Agustus 19, 2010

TRADISI Menanti Bulan Sabit di Ulakan

Ribuan orang, Kamis (12/8), bersiap ibadah shalat magrib setelah terbenamnya matahari di Pantai Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ribuan jemaah tarekat Syattariyah pada sore itu melakukan rukyat dengan mata telanjang untuk menentukan awal bulan suci Ramadhan.
 
Sudah sejak pukul 16.00 Labai Kanan (57) berada di Pantai Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Hari itu, Kamis (12/8), bersama ribuan orang lainnya dari berbagai daerah, Kanan berkumpul untuk menunggu terbitnya bulan di ufuk barat setelah tenggelamnya matahari di arah yang sama.

Seperti sudah dilakukannya setiap tahun, hari itu Kanan menunggu terlihatnya bulan dengan mata telanjang untuk menentukan awal bulan suci Ramadhan. ”Pokoknya melihat bulan,” kata Kanan sembari mengarahkan telunjuknya ke arah barat.

Kanan dan ribuan orang lainnya yang tengah berkumpul di pantai itu adalah jemaah tarekat Syattariyah. Hari itu mereka ingin melihat secara langsung kehadiran bulan baru di ufuk barat sebagai penanda awal bulan suci Ramadhan.

Ali Imran Tuanku Bagindo yang merupakan Kadi Nagari Ulakan atau pemimpin agama di Nagari Ulakan mengatakan, hari itu ribuan jemaah tarekat Syattariyah berkumpul seperti biasa di kawasan pantai itu setiap tahunnya untuk melihat bulan dengan mata telanjang.
Kata Ali, upaya melihat bulan mesti dilakukan setiap hari Kamis setelah diperhitungkan bulan Syakban telah selesai yang menjadi dasar masuk ke bulan suci Ramadhan. Menurut Ali, hal itu berdasarkan ajaran yang ditinggalkan oleh Syaikh Burhanuddin.
”Jadi, hari ini kami melihat bulan, dan jika bulan kelihatan sore ini, besok (Jumat) akan dimulai puasa,” katanya.
Ali menambahkan, selain di Pantai Ulakan, jemaah tarekat itu juga melakukan pengamatan di sejumlah lokasi lain, di antaranya dilakukan di Koto Tinggi, Bukittinggi, Sijunjung, dan Pesisir Selatan.
Menurut Ali, upaya melihat langsung oleh ribuan jemaah itu dilakukan berdasarkan pedoman hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Hadis itu berbunyi, apabila kamu sekalian melihat hilal (bulan) awal bulan Ramadhan, berpuasalah, dan apabila kamu sekalian melihat hilal awal bulan Syawal, berharirayalah. Jika kamu tidak bisa melihatnya (karena mendung), sempurnakanlah (hitungan bulan).”Dan, melihat itu, berarti melihat langsung dengan mata,” kata Ali.

Kebiasaan melihat bulan secara langsung itu sebelumnya biasa dimulai dengan ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin. Setelah itu, jemaah mengambil air wudu di muara Pantai Ulakan dan bersiap menunaikan ibadah shalat magrib di pinggir pantai.

Seusai shalat magrib, jika tidak tertutup awan, bulan akan terlihat dan akan dilakukan siding isbat untuk menentukan kepastian masuk bulan suci Ramadhan. Akan tetapi, kata Ali, jika bulan tidak terlihat di pantai itu, tetapi terlihat di lokasi pengamatan lain, ibadah puasa sudah bisa dilakukan.

Setelah itu, hasil pengamatan itu akan disampaikan secara berantai ke nagari-nagari lainnya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan setempat. Namun, tidak semua pengunjung yang datang ke Pantai Ulakan pada hari itu bertujuan mengikuti kebiasaan melihat bulan.
Rukmini (56) dan Jasmi (40) adalah dua pengunjung yang datang sekadar ingin melihat dan mengenang masa kecil mereka. ”Dulu iya, saya selalu melihat bulan di sini sebelum puasa karena ikut ayah. Sekarang tidak lagi karena saya sudah ikut suami, dan saya juga sudah puasa duluan,” kata Rukmini.

Rukmini merasa tetap menikmati kegiatan melihat bulan dengan mata telanjang itu meskipun ia tidak lagi mengikuti aturan soal awal puasa yang dipatok dari penglihatan langsung terhadap bulan itu. Hanya saja, dibandingkan dengan masa kecilnya dulu, Rukmini kini merasa agak kecewa.

”Soalnya ini kan acara yang suci karena persiapan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, tetapi banyak anak muda yang berpakaian seperti memang mau ke pantai. Semestinya mereka mengenakan pakaian yang tertutup,” kata Rukmini. Menurut Rukmini, sekalipun kini ia sudah tidak lagi mengikuti kebiasaan dalam tarekat Syattariyah, kegembiraan menyambut bulan suci Ramadhan tetap dirasakannya.

Oman Fathurahman dalam bukunya, Tarekat Syattariyah di Minangkabau Teks dan Konteks, terbitan 2008, menyebutkan, tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling awal berkembang di Sumbar dan sangat mengakar pada sebagian masyarakat.

Tarekat ini dibawa oleh Shaikh Burhanuddin Ulakan (1646-1699) yang merupakan salah seorang murid Shaikh Abdurrauf (1615-1693) yang adalah salah seorang ulama terkemuka dari Aceh. Makam Syaikh Burhanuddin Ulakan, yang berada tak jauh dari tempat ribuan orang mengamati terbitnya bulan baru di pinggir pantai, sore itu juga tampak dipenuhi peziarah.

Sore itu, beberapa saat setelah lewat waktu magrib, bulan sabit baru dengan warna oranye menyala terlihat di sebelah barat. Bulan baru berbentuk sabit itu menjadi penanda bulan suci Ramadhan bagi jemaah tarekat Syattariyah dimulai sejak Jumat (13/8). (INK)