Dalam persepsi sebagian masyarakat Indonesia, kiai adalah hamba Allah yang dikarunia linuwih, manusia serba bisa dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Bagaimana dengan politik?
Kiai Politik Politik Kiai Penulis: Dr. H. Abd. Latif Bustami, MSi Penerbit: Pustaka Bayan, Malang, Maret 2009, xv + 271 halaman
Sebagai "penjaga" agama, kiai menjadi figur panutan umat dalam menjalankan syariat sehari-hari. Agama, bagi masyarakat tradisional, bukan hanya sesuatu yang diajarkan dan dilaksanakan, melainkan juga sekaligus diteladani oleh para kiai. Kondisi ini bisa dimengerti, mengingat keterbatasan masyarakat tradisional menggali konsep keagamaan secara mandiri.
Itulah sebabnya masyarakat mendudukkan kiai dalam posisi sosial dan spiritual yang sangat strategis, sekaligus menjadi rujukan. Kiai berperan sebagai mediator, yang disebut Clifford Geertz dalam teorinya sebagai "makelar budaya" (cultural broker). Artinya, kiai tak hanya menyampaikan nilai keagamaan secara verbal, melainkan juga melakukan proses transformasi sehingga mampu mengubah sikap dan cara pandang keagamaan umat.
Kiai sebagai multiplayer. Demikian penulis buku ini menegaskan peran yang dijalankan para kiai, sebagai sikap kritis terhadap sebutan cultural broker ala Clifford Geertz itu. Sebagai "orang yang serba bisa" (multiplayer), kiai memainkan peran sentralistik dalam menciptakan wacana pada masyarakat, utamanya sebagai "agen" keagamaan, sekaligus berfungsi menyelesaikan banyak persoalan masyarakat.
Meski masyarakat memahami bahwa penguasaan agama bukan menjadi monopoli para kiai, mereka tetap yakin bahwa kiailah orang yang terpercaya dalam melahirkan petunjuk keagamaan. Bahkan, contoh yang lebih ekstrem, masyarakat akan lebih condong kepada kiai yang independen atau cenderung konfrontatif terhadap kekuasaan yang tak memihak kepentingan masyarakat beragama ketimbang kepada kiai yang berafiliasi pada kekuasaan negara.
Tapi dalam realitanya, tidak semua kiai mendapat perlakuan demikian di masyarakat. Meski tetap ada penghormatan terhadap kiai, ada kiai-kiai yang mendapat perlakuan sangat "istimewa". Mereka disebut kiai khos alias kiai khusus. Konsep ini bermula ketika terjadi "hajatan" politik, dukung-mendukung terhadap jabatan tertentu: mulai pilkada hingga pilpres. Perbedaan perlakuan ini semata-mata didasarkan pada kriteria dan pengakuan umat terhadap para kiai itu. Juga mungkin terjadi oleh "permainan cantik" di antara kiai dalam memobilisasi kekuatan sosial dan kebesaran pesantren.
Munculnya rivalitas itu boleh jadi karena persaingan mereka dalam memperebutkan pengaruh dari umat yang turut memantapkan eksistensi kekiaiannya. Mereka sadar, semakin besar pengaruh dari masyarakat, maka akan senantiasa didengar oleh umatnya. Bahkan, posisi tawar (bargaining position) terhadap pemohon "restu" jabatan juga kian tinggi, meski sebenarnya rawan terhadap munculnya praktek money politics.
Sangat disayangkan, perbedaan paradigma politik yang sarat dengan konflik kepentingan ini lebih mewarnai kehidupan mereka. Meski konflik itu tidak terbuka, masyarakat dapat merasakan dari ungkapan-ungkapan mereka ketika merespons aktivitas yang dilakukan oleh yang lain. Mereka tentu tidak pernah mengakui, tetapi ketegangan yang terjadi sulit dielakkan.
Kembali ke fitrah kiai yang diyakini umatnya sebagai ulama pewaris ajaran nabi, yang menguasai pengetahuan keislaman, yang mengamalkan ilmunya dengan akhlak mulia, yang mendatangkan barakah, karomah, dan menjadi manusia linuwih, semestinya mereka menjalankan politik benar-salah, hitam putih. Bukan politik menang-kalah atau abu-abu yang penuh dengan kepentingan. Juga bukan menang yang diperoleh dengan proses curang dan penuh penipuan. Terlebih, dalam pandangan kiai, kekuasaan merupakan kehendak (iradah) Allah SWT, sebagai amanah yang harus dijaga dan ditunaikan dengan baik.
Melalui buku ini, penulis memberikan informasi tentang kiprah kiai dan politik yang perlu dibaca para politisi utamanya dari kalangan santri.
Samsul Maarif Pemerhati politik kiai