November 18, 2010

Gara-gara Mbah Merapi

Selasa, 9 November lalu, status Gunung Merapi masih mengancam. Radius berbahaya masih 20 kilometer. Bersama Agus, seorang relawan, pagi itu saya diperkenankan masuk ke daerah Pakem.
Teman-teman relawan di pos pemantauan Desa Mangunan, Harjobinangun, Pakem, mengatakan, status Merapi sedang landai. Kalau masih mau naik ke atas, silakan, asal tidak lebih dari satu jam. Dengan mengendarai mobil, Agus dan saya bergegas naik ke atas, ke dusun Wonorejo, sepuluh kilometer dari Merapi.

Jalanan amat sepi. Kami hanya bertemu beberapa orang yang sedang mengangkut rumput untuk makanan ternak. Mobil tak bisa masuk ke dusun karena sebelum meninggalkan dusun, penduduk merobohkan pohon bambu sebagai penghalang agar desa mereka tidak disatroni pencuri selama mereka mengungsi.

Kami masuk ke desa berjalan kaki. Sunyi senyap segera menyergap kami. Sesekali kesunyian itu pecah oleh gonggongan anjing. Saya sempatkan diri untuk menengok beberapa kandang sapi dan kambing. Syukurlah, masih tersedia rumput bagi mereka. Hanya ayam-ayam yang kelihatan tak menemukan makanan. Ayam-ayam itu menunduk loyo, dan beberapa ayam tergeletak menjadi bangkai.

Akhirnya kami sampai di Karang Klethak, sebuah lereng di pinggir Dusun Wonorejo yang berbatasan dengan Kali Boyong. Di Karang Klethak ini ada sebuah petilasan, namanya petilasan Mbok Turah. Kami hening sejenak di depan patung Mbok Turah yang diselimuti abu.
Saya ke tepi lereng dan melihat Kali Boyong yang ternyata telah menjadi dangkal dan amat melebar. Saya bertanya, ke mana batu-batu besar yang dulu selalu saya lihat? Batu-batu besar itu ternyata telah tertimbun pasir, yang turun bersama lahar dingin dari puncak Merapi. Kali Boyong di bawah Karang Klethak itu nyaris telah menjadi telaga pasir. Dan melewati celah-celahnya, air sungai mengalir.

Ketakutan kolektif

Di petilasan Mbok Turah, di tengah Gunung Merapi sedang memorakporandakan dan melumpuhkan segalanya, saya rasakan kembali dalam-dalam cerita-cerita penduduk sederhana tentang Merapi selama ini. Gunung Merapi sedang meletus.

Tapi sering saya dengar penduduk di lereng Merapi mengatakan demikian: Mbah Merapi lagi duwe gawe. Duwe gawe apa? Duwe gawe reresik awake lan menungsane (Mbah Merapi sedang punya hajatan. Hajatan apa? Hajatan membersihkan dirinya sendiri dan manusianya). Dan kata mereka lagi: Merapi ora njeblug ning ngamuk. Merga apa? Merga kelakuane menungsa (Merapi bukannya meletus, tapi marah. Marah karena apa? Karena kelakuan manusia).
Dari pernyataan mereka terasa bahwa kejadian di Merapi dilihat secara relasional terhadap hidup dan kelakuan manusia. Dalam pemahaman orang-orang sederhana itu, alam tak pernah berdiri sendiri: alam dan manusia berada dalam relasi yang erat dan mendalam. Karena itu, peristiwa alam, seperti erupsi Merapi ini, juga bisa ditangkap sebagai purifikasi atau teguran terhadap manusia dan kelakuannya.
Erupsi Merapi yang dahsyat kali ini tak hanya mengancam para pengungsi yang bertebaran di daerah Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang, tapi juga menimbulkan ketakutan kolektif. Kolektif, karena ketakutan itu mengenai seluruh lapisan masyarakat, di luar korban. Siapa pun tiba-tiba dicekam kegelisahan, bisa saja erupsi itu mengenainya dan menghancurkan segala miliknya.
Ketakutan kolektif menjadi tidak proporsional lagi, artinya menjadi berlebih-lebihan dan tidak sebanding lagi dengan realitas ancaman bencana yang sesungguhnya. Ketakutan kolektif ini juga menjadi lahan yang subur bagi pelbagai macam spekulasi klenik yang makin menggelisahkan manusia, apalagi jika media ikut mengipas-ngipasinya.
Ilmu pengetahuan pun, dalam hal ini vulkanologi, terkena imbas oleh ketakutan kolektif itu, sampai dengan kecanggihan apa pun tidak berani lagi menjaminkan keselamatan manusia akibat ancaman erupsi Merapi.
Dalam ketakutan kolektif itu, manusia dipojokkan kembali pada keterbatasan dan ketakmampuannya.
Tak heran jika Merapi lalu dirasakan sebagai ketransendenan yang melampaui segala keterbatasan manusia. Itulah pengalaman yang membuat orang memandang Merapi bukan sebagai gunung berapi, tetapi sebagai simbol yang memuat ketransendenan. Merapi lalu dipribadikan dan disapa dengan Mbah Merapi.

Karena dimuati oleh yang transenden, Merapi harus dihormati. Dan di hadapannya, orang harus bersikap rendah hati. Ketika Merapi menunjukkan kekuasaannya dengan gejala ancaman erupsi, selayaknyalah orang mengakui keagungannya dengan rela menjauhinya. Kekuasaan dan keagungan itu tidak boleh dan tidak bisa dilawan dengan dalih apa pun, juga dengan dalih kesetiaan.

Menantang keagungan dan kekuasaan Merapi adalah kebalikan dari sikap rendah hati yang dituntut ketika manusia berhadapan dengan transendensi, yang dilambangkan dengan Merapi. Di sini Mbah Merapi yang kesannya mitologis dan irasional itu ternyata bisa memaksa manusia untuk bersikap arif dan rasional.
Arif, agar ia berhati bening dan menjauhi kesombongannya. Dan rasional, agar ia tidak berspekulasi dengan perhitungan apa pun, termasuk kebatinan dan klenik, kecuali fakta bahwa erupsi sudah mengancam. Sayang, hal ini diabaikan, dan akibatnya hanyalah kurban manusia bergelimpangan.
Dalam konteks dan kemelut kenegaraan kita sekarang, erupsi Merapi adalah daya dobrak alam yang memaksa kita untuk meninggalkan keirasionalan dan teguh berpegang pada yang rasional. Hal ini kiranya berlaku lebih-lebih untuk pemimpin-pemimpin kita. Sebab tidakkah pemimpin negara ini sering berpegang pada perklenikan dan hal-hal irasional dalam menjalankan kekuasaannya?
Untuk melegitimasikan kekuasaannya, mereka sowan kepada orang-orang sepuh atau dukun yang dianggap linuwih. Berhadapan dengan Merapi yang njeblug, semuanya itu tak ada saktinya lagi. Yang bisa dan harus kita buat hanyalah bertindak secara rasional dan tidak sombong terhadap transendensi.
Erupsi Merapi dengan demikian memaksa manusia untuk mengakui keterbatasannya dan berupaya semaksimal mungkin menggunakan akal budinya.

Koreksi terhadap sikap hidup manusia yang bertepatan dengan erupsi Merapi, itulah yang dibahasakan penduduk lereng Merapi dalam pernyataan ini: ”Mbah Merapi lagi reresik awake lan ngresiki manungsane” (Mbah Merapi sedang membersihkan diri dan membersihkan manusia).

”Break” dengan kemajuan

Sudah lama para cerdik cendikia curiga terhadap apa yang dinamakan kemajuan. Peradaban memicu manusia untuk tak henti-hentinya mengupayakan kemajuan. Lama-lama manusia mengupayakan kemajuan itu bukan demi kemanusiaan dan lingkungan hidupnya, tetapi demi kemajuan sendiri.

Ide kemajuan semacam itu sesungguhnya menyimpan penghancuran terhadap kemajuan itu sendiri. Sulit untuk membuat break bagi manusia yang umumnya ndableg dan keras hati ini, bahwa ide kemajuan itu adalah salah. Kekejaman alamlah satu-satunya aparat yang bisa menegur kekerasan hati dan kekonyolan manusia itu. Dan itulah yang kiranya terjadi dengan erupsi Merapi kali ini.

Memang sesungguhnya telah terjadi kesalahan dalam diri kita dan lingkungan kita dewasa ini. Dan kesalahan itu tak terdeteksi karena optimisme kita akan kemajuan.

Sementara, optimisme itu sendiri terjadi karena pandangan sejarah kita yang melulu linier: kita akan maju dan terus maju sampai kita meraih kesempurnaan yang kita kejar. Ide ini membuat kita merasa stabil dan mapan.
Tetapi ide ini tidaklah seimbang, karena ia melupakan dan mengabaikan sejarah alam yang seharusnya juga menjadi bagian dari sejarah kita. Dan berkebalikan dengan sejarah kemajuan yang linier dan mapan itu, sejarah alam mengandung kebetulan, diskontinuasi, dan disintegrasi.

Karena tak mungkin kita melepaskan diri dari sejarah alam, maka suatu saat diskontinuasi, disintegrasi, dan kebetulan itu masuk ke dalam sejarah kita dan mengobrak-abrik kemapanan dan mematahkan kelinieran kita. Itulah yang dalam konsep Jawa disebut gara-gara. Dan kali ini gara-gara itu terjadi bersamaan dengan erupsi Merapi. Begitu gara-gara itu terjadi, tersibaklah segala kekonyolan dan kesalahan kita yang selama ini tertutupi dan terselimuti.

Gara-gara itu menguakkan kepada kita bahwa akeh tumindake manungsa kang nalisir, akeh barang mrojol saka tatanan, banyak kelakuan manusia yang menyimpang, dan banyak hal yang menerjang tatanan. Tidakkah bersama erupsi Merapi ini kita menyaksikan dengan lebih terang-terangan ulah manusia, lebih-lebih ulah pemimpin kita, yang tak tahu diri, yang menyimpang dari norma-norma dan tatanan?

Gara-gara itu juga menyibakkan apa pun yang dibuat pemimpin kita mung reribet uwohipun (hanya menghasilkan kekacauan dan kerepotan saja). Jelasnya, pemimpin kita dibuat seperti kehilangan daya dan kuasa untuk menolong rakyatnya. Niat baik pemimpin kita seakan selalu terpatahkan menjadi kegagalan.

Tidakkah keinginan pemimpin kita untuk mendekatkan diri pada daerah bencana Merapi belum lama ini malah menjadi lelucon karena tidak menghasilkan apa-apa, malah membuat reribet saja?

Memang erupsi Merapi seakan memandulkan kehebatan yang selama ini digembar-gemborkan pemimpin kita. Gara-gara itu juga ngilangake tentreming batin, tinulak datan kena, malah andelarung saya ndadra (menghilangkan ketenteraman batin, tak bisa dihindari, malah makin menjadi-jadi). Tidakkah erupsi Merapi ini telah menyebabkan ketakutan kolektif, yang membuat siapa saja tidak tenteram, dan merasa tidak bisa menghindar dari bahaya yang mengancam?
Dan ketika gara-gara itu terjadi, guna arta tanpa daya, kasantikan datan migunani, tansah usreg isining rat (pesona uang tak berdaya, kesaktian lumpuh, dan jagat seisinya terus kacau). Tidakkah erupsi Merapi ini telah menghanguskan kesaktian, membuat sia-sia segala tumpukan harta, dan menerakan kegelisahan dan kegundahan tiada tara?

”Memayu hayuning buwana”

Erupsi Merapi memang merupakan kerja alam. Tetapi sebagai gara-gara, ia telah menuding dan menegur manusia, menyibakkan kesalahannya. Dan dalam alam pikiran Jawa, gara-gara bukanlah sekadar bencana: gara-gara adalah proses pembaruan alam semesta, yang dipicu dengan perubahan atau bencana alam.
Maka dengan erupsi Merapi sebagai gara-gara, bukan hanya alam, tetapi juga manusia yang dibersihkan dan diperbarui.

Karena itu, dengan reresik awake (membersihkan dan menata dirinya) lewat erupsi, Merapi, simbol transendensi itu, sesungguhnya sedang mengajak manusia untuk membarui, menyucikan, dan menata dirinya.

Dengan erupsinya, Merapi memaksa manusia untuk ngeduwungi lan nyingkiri tumindake sing ala (bertobat dan berpaling dari kelakuannya yang jahat). Dalam arti ini, erupsi Merapi yang alamiah itu juga merupakan suatu peristiwa transendental karena memaksa manusia untuk bertobat dan berpaling lagi kepada Khaliknya dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Yang terakhir inilah sesungguhnya makna terdalam dari erupsi Merapi sebagai gara-gara.

Tobat itu akan mewujud bila setelah erupsi Merapi ini manusia bersama-sama mau mewujudkan memayu hayuning buwana, yang selama ini ditinggalkannya. Memayu hayuning buwana adalah konsep keselamatan yang menganjurkan suatu etika hidup: sayangilah alam dan sertakan alam dalam hidupmu, jika kamu ingin selamat.
Dengan konsep keselamatan itu, manusia diajak untuk tak seenaknya lagi menentukan sejarahnya sendiri. Jelasnya, manusia harus memperhitungkan alam semesta, dengan segala kekayaan dan kekurangannya, jika ia mau selamat.

Maka dalam laju optimismenya terhadap kemajuan, manusia juga harus bersiaga terhadap disintegrasi, erupsi, dan diskontinuasi yang disebabkan oleh pembaruan alam.
Dengan demikian, manusia dididik untuk senantiasa eling lan waspada, bahwa manusia hanyalah bagian dari kesemestaan, karena itu ia tidak boleh seenaknya menuruti keserakahan dan kerakusannya sendiri. Berhadapan dengan kesemestaan itu, manusia akan mengalami ketransendenan, yang membuat ia menyadari bahwa dirinya adalah insan yang amat terbatas.
Memayu hayuning buwana itu tak hanya berkenaan dengan alam, tetapi juga dengan kesosialan dan kebersamaan. Kebijaksanaan itulah yang diajarkan oleh erupsi Merapi, dan tiba-tiba menjadi praksis yang menyalakan harapan. Memang erupsi Merapi kali ini telah menyatukan semua orang untuk memberikan diri pada kemanusiaan.

Sehari-hari negara ini sedang resah karena ancaman perbedaan golongan dan agama. Masalah tersebut tiba-tiba lenyap karena erupsi Merapi. Semua orang bersama-sama menolong korban dan pengungsi, tanpa membeda-bedakan agama dan golongannya. Orang Muslim ditampung, dilayani, dan menjalankan ibadahnya dalam gereja dan sekolah-sekolah Kristen atau Katolik. Orang Kristen dan Katolik bernaung dengan damai dan aman di masjid-masjid.

Seminari, tempat pendidikan calon imam gereja Katolik, juga gereja-gereja ternyata bisa menjadi tempat, di mana para dai, ustaz, dan santri-santri Nadlatul Ulama mengadakan tahlilan, yasinan, salawatan, dan pengajian bersama para pengungsi yang Muslim. Agama-agama tiba-tiba dipaksa melupakan perbedaannya ketika mereka bersama-sama menghadapi kemanusiaan yang sedang diancam oleh penderitaan akibat erupsi Merapi.
Memang erupsi Merapi ternyata memberi peluang bagi kita untuk membangun dan mewujudkan kebersamaan, kendati segala perbedaan. Dan erupsi itu memaksa agama-agama untuk kembali pada hakikatnya: bahwa agama itu ada, bukan demi agama sendiri, tetapi demi kemanusiaan seluruh semesta. Masing-masing agama memang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi masing-masing agama tidak bisa berdiri sendiri, mereka terkait satu sama lain, karena itu mereka terkait pada kesemestaan.

Dan untuk mengusahakan kesemestaan yang nyaman bagi manusia, erupsi Merapi membuka apa yang seharusnya dilakukan agama-agama: bukan menggembar-gemborkan dan mengklaim kebenaran ajarannya, tetapi mewujudkan kemanusiaan yang menyatukan.

Sementara, dengan erupsi Merapi juga telah dibenarkan bahwa kemanusiaan nyata-nyata bisa menyatukan perbedaan dan bisa menjadi dasar bagi persatuan. Karena itu, erupsi tersebut memberi pelajaran yang amat berharga tentang memayu hayuning buwana atau pembangunan semesta, yakni: Kita akan diselamatkan bersama-sama, atau kita tidak akan diselamatkan sama sekali!

Peluang kultural

Erupsi Merapi memang telah menyebabkan penderitaan. Tetapi, erupsi itu juga memberi rezeki berlimpah, berupa pasir dan abu vulkanik yang menyuburkan tanaman. Warga sederhana kiranya akan diuntungkan oleh rezeki itu.

Tetapi, di samping itu semuanya, erupsi Merapi juga memberi peluang kebudayaan yang luar biasa. Para pemimpin masyarakat kiranya perlu memanfaatkan peluang tersebut, khususnya Sultan Hamengku Buwono X. Sebab, di samping gubernur, Sultan adalah pemimpin kultural di tempat di mana erupsi Merapi sedang memberi peluang kebudayaan tersebut.

Seperti ketika reformasi meletus dan Sultan mengambil inisiatif untuk meneriakkan perubahan, demikian pula ketika Merapi meletus, kali ini Sultan kiranya perlu meneriakkan bahwa keselamatan bangsa dan masyarakat hanya dapat kita raih jika kita meraihnya bersama- sama.

Sultanlah pribadi yang paling berwenang dan bertanggung jawab untuk menyerukan hikmah memayu hayuning buwana yang diajarkan erupsi Merapi kali ini, yakni bahwa kemanusiaan, apa lagi bisa sedang diancam penderitaan, haruslah menyatukan kita kendati segala perbedaan yang kita punya.

Sultan perlu juga mengingatkan bahwa mengutamakan perbedaan dengan melalaikan kemanusiaan adalah pengkhianatan terhadap pengalaman transendental tentang memayu hayuning buwana yang diberikan oleh erupsi Merapi kali ini.

Sultan kiranya tidak boleh diam untuk tak bosan-bosannya menyerukan dan mewujudkan hikmat erupsi Merapi itu. Kalau Sultan diam, peluang kebudayaan yang dianugerahkan oleh gara-gara Mbah Merapi itu akan hilang ditelan oleh kelupaan yang menjadi penyakit khas bangsa kita tercinta ini.

Sindhunata Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta