanggil-memanggil
lewat pengeras suara masjid.

“Baiklah, sampai lain kali, sudah waktunya tidur.”

Ciputat, 17 Mei 2006

Matahari itu

Ketika senja undur berangsur-angsur,
matahari itu kedinginan dan menciut,
wajahnya pucat pasi. Kita di sini
bergumam, ”Itu rembulan” sambil
setengah memuji,

tanpa
tahu deritanya



Ciputat, 18 Mei 2006
non sense! (2)

gelap mengangkangi kita dengan kelebatan
dingin yang mencekik, selepas pesta pora
hujan

adakah malam mengerti penderitaan kita yang digerayang sepi?
lalu mengapa ia meninggalkan kita di sini, di
garis tepi tanpa gravitasi?

Ciputat, 03 Juni 2006

‘Lir’

Musim mengajak dingin,
menyemburat biru pada wajahmu.
Seperti perlahan kau menjelma
perawan
yang merah semu ketika
direnggut cemburu

Ciputat,
04 Juni 2006

Ciput-art (2)

Di sini waktu merayap dengan sepi
tak akan kau dengar jerit
yang
menyusuri gang-gang,
memberitahukan saat
sembahyang telah datang.

tanda-tanda buat kita tergeletak di atas
meja, berupa pilihan ganda antara secangkir kopi,
segelas susu, atau sebaskom dingin es yang mulai mencair.

perhatikan dengan seksama,
pilihan terakhir mungkin benar semua.

Ciputat,
17 Juni 2006

Farewell (1)

Tinggal angin masih setia pada detik yang pelan,
ketika kuhapus segaris firman yang tak pernah lagi
tereja.

Mungkinkah Ia tangisi kepergian

kita
yang fana

sementara tak sempat lagi diberikanNya sekerat roti,
atau segelas anggur untuk merayakan sore hari?

Maka kuseka jejakMu dari rintihan perih dan
letihku, kusamar guratMu dari basah dan bening
air mataku.

Ciputat,
02 Juli 2006.



Farewell (2)

Saat itu juga terburu-buru
kau berangkat. Meski
aroma subuh masih belum
lekat, meski gelap
merahasiakan bayanganmu
erat-erat.

Pada setapak ini kau terakan
jejakmu untuk terakhir
kali, seperti kau bisikkan
selamat tinggal kepadaNya
sore tadi.

Ciputat,
03 Juli 2006



Zarathustra

Yang kau
lihat barusan adalah aroma kematian
meruap
pada senja yang menjerit-jerit begini
Ketika
Zarathustra menggeletar-geletar bangga
melihat
darahNya berpendar-pendar di telapak tangannya.

Kau lihat
orang-orang itu tertawa dan menggeleng
tak
percaya. Tapi esok, mereka akan menghadiri
upacara
perkabungan akbar sambil diam-diam berbisik
dalam
hati, “Ia telah mati, Ia telah mati.”

Sepertinya
Zarathustra,
tapi bukankah
kita yang diam-diam bersiasat di belakangNya
lalu
menusukkan belati itu dalam-dalam? Tapi mengapa kita
mesti
menangis? Apa artinya menangis? Karena tak ada lagi
surga buat
air mata.

Ciputat, 12 Juli 2006

Sajak cinta hari ini

Sepertinya telah habis
kata-katamu, hingga
air mata saja yang berbicara
kepadaku sejak tadi.

Di luar, siang jatuh
ragu-ragu. Sementara dari
jendela itu, debu seperti
menerbangkan harapan
ke arah yang tak kita tahu.

“Kalender akan menipis dan
segera habis, cintaku
tapi ingatan itu, bukankah ia
tercatat pada tiap lembarnya
yang kita lucuti setiap
hari.”

Tak usah kau tunggu senja,
dan langit akan mendadak
teduh, memandang pada kita
dengan raut yang sendu

Lalu semua begini, kau dan
aku pergi menjauh.

Ciputat, 01 Agustus
2006

Jejak persetubuhan

Di ranjang itu tubuhmu adalah
api unggun yang

lelehkan beku birahi

ketika dengusmu menuntun tonggak
purbaku yang

berangsur meninggi

Di ranjang itu rinduku
adalah kerontang kayu yang

menjaga unggunan api

ketika cengkramanmu melukai
syahadatku

berkali-kali

Ciputat,
19 Agustus 2006

Kegagalan meditasi
-dua potongan waktu-

I

Setelah terputus percakapan di telepon itu
kata-kata muntah berpeluru-peluru. Seperti tak
kenal lelah, angin terus-menerus membisikkan
semacam mantra ke telingaku.

Lembar-lembar buku mestinya banyak
bercerita hal baru buatku, tapi senyap itu
terlalu ngotot untuk mendamprat apa saja
yang hendak mengeluarkan suara dan baris kata-kata.

Aku ingin segera menikmati tidur panjang
yang tak mengenal waktu, aku ingin mengonggokkan
tubuhku ke tepi garis mimpi yang mungkin sedikit kabur.

II

Selepas kunjungan Sofi yang kedua kali, kantuk segera
memamah kesadaranku bertubi-tubi. Speaker di meja itu
tengah membaca teks lagu pada komputer sambil meneriakkan
nyanyian dengan gamang dan ragu.

Ada batuk
yang kadang-kadang tertahan tak tentu
Seperti hendak menyembunyikan timbunan rasa jemu

Ada deretan
buku yang termangu-mangu pada tiap
ruang di rak itu. Tapi bangku-bangku telah diseret
ke sana-kemari, seperti percakapan itu yang tak juga
sampai di titik temu.

Aku ingin segera menjelajahi lanskap pada
lipatan-lipatan itu.

Aku ingin segera menulis puisi panjang yang
mengalir tanpa ragu-ragu

Tapi bangku-bangku dan percakapan tak juga
sampai pada titik temu!

Ciputat,
22 Agustus 2006

Siasat menyambut pagi

Lagu-lagu berdentam dinyanyikan lewat komputer. Aku ingin menghantam
telinga orang-orang yang lewat, biar mereka bisa ikut bergoyang, biar mereka
juga merasakan betapa pagi ini begitu meradang.

Lalu kulihat tembok-tembok itu, daun-daun di pohon itu, serta tanah yang
kupijak gemetar tak tentu. Tapi mereka, orang-orang itu, tetap saja berjalan
tenang seperti pagi-pagi yang lalu. Sedang matahari saja enggan keluar dari
rimbun semak karena bentakan-bentakan laguku.

Kubuka paksa rolling door itu sampai menjerit-jerit, biar suara
lagu bisa meluncur mulus pada tiap celah pintu dan retakan-retakan dinding di
tempat-tempat tertentu, tapi mereka, orang-orang itu, tetap saja sibuk di pasar
sambil membacakan mantra tawar-menawar. Atau di depan toko-toko sambil
menceritakan derita perut yang lapar.

Di sini tinggal aku dan suara lagu-lagu

Saling bersitegang penuh tanda seru

Ciputat,
22 Agustus 2006