Keampuhan Undang-Undang Antiterorisme mulai dipertanyakan. Malaysia masih menerapkan The Internal Security Act untuk menjerat tersangka yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Benarkah belum ada dasar hukum untuk menjerat dalang terorisme?
Gambar wajah Noor Din Mohd. Top, dengan lima kemungkinan penampilan, terpampang lagi di tempat-tempat keramaian. Siapa yang tidak tahu, dia adalah teroris paling dicari di Indonesia. Warga negara Malaysia itu dipercaya sebagai gembong serangkaian ledakan bom yang terjadi di Indonesia sejak kasus bom Bali pertama pada 2002.
Noor Din, 41 tahun, lari ke Indonesia bersama Dr. Azahari Husin setelah Pemerintah Malaysia membubarkan kelompok Islam radikal, menyusul serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat. Belakangan, polisi berhasil menembak Azahari di tempat persembunyiannya. Tapi Noor Din lolos. Polisi juga percaya bahwa Noor Din adalah otak pengeboman Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, dua pekan lalu.
Pertanyaan yang kemudian muncul di benak banyak warga Indonesia, mengapa Noor Din meledakkan bom di Indonesia, bukan di Malaysia atau Singapura? Lalu, mengapa teror bom baru muncul pasca-reformasi, bukan semasa Orde Baru. Padahal, saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Antiterorisme. Benarkah undang-undangnya mandul?
Internal Security Act
Hingga kini, Malaysia masih memiliki The Internal Security Act (ISA). Undang-undang yang berlaku sejak 1960 itu memberi kewenangan kepada polisi untuk menahan seseorang selama 60 hari tanpa diadili bila ia diduga melakukan perbuatan yang mengancam keamanan negara. Penahanan bisa diperpanjang sampai dua tahun atas perintah Kementerian Dalam Negeri.
Singapura memiliki undang-undang serupa. Di sana, ISA memberi landasan penahanan terhadap seseorang yang dianggap berbahaya bagi kepentingan nasional, keamanan nasional, penyelenggaraan pemerintahan, dan ketertiban umum. Teorinya, penahanan dapat dilakukan paling lama dua tahun. Tapi penahanan ini bisa diperpanjang bekali-kali tanpa batas. Akibatnya, pernah ada anggota parlemen yang mendekam di tahanan sampai 23 tahun tanpa diadili.
Ketenteraman Malaysia dan Singapura tentu saja membikin iri. Sepertinya ISA efektif mencegah serangan terorisme di dua negara jiran itu. Apakah Indonesia juga perlu memiliki ISA? Praktisi hukum Luhut Pangaribuan tegas menolaknya. ''Dengan demikian, kita mundur dari demokrasi ke arah otoriter,'' ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu kepada Rukmi Hapsari dari Gatra. Itu berarti, kata Luhut, kita menghidupkan Undang-Undang Antisubversif. Sebab, ''Tidak ada perbedaan antara Undang-Undang Antisubversif dan ISA,'' katanya.
Irjen (purnawirawan) Ansyaad Mbai, Kepala Desk Counter Terorism Kantor Menko Polhukam, juga menganggap Indonesia tidak perlu lagi kembali ke era Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). ''Sekarang kan Undang-Undang Antisubversif sudah dicabut. Jadi, andalan kita adalah Undang-Undang Antiterorisme,'' ujarnya, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Cavin R. Manuputty.
Sedangkan Romli Atmasasmita berpendapat, dalam jangka pendek, pendekatan represif --sebagaimana ISA Malaysia dan Sigapura-- berhasil menekan kegiatan terorisme. ''Tapi bukan untuk jangka panjang,'' kata guru besar hukum pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, itu. Sebab terorisme berpangkal dari ketidakadilan sosial.
Terorisme di Indonesia justru dipicu kebiasaan atau sikap sebagian anggota masyarakat yang introver, eksklusif, dan antikemapanan. ''Sikap dan kebiasaan ini justru lahan subur untuk tumbuhnya kegiatan terorisme internasional dan berdampak buruk terhadap keamanan dan perdamaian di dalam negeri,'' ujar Romli.
Undang-Undang Antiterorisme di Indonesia, menurut Romli Atmasasmita, menggunakan pendekatan triangle paradigm, yaitu paradigma perlindungan keamanan dan pertahanan nasional, perlindungan korban terorisme, serta perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa pelaku terorisme. ''Ketiga pendekatan itu diperkuat dengan memasukkan ketentuan konvensi internasional tentang pengeboman dan pendanaan kegiatan terorisme,'' kata Ketua Tim Penyusun RUU Antiterorisme itu.
Undang-undang tersebut, kata Romli, juga dilengkapi dengan ketentuan yang menganut prinsip-prinsip safeguarding rules. Di sini, diperkenalkan lembaga hukum baru, yaitu pre-trial hearing, untuk mengklarifikasi laporan intelijen oleh ketua atau wakil ketua pengadilan negeri. ''Apakah merupakan bukti permulaan yang cukup untuk dijadikan alat bukti (petunjuk),'' tuturnya.
Prinsip sunshine dan sunset, masih kata Romli, juga dianut Undang-Undang Antiterorisme. Prinsip ini membatasi tindakan penegak hukum terhadap tersangka/terdakwa pelaku terorisme. Undang-undang itu menetapkan lamanya penangkapan adalah tujuh hari dan penahanan enam bulan. Penyidik juga diberi wewenang untuk melakukan pemblokiran dan penyitaan aset-aset yang digunakan untuk kegiatan terorisme.
Tiga paradigma tadi, menurut Romli, tetap menghormati hak asasi tersangka/terdakwa sehingga politisasi kegiatan terorisme dapat dicegah. Hal itu dituangkan dalam ketentuan yang menegaskan bahwa tindak pidana terorisme bukan tindak pidana politik, atau tindak pidana dengan tujuan politik, atau memiliki motif politik.
Undang-Undang Antiterorisme, kata Romli, mengutamakan keseimbangan pendekatan represif dengan pendekatan rehabilitatif dan restoratif. Seluruh materi muatan dan prinsip dalam Undang-Undang Antiterorisme Indonesia itu tidak ditemukan dalam Patriot Act Amerika Serikat, ISA Malaysia dan Singapura, Intelligence Security Act Australia, serta undang-undang antiterorisme Kanada, India, dan Pakistan. ''Undang-Undang Antiterorisme di negara-negara itu secara tegas mengaitkan kegiatan terorisme dengan ideologi dan agama, serta lebih mengutamakan pendekatan represif semata-mata,'' katanya.
Dalang Terorisme
Masalahnya, menurut Ansyaad Mbai, dibandingkan dengan undang-undang antiterorisme negara lain, undang-undang kita kurang memberi ruang gerak bagi polisi atau intelijen. ''Makanya, teroris dari negara lain pada pindah ke sini,'' ujarnya. Di sisi lain, Andi Widjajanto, pengamat militer dari Universitas Indonesia, menilai jejaring kerja intelijen nasional pasca-Orde Baru cenderung melemah. ''Di masa Orde Baru, jejaring kerja intelijen merupakan salah satu bagian dari empat pilar sistem pertahanan dan keamanan negara,'' katanya.
Empat pilar itu adalah intelijen nasional, intelijen militer, intelijen kepolisian, dan Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri. Jejaring kerja tersebut, menurut dia, pada masa reformasi dilemahkan karena menimbulkan distorsi massif yang mengganggu tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Masalah lainnya, menurut mantan Jaksa Agung Pidana Khusus, Ramelan, Indonesia belum punya dasar hukum untuk menjerat dalang terorisme.
Sedangkan aturan yang ada, yaitu Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP masih menggunakan penafsiran yang konvensional dan sempit. Pasal itu mensyaratkan pelaku turut serta (medepleger) berada di tempat pelaksanaan dan bersama-sama memenuhi seluruh unsur tindak pidana.
Akibatnya, kata Ramelan, otak teror sulit dijangkau hukum bila tidak berada di tempat kejadian. ''Kalau digunakan Undang-Undang Antiterorisme, mereka akan lolos,'' kata lelaki yang baru meraih gelar doktor hukum dari Universitas Padjadjaran dengan disertasi tentang terorisme itu.
Solusinya, menurut Ramelan, para hakim harus melakukan perluasan penafsiran dari aturan yang ada. Kedua, undang-undang harus mencantumkan apa saja yang dianggap sebagai keterlibatan dalam kasus terorisme, seperti aksi persiapan dan perencanaan.
Rita Triana Budiarti, Mukhlison S. Widodo, dan Sulhan Syafi'i (Bandung)