Mei 03, 2012

Film Negeri 5 Menara: Mengubah Persepsi tentang Pondok Pesantren


Film Negeri 5 Menara (Sumber:www.21cineplex.com)


Oleh : Nurul Kartikaningsih



Trailer film Negeri 5 Menara yang diputar A. Fuadi di acara Kompasiana Blogshop mengantarkan kami sekeluarga duduk di deretan tengah sebuah gedung bioskop di Surabaya. Rasa penasaran menggelitik saya untuk segera menonton filmnya secara utuh.

Film Negeri 5 Menara diinspirasi oleh novel dengan judul yang sama karya A. Fuadi yang merupakan buku pertama dari sebuah trilogi dan telah menjadi best seller sejak diluncurkan tahun 2009. Kisah yang mengangkat tema perjuangan meraih mimpi enam sahabat dengan mantera sakti yang akhirnya populer di masyarakat. Million Pictures dan KG Production mengangkat cerita yang diinspirasi oleh kisah hidup sang penulisnya ini ke layar lebar. Bak gayung bersambut niat ini mendapat dukungan dari iB Perbankan Syariah yang didukung pula oleh Bank Indonesia sebagai sponsor utama film dengan harapan bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk berjuang keras meraih mimpi.

Film dibuka dengan adegan perayaan kelulusan Alif Fikri dan sahabatnya Randai dari Madrasah Tsanawiyah. Setting panorama danau Maninjau yang indah dan budaya Minang yang begitu kental membawa penonton menyaksikan salah satu keragaman budaya di tanah air.

Wajah kecewa Alif tampak begitu ironis tatkala sang Amak yang diperankan oleh Lulu Tobing, tidak menyetujui keinginannya yang menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum. Amak ingin Alif menjadi seorang tokoh masyarakat dengan dasar agama yang kuat seperti Buya Hamka dan Sutan Syahrir yang juga berasal dari Minang. Impiannya sendiri untuk mengikuti jejak B.J. Habibie, seorang pakar penerbangan sirnalah sudah. Mimpi yang dibangun sejak kecil, pupus oleh keinginan Amak yang sama sekali tidak ada dalam bayangan sebelumnya: belajar di Pondok Madani nun jauh di Jawa Timur.

Budaya Minang tampak saat sang Ayah yang diperankan oleh David Chalik, menjual kerbau satu-satunya untuk membiayai sekolah Alif ke tanah Jawa. Tata cara jual beli kerbau yang unik dan mengandung filosofi dalam menjalani kehidupan seperti pesan sang Ayah pada Alif: Jalani dulu kehidupan ini. Jangan melihatnya dari luar. Belum tentu apa yang terlihat dari luar sama dengan isi di dalamnya. Memang selama ini kehidupan di Pondok Pesantren identik dengan pelajaran agama saja. Sedangkan Alif punya cita-cita tinggi yang ia tak yakin itu bisa diraihnya ‘hanya’ dengan menuntut ilmu di Pondok.



Pondok Madani (Sumber:www.kapanlagi.com)



Kedatangannya di Pondok Madani dengan berbagai peraturan yang ketat semakin menyurutkan semangat Alif. Adegan sang Ayah memberinya hadiah sebuah pulpen peninggalan almarhum kakek, terasa begitu menyentuh, meski belum mampu mengusir keraguan di hati Alif.

Hukuman yang ia terima saat terlambat datang di masjid untuk sholat maghrib mengantarkannya bertemu dengan lima orang sahabat yang berasal dari daerah lain. Baso dari Gowa, Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Atang dari Bandung, dan Dul Majid dari Madura.

Ikang Fawzi memerankan sosok kyai Rais dengan cukup bagus: penuh kewibawaan. Dari wejangan beliau Alif akhirnya mengerti, ternyata belajar di Pondok Madani bukan sekedar belajar ilmu agama.




Aksi ustad Salman memotong kayu dengan pedang berkarat (Sumber:www.sepedakuning.files.wordpress.com)

Semangat luar biasa untuk belajar dan bersungguh-sungguh timbul setelah melihat aksi Ustad Salman yang diperankan oleh Donny Alamsyah. Aksinya memotong batang pohon dengan pedang berkarat cukup menegangkan membuat penonton menahan nafas. Kelihatannya mustahil, tapi ternyata dengan ayunan pedang yang kesekian diiringi oleh tetesan keringat dan nafas yang menderu, akhirnya batang pohon itu patah. Bukan yang paling tajam! Tapi yang paling bersungguh-sungguh! Man jadda wajada! Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil! Itulah mantera pertama dari sang ustad yang berhasil terpatri dalam sanubari para santri.

Enam sahabat itu banyak menghabiskan waktu di bawah menara yang berdiri kokoh di samping masjid Pondok Madani. Itulah mengapa akhirnya mereka dijuluki Sahibul Menara. Di sana mereka menciptakan imajinasi tentang menara impian dengan memandang tinggi ke awan yang berarak. Menara impian yang akan menjadi penyemangat luar biasa dalam perjuangan mereka selanjutnya.

Seperti pendidikan dalam pesantren pada umumnya, tempaan yang keras di Pondok Madani membentuk jiwa yang mandiri, ulet, penuh semangat, pekerja keras, dan berani mempunyai impian setinggi langit. Itu terbukti saat Baso bertekad menghafal Al Qur’an sebelum lulus. Ia juga belum fasih berbahasa Inggris, namun dengan dorongan dan bantuan dari kelima sahabatnya berhasil menjadi juara dua dalam lomba pidato berbahasa Inggris. Alif yang mulai menikmati penyaluran hobi menulisnya dalam ekstra kurikuler jurnalistik di bawah asuhan kak Fahmi yang diperankan oleh Andika Pratama dan berhasil mewawancarai kyai Rais. Atang yang sukses memimpin para Sahibul Menara untuk memperbaiki genset yang sering mati. Dan yang terakhir tekad seorang Baso agar Sahibul Menara bisa tampil dalam pentas seni yang biasanya hanya diikuti oleh santri kelas 3 dan 4.

Rasanya film kurang lengkap kalau belum dibumbui kisah asmara. Di sini Alif dikisahkan tertarik dengan keponakan kyai Rais yang cantik jelita. Dan kebetulan keduanya punya hobi yang sama: fotografi.

Ada juga adegan yang menguras air mata tatkala Baso yang biasanya menjadi pemimpin Sahibul Menara harus pulang untuk merawat neneknya yang sedang sakit keras. Tangis Sahibul Menara mengiringi kepergian Baso. Mereka seperti ayam yang kehilangan induknya. Semangat untuk bisa tampil di acara pentas seni seakan pergi mengikuti Baso yang keluar dari Pondok. Alif pun mulai bimbang dan berniat untuk ikut keluar dari Pondok Madani.





Sahibul Menara: Sahabat di kala suka maupun duka (Sumber: www.review-newgadget.blogspot.com)

Di sinilah sahabat menemukan peran sejatinya. Sahabat adalah teman di kala suka maupun duka. Sahabat adalah penyemangat dalam hidup. Akankah Sahibul menara berhasil? Jawabannya bisa diperoleh dengan menonton film N5M secara langsung.

Meski animo masyarakat tidak sebagus premiere film barat sekelas Harry Potter, atau pendahulunya Laskar Pelangi, namun film ini dijamin sarat akan pesan-pesan moral dan motivasi yang sangat bagus terutama buat generasi muda yang jarang dapat diperoleh dari film-film barat. Saya yakin ke depan film ini akan sukses meraih penonton sebanyak-banyaknya. Dan bisa membuka cakrawala tentang kehidupan di pondok pesantren.

Secara keseluruhan kisah dalam film ini tak sama persis dengan isi novel, namun Sutradara Affandi A. Rahman dan penulis skenario Salman Aristo cukup sempurna menggambarkan tokoh dan setting keseharian di pesantren. Emosi penonton terbawa saat Alif mengurung diri di kamarnya sebagai tanda protes kepada sang Amak, kemudian saat berpamitan pada Amak dan kedua adiknya dengan perasaan tak menentu. Atau ketika ia berhadapan dengan kyai Rais untuk wawancara. Ada juga adegan lucu yang membuat penonton tergelak. Ketika sahibul menara mendapat hukuman jewer dari ustad Tyson, atau ketika Alif yang sedang berbunga-bunga tapi akhirnya gagal berfoto dengan Sarah dan Nissa.

Film ini menampilkan aktor pendatang baru sebagai pemeran enam tokoh utama seperti Gazza Zubizzaretha sebagai (Alif), Ernest Samudera (Said), Billy Sandi (Baso), Rizki Ramdani (Atang), Aris Putra (Dulmadjid) dan Jiofani Lubis (Raja). Sedangkan para tokoh dewasa diperankan oleh aktor dan aktris senior seperti Lulu Tobing, David Chalik, dan Ikang Fawzi.

Persepsi bahwa pesantren melulu mempelajari ilmu agama Islam sontak berubah. Seperti yang digambarkan dalam film bahwa Pondok Madani bukanlah tempat yang membosankan. Ternyata banyak sekali kegiatan lain yang cukup menyenangkan. Pondok juga bukan ‘tempat pembuangan’ anak-anak nakal ataupun ‘tempat penitipan’ bagi anak-anak orang tak mampu. Tapi pondok adalah kawah candradimuka tempat menggembleng anak-anak muda menjadi pribadi yang luar biasa.

Film Negeri 5 Menara membuktikan bahwa lulusan pesantren yang menurut pandangan banyak orang sebelumnya ‘tidak masuk hitungan’ ternyata juga bisa sukses menjadi orang-orang besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Karena mimpi adalah sebuah keniscayaan bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Man jadda wajada.-