September 06, 2010

Opini Kita

 
 
Opini
 
31-08-2010 03:48:26
Oleh Singgih Widagdo

Rencana PT PLN mengimpor 9 juta ton batu bara pada 2011 mempertegas bahwa negeri ini dikelola dengan tidak benar, terutama sumber daya alamnya.


Restu Menteri BUMN terhadap rencana PLN menusuk hati rakyat yang jelas-jelas secara filosofis pemilik kekayaan alam negeri ini. Apa pun alasan impor, sulit diterima akal sehat. Kalau toh Dahlan Iskan, orang nomor satu di PLN, tetap mengupayakan impor karena alasan tertentu, pemerintah mesti berjuang menghentikan. Restu Menteri BUMN mengimpor batu bara sama saja menyamakan batu bara dengan komoditas lain. Batu bara harus dipandang sebagai energi, bukan sekadar komoditas dagang.

Keliru sekali keputusan impor batu bara disamakan dengan kebijakan serupa di China dan India. Kedua negara itu punya tingkat kebutuhan batu bara di atas tingkat produksi. Dengan impor dan bahkan memperluas jangkauan melalui investasi tambang batu bara di negara kita, mereka dapat dibilang smart mengelola energi dalam negeri. Sebaliknya, rencana kita impor dari Australia membuktikan salah urus negara ini dalam mengelola energi.

Negara dengan kebijakan energi yang benar pasti mengedepankan batu bara bukan sekadar sumber penerimaan (revenue driver), melainkan juga lebih sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (economic booster). Peningkatan produksi diletakkan lebih untuk kepentingan pasokan energi nasional sebagai sarana pertumbuhan ekonomi. Tanpa ini, mustahil kebijakan pro-growth, pro-job, pro-poor terwujud.
Di samping itu, tingkat produksi seharusnya sama atau mendekati tingkat kebutuhan batu bara nasional. Mari kita lihat negeri kita, dengan kapasitas listrik 30.000 MW dan terseok-seok untuk menambah 10.000 MW. Semestinya kita belajar kepada China yang punya 570.000 MW dan India dengan 137.000 MW.
Masing-masing berencana menambah 500.000 MW dan 140.000 MW sehingga wajar mengimpor batu bara. Tahun 2011 China memproyeksikan mengimpor batu bara 105 juta ton, demikian juga India 78 juta ton. Mereka mengimpor karena alasan kebutuhan batu bara mereka jauh di atas produksi nasional, yaitu 3 miliar ton (China) dan 600 juta ton (India).

Bagaimana dengan Indonesia? Sesuatu yang dapat dikatakan konyol kalau impor batu bara benar terwujud tahun 2011. Produksi tahun depan diproyeksikan 325 juta ton, jauh di atas tingkat kebutuhan nasional sekitar 75 juta ton. Dengan angka ini, sulit memahami penggunaan devisa yang susah payah terbangun untuk kebutuhan impor batu bara yang jelas diakibatkan kesalahan mengurus SDA.

Ketegasan ke depan

Bagi penulis, seorang Dahlan Iskan pasti sosok yang berpikir panjang. Mantan wartawan yang terdidik berpikir tajam, menulis dan bicara dengan fakta. Dengan mengatakan impor, bukan itu tujuannya, tapi lebih rasa ”marah” terhadap Republik yang dia cintai. Dengan perhitungan harga diterima di atas kapal (free on board) ditambah ongkos angkut ke tujuan (freight cost), sebagai Direktur Utama PLN, ia pasti tahu harga cost, insurance and freight (CIF) itu jauh lebih tinggi dibandingkan menggunakan batu bara dalam negeri. Belum lagi kualitas batu bara Australia hanya cocok di sedikit PLTU batu bara milik PLN. Jadi, pernyataan impor harus dibaca sebagai sebuah kritik tajam atau ”marah” kepada pemerintah.

Untuk mengelola batu bara lebih baik, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus tegas kepada pelaku usaha pertambangan batu bara yang tidak memprioritaskan kebutuhan batu bara nasional (domestic market obligation/DMO). Apalagi ada upaya perusahaan menawarkan batu bara ke PLN dengan spesifikasi jauh lebih jelek dari yang mereka ekspor, untuk sekadar mendapatkan surat tolakan agar terhindar dari penalti pemerintah (Kementerian ESDM). Dengan harga batu bara acuan yang dihitung atas dasar tiga indeks Australia dan satu dari Indonesia (Indonesian Coal Index), semestinya menjual batu bara ke PLN tidak jauh berbeda dengan harga ekspor.

Kedua, untuk mengelola DMO, semestinya dibentuk Badan Pelaksana Batu Bara. Dengan badan ini, akan lebih fleksibel masuk ke masalah teknis. Badan ini diharapkan mampu mengawasi dan mengendalikan efektivitas dan efisiensi pertambangan batu bara, khususnya mengoptimalkan manfaat batu bara sebagai energy value.

Ketiga, DMO bukan sekadar regulasi, melainkan sebagai manajemen rantai pasokan (supply chain management). Elemen teknik dan infrastruktur ada di dalamnya. Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur seperti coal blending terminal untuk mendukung pengelolaan DMO. Akhirnya, pengelolaan sumber daya energi (batu bara) yang benar bukan dibangun untuk sekadar kepentingan sebuah korporasi, bukan pula untuk satu generasi, melainkan untuk beberapa generasi kedepan. Ujungnya satu, terbangun kesejahteraan rakyat.

Singgih WidaGdo Direktur Indonesian Coal Society
Sumber : Harian Kompas, 31 Agustus 2010


31-08-2010 03:29:31
OLEH BASTANUL SIREGAR
Wartawan Bisnis Indonesia
 
Kalau ada pertanyaan tersisa dari kesuksesan IPO PT Berau Coal Energy Tbk Kamis lalu, yang harga saham debutnya naik 11,25% di tengah tekanan harga batu bara dan cuaca buruk yang diyakini menurunkan produksi, itu tidak lain adalah tentang hak eksklusif pemasarannya.


Mungkin baik kita urai pertanyaan itu dari November lalu, saat PT Bumi Resources Tbk menerBitkan obligasi tukar US$300 juta berbunga 5% dan tenor 7 tahun. Obligasi tersebut diterbitkan untuk menyediakan pinjaman subordinasi ke PT Bukit Mutiara dalam nilai yang sama.

Bukit Mutiara selanjutnya menggunakan pinjaman berbunga 12% dan tenor 6 tahun itu untuk membiayai akuisisi PT Berau Coal. Syarat tambahannya, jika akuisisi Berau Coal tuntas, Bumi meraih hak eksklusif pemasaran [marketing rights) batu bara Berau Coal.

Silakan menghitung berapa margin yang diperoleh Bumi dari bridge loan tersebut. Ini masih belum memasukkan margin potensial dari marketing rights Berau Coal, apalagi kalau harga batu bara naik.
Tentu saja, sweet deal bagi Bumi itu tak luput dari pertanyaan, terutama bagaimana Bukit Mutiara mau menyerahkan marketing rights Berau Coal, mengingat perseroan sudah membayar bunga tinggi ke Bumi.
Sampai di sini, margin potensial itu telah mengangkat harga saham Bumi ke atas Rp2.500 per lembar- sebelum bulan berikutnya tergerus ke bawah Rp2.000 menyusul mencuatnya kasus pajak anak usahanya, PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal.
Sebelum terlalu jauh, mungkin baik dipahami Bukit Mutiara mengakuisisi 90% saham Berau Coal dengan mencaplok 100% saham PT Risco. Perusahaan yang terakhir inilah yang menguasai 90% saham Berau Coal. Sebanyak 10% sisanya dikuasai Sojitz Corporation.

PT Risco, yang dimiliki Rizal Risyad (65,04%), Handy P. Soetedjo (20%), dan Garibaldi Tohir (15,96%), menguasai 90% saham Berau Coal melalui PT Armadian Tritunggal (51%) dan Rognar BV (39%). Perusahaan terakhir dikuasai Risco secara tidak langsung.

Sementara itu, Bukit Mutiara dikuasai PT Recapital Advisors melalui PT Bentara Asia Energi Utama. Adapun, saham Recapital yang dikendalikan PT Tripillar Gunaperkasa dimiliki Rosan Perkasa Roeslani (73%), Sandiaga Salahuddin Uno (12%),dan Elvin Ramli (15%).

Biaya akuisisi Berau Coal sendiri dipatok US$1,48 miliar. Bukit Mutiara yang mendapatkan pinjaman US$300 juta . dari Bumi kemudian menunjuk Credit Suisse untuk mengatur pinjaman lain, US$600 juta.

Dari pinjaman Bumi dan Credit Suisse, Bukit Mutiara meraup US$900 juta, belum cukup memenuhi biaya akuisisi, US$1,48 miliar. Rizal Risjad kemudian datang memin-jami US$580 miliar, sekaligus menutup akuisisi Berau Coal sepenuhnya dengan kombinasi utang.

Tak seperti yang lain, pinjaman yang disediakan putra kedua konglomerat anggota Gang of Four Ibrahim Risjad ini memiliki opsi diubah menjadi saham ke PT Risco pascaakuisisi. Dalam satu kesempatan, Rosan mengatakan Rizal bisa mendapatkan 10% saham.

Awal April 2010, atau 3 bulan setelah akuisisi PT Risco, Bukit Mutiara mengubah nama PT Risco menjadi PT Berau Coal Energy, dan memindahkan 0,01 % saham yang dikuasainya ke Bentara Energi. Sejak itulah proses initial public offer-ing-nya mulai dikerjakan.

Ramai spekulasi

Perlu diingat, bunga tinggi pinjaman yang ditanggung Bukit Mutiara serta penyerahan bersyarat marketing rights Berau Coal ke Bumi mulai November itu telah memicu spekulasi. Salah satu yang beredar adalah bahwa pinjaman itu merupakan modus Bumi untuk menutupi interest-nya di Berau Coal.
Meski tak mudah dibuktikan, tentu saja spekulasi tersebut tidak muncul dari ruang hampa. Person di dalam transaksi itu dikenal sudah saling dekat. Rosan P. Roeslani, pemegang saham pengendali Bukit Mutiara, sempat menjadi komisaris PT Kaltim Prima Coal sampai 2007.

Fakta pengikat spekulasi lain belakangan juga muncul. Credit Suisse dan PT Danatama Makmur yang biasa membantu aksi korporasi Grup Bakrie misalnya, juga dimanfaatkan jasanya oleh Bukit Mutiara.

Spekulasi itu kian ramai tatkala pada 30 Desember akuisisi Berau Coal tuntas, dan marketing rights-nya diserahkan ke Maple Holdings Ltd yang dikendalikan Bukit Mutiara melalui Regulus International.

Dalam situasi itu, perjanjian Be-rau Coal dan Maple otomatis melahirkan dua kemungkinan yang bertolak belakang. Di satu sisi, sesuai dengan penyerahan bersyarat marketing rights Berau Coal, Bumi diyakini akan mencaplok Maple atau Bukit Mutiara.

Di sisi lain, perjanjian itu justru cara Bukit Mutiara menganulir penyerahan marketing rights Berau Coal ke Bumi. Atau, syarat marketing rights itu sejatinya tak pernah ada. Di sini, dengan kata lain, hanya dua kemungkinan tersisa Bumi atau Bukit Mutiara yang berdusta. Rangkaian spekulasi inilah yang lantas mengundang pertanyaan otoritas bursa.

Melalui keter-bukaannya pada 8 Januari, Bumi menyatakan perseroan memang menyediakan pinjaman US$300 juta ke Bukit Mutiara dan berharap dapat meraih marketing rights Berau Coal. Jawaban berharap dapat meraih itu rupanya berhasil meredakan persoalan. Dan 3 bulan kemudian, melalui laporan keuangan per 31 Desember 2009, Bumi menyatakan marketing rights itu temyata bukan harapan, melainkan persyaratan.

Pernyataan itu kembali diulang di laporan keuangan Bumi kuartal 1/2010, hingga Berau Energy melalui prospektus notes US$350 juta yang diterbitkan anak usahanya, Berau Capital Resources Pte Ltd pada 8 Juli mengabarkan fakta berbeda.

Dalam prospektus obligasi berbunga 12,5% dan tenor 5 tahun yang tercatat di Bursa Efek Singapura itu, Berau Energy tidak menyinggung penyerahan marketing rights Berau Coal ke Bumi, kecuali menyebutkan Bumi akan mendapat return 19% jika utangnya dibayar penuh.

Sampai tadi malam, baik Rosan maupun Dileep Srivastava, Corporate Secretary Bumi, tak membalas pesan, apakah deal marketing rights itu sudah dibatalkan, atau telah direvisi dengan skema yang lain.

Yang pasti, perjanjian marketing rights itu kembali absen dalam prospektus IPO Berau Energy setebal 440 halaman per 9 Agustus. Dalam prospektus itu, perseroan justru akan memakai sebagian dana IPO untuk mengakuisisi Maple dari Regulus. Akuisisi perusahaan pemegang marketing rights Berau Coal yang bernilai US$200 juta itu akan dilakukan anak usaha Berau Energy, Seacoast Offshore Inc. Sampai di sini, kita sah untuk berhak bertanya Di mana gerangan otoritas bursa kita berada? Siapa yang berdusta? (bastanulsiregar@bisnis.co.id)

Sumber: Bisnis Indonesia, Rabu 25 Agustus 2010

31-08-2010 03:16:46
 
OLEH MUHAMMAD CHATIB BASRI Senior Partner CReco Research Institut

Tak mudah untuk pesimistis jika melihat kinerja makroekonomi Indonesia hari-hari ini. Tengok saja, ekonomi praktis tumbuh hampir mendekati 6% sepanjang paruh pertama 2010, nilai tukar menguat, inflasi- walau merangkak naik-masih aman.

Selain itu, indeks saham di pasar modal melonjak, bahkan investasi PMA langsung-berdasarkan data neraca pembayaran-meningkat signifikan dibandingkan dengan 2008 dan 2009. Namun, justru dalam situasiyang aman ini saya ingin mengingatkan bahwa ada beberapa isu yang jika tidak dikelola dengan hati-hati akan membuat cerita sukses itu terganggu.

Pertama, tekanan inflasi. Inflasi inti Indonesia terus mengalami kenaikan sejak Maret 2010. Padahal di banyak negara termasuk Australia, Kanada, Korea Selatan dan kawasan Eropa, inflasi inti cenderung tetap atau bahkan menurun.

Selama ini ada anggapan bahwa kenaikan inflasi lebih didorong oleh kenaikan harga pangan. Namun, saya beranggapan bahwa sumber inflasi Indonesia didominasi oleh ekspektasi inflasi dan uang beredar.

Grafik 1 menunjukkan bagaimana inflasi 2010 dipengaruhi oleh pertumbuhan kredit atau uang beredar (Ml) dengan sen-jang (lag) 1 bulan. Artinya, pertumbuhan kredit atau uang ber-v edar Ml akan memiliki dampak kepada inflasi pada bulan berikutnya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa kenaikan inflasi banyak dipengaruhi oleh kebijakan Bank Indonesia yang mendorong ekspansi kredit perbankan. Tak ada yang salah dengan peningkatan uang beredar atau kredit, tetapi dalam situasi di mana ada kendala sisi penawaran-karena keterbatasan infrastruktur-ekspansi kredit yang terialu cepat, apalagi dido-minasi oleh kredit konsumsi akan mendorong inflasi.

Karena itu, ekspansi kredit atau Ml harus dilakukan secara bertahap, bila terlalu cepat ekonomi akan memanas. Inilah risiko dari sebuah perekonomian yang memiliki kendala supply karena infrastruktur yang terbatas dan pasar tenaga kerja yang kaku karena aturan UU No. 13/2003.
Jika inflasi melesat, ada ke-khawatir bahwa Bank Indonesia agak terlambat di dalam kebijakan moneter {behind the curve), dan kita akan berada dalam zona tingkat bunga riil 0% atau bahkan negatif. Ini dapat menimbulkan persoalan dalam stabilitas makro.

Kedua, risiko likuiditas yang ketat. Ekspansi kredit yang terjadi begitu cepat. Sampai saat ini pertumbuhan kredit hampir mencapai 20%. Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga atau deposito relatif lambat yaitu 8%-10%. Artinya, permintaan untuk loanable fund tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan penawaran loanable fund. Bisa dibayangkan, implikasinya bunga akan naik.

Tak hanya itu, likuiditas yang ada di pasar keuangan juga di serap melalui penjualan obligasi pemerintah, tetapi pencairan belanja relatif lambat.

Jika penyerapan APBN dan pertumbuhan deposito lambat, sedang ekspansi kredit begitu cepat, ditambah lagi dengan rencana BI soal adanya batasan ideal ban to deposit ratio (LDR) bank, likuiditas akan menjadi sangat ketat dan perbankan akan mulai menaikkan bunga. Ironis, karena BI justru ingin bunga turun.

Mungkin kita baik belajar dari pengalaman Juni-September 2008. Saya sepenuhnya -mendukung kebijakan ekspansi kredit. Yang menjadi masalah adalah kecepatannya. Bila kecepatan pertumbuhan kredit sejalan dengan situasi perekonomian, ekspansi kredit akan berdampak positif.

Ketiga, soal hot money yang berisiko bubble. Hot money sangat rentan terhadap risiko makroekonomi, baik di luar maupun di dalam negeri. Keputusan Bank Indonesia agar SBI wajib ditahan minimal 1 bulan adalah keputusan yang tepat.

Studi saya menunjukkan bahwa pergerakan SBI sangat berfluktuasi dan berpengaruh dalam fluktuasi nilai tukar. Sampai saat ini memang belum terjadi bubble di dalam perekonomian, tetapi bila arus modal masuk terus terjadi secara signifikan dan tak terserap oleh sektor riil, maka risiko bubble meningkat.

Di pasar modal misalnya, risiko ini muncul karena nilai perusahaan baru yang go public relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan arus modal masuk. Akibatnya, investor akan cenderung melakukan investasi didalam perusahaan yang sama. Harga saham memang meningkat, tetapi di sisi lain meningkatkan risiko bubble.

Karena itu perusahaan harus didorong untuk go public termasuk BUMN. Saya juga melihat bahwa daya serap pasar keuangan terbatas karena kendala di sektor riil, seperti iklim investasi dan buruknya infra-struktur.
Implikasinya, arus modal masuk tidak sepenuhnya dapat diserap oleh perekonomian. Karena itu saya menganggap bahwa perbaikan di dalam infrastruktur, iklim investasi dan juga tambahan perusahaan baru yang go public mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan daya serap arus modal yang masuk.
Bila hal ini tidak dilakukan maka risiko bubble meningkat dan modal bisa keluar dengan cepat dari Indonesia. Akhirnya perekonomian akan terganggu.

Masih rentan

Keempat, situasi global masih rentan. Dalam pertemuan di Asian Development Bank Institute Kamis minggu lalu di Tokyo, dibahas bahwa situasi ekonomi global masih rapuh. Risiko double dip-walaupun kecil-tetap ada.

Dalam situasi seperti ini saya ingin meningatkan bahwa fluktuasi eksternal dapat memukul perekonomian melalui ekspor. Dalam pertemuan di National Bureau of Economic Research (NBER) beberapa bulan lalu, saya menyampaikan bahwa orientasi ekspor harus diikuti oleh diversifikasi ekspor. Studi Haddad, Um dan Saboroswski (2010) menunjukkan jika ekspor hanya terkonsentrasi pada produk tertentu, ia semakin rentan terhadap fluktuasi global. Ini benar, ekspor kita terpukul karena sangat terkonsentrasi, tetapi kita beruntung karena porsi ekspor relatif kecil dalam PDB.

Karena itu, ke depan Indonesia harus mendiversifikasi ekspornya, baik pasar maupun produk.
Sayangnya, studi dari penulis bersama dan Rahardja menunjukkan produk dan pasar ekspor kita masih primitif, dalam arti kata masih yang itu-itu saja.

Grafik 2 menunjukkan bahwa dalam 18 tahun terakhir pertumbuhan ekspor didorong oleh produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama.

Penemuan baru {new discovery)? Kecil sekali. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita nyaris tak ada! Karena itu, diversifikasi ekspor harus dilakukan melalui perbaikan infrastruktur, penguatan LPEI, promosi, perbaikan dalam RD, dan menjaga nilai tukar yang kompetitif.

Di tengah situasi makro yang mendukung, di tengah begitu tingginya harapan untuk ekonomi Indonesia, kita harus tetap berhati-hati dan memperbaiki diri.

Saya justru melihat inilah waktu yang tepat untuk memperbaiki perekonomian.
The time to repair the roof is when the sun is shining, begitu ujar JF. Kennedy. Pesan itu sangat relevan pada hari ini.
Sumber: Bisnis Indonesia, Selasa 24 Agustus 2010

27-08-2010 07:03:06
OLEH DEFIAN CORI
Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Seluruh stakeholder harus terlibat dalam usaha bersama
Pada 2013 kontrak kerja sama pengelolaan PT Inalum (Indonesia Aluminium) antara Indonesia dan Jepang akan berakhir, walaupun Pemerintah Jepangmelalui Nippon Asahan Aluminium (NAA)-berkeinginan kuat untuk memperpanjangnya. unculnya M reaksi dari Jepang itu membuat pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kemungkinan untuk memperpanjang kontrak kerja sama dengan mereka. Pertimbangannya bukan saja berkaitan dengan kebutuhan dana pembangunan yang harus kita peroleh dari para investor, lebih dari itu yakni pertimbangan konstitusionalitas.

Sebab, konstitusi merupakan kesepakatan bersama (common denominator) kita dalam mengelola negara dan bangsa, khususnya perekonomian sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Amanat konstitusi–khususnya Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD ‘45–secara substansial menyebutkan beberapa kata kunci (key words) antara lain: Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama, Kedua asasnya adalah kekeluargaan.
Ketiga, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikua sai oleh negara.
Keempat, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Kelima, kekayaan tersebut dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Pertanyaannya kemudian, apakah selama ini pemerintah sebagai pemegang mandat pengelolaan negara sudah melaksanakan ketentuan pasal ekonomi itu secara murni dan konsekuen? Sementara sesuai konsepsi saham mayoritas dalam perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT) adalah penguasaan mayoritas suara oleh pemilik modal asing yaitu NAA.
Usaha bersama Konstitusi sudah menya takan secara tegas bahwa usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan merupakan prinsip yang terkandung dalam menyusun pengelolaan ekonomi negara.
Tentu saja, usaha bersama yang dimaksud bukanlah tafsir bersama dengan asing karena semangat pasal ekonomi ini didasari atas penolakan atas penguasaan ekonomi oleh kolonialisme. Terkait dengan tafsir asas kekeluargaan, bukan pula dimaksudkan perekonomian hanya diurus oleh para keluarga pejabat pemerintahan, karena justru melanggengkan KKN. Tentulah kita semua sepakat, jika hal ini yang terjadi kita patut menolaknya.
Jika kita teliti secara cermat, sejatinya situasi perekonomian kita sudah diubah (by design) sejak masa Orde Baru yaitu dengan hadirnya UU PMA No. 1/1967. Penguasaan ekonomi dan dominasi asing dalam bebe rapa perusahaan mber daya alam NDRAYA NA sumber daya alam dalam bentuk saham mayoritas saat ini adalah implikasinya. Reformasi yang digelorakan para mahasiswa pada 1998 selain menuntut penghapusan praktik KKN juga bertujuan meluruskan kembali cita-cita pengelolaan SDA strategis untuk kepentingan pembangunan.

Arah reformasi semakin diperburuk oleh UU Penanaman Modal No. 25/2007 (Pasal 1 ayat 3, 7 dan yang lebih memberi peluang dominasi modal asing.

Pada kedua fase (Orde Baru dan Orde Reformasi) pemerintahan sama-sama tidak mengindahkan perintah konstitusi.

Pada UU Penanaman Modal yang baru ini dinyatakan bahwa asing diperbolehkan untuk menanamkan modalnya sebagian atau seluruhnya dalam semua sektor (Pasal 2) dan bidang-bidang usaha (Pasal 12) sesuai kepentingan nasional yang artinya yang artinya 50%100%.

Bahkan, jika dibandingkan dengan UU No. 1/1967 (Pasal 18) mengenai izin penanaman modal asing jangka waktunya diberikan 30 tahun, sedangkan dalam UU 25/2007 (Pasal 22) izin diberikan sampai dengan 95 tahun.
UU ini selain memberikan legalisasi penguasaan SDA kepada asing terus berlanjut, maka jika pemerintah terus membiarkan UU ini berlaku, jelas bertentangan dan melanggar konstitusi.

Konsepsi usaha bersama harus diwujudkan dengan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sesuai konteks ketatanegaraan yaitu rakyat, wilayah (daerah) dan pemerin tah yang berdaulat (pusat).
Dengan potensi yang dimiliki oleh Inalum dan dalam konteks otonomi daerah, maka penguasaan oleh negara ini harus diterjemahkan sebagai usaha bersama untuk menguasai saham Inalum.
Oleh karena itu, penguasaan oleh negara itu dapat dibagi dalam tiga kelompok yang berkepentingan yaitu pemerintah, BUMN atau konsorsium serta swasta/koperasi sebagai representasi rakyat. Tentu saja usaha bersama ini dilakukan melalui penyertaan modal masing-masing untuk mengambil alih penguasaan dari NAA.
Sebagaimana diketahui, dalam organisasi berbadan hukum PT keputusan tert inggi berada pada rapat umum pemegang saham (RUPS). Pengambilan kepu tusan dalam RUPS didasarkan pada porsi (besar/kecil) kepemi likan saham.
Logikanya adalah dengan saham sebesar 58,88% (may oritas) yang dimiliki oleh NAA, maka kepentingan nasional dalam pengelolaan SDA strategis oleh PT Inalum lebih didominasi oleh kepentingan asing yang menguasai suara terbanyak.
Maka, kita tidak heran kalau suara negara dikalahkan oleh suara pemegang saham mayoritas dalam menyusun perencanaan strategis usaha, karena yang diutamakan dalam organisasi kapitalisme adalah kesejahteraan pemilik modal.
Konsepsi usaha bersama dan penguasaan oleh negara atas kekayaan SDA strategis harus ditegaskan melalui pengambilalihan pengelolaan Inalum.
Penguasaan oleh negara ini tidak cukup hanya dengan menempatkan wakil pemerintah.

Pilihan untuk kembali bekerja sama dengan Jepang adalah alternatif apabila Indonesia memang sudah tidak memiliki opsi lain secara teknis dan ekonomis, serta tidak menggantungkan pembiayaan pembangunan pada investasi asing dan apalagi utang. Kinilah saatnya negara mengambil peran dalam pengelolaan ekonomi dan SDA agar mampu menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

23-08-2010 06:45:55
Mochtar Pabottingi
Pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.
Dia menegaskan ”akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi” (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh! Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening.

Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian.

Kita juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara serius di tempat yang serius.

Jika Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang sama sekali lain dari ”wacana lima tahun lagi”. Mereka umumnya akan berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran negara yang skalanya kian meluas.

Dalamnya keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa ”potensi kemungkinan Indonesia menjadi ’negara gagal’ semakin besar” (”Kesalehan Sosial Bangkrut”) dan bahwa negara kita memerlukan ”terobosan radikal dengan prioritas jelas” (Tajuk ”Persoalan Berlapis-Lapis”, Kompas, 10/8). Dengan tingkat keresahan dan keprihatinan ini, ”lima tahun lagi” adalah sungguh jauh panggang dari api.

Tantangan terbesar

Tantangan terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu, dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in charge.

Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul- simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang itulah tugas inheren kepresidenan.
Jika Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai ”logam mulia”. Ia tak gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya.
Dia tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan.
Pemahaman konsisten-progresif
Kontras dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari ”Ground Zero” 9/11 kembali membuktikan hal itu.
Landasan utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong, darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka, tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah benar-benar sebagai ”logam mulia”.
Tanpa pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor ”Encore!” Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand, ”Enough is enough!”

Jika kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib ”negara gagal”, mari bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus menghindar (”Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya”), dan mulai sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati.

Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan yang sama sekali tidak lucu!

Mochtar Pabottingi Peneliti Senior
Kompas Senin, 23 Agustus 2010 | 02:45 WIB

 
 
 
 
Berita
 
02-09-2010 04:49:02
JAKARTA PT Aneka Tambang Tbk (Antam) terlibat dalam pengerjaan proyek Chemical Grade Alumina (CGA) Tayan senilai US$450 juta yang akan dimulai awal kuartal 2011.
Sekretaris Perusahaan Antam Bimo Budi Satriyo menjelaskan keterlibatan itu tertuang dalam penandatanganan kontrak EPC {engineering, procurement and construction) terkait dengan konstruksi proyek CGA Tayan yang berlokasi di Tayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Adapun yang terlibat dalam proyek tersebut adalah PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) dengan konsorsium unincorporated TT Wijaya Karya Tbk, Tsu-kishima Kikai Co Ltd, dan PT Nusantara Energi Abadi (Nusea) sebagai kontraktor EPC proyek CGA Tayan.
ICA merupakan perusahaan patungan Antam dengan Showa Denko K.K. (SDK) dari Jepang. Pada perusahaan patungan tersebut Antam memiliki 80%, sementara sisanya dimiliki SDK.
“Konstruksi proyek CGA Tayan diharapkan mulai dikerjakan pada kuartal 1/2011 dengan target penyelesaian pada akhir 2013. Untuk produksi komersial bisa dimulai pada kuartal 1/2014,” ujar Bimo kemarin.
Menurut dia, proyek CGA Tayan akan memproduksi bauksit sekitar 300.000 ton CGA per tahun. Untuk output produksi sebesar 200.000 ton CGA akan digunakan SDK sebagai pengganti output CGA dari pabrik miliknya di Yokohama, Jepang. Sementara itu, 100.000 ton CGA akan dijual ke pasar Indonesia.
Bimo mengatakan proyek CGA Tayan yang berni-lai sekitar US$450 juta itu sumber pendanaannya berasal dari eksternal dan internal. Akan tetapi, dia enggan memerinci komposisi dan besaran dari sumber pendanaan tersebut.
“Tanggal efektif kontrak EPC tergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah penyelesaian financial close.”
Produk CGA
Produk-produk CGA digunakan di antaranya untuk memproduksi material berdaya guna dan material elektronik. Aluminium hi-droksida, produk intermediary dalam produk alumina, digunakan dalam proses pemurnian air.
Awal pekan ini, Antam juga baru saja memulai operasi tambang nikel baru di wilayah Tapunopaka, Sulawesi Tenggara. Produksi tambang Tapunopaka direncanakan sebesar 1,5 juta wet metric ton (wmt) bijih nikel per tahun. Jumlah sumber daya bijih nikel di tambang tersebut mencapai 7,1 juta Wmt.
Direktur Pengembangan Antam Tato Miraza mengatakan untuk pembukaan tambang Tapunopaka yang memiliki luas 6.213 hektare dibutuhkan dana Rp75 miliar.

Pengoperasian tambang nikel Tapunopaka akan memperkuat operasi komoditas nikel Antam yang saat ini mencakup tambang Pomalaa Gee dan Buli serta tiga pabrik pengolahan feronikel yang berlokasi di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
“Kami berencana menggunakan bijih nikel Tapunopaka sebagai umpan pabrik feronikel di Pomalaa. Ini disebabkan cadangan nikel di Pomalaa sudah hampir habis,” tutup Tato. (10)
Sumber : BISNIS INDONESIA, Rabu 1 September 2010

02-09-2010 04:43:08
JAKARTA PT Pertamina (Persero) berencana memperluas penjualan elpiji ukuran 9 kg dan 14 kg dari hanya wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) hingga ke kota besar lainnya, seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
VP Corporate Communications Pertamina Mochamad Harun mengungkapkan penjualan elpiji 9 kg dan 14 kg tersebut merupakan program Ease Gas, yakni gas elpiji yang dipasarkan untuk masyarakat kalangan menengah atas dengan harga pasar dan tidak disubsidi pemerintah.
Menurut dia, Pertamina melalui anak usaha Pertamina Trading telah menjual Ease Gas tersebut di wilayah Jabodetabek sejak awal 2010, dengan rincian elpiji 9 kg dijual seharga Rp78.000 per tabung dan 14 kg seharga RpHO.OOO per tabung.
“Untuk tahap awal ini, memang baru di wilayah Jabodetabek saja area penjualannya, tetapi nanti akan dikonsentrasikan juga di kota-kota besar lainnya. Sasarannya memang masyarakat menengah atas yang semestinya tidak layak disubsidi terus,” tutur dia Senin, (BISNIS/NTI)

02-09-2010 04:37:48
Pembatasan paling lama harus dimulai Oktober
JAKARTA Rencana penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dijadwalkan September tahun iniberpotensi molor karena hingga kini belum ada rumusan kriteria penerapan penghematan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo mengungkapkan hingga kini pemerintah terus mengkaji mekanisme penghematan penggunaan BBM bersubsidi tersebut.
“Kita belum bicarakan itu [pelaksanaannya]. Kita sedang mengupayakan, tetapi belum diputuskan. Kita tetap mengkaji bagaimana sebaiknya. September besok pagi, tidak mungkin ya,” tutur Evita kemarin.
Di sisi lain, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh memperki-rakan terjadi lonjakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2011 mencapai 42,55 juta kiloliter (KL) naik 10,23% dibandingkan dengan estimasi konsumsi 2010 sebanyak 38,6 juta kiloliter.

Perkiraan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR.
Menurut Darwin, dalam RAPBN 2011 volume BBM bersubsidi ditetapkan 36,77 juta KL sebagaimana tertulis dalam Nota Keuangan 2011. Namun, penetapan itu dengan asumsi rancang ulang kebijakan subsidi dan pelaksanaan penghematan penggunaan BBM bersubsidi.

“Apabila redesign kebijakan subsidi dengan mengganti kebijakan subsidi harga menjadi model tepat sasaran berjalan baik, volume BBM bersubsidi tahun depan bisa 36,77 juta KL.”

Akan tetapi, jika redesign tidak terlaksana, lanjutnya, diperkirakan terjadi lonjakan konsumsi menjadi 42,55 juta KL. Perkiraan ini melihat angka realisasi volume BBM bersubsidi sampai dengan semester 1/2010.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Tubagus Haryono menambahkan perkiraan konsumsi BBM bersubsidi sebesar 42,55 juta KL tersebut dipicu oleh beberapa hal, antara lain, dengan asumsi kapal berbendera Indonesia diperbolehkan menggunakan BBM bersub-sidi, sesuai dengan penerapan asas cabotage yang mengharuskan kapal untuk berbendera Indonesia.

Selain itu, lanjut dia, peningkatan volume BBM bersubsidi juga diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk 1,3% per tahun, pemekaran kota, serta peningkatanjumlah kendaraan bermotor.

Sesuai kuota

Sementara itu, Kementerian Keuangan mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral segera menerapkan pembatasan subsidi BBM paling lambat Oktober guna menekan pemakaian sesuai dengan kuota 36,5 juta kiloliter.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan sesuai dengan kesepakatan dengan Menteri ESDM, dua pekan lalu, pembatasan subsidi BBM akan dilakukan pada awal September atau paling lambat Oktober. Untuk itu, Kementerian ESDM harus segera memutuskan opsi pembatasan BBM yang akan diambil.
“Kelihatannya antara awal September hingga Oktober dijalankan. Pembatasan harus segera dilakukan supaya sesuai dengan yang dianggarkan [dalam APBN-P2010],” ujar dia.
Dia menegaskan alokasi anggaran subsidi BBM pada tahun ini tidak akan berubah, kecual; rata-rata nilai tukar melampaui asumsi. (agust.supriadi@bisnis.co.id/ibeth. nurbaiti® bisnis, co. id)
OLEH AGUST SUPRIADI NURBAITI
Bisnis Indonesia, Rabu 1 September 2010

31-08-2010 04:21:31
Dalam sebuah jamuan makan siang, medio 2009, Agus Martowardojo terang-terangan mendukung Darmin Nasution maju menggantikan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia. Menurutnya, Darmin adalah ‘orang yang paling tepat’ untuk memperbaiki organisasi bank sentral.
Agus, sempat menepis kans dirinya maju kembali sebagai kandidat, setelah pada 2008, ditolak sebagai calon gubernur BI usulan Presiden dalam sebuah voting di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat. “Titip Pak Darmin, beliau adalah orangnya.”

Ketika itu, Agus adalah Dirut PT Bank Mandiri Tbk sekaligus Ketua Ikatan Bankir Indonesia, sangat berkepentingan dengan BI, regulator bagi 113 bank di Tanah Air. Namun, ketika kini dia Menteri Keuangan yang jadi ujung tombak pemerintah dalam membahas RUU Otoritas Jasa Keuangan, masihkah punya kepentingan yang sama?

Jawabnya pasti tidak? Itu bila merujuk silang pendapat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dalam hal pemisahan pengawasan bank dari bank sentral. Agus kukuh pemisahan dilakukan, Darmin sebaliknya.
Dua orang pejabat publik dengan jejak rekam karier sama baik ini, pada akhirnya berdiri dalam dua ujung kepentingan yang berbeda. Sejak awal, Kementerian Keuangan menyusun konsep OJK dalam satu payung lembaga yang otoritatif terhadap seluruh sektor industri keuangan.
OJK yang satu, tak lain bertugas mengawasi bank, pasar modal, asuransi, multifinance, serta dana pensiun. Kelimanya berada pada regulator yang sama bukan tanpa maksud; memudahkan pengawasan antara satu dengan yang lain, setelah industri keuangan babak belur dihantam krisis pada 1998.
Pendirian ini, yang notabene disiapkan Darmin saat menjabat Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, justru berhadapan dengan ide sebaliknya yang diusung oleh BI. Darmin, kini adalah ujung tombak kepentingan bank sentral, yang sejak ide OJK muncul pada 1999, begitu resistan.
Bicara soal resistansi, sejarah telah menguji bagaimana efektifnya lobi Bank Indonesia dalam melindungi kepentingannya. Jangan lupa, Darmin adalah pihak yang ‘dikalahkan’ dalam proses pembentukan OJK jilid pertama pada 2003.
Ketika itu, selama pembahasan amendemen UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, pembentukan OJK nyaris tidak diutik-utik dari kedudukannya di Pasal 34. Pasal kritis adalah 75, yang mengatur pengunduran diri gubernur BI begitu amendemen efektif.
Gubernur BI Syahril Sabirin yang tidak disukai oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah sasaran pasal ini. Presiden, tutur salah satu pejabat bank sentral, malah pernah meminta Syahril mundur, tetapi tidak ditanggapi, sejalan dengan independensi BI yang ditabalkan dalam UU No. 23.

Abdurrahman Wahid justru jatuh lebih dulu pada Juli 2001, ketika proses amendemen masih berjalan. Pada 2003, Syahril mengakhiri masa jabatan dan digantikan Burhanuddin Abdullah, pejabat baru yang langsung menggebrak dengan ide penundaan OJK.

Kampanye penundaan dimulai sejak Burhanuddin menjalani uji kepatutan dan kelayakan, berlanjut pada polemik sesudah terpilih, efektif memengaruhi parlemen. Bank sentral kukuh dengan alasan selain mahal, OJK juga belum diperlukan karena kualitas pengawasan BI sudah jauh lebih baik.

Pasal 34 pun berganti isi, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor keuangan yang dibentuk paling lambat 31 Desember 2010.
Pemerintah, di bawah pimpinan Darmin, tak kuasa menolak keputusan penundaan yang kemudian menjadi salah satu bagian UU No. 3/2004 hasil amendemen undang-undang tentang Bank Indonesia sebelumnya.
Benar saja, sejak Burhanuddin terpilih sampai jabatannya berakhir, OJK jarang menjadi pokok bahasan lagi. Sementara itu, Kementerian Keuangan juga tidak pernah terdengar membubarkan Tim Perumus RUU OJK yang dimotori Darmin.

Pada awal tahun ini, bola OJK kembali bergulir hangat seiring dengan tenggat pembentukan yang mendekat. Bila gagal terwujud, pemerintah dan DPR bisa dianggap telah melanggar undang-undang.

Polemik kembali terjadi, dengan isu sentral tetap saja pada pemisahan pengawasan bank dari BI. Mudah diduga, bank sentral secara kelembagaan maupun pernyataan sporadis para pejabatnya, tetap enggan kehilangan ‘kuasa’ dalam mengawasi bank.

Kadar keengganan bisa bermacam-macam, ada sebagian atau seluruhnya. Namun, hal paling mengejutkan pekan ini adalah berubahnya sikap Darmin yang turun dengan usulan membentuk Dewan Pengawasan Bank, organisasi yang ‘terpisah’ baik dengan BI maupun OJK.
Bahkan dalam usulan bank sentral, dimensi OJK diperkecil menjadi Dewan Pengawasan Pasar Modal dan Institusi Keuangan Non Bank. Dewan Pengawasan Bank, kelak, berada di jalur koordinasi gubernur BI, tetapi di luar struktur dewan gubernur.
Banyak orang, termasuk para anggota parlemen dalam Pansus RUU OJK tak habis pikir dengan ide bawaan Darmin, yang kini merepresentasikan Bank Indonesia.
Usulan ini, di atas kertas sebenarnya bisa diabaikan oleh pemerintah dan parlemen. Namun, dalam praktik akan menjadi hal yang menyulitkan dan bahkan berpotensi pada menciptakan ketidakstabilan baru bila tidak dikelola dengan baik. BI adalah otoritas moneter yang mutlak beriringan dengan Kemenkeu selaku otoritas fiskal.
Bisa jadi, ini akan menjadi bahan perseteruan kesekian kali antara kubu Thamrin (BI) dan Lapangan Banteng (Kemenkeu). Darmin, yang dianggap anggota DPR dari Fraksi Demokrat I Wayan Gunarsa terpengaruh oleh para deputinya, keras pada pendirian ‘pemisahan pengawasan secara frontal tak menyelesaikan masalah, tetapi potensial menimbulkan masalah baru’.

Sadar bank sentral telah jauh-jauh hari berkampanye antipemisahan pengawasan bank, Agus Martowardojo tak kalah kukuh bersikap. Bagi pria yang dikenal teguh dengan pendirian ini, demi efektivitas bentuk pengawasan, bank maupun nonbank harus menganut sistem satu lembaga dan manajemen.

Tentu situasi ini menjadi tidak mudah, mengingat pembahasan RUU OJK ini harus selesai kurang dari 4 bulan. Sikap bank sentral juga makin meneguhkan karakternya lembaga yang tidak kenal menyerah, pun saat telah berganti pucuk pimpinan yang murni dari luar lembaga itu.

Padahal, bila mau simpel, tak sulit memindahkan organisasi pengawasan bank, karena pada saat yang sama Kemenkeu juga mengamputasi Bapepam-LK, untuk kemudian dilebur menjadi satu OJK. Namun, ternyata tidak pernah mudah, terlihat dari tarik ulur yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Kecurigaan bahwa BI terlalu cemas kehilangan ‘kuasa’ mengawasi perbankan, hanya akan menebalkan antipati terhadap lembaga ini. Sebab, dalam kesempatan pertama, Agus juga telah menjamin, baik Thamrin maupun Lapangan Banteng, tak bakal kehilangan akses terhadap lembaga ini.
Namun bila ternyata kepentingan ‘kuasa’ ini memang tidak bisa ditawar, mau apalagi? Sungguh, menyaksikan pergesekan kepentingan yang kini di pundak Darmin, dengan kepentingan pemerintah yang diemban Agus Mardowardojo bukanlah hal yang menyenangkan. (hery.trianto@bisnis.co.id)
Oleh: Hery Trianto
Sumber: Bisnis Indonesia KAmis 26 Agustus 2010
http://web.bisnis.com/artikel/2id3076.html

31-08-2010 03:33:07
Selasa, 31 Agustus 2010 | 02:58 WIB
Jakarta, Kompas – Laporan kinerja keuangan pemerintah daerah semakin tidak jelas. Dari 503 pemerintah daerah, hanya 13 pemda yang laporan keuangannya mendapat hasil audit wajar tanpa pengecualian. Audit kinerja keuangan daerah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.


Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Senin (30/8) di Jakarta, saat Rapat Kerja Badan Anggaran DPR. Rapat kerja tersebut membahas Rancangan Undang-Undang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009.
Tahun 2009, kata Menkeu, pemerintah pusat mentransfer Rp 309 triliun kepada pemerintah daerah. Sayangnya, publik tidak mengetahui pertanggungjawaban pemanfaatan dana itu. Hal ini karena suasana keterbukaan di pemerintah pusat belum diikuti pemerintah daerah.
Menkeu menjelaskan, untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBN, Kementerian Keuangan diuji dalam tiga kali Sidang Paripurna DPR. Hal itu belum termasuk pembahasan yang rinci di Badan Anggaran. ”Kami mendorong agar perlakuan yang sama diterapkan pada pertanggungjawaban APBD.

Suasana dan kepedulian atas laporan keuangan seharusnya bisa dilakukan pada Laporan Keuangan Daerah,” tutur Agus Martowardojo.
Saat ini, satu-satunya instrumen pengawasan keuangan daerah, yang bisa digunakan pemerintah pusat, hanya sanksi kepada pemerintah daerah yang terlambat menyerahkan Peraturan Daerah (Perda) APBD, yang mulai dihimpun sejak November tahun sebelumnya.

Untuk APBD 2011, misalnya, daerah harus menyelesaikannya pada akhir tahun 2010. Namun, masih ada beberapa daerah yang menyerahkan Perda APBD pada Mei tahun berjalan. Ini membuat penyerapan anggaran sangat lambat dan berdampak pada pembangunan ekonomi.

Dana yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah setiap tahun menunjukkan tren meningkat. Tahun 2000, dana yang ditransfer ke daerah Rp 33,1 triliun, tetapi pada 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun dan 2009 mencapai Rp 309 triliun.

Dana itu termasuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam, serta dana otonomi khusus dan penyesuaian bagi daerah tertentu.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi, peningkatan anggaran ke daerah seusai prinsip money follow function (dana mengikuti kewenangan). Namun, perlu ada penguatan kontrol, baik internal maupun eksternal.
”Perlu kreativitas pemerintah untuk menyerap hasil pengawasan dari masyarakat. Baik tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawaban program daerah. Lengkapi dengan sistem insentif dan disinsentif fiskal bagi pemda,” ujarnya. (OIN)
Sumber : Harian Kompas, 31 Agustus 2010

31-08-2010 03:20:45
 
Pembatasan defisit anggaran maksimal 3% dari PDB tidak riil

JAKARTA Kondisi ekonomi Eropa saat ini dinilai dapat menyebabkan kawasan itu masuk kembali ke dalam jurang resesi akibat kebijakan pemerintah memangkas belanja guna mengurangi defisit anggaran.
“Memaksakan pengurangan investasi [pemerintah] yang memiliki dampak stimulan tinggi dengan tujuan membuat defisit terlihat lebih baik adalah hal yang bodoh,” ujar Peraih Nobel bidang ekonomi Joseph Stiglitz, seperti dikutip Bloomberg, kemarin.

Pemerintah kawasan euro sedang berupaya memotong defisit hingga maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB), sesuai dengan standar UE, setelah krisis Yunani menurunkan kepercayaan investor di 16 negara di kawasan tersebut.

Meski pada kuartal 11/2010 kawasan ini mencatatkan laju pertumbuhan tercepat dalam 4 tahunterakhir, pemulihan dihadapkan pada pelemahan berbagai indikator ekonomi. Pada Agustus, pertumbuhan sektor jasa dan manufaktur UE di bawah proyeksi ekonom.
“Banyak negara di Eropa fokus pada batasan defisit 3%. Mereka berisiko kembali ke jurang dou-ble-dip. Batasan 3% itu tidak riil dan hanya melihat satu sisi dari neraca keuangan,” jelas Stiglitz.
Kemarin, Moodys Investors Service juga mengingatkan risiko penurunan ekonomi kawasaneuro telah meningkat Pada. Mei, Komisi UE memproyeksikan defisit anggaran kawasan euro pada 2010 akan menyentuh 6,6% dari PDB, turun dari 6,3% pada 2009.
Di antara 16 negara di kawasan euro, setelah Irlandia, pemegang defisit terbesar kedua adalah Yunani, yaitu sebesar 13,6% dari PDB 2009. Pemerintah setempat menargetkan pemotongan defisit menjadi kisaran 3% pada 2014.
“Irlandia terlalu kecil untuk menentukan kondisi Eropa secara keseluruhan. Namun, jika
Jerman, Inggris dan negara utama lainnya mengikuti pendekatan pemangkasan defisit secara besar-besaran, Irlandia akan* menderita,” tambah Stiglitz.
HSBC Holdings Plc mencatat porsi kredit macet perbankan Yunani naik hingga 8,2% dari total kredit berjalan pada kuartal 1/2010, atau naik dari 7,7% dari akhir tahun, lalu. Guna menghindari resesi, Menkeu Yunani George Papaconstantinou dan Gubernur Bank Sentral George Provo-poulos mendesak perbankan Yu-nani melakukan merger.
Senada dengan Stiglitz, pejabat bank sentral Inggris (Bank of England) Martin Weale mengatakan Inggris menghadapi risiko resesi tahap kedua, di mana berdasarkan proyeksi terakhir ada peluang besar ekonomi terkontraksi selama 4 kuartal mendatang.
Terlalu pesimistis
Anton Gunawan, Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia (Tbk), justru menilai pendapat Stiglitz terlalu pesimistis. Dia meyakini momentum pemulihan masih akan berlangsung di UE dengan asumsi tingkat kepercayaan membaik, investasi dan perdagangan meningkat.

Apalagi, ekonomi Jerman dan Prancis, pendorong utama pertumbuhan kawasan, masih memiliki prospek kuat. Dengan pertimbangan itu, stimulus di sejumlah negara itu memang sudah tidak diperlukan.
Angka optimistis muncul dari Jerman, di mana data Kantor Statistik negara itu, kemarin, menunjukkan peningkatan kinerja ekspor sebesar 8,2% pada kuartal II dari kuartal I, sedangkan investasi mesin dan peralatan naik sebesar 4,4%. (dewLastuti@bisnis.co.id)

OLEH DEWI ASTUTI Bisnis Indonesia

Sumber: Bisnis Indonesia, Rabu 25 Agustus 2010